Selasa, 20 Maret 2012

Presiden Ajak Kolaborasi Nasional untuk Wujudkan Mobil Hemat Energi

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengundang rektor dari empat perguruan tinggi negeri untuk membahas kolaborasi nasional mewujudkan kendaraan yang efisien dan ramah lingkungan. Pemikiran ini sudah dirintis sejak dua tahun lalu seiring melonjaknya konsumsi energi nasional.

"Hari ini saya mengundang para rektor untuk membahas rencana pemikiran sangat penting, yaitu upaya bangsa untuk pada saatnya nanti memproduksi sarana transportasi yang efisien dan ramah lingkungan. Utamanya adalah mobil dan motor," kata Presiden SBY seusai pertemuan dengan para rektor, di Kantor Presiden, Senin (19/3) petang.

Rektor yang diundang dari Institut Teknologi Surabaya (ITS), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Gadjah Mada (UGM).

Ide kendaraan hemat BBM dan ramah lingkungan ini sudah dipikirkan sejak dua tahun lalu. Saat itu, Presiden bersama sejumlah menteri terkait dan beberapa pimpinan lembaga penelitian dan pengembangan mendiskusikan inovasi kendaraan hemat energi tersebut.

"Kita menyadari bahwa kebutuhan terhadap bahan bakar minyak itu akan makin besar di masa depan, ketika ekonomi tumbuh, transportasi berkembang, dan keperluan-keperluan lain juga makin meningkat. Sedangkan kita tahu kalau hanya bersandar pada itu kita akan menghadapi banyak kerentanan, bahkan krisis, manakala terjadi gejolak harga minyak mentah dunia seperti yang kita hadapi dewasa ini," Presiden menjelaskan.

SBY mengingatkan, kecanduan sebuah bangsa akan BBM tidak bagus karena merusak lingkungan, menyebabkan perubahan iklim, dan juga implikasi lain.
 "Yang diperlukan sekarang ini adalah suatu kolaborasi secara nasional di bidang research, development, dan nanti production dari apa yang akan kita hadirkan ini," SBY menambahkan. Presiden berharap semua pihak harus terlibat dan mendukung rencana ini.


"Dalam waktu dekat, mudah-mudahan dua bulan mendatang, apa yang kita diskusikan hari ini bisa kita tuangkan dalam suatu rencana strategis apa tujuan, sasaran yang ingin kita capai, roadmap-nya seperti apa, timeline-nya seperti apa," ujar Presiden SBY. (arc-presidensby.info)

SBY: Jangan Ada Perang Terbuka di Selat Hormuz

Indonesia berharap Perserkatan Bangsa Bangsa (PBB) memainkan peran untuk memastikan bahwa krisis di kawasan Selat Hormuz tidak berubah menjadi perang terbuka. Jika perang terjadi, maka harga minyak dunia akan semakin meroket.

”Jangan sampai terjadi perang terbuka di wilayah itu, yang mengakibatkan selat harus ditutup. Hal ini akan berdampak pada negara-negara lain, utamanya terkait harga minyak,” kata Presiden SBY pada bagian lain keterangan persnya bersama Sekjen PBB Ban Ki-moon di Istana Bogor, Selasa (20/3) siang.

Sebelum memberikan keterangan pers bersama, kedua pemimpin melakukan pertemuan bilateral selama satu jam lebih.

"Sekarang saja harga minyak meroket," SBY mengingatkan. "Kita juga berharap Iran, Amerika Serikat, dan Uni Eropa betul-betul melakukan sesuatu tindakan konkret di sana. Jangan sampai dampaknya kemana-mana dan mengganggu stabilitas dan perdamaian dunia," Presiden menambahkan.

Mengenai situasi di Suriah, Ban-Ki-Moon menekankan tiga prioritas. Yaitu, pertama, agar kekerasan segera dihentikan. Kedua, melakukan dialog politik, dan ketiga membuat basis akses untuk bantuan kemanusiaan melalui jalur laut.

Presiden SBY sejalan dengan pemikiran tersebut. Menurut SBY, meskipun kita harus menghormati kedaulatan Suriah, tapi jatuhnya korban sipil tidak boleh dibiarkan terus berlangsung. Mau tidak mau harus ada upaya dunia untuk memastikan bahwa penderitaan manusia segera dihentikan.

"Yang penting dunia harus bersatu. Jangan karena tidak bisa menghasilkan resolusi PBB lantas tidak terjadi apapun di Suriaj," Kepala Negara menegaskan. "Saya harap PBB, Liga Arab termasuk OKI, bersama-sama menghentikan kekerasan yang berlangsung dan dibuka ruang untuk mencari solusi terbaik untuk bangsa Suriah," ujar SBY. (yun-presidensby.info)

Operasi Pengangkatan Kantung Empedu Ibu Ani Berjalan Lancar

Operasi pengangkatan kantung empedu Ibu Negara Hj Ani Bambang Yudhoyono berlangsung lancar dan sukses. Ketua Tim Dokter Kepresidenen Brigjen Aris Wibudi menyampaikan kabar ini di Rumah Sakit Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta, Jumat (16/3) pagi.

"Alhamdulillah pada pukul 08.00 tadi, Ibu Negara telah menjalani operasi pengangkatan kantung empedu beserta batu-batu di dalamnya," kata Aris Wibudi kepada wartawan.

Menurut Aris Wibudi, operasi pengangkatan batu pada kantung empedu tersebut berlangsung selama kurang lebih satu jam dengan menggunakan metode kolesistektomi laparoskopi. Selanjutnya, Ibu Ani membutuhkan waktu beberapa hari untuk pemulihan dan kembali beraktivitas.

