Sabtu, 28 Juli 2012

Nostalgia Paus Benediktus XVI di Nemi

Hari ini, 9 Juli 2012, Sri Paus Bendiktus XVI, yang sejak Selasa minggu lalu, berdomisili di Castel Gandolfo, residen Musim Panasnya, sekitar 80an kilometer ke arah gunung, di pelataran Roma, menyempatkan diri untuk mengunjungi Rumah Ad Gentes Serikat Sabda Allah (SVD). Nemi terletak tidak jauh dari Castel Gandolfo.
 
Sejak pertengahan Juni, SVD mengadakan Kapitel Jenderal di rumah Ad Gentes ini hingga beberapa saat lalu memilih Superior Jenderal baru, P. Heinz Kulüke, 56 tahun asal Jerman yang hingga sekarang bertugas di Philippina Selatan. 
 
Rumah Ad Gentes SVD Nemi menjadi penting karena semasa Konsili Vatikan II, Sri Paus Benediktus XVI, yang saat itu Josef Ratzinger, seorang teolog muda, diundang untuk menjadi penasihat perihal teologi selama Konsili, tepatnya dari tgl. 29 Maret sampai 3 April 1965 menarik diri ke rumah ini untuk berdiskusi intensip menyiapkan lahirnya Dekret Ad Gentes, sebuah Dokumen Konsili Vatikan II tentang Misi. 
 
Menjelang penutupan Kapitel SVD ke-17 ini, pimpinan SVD lama dan baru mengundang Sri Paus untuk memberkati rumah baru Ad Gentes dan memohon untuk memberkati jajaran pimpinan baru SVD dan semua peserta Kapitel yang berasal dari lima benua. 
 
Hari ini, dari pkl. 11.40 - 12.15 Sri Paus diterima oleh sekitar 250 anggota SVD, terdiri dari para Kapitularis lima benua, anggota2 tiga Komunitas di Roma dan para sahabat dekat. 

Saya sertakan di sini Sambutan lisan Sri Paus dalam bahasa Indonesia, saya terjemahkan dari naskah asli bahasa Italia. Mungkin berguna.

_________________________________________________________________________________

SAMBUTAN LISAN SRI PAUS BENEDIKTUS XVI DI NEMI
09 Juli 2012
 
Diterjemahkan dari naskah asli bahasa Italia oleh P. Markus Solo, SVD, Roma
 
„Saya benar-benar bersyukur atas kesempatan untuk boleh melihat rumah di Nemi ini sekali lagi, setelah 47 tahun. Saya memiliki kenangan indah tentang rumah ini, mungkin yang paling mengesankan dari Konsili secara keseluruhan. Saat itu saya tinggal di pusat kota Roma, di Collegio Santa Maria dell'Anima dengan segala kebisingan. Ini juga bagus, tetapi tinggal di sini, dikelilingi oleh tanaman hijau, memiliki nafas alam, udara segar, itu sendiri merupakan hal yang indah. Juga saya boleh bergabung dengan para teolog besar, dengan tugas yang begitu penting dan indah untuk mempersiapkan sebuah Dekrit tentang Misi.
 
