Sabtu, 01 Desember 2012

ISRAEL MENINGKATKAN SERANGAN BALASAN KE MILITAN DI GAZA



Gaza - Israel membombardir Jalur Gaza yang diperintah Hamas dengan lebih dari 180 serangan udara. Dan serangan diperluas dari yang mulanya hanya ditujukan kepada kaum militan kini ditujukan juga ke markas perdana mentri, kantor polisi dan tempat-tempat perlindungan. Intensifikasi kegiatan militer Israel dilakukan setelah terjadinya serangan roket yang ditujukan ke kota Yerusalem.
Israel juga terus menyerang fasilitas penyimpanan senjata militan dan situs-situs bawah tanah tempat
peluncuran roket. Pasukan Israel mengumpulkan berbagai kendaraan militer, tank dan kendaraan lapis baja di sepanjang perbatasan dengan Gaza. Militan di Gaza telah meluncurkan sekitar 500 roket terhadap Israel, termasuk baru, senjata dengan jangkauan yang lebih jauh untuk  pertama kalinya ditujukan ke Yerusalem dan Tel Aviv. (Diego/Agenzia Fides)

2000 PETANI GAGAL PANEN



Kenya - Banjir bandang telah menghanyutkan panen padi sekitar 2.000 petani di Kenya Barat. Para petani yang mengalami kerusakan tinggal di 870 hektar sawah dari Kano Plains, di distrik Kisumu. Hujan telah menghancurkan satu-satunya sumber pendapatan penduduk ini. Pada bulan Oktober, departemen meteorologi telah mengeluarkan peringatan kemungkinan banjir di beberapa bagian negara, dalam musim  hujan sekitar  bulan Oktober-Desember, yang dapat diperburuk oleh badai El NiƱo.
Beras adalah pasokan makanan utama ketiga di Kenya, setelah jagung dan gandum. Menurut Departemen Pertanian, produksi pangan nasional selama ini mencapai  50 ribu ton per tahun, sedangkan konsumsi tahunan membutuhkan 350 ribu ton. Berbagai upaya dilakukan  sebelumnya  oleh pemerintah untuk pembangunan kapal dan kanal guna memudahkan penduduk dalam menghadapi  banjir. Selama bulan April dan Mei tahun ini daerah wilayah Barat dan Nyanza mengalami banjir yang menewaskan lebih dari 15.000 orang pengungsi. Pusat evakuasi yang dibangun tahun ini di daerah tersebut dengan bantuan dari pemerintah Jepang hanya dapat menampung 12 . 000 orang. (Diego/Agenzia Fides)

PEMBUKAAN TAHUN IMAN



Hongkong - Keuskupan Hong Kong  membuka Tahun Iman dengan tema "pembaruan dan PERUBAHAN," yang diawali Misa Kudus  pada  hari  Minggu, 16 Desember pada akhir Tahun Awam keuskupan Hongkong. Menurut Kong Ko Bao (buletin keuskupan versi Cina), Mgr. Dominic Chan, Vikaris Keuskupan dan Presiden Kelompok Keuskupan untuk Tahun Iman,  menyajikan bahwa program keuskupan menekankan dua tema: "Pembaharuan dan Perubahan". Berbagai kegiatan di paroki dan tingkat keuskupan diselenggarakan, juga kursus dan seminar  dijadwalkan untuk mengeksplorasi tema Tahun Iman, termasuk penerbitan teks-teks terkait. Mgr. Chan mendesak umat beriman untuk mempunyai sikap tertentu dan tindakan nyata dalam Tahun Iman: agar publik mengenali identitas Katolik, memberitakan dan menyatakan iman dengan Credo, memperdalam dan memperkuat iman sebelum menerima sakramen, menelusuri kembali ajaran Konsili Vatikan II dan Katekismus Gereja Katolik, mengambil bagian dalam visi misi keuskupan selama Tahun iman, menghadapi tantangan kehidupan sehari-hari dengan iman. Akhirnya, Mgr. Chan merekomendasikan perhatian khusus kepada umat yang baru dibaptis. (Diego/Agenzia Fides)

Embrio: Ciptaan Tuhan atau Produk Manusia?