Sebelumnya, Juru Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha menjelaskan bahwa tim medis yang menangani Ibu Negara adalah dr Barlian, dr Ponco, dan dr Budiono. Presiden SBY dan keluarga, lanjut Julian, bersyukur operasi medis yang dijalani Ibu Negara berlangsung dengan baik, lancar, dan selamat.

Presiden SBY menyampaikan terima kasih atas perhatian segenap masyarakat terhadap kondisi Ibu Ani. "Terima kasih dari Bapak Presiden atas perhatian, dukungan moril, dan doa dari masyarakat pada saat menjelang dan selesainya oparasi medis, serta doa agar Ibu Negara segera pulih," Julian menambahkan.

Saat menjalani operasi di RSPAD, Ibu Ani didampingi oleh keluarga tercinta, yaitu SBY, kedua putra: Agus Harimurti Yudhoyono dan Edhie Baskoro, serta para menantu: Annisa Pohan dan Aliya Rajasa.

Ibu Ani dirawat di RSPAD sejak Kamis (15/3) kemarin. Sebelumnya, Ibu Ani pernah diraway di tempat yang sama karena demam tifoid atau tifus. (dit-presidensby.info)

Jumat, 16 Maret 2012

Klarifikasi Tentang Pemberitaan "Kepala Suku Besar Asmat Masuk Islam"

Salam jumpa!
Saya teruskan ini kepada sahabat semua untuk diketahui atau diteruskan ke siapa saja yang dianggap penting untuk mengetahuinya.
Bangsa kita harus lebih banyak belajar menggunakan akal sehat (ratio) supaya manusia lebih berpikir differentiatip, kritis dan mampu menempatkan segala sesuatu pada tempat dan konteksnya yang benar; tidak mudah keliru secara naiv, tidak mudah memprovokasi dan terprovokasi, tidak mudah diindoktrinasi; tetapi berpikir indipenden, kritis dan mampu memberikan sumbangan kepada kesejahteraan bersama, ketimbang memelihara keterbelakangan dalam segala bidang.
 
Salam damai.
P. Markus
dari Roma-Vatikan
-----------------------------
 
Nomor : 49.020.00.05
Lamp.  : -
Hal       : Klarifikasi dan Himbauan Pemberitaan :
              “Kepala Suku Besar Asmat Masuk Islam”
  

Kepada Yth.
Pimpinan Majelis Ulama Islam Asmat
Kepala Penyelenggara Islam Kantor Kementrian Agama Kab. Asmat
Di
Agats – Asmat.


Dengan hormat,

Menyimak pemberitaan yang dibuat oleh saudara-saudari muslim lewat media maya (dakwatuna.com; Arrahmah.com) mau pun media cetak (Bantenpost; Republika)  dan elektronik (TVRI) tentang “Kepala Suku Besar Asmat Masuk Islam” sungguh disayangkan karena  tidak benar. Mungkin ada benarnya bahwa ada orang Asmat dari Kampung Per bersama keluarganya sebagaimana diberitakan masuk Islam, tetapi bahwa dia adalah seorang kepala suku besar Asmat sungguh suatu kekeliruan atau kesalahan. Pemberitaan sensasional yang keliru atau salah ini langsung mau pun tidak langsung memiliki dampak religius, social dan kultural dalam kehidupan bersama di Asmat.

Menyadari semua itu maka kami sebagai Uskup Keuskupan Agats yang adalah Pemimpin Tertinggi Gereja Keuskupan Agats – Asmat ingin menyampaikan beberapa klarifikasi dan harapan atau himbauan kepada kita semua khususnya MUI Asmat dan Kepala Penyelenggara Islam Kantor Kementrian Agama Kab. Asmat, demi terciptanya kerukunan, toleransi dan persaudaraan sejati dalam hidup bersama di tanah Asmat ini. Semoga klarifikasi dan himbauan ini menjadi masukan dan pertimbangan yang membantu kita semua dalam membangun komunikasi yang lebih benar dan objektif.


1.        Klarifikasi : “Kepala Suku Besar Asmat”

-          Pengakuan atau gelar Kepala Suku Besar Asmat yang diberikan kepada Sinansius Kayimter (Umar Abdullah Kayimter) tidak benar. Pernyataan atau pemberitaan itu adalah sebuah kebohongan public karena tidak pernah terjadi dan tidak pernah ada dalam kebudayaan suku Asmat sampai dengan saat ini. Gelar kepala suku hanya diberikan, berlaku dan terbatas dalam satu rumpun saja. Kepala suku ini pun bersifat warisan – diturunkan dari leluhur – ayah pada garis lurus dan langsung. Secara structural adat / budaya Asmat, yang ada dan diakui adalah Kepala Perang dan bukan Kepala Suku apalagi Kepala Suku Besar Asmat. Kepala suku itu ada tetapi bersifat local dan terbatas; artinya tidak diakui dan berlaku untuk seluruh Asmat. Untuk saudara Sinansius, ia adalah warga biasa seperti saudara dan saudari lain yang ditinggal di kampung Peer, Distrik Agats. Dalam struktur social dan budaya/adat, dia tidak memiliki posisi, kedudukan atau pun jabatan (kekuasaan) apa pun. Bahwa media kemudian memberitakan dia sebagai Kepala Suku Besar Asmat, adalah bentuk kebohongan belaka.