Pertama-tama, saya ingat, Superior Jenderal saat itu, Pater Schütte, yang telah menderita di Cina, telah dihukum, lalu diusir: dia penuh semangat misionaris, kebutuhan untuk memberikan dorongan baru dengan semangat misionaris dan mengundang saya - seorang teolog yang sangat muda yang tidak penting - saya tidak tahu mengapa, tapi itu adalah sebuah hadiah besar bagi saya. Lalu ada Fulton Sheen yang menakjubkan kami di malam hari dengan pembicaraannya; Pater Congar [Kardinal Ordo Dominikan dan teolog terkemuka], para misiolog besar Louvain, dan sebagainya. Bagi saya, itu adalah sebuah kekayaan rohani, sebuah karunia yang besar.
Ad Gentes adalah sebuah Dekrit tanpa kontroversi besar. Ada kontroversi ini bahwa saya tidak pernah benar-benar mengerti antara sekolah Louvain dan Münster: apakah tujuan utama dari misi adalah implantatio Ecclesiae atau annuntio Evangelii? Tapi semuanya bermuara pada sebuah dinamika yakni satu kebutuhan untuk membawa terang Firman Tuhan, cahaya kasih Allah kepada dunia dan memberikan sukacita baru untuk pewartaan Kabar ini.
Jadi, pada hari-hari itu lahir sebuah Dekrit yang baik dan indah, hampir diterima secara bulat oleh semua Bapa Konsili dan yang, bagi saya, juga merupakan pelengkap yang sangat baik untuk dokumen Lumen Gentium, dalam mana kita menemukanEklesiologi Trinitarian, yang terutama berangkat dari ide klasik yakni: bonum diffusivum sivi sui, artinya: kebaikan memiliki kebutuhan inheren untuk mengkomunikasikan diri, memberikan dirinya sendiri, dia tidak dapat tetap mandiri; hal yang baik atau kebaikan itu sendiri pada dasarnya adalah communicatio. Dan itu sudah muncul dalam Misteri Trinitas dalam Allah dan dalam sejarah keselamatan dan kebutuhan kita untuk memberikan yang baik/kebaikan yang kita terima kepada orang lain.
Jadi, dengan memori ini saya sering mengenang hari-hari itu di Nemi, seperti yang saya katakan, adalah bagian penting dari Konsili untuk saya. Dan saya senang melihat bahwa Serikat Anda berkembang – Pater Superior Jenderal barusan menyinggung bahwa Serikat ini memiliki enam ribu-an anggota tersebar di banyak negara, berasal dari berbagai negara. Jelas bahwa dinamka misionaris tetap hidup, dan dia hanya hidup jika ada sukacita akan Injil, jika kita mengalami yang baik yang datang dari  Allah dan hal yang baik itu harus mengkomunikasikan dirinya sendiri. Terima kasih untuk dinamisme ini. 
Saya memohon berkat Tuhan untuk Kapitel ini dan juga memohon banyak inspirasi: semoga kekuatan yang sama, daya inspirasi dari Roh Kudus yang sama yang hampir tampak menemani kami selama hari-hari (di Nemi) itu, juga hadir lagi di antara Anda dan membantu Anda menemukan jalan Anda, baik untuk Serikat maupun untuk Misi Ad gentes tahun-tahun mendatang.Terima kasih kepada Anda semua, Tuhan memberkati Anda. Berdoalah bagi saya, seperti saya juga berdoa untuk Anda. Terima kasih!“ (P. Markus Solo, SVD-dari Vatikan)







Kesaksian Basuki Tjahaja Purnama

Basuki Tjahaja Purnama
Joko Widodo bersama dengan Basuki Tjahaja Purnama

Joko Widodo bersama dengan Basuki Tjahaja Purnama telah memenangkan
putaran pertama PILKADA DKI Jakarta 11 Juli 2012. Ini adalah kesaksian
Basuki,

Saya lahir di Gantung, desa Laskar Pelangi, di Belitung Timur, di
dalam keluarga yang belum percaya kepada Tuhan. Beruntung sekali sejak
kecil selalu dibawa ke Sekolah Minggu oleh kakek saya. Meskipun
demikian, karena orang tua saya bukan seorang Kristen, ketika beranjak
dewasa saya jarang ke gereja.

Saya melanjutkan SMA di Jakarta dan di sana mulai kembali ke gereja
karena sekolah itu merupakan sebuah sekolah Kristen. Saat saya sudah
menginjak pendidikan di Perguruan Tinggi, Mama yang sangat saya kasihi
terserang penyakit gondok yang mengharuskan dioperasi. Saat itu saya
walaupun sudah mulai pergi ke gereja, tapi masih suka bolos juga. Saya
kemudian mengajak Mama ke gereja untuk didoakan, dan mujizat terjadi.
Mama disembuhkan oleh-Nya! Itu merupakan titik balik kerohanian saya.
Tidak lama kemudian Mama kembali ke Belitung, adapun saya yang sendiri
di Jakarta mulai sering ke gereja mencari kebenaran akan Firman Tuhan.

Suatu hari, saat kami sedang sharing di gereja pada malam Minggu, saya
mendengar Firman Tuhan dari seorang penginjil yang sangat luar biasa.
Ia mengatakan bahwa Yesus itu kalau bukan Tuhan pasti merupakan orang
gila. Mana ada orang yang mau menjalankan sesuatu yang sudah jelas
tidak mengenakan bagi dia? Yesus telah membaca nubuatan para nabi yang
mengatakan bahwa Ia akan menjadi Raja, tetapi Raja yang mati di antara
para penjahat untuk menyelamatkan umat manusia, tetapi Ia masih mau
menjalankannya! Itu terdengar seperti suatu hal yang biasa-biasa saja,
tetapi bagi saya merupakan sebuah jawaban untuk alasan saya
mempercayai Tuhan. Saya selalu berdoa “Tuhan, saya ingin mempercayai
Tuhan, tapi saya ingin sebuah alasan yang masuk akal, cuma sekedar
rasa doang saya tidak mau," dan Tuhan telah memberikan PENCERAHAN
kepada saya pada hari itu. Sejak itu saya semakin sering membaca
Firman Tuhan dan saya mengalami Tuhan.