Seminar Nasional Hari Studi XXXVII STFT Widya Sasana Malang



                Kemajuan teknologi biologi dan medis (biomedis) dewasa ini semakin menawarkan aneka solusi bagi  persoalan  kehidupan  manusia, khususnya perkara mendapatkan anak. Teknologi seperti Bayi Tabung telah  lama ditempu oleh sebagian besar keluarga-keluarga guna mendapatkan keturunan yang mereka inginkan. Bahkan teknik rekayasa keturunan pun telah lazim digunakan untuk menghindari kemungkinan keturunan yang tidak diinginkan. Melalui teknologi tersebut manusia bebas menentukkan pilihan kualitas dan layak tidaknya keturunan sesuai keinginan. Terlepas dari kemajuan itu, muncul persoalan moral yang sangat mendasar, yakni bahwa dibalik teknik bayi tabung dan rekayasa keturunan, sebenarnya ada jutaan embrio bakal manusia yang menjadi “korban”, entah dibuang karena tidak sempurna atau atau tidak memenuhi seleksi kualitas. Bahkan ada embrio yang dibekukan karena keterbatasan jumlah embrio yang bisa ditanam dalam rahim. Ditengarai di dunia saat ini terdapat jutaan embrio sisa dari IVF (in vitro fertilization) yang tidak “bertuan” karena tidak lagi dikehendaki untuk ditanam dalam rahim orangtua asal benih tersebut.  
                Bertolak dari persoalan tersebut, Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Widya Sasana Malang mengadakan Seminar Nasional Hari Studi XXXVII, pada akhir Oktober lalu, dengan tema “Embrio: Ciptaan Tuhan atau Produk Manusia? Pandangan Gereja Katolik Tentang Bayi Tabung, Sel Punca dan Kloning”.  Seminar yang berlangsung 2 hari tersebut menghadirkan pembicara dari beberapa ahli dengan disiplin ilmu yang mumpuni, yakni Prof. F.X. Arif Adimoelja (Bapak Androlog Indonesia); Prof. J. Sudarminta, SJ;  Dr. Benny Phang, O.Carm;  Dr. Yustinus, CM; Prof. Dr. Piet Go Twan An, O. Carm; dan Prof. Dr. Berthold A. Pareira, O. Carm.
                Seminar yang diikuti oleh berbagai kalangan yang sebagian besar adalah para medis, umat, mahasiswa serta beberapa ahli tersebut menjadi suatu kontribusi yangh sangat berarti bagi masyarakat, khususnya umat Katolik dalam menyikapi perkembangan teknologi biomedis. Prof. F.X. Arif Adimoelja dalam presentasi pertama, memaparkan fungsi-fungsi alat reproduksi manusia dan perkembangan IVF.  “Pada awalnya, ketika proses IVF masih konvensional tidak pernah dilakukan proses ini. Hal yang dilakukan hanya melihat sel ovum yang sehat, yang diketahui lewat mikroskop atau cara lain. Di sisi lain, yang menentukan kehamilan adalah spermatozoa. Dalam perkembangannya, dilakukan genetic engineering, khususnya pada spermatozoa, supaya embrio yang terbentuk sesuai harapan” ungkap Prof. Arif.  Lebih lanjut ia menegaskan kelainan dapat saja terjadi pada janin karena resiko seleksi embrio ialah infeksi pada embrio tersebut, sehingga dapat menghasilkan keturunan yang cacat seperti hydrocephalus.
Prof. Pidyarto, O.Carm: Ketua STFT Widya Sasana Malang 