-          Setelah dicermati dengan saksama dan berdasarkan document resmi gereja Katolik Keuskupan Agats – Asmat, saudara Sinansius Kayimter (Umar Abdullah Kayimter) adalah warga biasa yang lahir di Per tanggal 13 Desember 1962 dan dibaptis dalam Gereja Katolik pada tanggal 31 Januari 1963 di Per oleh Pastor Miller, OSC. Sebagai saksi pembaptisan waktu itu adalah bapak Mikael Apakci. Data kelahiran dan baptisan ini tercatat dalam buku Baptis Paroki Ewer No. LB. IV. 5988, tahun 1963.

-          Perlu diketahui pula bahwa dewasa ini masyarakat mengenal yang namanya ketua LMAA (Lembaga Masyarkat Adat Asmat). LMAA ini diakui bersama baik oleh masyarakat adat maupun pemerintah  yang diketuai oleh Bapak Yuvensius Alvons Biakai, BA. SH. Jabatan ini ia emban sebelum menjadi bupati sampai sekarang ketika ia dipilih dan menjabat sebagai Bupati Asmat dalam periode kedua berjalan.

-          Kami sangat menyesal dan menyayangkan berita yang sensasional itu. Berita ini hemat kami sangat tendensius dan provokatif, dimana dengan mengatakan bahwa Kepala Suku Besar Asmat masuk Islam seolah-olah semua orang Asmat telah masuk atau menjadi islam. Kami mau mengatakan bahwa berita soal Sinansius dan keluarganya menjadi Islam mungkin benar tetapi bahwa dia seorang Kepala Suku Besar Asmat adalah suatu yang tidak benar, tidak objektif dan merupakan suatu kebohongan public yang direkayasa oleh orang tertentu, kelompok tertentu dan media yang memberitakannya.

-          Tanpa kita sadari bahwa dampak dari pemberitaan yang tidak objektif ini dapat menciptakan keresahan dan konflik internal – konflik saudara – konflik keluarga antara masyarakat di kampung Per maupun kampung lain yang ada di Asmat ini.

2.      Himbauan Bersama

-          Kami mengharapkan agar pimpinan MUI dan Ketua Penyelenggara Agama Islam di Kantor Kementrian Agama Islam Kab. Asmat bisa meneruskan dan mengklarifikasi berita ini kepada sumber-sumber media on line sebagaimana beberapa Website dan Koran yang telah membuat pemberitaan yang tidak benar itu. Intinya bahwa Sinansius Kayimter (Umar Abdullah Kayimter) yang telah menjadi islam setelah melalui upacara pengukuhan pada tanggal 19 Pebruari 2012 di Masjid Darussalam, Jati Bening – Bekasi, Jawa Barat dengan didampingi oleh ustadz Fadhlan Garamatan dan Imam Masjid Istiqlal – Ali Hanayiah, sesungguhnya bukan Kepala Suku Besar Asmat. Yang bersangkutan hanyalah masyarakat biasa di kampung Per distrik Agats, Kabupaten Asmat.

-          Kami meminta kepada saudara-saudari muslimin dan muslimah agar tetap menjaga toleransi, kerukunan dan persaudaraan antara umat beragama dan masyarakat di Asmat dengan menyampaikan, menyiarkan, mengajarkan, memberitakan segala sesuatu dan khususnya berkaitan dengan agama atau iman kepercayaan yang bersentuhan dengan agama atau kepercayaan lain secara objektif dan akurat. Jangan kita hanya menyebarkan berita bersifat isapan jempol, sensasional dan tendensius yang bisa berdampak pada disharmonitas dan konflik sosial di kalangan masyarakat Asmat dan Papua pada umumnya.

-          Perlu diketahui dan disadari bersama bahwa semua masyarakat di Asmat telah memiliki iman dan menganut agama atau kepercayaan tertentu (tidak ada yang khafir). Untuk itu mari kita saling menghargai dan mendukung satu sama lain dalam ranah hidup bersama dengan  semangat persaudaraan dan toleransi.

Demikian klarifikasi dan himbauan dari kami Uskup Keuskupan Agats (Pemimpin Gereja Katolik Agats-Asmat) semoga dapat menjadi masukan dan pertimbangan bagi kita semua. Atas perhatian dan tanggapan baik dari semua pihak saya sampaikan banyak terima kasih.

Agats, 9 Maret 2012

Hormat kami,




 Mgr. Aloysius Murwito, OFM
Uskup Keuskupan Agats

Tembusan kepada Yth.

1.       Bupati Kab. Asmat di Agats
2.       Sekda Kab. Asmat di Agats
3.       Ketua DPRD Kab. Asmat di Agats 
4.       Kepala Kantor Kementrian Agama Asmat di Agats
5.       Kepala Kantor Kesbang Asmat di Agats
6.       Ketua  LMAA di Agats
7.       Kapolres Asmat di Agats
8.       Periwira Penghubung Kodim Asmat di Agats
9.       Umat Paroki Ewer (Ewer, Yepem, Peer, Uwus)
10.     Gereja-gereja Kristen di Asmat
11.     Para Pastor se-Keuskupan Agats-Asmat di Agats
12.     File