Setelah saya menamatkan pendidikan dan mendapat gelar Sarjana Teknik
Geologi pada tahun 1989, saya pulang kampung dan menetap di Belitung.
Saat itu Papa sedang sakit dan saya harus mengelola perusahaannya.
Saya takut perusahaan Papa bangkrut, dan saya berdoa kepada Tuhan.
Firman Tuhan yang pernah saya baca yang dulunya tidak saya mengerti,
tiba-tiba menjadi rhema yang menguatkan dan mencerahkan, sehingga saya
merasakan sebuah keintiman dengan Tuhan. Sejak itu saya kerajingan
membaca Firman Tuhan. Seiring dengan itu, ada satu kerinduan di hati
saya untuk menolong orang-orang yang kurang beruntung.

Papa saat masih belum percaya Tuhan pernah mengatakan, “Kita enggak
mampu bantu orang miskin yang begitu banyak. Kalau satu milyar kita
bagikan kepada orang akhirnya akan habis juga.” Setelah sering membaca
Firman Tuhan, saya mulai mengerti bahwa charity berbeda dengan
justice. Charity itu seperti orang Samaria yang baik hati, ia menolong
orang yang dianiaya. Sedangkan justice, kita menjamin orang di
sepanjang jalan dari Yerusalem ke Yerikho tidak ada lagi yang dirampok
dan dianiaya. Hal ini yang memicu saya untuk memasuki dunia politik.

Pada awalnya saya juga merasa takut dan ragu-ragu mengingat saya
seorang keturunan yang biasanya hanya berdagang. Tetapi setelah saya
terus bergumul dengan Firman Tuhan, hampir semua Firman Tuhan yang
saya baca menjadi rhema tentang justice. Termasuk di Yesaya 42 yang
mengatakan Mesias membawa keadilan, yang dinyatakan di dalam sila
kelima dalam Pancasila. Saya menyadari bahwa panggilan saya adalah
justice. Berikutnya Tuhan bertanya, "Siapa yang mau Ku-utus?" Saya
menjawab, “Tuhan, utuslah aku”.

Di dalam segala kekuatiran dan ketakutan, saya menemukan jawaban Tuhan
di Yesaya 41. Di situ jelas sekali dibagi menjadi 4 perikop. Di
perikop yang pertama, untuk ayat 1-7, disana dikatakan Tuhan
membangkitkan seorang pembebas. Di dalam Alkitab berbahasa Inggris
yang saya baca (The Daily Bible – Harvest House Publishers), ayat 1-4
mengatakan God’s providential control, jadi ini semua berada di dalam
kuasa pengaturan Tuhan, bukan lagi manusia. Pada ayat 5-10 dikatakan
Israel specially chosen, artinya Israel telah dipilih Tuhan secara
khusus. Jadi bukan saya yang memilih, tetapi Tuhan yang telah memilih
saya. Pada ayat 11-16 dikatakan nothing to fear, saya yang saat itu
merasa takut dan gentar begitu dikuatkan dengan ayat ini. Pada yat
17-20 dikatakan needs to be provided, segala kebutuhan kita akan
disediakan oleh-Nya. Perikop yang seringkali hanya dibaca sambil lalu
saja, bisa menjadi rhema yang menguatkan untuk saya. Sungguh Allah
kita luar biasa.

Di dalam berpolitik, yang paling sulit itu adalah kita berpolitik
bukan dengan merusak rakyat, tetapi dengan mengajar mereka. Maka saya
tidak pernah membawa makanan, membawa beras atau uang kepada rakyat.
Tetapi saya selalu mengajarkan kepada rakyat untuk memilih pemimpin:
yang pertama, bersih yang bisa membuktikan hartanya dari mana. Yang
kedua, yang berani membuktikan secara transparan semua anggaran yang
dia kelola. Dan yang ketiga, ia harus profesional, berarti menjadi
pelayan masyarakat yang bisa dihubungi oleh masyarakat dan mau
mendengar aspirasi masyarakat. Saya selalu memberi nomor telepon saya
kepada masyarakat, bahkan saat saya menjabat sebagai bupati di
Belitung. Pernah satu hari sampai ada seribu orang lebih yang
menghubungi saya, dan saya menjawab semua pertanyaan mereka satu per
satu secara pribadi. Tentu saja ada staf yang membantu saya mengetik
dan menjawabnya, tetapi semua jawaban langsung berasal dari saya.