                Prof. Sudarminta, SJ  membuka wawasan berpikir dengan menyajikan refleksi etis-filosofis atas perkembangan moral bayi tabung, sel punca dan kloning manusia.  “Menghawatirkan, karena perkembangan baru itu memunculkan berbagai persoalan baru, khususnya persoalan moral yang serius. Ada pergeseran fokus yang diakibatkan oleh perkembangan teknologi reproduksi dan rekayasa genetika. Dari “how to have sex without making a baby” ke “how to make a baby without having sex” ujar Prof. Sudarminta. Menjawabi pergulatan moral-etis, Dr. Benny Phang menegaskan ajaran Magisterium Gereja Katolik tentang perkembangan teknologi reproduksi yang marak saat ini.  Dua poin penting yang ditekankan oleh Gereja ialah pertama, sikap hormat terhadap martabat pribadi manusia sebelum dan sesudah dilahirkan, termasuk  sejak embrio awal. Kedua, pentingnya sanggama suami-istri (prokreasi)  tanggung jawab; dalam arti bahwa anugerah hidup manusia harus diwujudkan melalui tindakan spesifik dan eksklusif suami-istri dalam perkawinan. Teknologi reproduksi harus mengabdi pada martabat pribadi manusia yang hakiki.
Sementara itu, Dr. Yustinus, CM., memberikan beberapa pertimbangan moral dalam situasi konkrit. Prinsip penilaian moral Katolik ialah obyektifitas perkara, maksud dan keadaan-keadaan, serta faktor subyektif yang kompleks dengan keputusan hati nuraninya. “Kita harus tahu mengapa Gereja melarang. Yang menjadi persoalan ialah soal embrio yang sisa dalam proses bayi tabung. Ada keberatan bahwa tindakan laboratorium itu menggantikan sanggama, sehingga lepas dari cinta kasih suami-istri. Untuk itu dokter dapat melakukannya sesuai moral Katolik” tegas Dosen Moral STFT Widya Sasana tersebut. Lebih lanjut Dr. Yustinus menekankan bahwa bayi tabung jangan cepat dipandang sebagai anugerah Tuhan, sebab hal itu telah melibatkan manusia. Kita perlu melihat proses-prosesnya, sejauh mana Tuhan bekerja dan sejauh mana manusia boleh ambil bagian di dalamnya. Prof. Dr. Piet Go Twan An memberikan dasar-dasar ajaran Magisterium Gereja bagi pastoral praktis di bidang bioetika. “Keberatan Gereja terutama soal status embrio dan martabat prokreasi” kata Prof. Piet Go. Manusia harus bertanggung jawab dan bergumul dengan keputusannya jika ingin menemukan jawaban atas persoalan hidupnya. Prof.  Dr. Berthold A. Pareira menutup keseluruhan presentasi dengan refleksi biblis “Kisah penciptaan manusia”. Manusia diciptakan  secitra dengan Allah dan karena itu mendapat anugerah kemampuan-kemampuan yang patut dikagumi. “Dalam hubungan dengan program bayi tabung, sering dilakukan karena alasan ekonomi dan industri, tidak sampai ke tindakan yang luhur. Itulah paradoksal kehidupan manusia. Maka butuh ilmuwan yang beriman yang membantu kita supaya teknologi memberikan nilai positif bagi hidup manusia” harap Profesor asal Maumere, Flores tersebut.
Seminar ini semakin menarik karena menghadirkan dua kesaksian pergumulan dari keluarga Katolik yang terlibat menggunakan  teknologi bayi tabung. Dialog dan diskusi kelompok menambah suasana seminar menjadi lebih bermakna. Tampak semua peserta begitu antusias dan bersyukur, bahwa seminar ini sungguh membuka wawasan global umat mengenai polemik teknologi reproduksi dengan Ajaran Magisterium Gereja. Ketua STFT Widya Sasana Malang, Prof. Dr. Hendrikus Pidyarto, O. Carm.,  dalam menutupi seminar mengemukakan  pentingnya membela kehidupan dalam keseharian hidup. “Yang jelas kita semua pasti sama dalam prinsip. Gereja Katolik harus membela kehidupan, Prolife” ujar Profesor Kitab Suci tersebut menutupi seluruh kegiatan seminar.  (Antonius Primus)