Rabu, 14 Maret 2012

Paus Di Cuba, Suatu Misi Cinta Kasih


Mendahului kunjungan Paus Benediktus XVI pada 23-29 Maret di Meksiko dan Cuba, Presiden Konferensi Para Uskup Cuba menyampaikan refleksinya mengenai makna kunjungan ini bagi Gereja dan Negara. Dalam sebuah surat di website yang dikirimkan kepada para Uskup Amerika Serikat, Uskup Dionisio Garcia Ibáñez dari Santiago,  menjelaskan bahwa kunjungan ini menjadi topik utama dalam media internasional. Bapa Suci direncanakan akan bertemu dengan Presiden Cuba, Presiden Raul Castro  dan   Otoritas Gereja Katolik di Cuba.
Ini merupakan suatu tahun yubileum yang menandai 400 tahun perayaan  perjumpaan  Gereja dan Negara dipertemukan dalam gambaran Bunda Cinta Kasih kita, secara local dikenal sebagai Virgin del Cobre. Ini menjadi misi Bapa Suci sebagai batu penjuru dan penyokong kaum beriman dalam perjalanan menuju Kristus”,  mendorong iman mereka, menguatkan harapan mereka, menyokong mereka dalam cinta kasih. Kenyataan patung ajaib Perawan Maria sangat dekat dengan Paus, karena itu Paus Benediktus XVI yang  dalam tahun 1916 mengumumkan mencintai Perawan Cinta Kasih sebagai pelindung Cuba. Perawan itu adalah pusat devosi dan tidak hanya bagi orang Katolik. Sebuah rumah dalam Basilika dekat kota El Cobre, di luar Santiago, menjadi tempat atau simbolis  penting dan suci bagi kaum religius.  Simbol tersebut ditemukan tahun 1608 oleh dua orang Indian yang bertemu di pinggir pantai. Mereka menunjukkan patung kecil Perawan Maria yang menggendong Kristus kecil dengan Salib emas, terapung di atas sebuah perahu menjadi seperti sebuah prasasti bertuliskan, Yo soy la Virgen de la Caridad (Akulah Perawan Cinta Kasih). Uskup Garcia Ibáñez mengatakan kepada orang Cuba, sabda Cinta Kasih “memiliki makna yang besar dan indah”. Simbol Perawan, “adalah Simbol orang Cuba (menyangkut segala sesuatu tentang orang Cuba) yang bersatu, simbol kesatuan masyarakat Cuba, baik yang beriman  maupun yang tidak beriman; cinta kasih, adalah nilai yang mampu menjadikan masyarakat Cuba sebagai saudara dan saudari bagi sesamanya. Itulah mengapa Bapa Suci mengunjungi Cuba. Para uskup tidak mengambil keuntungan dari kunjungan ini, Bapa Suci sendiri diundang oleh pemerintah dan masyarakat. Kunjungan ini juga memiliki makna pastoral. Terutama mengenai hubungan antara Gereja dengan Negara.(Anthoni Primus-Suara Maumere)

Berawal dari Hutang

Kisah Nyata Seorang  Penjaja Seks Bebas
  
            Lia Permatasari, demikian wanita asal Solo ini disebut, terlihat duduk merenung dengan wajah gundah-gulana, diam membisu di sudut taman. Dua  tahun mendekam di sebuah panti rehabilitasi penanggulangan HIV AIDS di Surabaya, telah mengubah hidupnya yang sebelumnya suram menjadi kian baik. Sekurang-kurangnya ia semakin berkembang dalam kesadaran akan jati dirinya sebagai seorang wanita, ibu dari seorang gadis kecil berusia 2 tahun.

Ketika aku mencoba menemuinya, ia terkejut dan merasa minder ingin menjauh. Kehadiranku seperti mengingatkannya pada masa lalu hidupnya. Konon ia pernah dijauhi dan dianggap sampah” oleh masyarakat sekitar tempatnya karena positif mengidap penyakit HIV  AIDS.  Setelah mendapat penjelasan Petugas Medis dari panti tersebut, wanita paru  baya berusia 28 tahun ini pun perlahan berubah ramah menerima kehadiranku. Sekali-sekali senyum di wajahnya mengembang dan terlihat begitu tenang menyapaku serta menjawabi pertanyaan-pertanyaanku.
            Sudah menjadi konsumsi publik bahwa setiap penderita HIV AIDS sering mendapat „cap“ sebagai orang yang tidak bernilai atau ternoda karena menjadi „aib“ bagi orang-orang di sekitarnya, khususnya keluarga sendiri. HIV AIDS pada umumnya berkembang di kalangan  para pelaku seks bebas. Spesifiknya penderita HIV AIDS sering diidentikan dengan para „penjaja“ seks bebas. Umumnya situasi ini dipicu oleh sulitnya memenuhi kebutuhan finansial dalam tata kelola kehidupan serta ada yang jadi korban perdagangan wanita.  Situasi ekonomi yang serba sulit telah menyeret seorang Lia, sapaan akrab Lia Permatasari  untuk terjun dalam “dunia malam” kota Surabaya. Bermodalkan kecantikan dan tubuh yang proporsional, wanita yang memiliki wajah oriental ini kerap mendapatkan banyak pelanggan yang sebagian besar adalah orang-orang tua alias “om-om”.