Pada saat saya mencalonkan diri menjadi Bupati di Belitung juga tidak
mudah. Karena saya merupakan orang Tionghoa pertama yang mencalonkan
diri di sana. Dan saya tidak sedikit menerima ancaman, hinaan bahkan
cacian, persis dengan cerita yang ada pada Nehemia 4, saat Nehemia
akan membangun tembok di atas puing-puing di tembok Yerusalem.

Hari ini saya ingin melayani Tuhan dengan membangun di Indonesia,
supaya 4 pilar yang ada, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka
Tunggal Ika bukan hanya wacana saja bagi Proklamator bangsa Indonesia,
tetapi benar-benar menjadi pondasi untuk membangun rumah Indonesia
untuk semua suku, agama dan ras. Hari ini banyak orang terjebak
melihat realita dan tidak berani membangun. Hari ini saya sudah
berhasil membangun itu di Bangka Belitung. Tetapi apa yang telah saya
lakukan hanya dalam lingkup yang relatif kecil. Kalau Tuhan
mengijinkan, saya ingin melakukannya di dalam skala yang lebih besar.

Saya berharap, suatu hari orang memilih Presiden atau Gubernur tidak
lagi berdasarkan warna kulit, tetapi memilih berdasarkan karakter yang
telah teruji benar-benar bersih, transparan, dan profesional. Itulah
Indonesia yang telah dicita-citakan oleh Proklamator kita, yang
diperjuangkan dengan pengorbanan darah dan nyawa. Tuhan memberkati
Indonesia dan Tuhan memberkati Rakyat Indonesia. (Tom Saptaatmaja)

Kamis, 05 Juli 2012

Benedict XVI renews his trust in Cardinal Bertone

To the Venerable and Beloved Brother
Cardinal Tarcisio Bertone

On the eve of my departure for Castel Gandolfo for the summer period, I wish to express my deep appreciation of  your discreet closeness and of your valuable advice, which I found particularly helpful in recent months.
Noting with regret the spreading unjust criticism against you, I wish to express anew my personal confidence in you, which I had already stated in a Letter dated 15 January 2010, the contents of which remain unchanged for me.
I entrust to the maternal intercession of the Blessed Virgin Mary, Help of Christians, and of the Holy Apostles Peter and Paul, your ministry. Together with my fraternal greeting I cordially impart the Apostolic Blessing as a pledge of every desired good.
From the Vatican, 2 July 2012



 (L’Osservatore Romano)

Rabu, 04 Juli 2012

Perjalanan Misiku di Agats, Papua


Bapa di Surga, t’rimalah
hasil usaha jemaat-Mu....

Sepenggal lagu persembahan yang tidak asing di kalangan Gereja Katolik. Sedari kecil, lagu itu sering sekali dinyanyikan, awalnya dari buku Madah Bakti, lalu Puji Syukur. Meski liriknya sedikit berbeda, namun dengan maksud yang sama.

dr. Jodi Visnu (Tengah) bersama Uskup Larantuka (kiri) dan Uskup Maumere (kanan)
Aku bertugas di sebuah kampung pedalaman Asmat, Papua. Kampung Bayun, Distrik Pantai Kasuari. Di balai kesehatan misi yang telah didirikan misionaris sejak puluhan tahun yang lalu, aku mengabdikan diriku untuk masyarakat. Yah, meski kontrak kerjaku tidak lama, namun cukup membuatku banyak belajar tentang kehidupan masyarakat pedalaman yang jauh dari dunia luar. Mungkin lebih tepat bila dikatakan jauh dari peradaban, meski menurut beberapa orang, “Keadaan ini jauh lebih baik bila dibandingkan 10 tahun yang lalu, Dokter.” Tak dapat kubayangkan puluhan tahun yang lalu perjuangan para misionaris dalam mewartakan cinta kasih Allah yang harus mendayung perahu berhari-hari untuk dapat sampai ke Kampung Bayun, tentu tak sebanding dengan perjalananku selama 4 jam dengan speedboat, meski kadang mencapai 9 jam bila cuaca buruk.

Misa mingguan di Paroki Roh Kudus, Bayun, tidak berbeda dengan misa di Gereja Katolik lainnya. Tata liturginya sama, tentu saja. Tetapi satu hal yang membuatnya beda adalah budayanya.