Minggu, 18 November 2012

AWAM KATOLIK

AWAM KATOLIK
SETURUT AJARAN KONSILI VATIKAN II

Pada Konsili Vatikan II para Bapa Konsili yang terbuka bagi suatu pembaharuan dan terutama para teolog yang merancang pembaharuan itu, ingin mengatasi penyempitan dalam paham tentang Gereja dengan cara melengkapi tradisi millennium kedua dengan unsur-unsur penting dari tradisi millennium pertama. Dengan cara demikian Konsili akhirnya berhasil mengemukakan suatu eklesiologi ‘communio’ yang besar pengaruhnya bagi teologi dan gambaran mengenai awam dalam Gereja.
Pada mulanya skema yang disiapkan untuk didiskusikan dalam konsili mengikuti haluan umum suatu eklesiologi golongan, lebih dahulu para uskup dibicarakan dengan menyinggung sedikit para imam juga, kemudian para biarawan / biarawati dan pada giliran terakhir para awam. Dengan cara demikian orang dan haluan ini ingin melengkapi Konsili Vatikan I (pertama) yang hanya berbicara tentang paus dan wewenangnya.
Tetapi kemudian gambaran ini diatasi dengan menempatkan pada tempat pertama suatu bab yang berbicara mengenai Gereja sebagai misteri dan menyusul lagi satu hal tentang umat Allah sebelum konstitusi Lumen Gentium membahas hierarki di dalam Gereja.
Pernyataan dalam bab pertama bahwa Gereja merupakan suatu misteri cukup lama diperdebatkan di sidang konsili, karena banyak bapa konsili menganggap pernyataan ini terlalu Protestan. Cukup lama dalam tradisi, Gereja Protestan menganggap Gereja pada intinya suatu kenyataan yang tak kelihatan. Hanya Allah yang tahu, siapa sungguh beriman dan termasuk Gereja. Gereja yang sesungguhnya itu tidak identik dengan Gereja kelihatan yang merupakan lembaga terstruktur. Dan Gereja yang kelihatan / lahiriah itu sebenarnya tidak begitu penting.
Berlawanan dengan gambaran ini, Gereja Katolik menekankan dan mengutamakan sifat kelihatan dari Gereja. Gereja sebagai lembaga dengan bentuk dan struktur tertentu, di mana terutama hierarki mendapat perhatian. Malah hierarki semakin diutamakan sampai dalam banyak kasus orang secara diam-diam menyamakan Gereja dengan hierarki.
Berbeda dengan gambaran demikian tentang Gereja, konsili mengatakan bahwa Gereja pada tempat pertama bukan suatu lembaga dengan struktur dan peraturan tertentu, dengan golongan anggota yang berbeda-beda yang mempunyai wewenang masing-masing. Pada tempat pertama Gereja merupakan suatu misteri, misteri itu hadir di bawah tanda yang dibawakan Yesus ke dalam dunia, dan misteri itu masih tetap dihidupkan di atas bumi ini oleh Roh Kudus.
Gereja itu merupakan suatu misteri, karena ia adalah persekutuan para orang kudus, mereka yang dikuduskan Kristus. Mereka semua yang melalui sakramen baptis dan ekaristi dalam uraian pada awal konstitusi Lumen Gentium dalam bab tentang Gereja sebagai misteri; sebelum kita memandang jabatan dan golongan dan fungsi berbeda di dalam Gereja, perlu diperhatikan adanya suatu kesamaan antara semua anggotanya yang jauh lebih fundamental daripada semua pembedaan menurut aspek apa saja.