Terjerat Hutang
            Berapa tahun menekuni dunia malam? Tanyaku membuka pembicaraan. Tiga tahun aku menjalani hidup sebagai pekerja seks. Semua itu aku lakukan karena kesulitan finansial. Pada saat itu aku terperangkap dalam banyak hutang yang harus dibayar. Ketika itu Aku telah memiliki suami dan seorang anak perempuan yang masih kecil, namun karena hutang itu, suamiku pergi meninggalkan aku. Sebelumnya aku bekerja di sebuah toko kosmetik di Surabaya, namun penghasilanku belum mencukupi untuk melunasi hutang. Aku terpaksa memilih jalan menjadi pekerja seks demi menyambung hidup aku dan anakku yang masih kecil. Keluargaku tidak mengetahui kalau aku bekerja “memperdagangkan tubuhku”. Mereka hanya tahu bahwa aku masih bekerja di salah satu toko kosmetik Surabaya.
Ada kalanya Aku juga berpikir untuk meninggalkan “dunia malam” ini jika semua hutangku sudah terbayarkan. Terkadang aku juga berkecil hati dan merasa menyesal ketika melakoni semua aktivitas seks bebas dengan melayani ‘om-om” yang membutuhkan kesenangan seksual. Tetapi apa arti penyesalan itu dibandingkan dengan hutang yang harus aku bayar? Ungkap Lia dengan nada memelas.
            Selama melakoni dunia malam, aku belajar bagaimana menjadi orang yang sabar. Aku sadar Tuhan tentu marah dan melihat semuanya, namun aku tidak dapat berbuat apa-apa selain memuaskan nafsu “om-om” yang menikmati tubuhku demi menyelesaikan hutang-hutangku. Pernah aku menangis, namun mengingat anakku satu-satunya membuat aku semakin tegar menjalani semua itu. Seru Lia sambil menunjukkan foto seorang anak kecil yang cantik sedang tersenyum dalam kamera Handphone-nya. “ini anak aku, masih kecil dan cantik” katanya.

Anakku tinggal dengan ibuku di Solo, dan aku sering menelpon ketika aku merindukannya. Aku selalu berharap anakku kelak tidak mengalami hidup sebagaimana aku alami. Aku tidak ingin ia tahu betapa terpuruknya ibunya. Itulah sebabnya aku ingin sekali membangun suatu hidup baru di kemudian hari setelah semua ini berakhir. Aku merasa sangat bersalah dan tidak berdaya. Dalam situasi batin demikian aku pun menyempatkan diri untuk berdoa kepada Tuhan atas semua yang aku jalani. Aku menyadari sungguh bahwa jalan yang telah aku ambil bukanlah jalan terbaik dalam sejarah hidupku. Pungkas wanita berambut panjang tersebut sambil menundukkan kepala mengisyaratkan penyesalan yang sangat mendalam. Sejenak air matanya jatuh membasahi raut wajahnya yang kusam.

Hari Esok adalah Harapan
            Mendekam di panti rehabilitasi HIV AIDS tidak membuat wanita muda ini merasa terpenjara. Di sini ia mendapat kesempatan untuk mengekspresikan dirinya, mengungkapkan isi hatinya yang terdalam akan suatu situasi kehidupan yang dialaminya. Banyak sahabat dan kenalan yang senasib dengannya, sehingga ia dapat berbagi suka dan duka bersama mereka. Semangat hidupnya semakin terus diasah dan diperdalam dengan berbagai aktivitas hidup. Berangsur-angsur Lia Permatasari diajak untuk menyadari bahwa masih ada hari esok untuk memulai sesuatu yang baru, memulai suatu yang jauh lebih baik. Dengan berpegang pada prinsip “hari esok adalah harapan“, Lia berusaha membangkitkan dalam dirinya berbagai cita-cita dan impian. Khususnya ia ingin fokuskan dirinya dan hidupnya bagi tumbuh kembang putri kesayangannya. Rasa penyesalan yang besar sering menyelimuti batinnya, namun penyesalan tiada berarti tanpa usaha untuk mau kembali di jalan yang benar. Oleh karena itulah, wanita cantik ini  menanamkan niat sucinya untuk bangkit dari situasi terpuruk ini.
            Bermacam-macam perasaan berkecamuk dalam pikiran dan perasaan Lia. Terutama perasaan tidak berguna dan kehilangan arti hidup yang paling mendasar. Untuk mengatasi perasaan-perasaan tersebut, pihak panti rehabilitasi mencanangkan aneka kegiatan yang bermanfaat untuk  membangkitkan semangat hidup yang telah hampa. Di Panti rehabilitasi ini, Lia selalu disibukKan dengan aneka kegiatan yang berguna bagi kehidupan, seperti bhakti sosial. Kegiatan di sini membuat aku merasa berguna bagi sesama.

Aku tidak lagi harus minder dan takut dengan segala cemoohan, sebab aku sadar bahwa semua itu adalah  cara lain orang men-support hidupku untuk menjadi lebih baik. Aku bersyukur dapat memperoleh kesempatan untuk membaharui hidupku hingga saat ini. Keluargaku belum tahu aku berada di sini. Suatu waktu nanti aku akan tunjukkan kepada mereka bahwa aku mampu menjadi yang terbaik bagi mereka. Tegas Lia penuh keyakinan.
            Menyinggung peran keluarga, Lia berpesan bahwa lingkungan yang paling menentukan perkembangan dan kejatuhan hidup kita ialah keluarga. Terkadang keluarga juga sering mengabaikan kita, untuk itu kita tidak boleh menyerah, sebelum akhirnya kita harus berhadapan dengan situasi-situasi tersulit dalam mengambil keputusan. Setiap keputusan mengandung konsekuensi yang tidak kecil, tetapi kita tetap harus memilih jalan apa saja pun dalam situasi keterpurukan. Banyak sekali kisah hidupku yang bisa aku share, namun nanti waktunya tidak cukup. Aku harus segera kembali untuk melanjutkan kegiatanku. Terima kasih telah mendengarkan kisahku. Tutup Lia sambil menyodorkan tangannya menjabat tanganku. (Grantes-Suara Maumere)

Jumat, 09 Maret 2012

Meksiko Menantikan Penuh Harap Paus Benediktus XVI


Paus Benediktus XVI akan mengunjungi Meksiko pada tanggal 23-26 Maret. Itu adalah kunjungan pertamanya ke Negara tersebut setelah Paus Paulus II 5 kali mengunjungi Meksiko. Kunjungan ini juga merupakan salah satu Negara pertama yang dikunjungi dalam perjalanannya ke Amerika Latin. Paus akan mengunjungi Cuba setelah 3 hari meninggalkan Meksiko.