Tidak ada koor yang megah, hanya seorang suster dari Tarekat Maria Mediatrix yang memimpin lagu-lagu dari bangku umat, dengan menggunakan buku Madah Bakti. Lagu-lagu yang semasa kecil kunyanyikan, kini kunyanyikan kembali. Maklum, saat ini kebanyakan Gereja sudah sejak lama menggunakan buku Puji Syukur. Tidak ada pastor, umat, atau siapapun yang protes soal lagu-lagu Gereja di Bayun. Entah itu Ordinarium Misa Senja, dll, lagu-lagu yang menurut berita sudah tidak dianjurkan, bahkan menurut beberapa seksi liturgi: dilarang. Kadang aku berpikir, “Bila lagu-lagu tersebut sudah ada di buku lagu yang disahkan Gereja dan tidak ada hukum yang sah bahwa buku itu ditarik dari peredaran, lalu siapa yang mau melarang?” Agaknya demikian.

Dan sungguhpun lagu tidak sesuai dengan tema misa, tidak ada pastor yang akan marah. Mungkin umat tersebut tidak tahu, dan mereka hanya memberikan yang terbaik. Seperti pengalamanku bersama seorang pastor saat kunjungan ke sebuah stasi. Tanpa lampu, misa Minggu Prapaskah ke-3 berakhir pukul 18.30. Akibatnya umat yang harus menyanyikan lagu penutup, tidak dapat membaca buku Madah Bakti. Akhirnya mereka spontan menyanyikan lagu kebangkitan Tuhan. Mungkin hanya itu yang mereka hafal. Tentu tak mungkin hal semacam ini terjadi di kota besar, bila itu terjadi pastilah seksi liturgi sudah menegur lebih dulu sebelum pastor angkat bicara.

Tidak ada listrik, tentu saja suara pastor dan petugas liturgi harus cukup lantang karena tidak didukung oleh pengeras suara. Gereja memang tidak terlalu besar, namun bila hujan turun maka suara pastor akan terganggu. Masih untung ada beberapa gereja yang memiliki genset. Namun kelangkaan BBM acap kali menjadi kendala. Harga BBM di pedalaman sangat tinggi, namun satu hal yang perlu kita ketahui: masyarakat pedalaman tidak berpikir untuk melakukan demo atau pemogokan. Tidak ada tuntutan, mungkin hanya sedikit keluhan yang tak begitu berarti bagi sebagian besar orang.

Tidak ada tabernakel yang indah dan tidak ada lampu yang menyala di sisi tabernakel untuk menunjukkan adanya Sakramen Mahakudus di dalamnya. Semua umat harus menunjukkan sikap hormat di dalam Gereja. “Gereja adalah rumah Tuhan Yesus,” pernah terucap dari seorang anak kecil di sini yang selalu kuingat.

Tidak ada uang persembahan yang bersih, semuanya lusuh. Namun inilah persembahan mereka untuk Sang Pencipta. Jumlahnya pun tidak besar, kira-kira hanya cukup untuk membeli beberapa susu kental manis kaleng di sini.

Masyarakat Bayun menggunakan pakaian terbaik mereka. Tidak ada keharusan mengenakan pakaian bersih. Tapi mereka berusaha sebersih mungkin, meski tetap banyak noda menghalangi warna dan motif baju mereka. Tidak ada keharusan mengenakan sepatu. Mengenakan sandal jepit saja, barangkali itu sudah sangat baik karena sehari-hari mereka bertelanjang kaki. Namun petugas-petugas liturgi selalu mengusahakan agar dirinya tampil baik, meski menggunakan kaos sekalipun. Dan.... tidak ada keharusan untuk mandi. Awalnya aku sulit menyesuaikan diri dengan keadaan ini, tetapi lama-kelamaan terbiasa juga.

Anak-anak duduk terpisah dengan orang tua mereka. Kadang bila ada tamu Keuskupan hadir, pandangan anak-anak itu tidak tertuju pada altar. Dan suster-suster sibuk menertibkan mereka. Maklum saja, hampir seluruh umat Bayun tidak memiliki TV. Akibatnya banyak diantara mereka yang tidak pernah melihat wajah-wajah etnis lain.

Tidak ada musim pancaroba di Bayun, kapan saja bisa panas terik berhari-hari lalu tiba-tiba turun hujan, atau bisa juga hujan terus-menerus. Maka banyak anak yang terkena pilek. Pemandangan anak dengan ingus meler dan tidak diusap, sudah menjadi hal yang biasa, bahkan di Gereja saat misa berlangsung. Apalagi bila ingus tersebut diusap oleh tangan mungil mereka, lalu tak sengaja terkena baju kita. Janganlah marah, meskipun mereka akan segera dimarahi orang tuanya habis-habisan.