Pikiran dan penekanan ini dilanjutkan dalam bab tentang Gereja sebagai umat Allah. Dengan menghidupkan kembali gagasan Kitab Suci mengenai ‘laos’, mengenai umat Allah, kecuali menggambarkan Gereja sebagai persekutuan, ‘communio’ yang terbentuk dari semua orang yang beriman akan Yesus Kristus. Para pejabat merupakan sebagian dari Gereja, tugas dan pelayanan mereka dibutuhkan agar Gereja bisa berfungsi dengan baik, tetapi mereka bukan keseluruhan Gereja. Gereja tidak identik dengan hierarki / klerus. Baru semua orang beriman bersama-sama, para pejabat (klerus) dan para awam merupakan Gereja. Gereja, bukan sebagian darinya, menjalankan ketiga tugas Kristus di dalam dunia, tugas sebagai imam, nabi dan raja. Dalam beberapa artikel dari bab itu, digambarkan bahwa wewenang di dalam Gereja, dimensi imami, kenabian dan rajawi diserahkan kepada Gereja seluruhnya.
Khususnya mengenai ciri imami seluruh umat Allah misalnya konsili menegaskan:
Kristus Tuhan, Imam Agung yang dipilih dari antara manusia, menjadikan umat baru ‘kerajaan dan imamat bagi Allah dan BapaNya’. Sebab mereka yang dibaptis karena kelahiran kembali dan pengurapan Roh kudus disucikan menjadi kediaman rohani dan imamat suci, untuk sebagai orang kristiani, dengan segala perbuatan, mereka mempersembahkan korban rohani, dan untuk mewartakan daya kekuatan Dia, yang telah memanggil mereka dari kegelapan ke dalam cahayaNya yang mengagumkan. Maka hendaknya semua murid Kristus, yang bertekun dalam dia dan memuji Allah, mempersembahkan dan sebagai korban yang hidup, suci, berkenan kepada Allah. Hendaknya mereka di seluruh bumi memberi kesaksian tentang Kristus, dan kepada mereka yang memintanya memberi pertanggungjawaban tentang harapan akan hidup kekal, yang ada pada mereka (LG 10)
Pernyataan ini mengenai ciri imam, kita baca dalam ajaran konsili tentang Gereja. Gereja seluruhnya sebelum ada pelbagai deferensiasi dan pembedaan, sebelum ada bahasan tentang jabatan dan fungsi. Pernyataan dan penegasan ini berlaku untuk seluruh Gereja, semua anggotanya, mereka semua adalah imam, nabi dan raja dalam kuasa yang diberikan Kristus kepada Gereja dan yang diaktifkan oleh Roh Kudus.
Konstitusi Lumen Gentium ‘mengarahkan perhatiannya kepada status kaum beriman kristiani yang disebut awam’. Dan langsung pada awal bab itu ditegaskan bahwa ‘segala sesuatu yang telah dikatakan tentang umat Allah, sama-sama dimaksudkan bagi kaum awam, para religious dan kaum rohaniwan(klerus)’ (artikel 30 LG) Konsili berusaha sekuat tenaga untuk mengatasi gambaran negative tentang kaum awam sebagai ‘bukan klerus’, dan secara positif menyatakan awam sebagai orang beriman kristiani, sebagai kaum terbaptis. Namun deskripsi negative tidak bisa dihindari secara tuntas, kita dapat baca dalam artikel 31:
Yang dimaksud dengan istilah awam di sini ialah semua orang beriman kristiani kecuali mereka yang termasuk golongan imam (klerus) atau status religious yang diakui dalam Gereja. Jadi kaum beriman kristiani, yang berkat baptis telah menjadi anggota Tubuh Kristus, terhimpun menjadi umat Allah, dengan cara mereka sendiri ikut mengemban tugas imamat, kenabian dan rajawi Kristus, dan dengan demikian sesuai dengan kemampuan mereka melaksanakan perutusan segenap Umat kristiani dalam Gereja dan di dunia.
Ternyata juga dalam deskripsi ini kaum awam tidak terutama dan bukan pada tempat pertama dipandang sebagai ‘bukan klerus’, tetapi sebagai orang beriman yang kepadanya tri-tugas Kristus dipercayakan melalui sakramen-sakramen. Dengan demikian terdapat suatu kesamaan antara semua anggota Gereja yang bersifat fundamental dan tidak dapat diganggu gugat. Jadi, ‘samalah martabat para anggota Gereja karena kelahiran mereka kembali dalam Kristus, sama juga rahmat para putra-puteri Allah, sama pula panggilan kepada kesempurnaan; satu keselamatan, satu harapan dan tak terbagilah cintakasih. Namun semua toh sungguh-sungguh sederajat martabatnya, sederajat pula kegiatan yang umum bagi semua orang beriman dalam membangun Tubuh Kristus’ (LG 32)