Nuntius Apostolik Meksiko, Uskup Christophe Pierre mengatakan kepada Radio Vatikan bahwa warga Negara tersebut sangat  menantikan  kunjungan  tersebut. “Saya pikir kunjungan Paus Menediktus XVI di Meksiko, dipandang oleh masyarakat sebagai suatu tanda pengharapan”, orang Meksiko sangat religious, dengan pengalaman rohani yang mendalam tentang Allah, tentang Maria, Ibu Yesus. Suatu pengalaman yang penuh makna bagi seorang anggota Gereja. Pengalaman religious ini, atau pengalaman katolik, merupakan bagian hidup yang paling penting dalam kehidupan orang Meksiko.

Dia mengungkapkan bahwa orang Meksiko melihat Paus sebagai pesan Iman, harapan dan damai. “khususnya hari ini ketika Meksiko menghadapi pengalaman-pengalaman sulit – kekerasan, kemiskinan, kesulitan dengan migrasi. Dia berkata, “saya piker kunjungan ini menjadi sesuatu yang akan membantu kami melewati pengalaman-pengalaman sulit, dan mengembalikan kekuatan iman kami dalam Kristus serta rasa memiliki Gereja”. (Anthoni Primus/Radio Vatikan)

Perayaan Pentahbisan Tiga Belas Diakon di Keuskupan Malang

 Yesus berkata: “Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. Karena itu mintalah kepada Tuan yang empunya tuaian, supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu (Luk 10:2).”

Malang, Setelah menjalani retret kurang lebih selama satu minggu yakni mulai tanggal 9-14 Februari 2012, tiga belas frater berani dan siap memilih pilihan hidup yang radikal yakni ditahbiskan untuk menjadi diakon. Perayaan pentahbisan  diakon  diadakan pada tanggal 16 Februari 2012 di Gereja Katedral Keuskupan Malang.

    Dari tiga belas diakon yang ditahbiskan,   empat   diakon   berasal   dari  Kongregasi  Serikat Sabda Allah (SVD) yakni Diakon Agustinus Hartiman, SVD, Diakon Agustinus Sumaryono, SVD, Diakon Fransiskus Heru Kurniawan, SVD, Diakon Blasius Bedasius Bene, SVD. Lima diakon berasal dari Ordo Karmel yaitu Diakon Lamtarida Simbolon, O.Carm, Diakon Roberto Hasudungan Sianturi, O.Carm, Diakon Teguh Puspito Yudo, O.Carm, Diakon Alfonsus Manik, O.Carm, Diakon Samuel Situmorang, O.Carm. Tiga diakon berasal dari Kongregasi Misi yaitu Diakon Mistrianto, CM, Diakon Aloysius Bulu Lero, CM, Diakon Hendrikus, CM. Salah seorang Diakon lain berasal dari Keuskupan Denpasar, Bali, yaitu Diakon Alfonsius Kolo, Pr.

    Perayaan pentahbisan diakon  dipimpin langsung oleh Uskup Malang, Mgr. Herman Yosef Pandoyoputro,O.Carm dan didampingi oleh dua imam utusan dari Ordo Karmel dan Kongregasi Serikat Sabda Allah. Dalam perayaan pentahbisan hadir juga para imam yang berkarya di Keuskupan   Malang,  para   biarawan-biarawati beserta umat.

    Dalam kotbahnya, uskup menghimbau para diakon yang baru ditahbiskan untuk tidak mudah putus asa di tengah tantangan yang akan mereka hadapi sebab Tuhan pasti menemani mereka dalam pelayanan.

    Terima kasih kepada semua orang yang berdoa bagi para  diakon yang baru ditahbiskan sehingga Yesus  mengirim  mereka untuk menjadi pelayan bagi umat-Nya. Sebagaimana diperintahkan oleh Yesus dalam Injil (Luk 10:2), ke sepuluh   diakon siap untuk menjadi pekerja-pekerja di ladang Tuhan. Mereka hadir untuk menuai panenan yang banyak.

    Selamat berjuang buat para diakon yang baru ditahbiskan. Kami selalu mendoakan kalian. Tuhan memberkati. (Laporan Frater Joni)

Fasting: Hold firmly toward resurrection

Fasting has always been an integral element of the spirituality of religions, including Christianity. Through fasting, a Christian is making an extraordinary experience of renouncing himself, being in harmony with God and others, and being ready to follow God’s commandments.

In Christianity fasting refers to the Greek word nestewo, meaning “not eating”. The Latin translation ieiunium is similar to the Greek version, which means empty, referring to the stomach.

In the third century, the Goths (ancient Germanic people) used the word fastan which became fasten. Prior to takeoff, each plane passenger must “fasten their seat belt”. This means “hold yourself firm in your seat to prevent an accident”. You will be safe if you hold firm.

The Christian Lent is a 40-day period, which begins on Ash Wednesday and ends on Easter night. Mathematically, it is a total of 46 days, but on the six Sundays one is not expected to fast. This corresponds to the 40-day fasting of Jesus in the desert. Before the Synod of Benevento, Italy, in 1091, the days of fasting included Sundays.

Sundays are not included in the fasting days due to the fact that on Sunday, Christians around the world celebrate the memorial of the Resurrection of the Lord Jesus Christ in the Eucharist, which is the key event of God’s salvation work in human life. This joyful remembrance, therefore, cannot be suited to fasting (see Tertullian, De Corona, 3,3B).

During the time of fasting, Christians try intentionally to meditate on and internalize the passion of Christ through the intense celebration of the Way of Cross in the church.