Tidak ada tempat parkir kendaraan di area Gereja. Tidak ada alat transportasi di kampung ini. Semua ditempuhh hanya dengan berjalan kaki. Meski harus menempuh perjalanan satu jam dengan panas terik yang menyengat, namun untuk memuji Tuhan tidak ada sedikitpun keluh kesah keluar dari bibir umat. Bila letih, mereka dapat beristirahat sejenak di bawah pohon, lalu melanjutkan perjalanan kembali.

Hal-hal di atas adalah segelitir budaya masyarakat Indonesia di pedalaman. Semuanya mengalir begitu saja, dan budaya modern selalu berjalan bersama-sama dengan budaya lokal. Soal memuji Tuhan, masyarakat lokal memiliki ragam keunikan tersendiri yang mungkin perlu dibina. Tapi kita perlu ingat, inti diri mereka adalah mempersembahkan yang terbaik bagi Tuhan dan jangan sampai idealisme modern menghancurkan niat mereka, makhluk Tuhan yang paling mulia.



Kubawa kepada-Mu oh Tuhan
persembahanku ini
Kuingin Engkau menerima
korban syukurku
melalui pujian

17 Tahun SOS Children’s Village Flores

Mengembalikan Kasih Sayang Yang Hilang


Gempa bumi dan tsunami tanggal 12 Desember 1992 membawa dampak yang sangat luas bagi kehidupan masyarakat pulau Flores pada umumnya. Banyak anak kehilangan orang tua, tempat tinggal dan rasa aman. Sebagai sebuah yayasan social, SOS Desa Taruna Indonesia tergerak hatinya untuk membantu meringankan beban masyarakat Flores umumnya terlebih anak-anak. Awalnya, anak-anak korban bencana ditampung di rumah kontrakan yang sangat sederhana.
     Awal tahun 1995, SOS desa Taruna Indonesia secara resmi mendirikan SOS Desa Taruna Flores bertempat di kabupaten Sikka, kecamatan Magepanda, Desa Kolisia, Dusun Waturia.
     Wakil Pimpinan SOS Children’s Village Flores, M. Kristina D.G. SE menjelaskan, konsep SOS desa Taruna adalah membantu , mengasuh dan memberi  masa  depan yang cerah bagi anak yatim piatu dan yang kurang beruntung yang berasal dari berbagai latar belakang suku agama dan ras. “Kami memberi kembali kasih sayang melalui rumah tinggal, keluarga dan kehidupan yang memadai agar kelak mereka memiliki kehidupan yang mandiri,”ujar Rista panggilan akrabnya.
     SOS Desa Taruna lanjut Rista mengusung visi dan misi setiap anak dibesarkan dalam keluarga dengan kasih sayang, rasa dihargai dan rasa aman dan mendirikan keluarga bagi anak yang kurang beruntung, membantu mereka membentuk masa depannya dan memberi kesempatan untuk berkembang dalam masyarakat.
     Jebolan STIE Malangkucecwara Malang ini memaparkan, keadaan SOS Desa Taruna Flores sampai dengan awal Juni 2012 berpenghuni 190 anak dimana yang tinggal di Village berjumlah 121 orang, Village luar/asrama sekolah 33 orang, rumah remaja putra 18 orang dan asrama atau kost luar 18 orang. Jumlah anak yang diasuh di SOS Flores dari tahun 1995 sampai Juni 2012 berjumlah 335 anak dengan rincian: Anak mandiri 96 orang, anak yang telah kembali ke keluarga 49 orang dan yang masih diasuh di SOS Flores 190 anak.”Anak-anak yang ada sekarang berasal dari semua kabupaten di NTT termasuk 1 anak dari Timor Leste,” demikian Rista.
     SOS desa Taruna Flores, kata Rista memiliki sebuah TKK yang berada dalam Village dengan jumlah murid per Juni 2012 sebanyak 137 anak. Selain itu memiliki program diluar Village yang selama ini disebut Program FSP (Family Strengthening Programme) atau program penguatan ekonomi keluarga. Dalam program ini SOS FSP Flores mendampingi 600 kepala keluarga dampingan dengan memberi bantuan modal usaha kecil dan memotivasi keluarga yang sudah ada usaha. Sedangkan total anak dampingan SOS FSP Flores hingga bulan Juni 2012 berjumlah 1612 anak dari usia balita samapai dengan SLTA.
     FSP SOS Children’s Village demikian Rista, juga melakukan pendampingan PAUD/POS PAUD pada tiga wilayah kecamatan dampingan. Sampai saat ini FSP mendampingi 14 Paud/Pos Paud. Adapun bentuk nyata dari dukungan SOS terhadap pembentukan lembaga Paud/Pos Paud adalah memberikan surat rekomendasi sebagai lembaga mitra ke dinas PPO sebagai syarat untuk dikeluarkannya surat izin operasional. Memeberikan bantuan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) sebulan sekali dan memberikan bantuan buku gambar dan pensil warna.
     Dijelaskan pula pada tahun 2009-2012 anak-anak SOS yang telah meneyelesaikan studi program Diploma (D3) sebanyak 8 orang, sarjana 4 orang dan 2 diantaranya telah lulus test CPNS. “Karena telah menamatkan pendidikan ke 12 anak tersebut telah kembali ke orang tua sambil mencari atau menciptakan lapangan sendiri,”ungkap Rista.
     Beatrix Nonis, ibu pengasuh asal Kefamenanu Timor Tengah Utara yang sudah bekerja selama 17 tahun di Sos Taruna Flores mengungkapkan, nuansa kehidupan di Sos penuh kekeluargaan dan persaudaraan. “Suka duka menjadi ibu pengasuh bagi anak-anak yang kehilangan kasih sayang menyadarkan saya bahwa dalam diri anak ada wajah-wajah Yesus yang nyata. Mereka adalah pemilik masa depan yang perlu dipersiapkan,”ujar Bety yang akrab disapa. **** Yuven Fernandez-Maumere