Berdasarkan kesamaan fundamental ini maka semua dipanggil untuk menjalankan kerasulan Gereja. ‘Adapun kerasulan kaum awam itu ialah keikutsertaan dalam perutusan keselamatan Gereja sendiri. Dengan baptis dan penguatan semua ditugaskan oleh Tuhan sendiri untuk kerasulan itu’ (LG 33)
Para awam menjalankan kerasulan Gereja dan mereka menjalankannya karena dipanggil dan ditugaskan Yesus Kristus sendiri. Mereka bukan turut serta dalam kerasulan hierarki, berdasarkan suatu mandat yang mereka peroleh dari hierarki. Konsep (peran awam sebagai) Aksi Katolik dibuang jauh. Karena para awam merupakan anggota umat Allah, maka mereka memiliki hak dan kewajiban untuk menjalankan tugas dan misi Gereja sebagai umat Allah itu.
Dekrit tentang Kerasulan Awam memerinci gambaran yang ditetapkan dalam konstitusi tentang Gereja. Pada mulanya ada diskusi mengenai penggunaan kata kerasulan dalam judul. Bukankah  para Uskup dipandang sebagai pengganti para rasul, sehingga istilah kerasulan sebaiknya hanya dipakai untuk para uskup dan tugas mereka? Tetapi istilah itu akhirnya dipertahankan dengan argumentasi bahwa Gereja seluruhnya bersifat apostolic. Apostolisitas merupakan satu dari keempat ciri dasar yang mewarnai seluruh Gereja. Malah dalam dekrit itu sendiri satu kali para awam disebut sebagai ‘rasul yang sejati’ (AA 5)
Secara khusus Apostolicam Actuasitatem berbicara juga mengenai tugas kerasulan kaum perempuan. ‘Karena zaman sekarang ini kaum perempuan semakin berperan aktif dalam seluruh hidup masyarakat, maka sangat pentinglah bahwa keikut-sertaan mereka diperluas, juga di pelbagai bidang kerasulan Gereja’ (AA 9)
Dengan menetapkan peran dan status awam di dalam Gereja secara baru, maka relasi antara klerus dan awam mesti dipikirkan secara baru, karena relasi itu tidak bisa lagi dengan begitu saja dimengerti menurut skema perintah ketaatan, instruksi pelaksanaan, mengajarkan, mendengarkan. Bila para awam mempunyai tugas dan peran aktif yang mereka peroleh dari Kristus, bukan dari hierarki, kalau mereka mesti menjalankan tugas itu berdasarkan tanggung jawab dan inisiatif mereka sendiri, maka skema lama itu tidak cocok lagi.
Konsili berusaha memberikan kerangka baru bagi relasi itu dalam gagasan Gereja sebagai ‘communio’ sebagai persekutuan. Menurut gagasan ini Gereja merupakan suatu jaringan antara pelbagai pribadi yang saling membutuhkan, saling melengkapi, saling memperkaya, saling menghargai, yang hanya dapat hidup dalam interelasi satu dengan yang lain.
Kalau Gereja merupakan suatu persekutuan, maka gambaran demikian membawa juga konsekuensi bagi relasi antara klerus dengan kaum awam. Keduanya mesti menjalankan tugas dan perannya masing-masing atas tanggung jawab masing-masing dan dengan saling menghargai, agar Gereja bisa hidup dan berfungsi dengan baik. Berulang kali para pejabat diajak agar mereka tidak saja menghargai bakat dan karisma para awam, tetapi secara aktif mendesak dan menyiapkan peluang agar pelbagai bakat dan karisma itu bisa dikembangkan dan disumbangkan bagi kepentingan bersama. Saya ingin mengutip satu contoh imbauan itu dari LG 37:
Hendaklah para Gembala hierarkis mengakui dan memajukan martabat serta tanggung jawab kaum awam dalam Gereja. Hendaklah nasehat mereka yang bijaksana dimanfaatkan dengan suka hati, dan dengan penuh kepercayaan diserahkan kepada mereka tugas-tugas dalam pengabdian kepada Gereja. Dan hendaklah mereka diberi kebebasan dan keleluasaan untuk bertindak; bahkan mereka pantas diberi hati, supaya secara spontan memulai kegiatan-kegiatan juga.
Akan tetapi pada tempat ini perlu ditanya, apakah semuanya itu hanya peringatan saleh yang sebaiknya diperhatikan para pejabat Gereja, tetapi yang tidak bisa dituntut oleh kaum awam sebagai hak? Kalau sungguh bahwa Gereja pada intinya merupakan suatu persekutuan, bila struktur ‘communio’ merupakan struktur dasar Gereja, maka hukum Gereja mesti mencerminkan struktur itu. Suatu hukum Gereja tidak bisa mengesahkan dan mewajibkan secara legal seuatu struktur Gereja yang tidak sesuai  dengan struktur dasar Gereja. Dalam hal ini kita mesti mengemukakan pertanyaan serius terhadap hukum gereja yang sedang berlaku. Ia sama sekali tidak mencerminkan struktur dasar Gereja sebagai persekutuan. Seturut hukum itu segala inisiatif di dalam Gereja, seluruh prosedur pengambilan keputusan tetap semata-mata berada dalam tangan klerus, terutama para uskup. Semua dewan yang dianjurkan atau diwajibkan di dalam Gereja Katolik bersifat konsultatif dan tidak memiliki kuasa apapun, bergantung dari pastor atau uskup; berapa jauh para pejabat Gereja mengikuti imbauan konsili Vatikan II dan mendengarkan nasehat Konsili atau tidak. Atau kalau kita perhatikan hukum yang berlaku menyangkut prosedur pemilihan uskup. Awam, umat keuskupan hanya bisa secara pasif menerima calon yang ditetapkan oleh Roma, tanpa ada kaum awam ditanya sedikitpun. Dalam hal ini kita mesti katakan bahwa masih ada suatu kekurangan besar. Hukum yang ada tidak mencerminkan gagasan teologis yang digariskan Konsili Vatikan II sebagai struktur dasar Gereja, yakni ‘communion’.
Soal lain yang dalam diskusi actual, dalam implementasi ajaran Konsili Vatikan II cenderung mengebiri lagi peran dan status awam di dalam Gereja Katolik, ialah gagasan mengenai ciri duniawi para awam. Menurut gagasan ini – yang sebenarnya selalu muncul lagi sejak pertentangan penobatan (penetapan) uskup – para awam menjalankan tugas mereka di tengah dunia, sedangkan tugas intern gerejani, tugas mengembangkan Gereja adalah tugas klerus.
Konsili Vatikan II tidak mengadakan pemisahan macam itu, tetapi sebaliknya dalam beberapa teks berbicara mengenai tugas para awam di dunia dan Gereja. ‘Kaum awam ikut serta mengemban tugas imamat, kenabian dan rajawi Kristus, menunaikan bagian mereka dalam perutusan segenap Umat Allah dalam Gereja dan di dunia’ (AA 2). Atau di tempat lain kita baca: ‘Dalam melaksanakan perutusan Gereja itu kaum awam menunaikan kerasulan mereka baik dalam Gereja maupun di tengah masyarakat, baik di bidang rohani maupun dibidang duniawi’ (AA 5)
Memang benar konsili Vat II mengatakan bahwa para awam itu secara khusus diwarnai oleh cirr