This liturgical practice is represented practically by fasting, avoiding meats, alcohol and rich meals on Wednesday as remembrance of the day of the capture of Jesus in the garden of Gethsemane, and on Friday due to the death of Jesus in Golgotha. Meats and alcohol are prohibited due to their festive character which is not in the line with fasting.

Nowadays, fasting among Christians has a broader scope along with greater awareness regarding environment and health. There are both single and collective initiatives such as car-fasting, Internet-fasting, TV-fasting, etc. Yet, such initiatives must be purified and clearly oriented spiritually in order not to lose its character that is based on the passion of Jesus Christ.

The call for repentance on Ash Wednesday refers also to the situation of human beings: “For dust you are and to dust you shall return”. Heaven is the eternal destination. Therefore, direct your life towards eternity.

Fasting means not only repentance, but also prayer and almsgiving. Prayer is the opening of hearts and almsgiving is the expression of sincere solidarity with those in need out of love for how God loved the world.

In the Old Testament, the Prophet Moses fasted 40 days and 40 nights on Mount Sinai, before he received the revelation of the Ten Commandments. The Prophet Daniel fasted prior to his great visions. The Israelis fasted in order to acquire the willingness to listen to God and to be guided by His words. Fasting enabled them to listen to God and receive his revelation.

The 40-day fasting of Jesus in the desert in The New Testament gave him a special and divine authorization to start his mission to the public in Galilee by appealing to repentance. The long period of abstinence made him able to recognize the temptation of Satan, who was misusing the Biblical verses.

Through fasting, Jesus reiterated that human beings live not on bread alone but on every word that comes from the mouth of God. Bread, symbolizing secular goods, could lead human beings to glorify materialism and to forget God.

The word of God, on the other hand, is spiritual food and an eternal guarantee for the faithful on the pilgrimage towards eternal life. “Sky and earth will pass away, but my words will never pass away.”

Christian fasting appears similar to saum/siyam of the Muslims during the month of Ramadan: in order to bring the mu’minan (the believers) closer to Allah and to be ready to receive the revelation of the Koran on the night of power (laylat al-qadr). The Christian journey of 40 days of abstinence, meditating on the passion of Christ in order to receive the resurrected Jesus on Easter Sunday, has an awe and sobriety expressed through “not eating” and “holding firm”.

Although being different in respective rules and practices, both Christianity and Islam emphasize the same internal, spiritual purpose of fasting which is being firm on the path of God, being closer to Him in order to acknowledge him through the revelation in His Words, to hear His voice and to internalize His commandments. This must be done along with prayers and social charity for the poor.

The Bible tells the story of the fall of Adam and Eve into sin due to a lack of abstinence. They disobeyed the commandment of God and acted following their own desires and decisions, thus abusing free will. But fasting reminds Christians of hope in the compassion and mercifulness of God to bring weak human beings to new life in Jesus Christ.

Jesus prepares a meal for his disciples to break the fast since his death. All is now at an end and a royal meal, in which Jesus becomes as servant, begins.

This is the new attitude in the spirit of resurrection: “Anyone who wants to become great among you must be your servant”.

Jesus shows a new value to fasting in the context of resurrection: It is also about hospitality and our relationship to each other.

Whoever wants to be great and honored, must serve others in love and justice. God himself will be there if we are each other’s hosts and guests, as he will be when all fasting ends in His Kingdom.

The writer works at the Pontifical Council for Interreligious Dialogue, Desk Asia, at the Holy See,
in the Vatican.
Markus Solo Kewuta, Vatican City | Fri, 03/09/2012 8:42 AM


Kemah Srawung Pramuka Yayasan Karmel

Dalam rangka menindaklanjuti ajakan Presiden Republik Indonesia tentang revitalisasi Gerakan Pramuka, Undang-Undang RI No. 12 tahun 2010  tentang   Gerakan Pramuka, dan Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang membahas pentingnya mengembangkan potensi peserta didik, maka Yayasan Karmel Malang mengadakan “Kemah Srawung Pramuka” beberapa minggu lalu di  Lapangan Rindam V Brawijaya, Lawang, Malang. Kegiatan ini diikuti oleh siswa-siswi TK, SD, SMP, SMA, dan SMK Yayasan Karmel Keuskupan Malang (se-Jawa Timur bagian timur plus Madura) serta dihadiri oleh Bapa Uskup, Mgr. HJS. Pandoyoputro, O.Carm. dan Para Pejabat Gereja Keuskupan Malang, Bupati Malang,  Komandan Kodim Brawijaya, Kapolres, dan Para Ketua Yayasan  Penyelenggara Pendidikan Se-Jawa Timur.