Senin, 02 Juli 2012

Uskup Müller Prefek Baru Kongregasi Untuk Ajaran Iman


Uskup Gerhard Ludwig Müller
Radio  Vatikan  menyiarkan  bahwa  kongregasi  untuk  Ajaran  Iman  telah  memiliki  seorang pemimpin  baru. Jabatan yang pernah ditangani oleh  Uskup  Ratzinger  yang telah mengemban tugas sebagai Pemimpin Gereja Katolik sedunia tersebut sebelumnya dipimpin oleh Kardinal William Joseph Levada. Kongregasi Untuk Ajaran Iman merupakan satu-satunya komisi yang memiliki tugas khusus memelihara keutuhan Tradisi Suci Gereja.
Kardinal William Joseph Levada telah mengundurkan diri dari posisi tersebut karena alas an usianya yang semakin tua.  Untuk itu Paus Benediktus XVI, pada  Senin 2 Juli 2012 melantik Uskup Gerhard Ludwig Müller, Uskup Regensburg sebagai Prefek Baru Kongregasi untuk Ajaran Iman, dan karena keutamaannya, Uskup Gerhard juga mengemban tanggung  jawab sebagai Presiden Komisi Kepausan “Ecclesia Dei”, Komisi kitab Suci dan Komisi teologi Internasional.
Kardinal William Joseph Levada sebelumnya juga menjabat sebagai Presiden Komisi Kepausan “Ecclesia Dei”, Komisi kitab Suci dan Komisi teologi Internasional sejak 13 Mei 2005. Uskup kelahiran 15 Juni 1936, di Long Beach, California tersebut adalah Uskup Auxiliar Los Angeles, California dan Uskup Administrator Apostolik di Santa Rosa, California, sejak 22 Juli 1999-11 April, 2000.  Jabatan sebagai Kardinal diperolehnya pada tanggal 24 Maret 2006.
Kardinal William Joseph Levada
Sementara itu, Uskup Gerhard Ludwig Müller adalah seorang Profesor Honoris Causa bidang Dokmatik Katolik pada Universitas Ludwig-Maximilian, Munich, Jerman.  Dalam usia 38 tahun, Uskup Gerhard Ludwig Müller termasuk salah satu profesor termuda dalam tahun  1986 di Universitas Munich, Jerman.
Uskup Gerhard Ludwig Müller lahir di Mainz-Finthen  pada 31 Desember 1947. Studi filsafat dan teologinya di Mainz, Munich and Freiburg, gelar doktor diperolehnya tahun 1977.  Dia ditahbiskan menjadi Imam di Mainz-Finthen tahun 1978 oleh Kardinal Volk. Dalam kiprahnya, Uskup Gerhard telah mendirikan Institut Paus Benediktus XVI yang mulai beraktivitas 1 September 2008. Uskup  Gerhard memiliki perhatian yang sangat besar terhadap karya dan pemikiran Joseph Ratzsinger (Paus Benediktus XVI), sehingga ia mengumpulkan sebagian besar karya tersebut dan memublikasikannya. Di samping itu Uskup yang terkenal cerdik ini juga menjadi dosen tamu di beberapa universitas terkenal seperti di  Cusco (Peru), Madrid (San Damaso), Philadelphia (USA), Kerala (India), Santiago de Compostela, Salamanca (Spanyol),  Universitas Lateran (Roma), Lugano and Sao Paulo (Brazil). Uskup Gerhard termasuk salah satu uskup yang sangat aktif dalam berbagai konferensi nasional maupun internasional para uskup sedunia. Lebih dari 400 buku telah ia tulis. Sebagian besar karyanya membahas tentang teologi dogmatik Katolik, maka tidaklah hal yang kebetulan jika Uskup Gerhard dipilih memimpin Komisi Kongregasi untuk Ajaran Iman. (Anthoni Primus)