i duniawi. Tetapi menurut banyak pengamat pernyataan itu (misalnya LG 31) tidak merupakan penilaian teologis, tetapi penggambaran sosiologis  13)  Semua anggota Gereja mesti menjalankan tugas perutusan Gereja, membawakan pewartaan Kristus dan keselamatanNya ke tengah dunia dengan segenap diri dan seluruh hidupnya. Para awam umumnya menjalankan profesi profan, non-gerejani, maka penghayatan iman mereka yang mesti menyangkut segenap hidup itu lebih banyak diwarnai oleh ciri duniawi, dalamnya mereka berkecimpung dan menjalankan profesi mereka, dibanding dengan para klerus yang menjalankan suatu profesi gerejani. Kalau konsili menyatakan ciri duniawi sebagai ciri khas para awam, maka kita mesti mengerti hal itu dalam arti bahwa juga peran mereka di dalam Gereja diwarnai oleh pengalaman konkret mereka di tengah dunia, dan justru dari aspek ini keterlibatan mereka dalam segala urusan gerejani penting sekali bagi Gereja, agar Gereja bisa menghayati inti hakekatnya sendiri.
Karena itu kita mesti memperhatikan ajaran konsili Vat II mengenai Gereja yang menurut hakekatnya bersifat misioner. Gereja tidak ada untuk dirinya sendiri, tetapi untuk dunia, untuk lingkungan dan masyarakat yang di dalamnya ia hidup. Gereja seluruh umat Allah (klerus dan awam), mesti bertobat dan bertobat, ditransformasi menjadi masyarakat baru, menjadi persekutuan yang dijiwai Roh Allah. Sebagai masyarakat baru yang dijiwai Injil, Gereja mesti hidup di tengah dunia, dengan membawa semangat Injil ke dalam dunia, meresapkan semangat Yesus Kristus itu ke dalam segala bidang dunia ini. Karena pada umumnya para awam lebih langsung berkecimpung dalam pelbagai bidang dunia ini, maka mereka mempunyai peluang dan tanggung jawab lebih besar untuk menjalankan tugas perutusan Gereja itu.
Tetapi ini tidak berarti bahwa dengan demikian mereka tidak mempunyai suara dalam hal yang menyangkut penafsiran Injil dan pengaturan struktur intern gerejani. Justru sebaliknya, karena Gereja seturut inti hakekatnya berada untuk misi, bereksistensi dalam menjalankan tugas perutusannya, maka mereka yang berada pada garis depan perutusan dan kerasulan itu, para awam, mesti mempunyai suara yang menentukan dalam mengatur struktur intern gerejani dan soal penafsiran Injil seturut kebutuhan zaman, berarti seturut kebutuhan misi Gereja.
Jelas bahwa dalam hal ini kita masih sangat kuat dipengaruhi perkembangan selama masa yang panjang dalam sejarah Gereja, di mana klerus dan awam dipertentangkan sebagai dua golongan, dan relasi mereka terutama dipandang dari perspektif wewenang dan kuasa. Dan kita masih kurang berpikir seturut gagasan Gereja sebagai persekutuan (communion) dan kurang pula mencari bagaimana struktur Gereja harus di atur secara praktis dan yuridis agar Gereja sungguh bisa menghayati hakikatnya sebagai persekutuan.

© pada penulis: Georg Kirchberger, salah satu bagian yang ada dalam buku RANCANG BERSAMA – Awam – Klerus, penerbit Ledalero, Maumere, 2006

Mengapa keberadaan dan peran AWAM dalam Gereja Katolik masih belum seperti harapan dari 
KONSILI VATIKAN II ?
 Faham tentang awam dan klerus berkembang dari masa ke masa, dan ada faham di masa silam yang tidak sesuai dengan faham Konsili Vatikan II, itulah yang menyebabkan 'salah faham'.

Silahkan membaca sejarah ringkas 
hubungan klerus - awam 
dari masa ke masa 
dalam buku
RANCANG BERSAMA
Awam - Klerus
Penerbit Ledalero, Maumere, 2006
Pesan di 
SEMINARI TINGGI LEDALERO
Maumere 86152 - Tlp 0382 22898
email :  penerbitledalero@yahoo.com