Penyelenggaraan “Kemah Srawung Pramuka” Yayasan Karmel ini dimaksudkan untuk mewujudnyatakan visi-misi Yayasan Karmel dalam pembentukan tata kehidupan bersama yang berbudaya berdasarkan kasih dan peduli pada yang miskin. Kecuali memiliki tujuan ke depan yang terus berkesinambungan dalam membangun dan mengembangkan karakter insan Karmel sebagai bagian dari pewaris budaya bangsa, kegiatan ini juga diselenggarakan sebagai ucapan syukur kepada Tuhan yang telah membimbing dan mendampingi Yayasan Karmel selama 86 tahun berkarya di Indonesia.
    Yayasan Karmel sebagai lembaga sosial dan lembaga penyelenggara pendidikan Keuskupan Malang memandang kegiatan kepramukaan ini sangat penting. Selain sebagai bagian integral pendidikan, kegiatan ini juga merupakan salah satu pilar utama bagi pengembangan watak dan potensi peserta didik.
    Secara empiris, sejak diundangkannya Undang-Undang RI No.20 tahun 2003 yang mensyaratkan hasil kelulusan peserta didik dengan standar pencapaian nilai tertentu yang harus terpenuhi, maka arah pendidikan di Indonesia menjadi semakin didominasi pada upaya pendidikan kognitif. Dengan demikian, rumusan tersebut tidak mampu memenuhi tujuan utama pendidikan yang dimaksudkan untuk pembentukan   manusia  seutuhnya,  yang  sesungguhnya bukan hanya untuk pengembangan kognitif melainkan juga untuk mewadahi aspek afektif dan psikomotor.  Dampak dari sistem pendidikan demikian dipandang  sangat  besar  terhadap  fenomena perilaku insan-insan lulusannya. “Produk” Para lulusan dari sistem tersebut memang diakui memiliki kecakapan kognitif yang cukup memadahi, namun kecapakan afektif dan psikomotorik yang juga menyangkut kecerdasan EQ dan SQ sangat kurang. Dampak lain dalam kehidupan nyata sangat jelas dapat  dilihat  dari   banyaknya  fenomena di masyarakat,   antara  lain  banyaknya  generasi muda cerdas yang kurang memiliki empati, banyak pejabat muda cerdas yang terjaring Komisi Pemberantasan Korupsi, dsb.
    Bagaimanapun harus diakui pula bahwa hasil pencapaian dari suatu upaya tertentu tidak pernah lepas dari proses yang telah dijalani. Artinya, bahwa karakter yang terbentuk pada anak tidaklah pernah lepas dari proses “pengalaman pendidikan” yang telah dijalaninya. Bahwa watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk merupakan hasil internalisasi dari beragam pengalaman hidup, kebajikan yang diyakini, cara pandang, yang kemudian diterapkan dalam sikap dan tindakan hidupnya. Dalam kerangka pikir ini, Yayasan Karmel sebagai lembaga penyelenggara pendidikan sangat menyadari peranannya yang juga turut memiliki kewajiban dalam pembentukan karakter anak bangsa yang menjadi siswa-siswi didiknya. Dengan demikian dapat ditegaskan pula bahwa apa yang menjadi Kepedulian masyarakat dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa juga telah menjadi kepedulian Yayasan Karmel.
    Berdasarkan pengalaman selama 86 tahun berkecimpung dalam dunia pendidikan, Yayasan Karmel berkeyakinan bahwa pola pendidikan yang tepat bukanlah sebatas pada upaya peningkatan kecerdasan kognitif - pada upaya pencapaian nilai tinggi yang dalam praktiknya sering disalahartikan dengan adanya upaya rekayasa dalam pemberian nilai yang tidak sesuai dengan kemampuan peserta didik yang sebenarnya masih dibawah standar, pembentukan “tim sukses” dari penyelenggara pendidikan untuk mencapai kelulusan 100%, dsb. Melainkan juga harus memperhatikan proses pengembangan kecerdasan afektif dan psikomotor peserta didik.
    Meskipun secara konseptual Pemerintah juga telah berupaya membangun karakter anak bangsa dengan diadakannya RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) berkarakter di sekolah-sekolah. Namun pada tingkat penyelenggaraannya di sekolah, konsep tersebut sangat sulit diaplikasikan karena harus berbenturan dengan tuntutan pencapaian standar nilai tinggi yang juga harus menjadi fokus utama dari para pendidik dan peserta didik. Singkatnya, RPP tersebut menjadi tidak aplikatif lagi. Namun demikian, Yayasan Karmel yang juga harus menyesuaikan proses pendidikan dengan program pemerintah, berupaya untuk tetap mengikuti aturan tersebut sambil mencari alternatif lain dalam proses pengembangan watak dan potensi peserta didik.
    Oleh karena itu, Yayasan Karmel bersamaan dengan Hari Ulang Tahunnya yang ke-86, bertekad untuk mewujudkan cita-cita  luhurnya   dalam  upaya  pembangunan anak bangsa seutuhnya tersebut dengan membangkitkan kembali semangat kepramukaan yang dipandang baik dalam menunjang upaya pembentukan kecerdasan afektif dan psikomotorik peserta didik. Dengan demikian, Kemah Srawung Pramuka ini merupakan salah satu bentuk dari upaya Yayasan Karmel untuk mengembangkan pendidikan budaya dan karakter peserta didik yang kemudian akan terus dilanjutkan secara berkesinambungan oleh masing-masing sekolah pada masa-masa mendatang dalam bentuk kegiatan  wajib  sekolah  sebagai bagian dari kurikulum tetap Yayasan. Sehingga menjadi semakin jelaslah bahwa tujuan   utama  dari  penyelenggaraan  kegiatan “Kemah Srawung Pramuka Yayasan Karmel” ini adalah guna membangkitkan kembali semangat kepramukaan dan secara konsisten untuk membangun karakter anak bangsa menjadi pribadi-pribadi yang lebih religius, jujur, toleran, disiplin, mau bekerja keras, kreatif, mandiri, memiliki semangat kebangsaan yang tinggi dan cinta tanah air, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan gemar membaca, menghargai prestasi dan pengetahuan, demokratis, bersahabat, cinta damai, peduli sosial dan menghargai perbedaan dengan semangat kasih, peduli lingkungan dan memiliki tanggung  jawab yang tinggi. Akhirnya, semoga kegiatan kepramukaan ini menjadi awal yang baik bagi perwujudan seluruh cita-cita luhur tersebut.***(Laporan Diego W)