Minggu, 01 Juli 2012

Untung Rugi “E-Learning”

Yudi Perbawaningsih*

Guru belum banyak menerapkan “E-Learning” baik di pedesaan, pinggiran kota dan perkotaan (Kompas,  28/5). Kompas mengutip pernyataan ini dari Dekan Sampoerna School of Education (SSE).
Sejauh ini penggunaan teknologi internet yang memicu munculnya media-media baru dan model komunikasi baru diyakini dapat memberikan manfaat yang besar bagi tercapainya tujuan-tujuan pada berbagai bidang kehidupan, termasuk bidang pendidikan khususnya pada mutu pembelajaran. Merujuk pada keyakinan ini maka guru sebagai pendidik sangat dianjurkan untuk meningkatkan keterampilan penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk kepentingan proses pembelajaran karena teknologi ini dapat menolong guru menyajikan materi pembelajaran dengan lebih menarik. Kreativitas model pembelajaran memang sangat diharapkan dapat menarik perhatian peserta didik, dengan asumsi daya tarik ini akan berimbas pada kemudahan pemahaman materi. Keyakinan ini juga mendorong banyak institusi pendidikan membangun sistem pendidikan dengan model “E-Learning.” Penerapan model ini bahkan kemudian menjadi bagian dari pencitraan institusi pendidikan sebagai institusi yang berkualitas.

Benarkah selalu bermanfaat?

Mengabaikan faktor-faktor yang mungkin turut berkontribusi, TIK memberikan banyak sekali keuntungan. Hakikat teknologi yaitu untuk menciptakan efisiensi dan efektivitas menjadi hal yang menguntungkan. Demikian juga TIK diciptakan untuk menciptakan efisiensi dan efektivitas dalam pengolahan data dan komunikasi. Efisiensi waktu, tenaga, dan biaya adalah hal yang tidak terbantahkan, demikian juga dengan tercapainya tujuan. Selain itu, TIK juga dapat mengatasi kendala waktu dan tempat. Dalam pembelajaran yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan peserta didik, tentu diyakini dapat dicapai dengan lebih efisien dengan menggunakan atau memanfaatkan TIK. Dalam mencari data, TIK berbasis internet memberikan keuntungan yang tidak terkira. Referensi dan sumber data dapat diakses dengan mudah, cepat dan kadang murah, serta dapat dilakukan oleh seorang individu saja. Demikian halnya dalam olah data. Bandingkan olah data statistik secara manual dengan  cara memanfaatkan TIK, tentu waktu yang dibutuhkan jauh lebih cepat dan akurat. Peran guru menjadi lebih ringan, tidak lagi menjadi sumber pengetahuan karena pengetahuan dapat dengan mudah dimiliki oleh murid melalui internet. Peran guru cukup menjadi inisiator, motivator, fasilitator dan evaluator. Pada kondisi semacam ini, paradigma pendidikan dapat dilaksanakan dengan konsep andragogi yang menempatkan murid sebagai partisipan aktif, rasional dan dewasa, yang dapat memotivasi dirinya sendiri untuk belajar.
Bagaimana dengan komunikasi guru dan murid, komunikasi antarkomunitas akademik? Pemanfaatan TIK berbasis internet sebagai media komunikasi baru juga memberikan efisiensi. Bandingkan  komunikasi tatap muka guru-murid di kelas dengan melalui e-mail dan e-conference. Berapa waktu, tenaga dan biaya yang dihemat? Dalam komunikasi tatap muka guru-murid dibutuhkan waktu yang sama dan tempat yang sama. Jika tak ada waktu dan tempat yang sama, komunikasi ini gagal dilaksanakan. TIK dan media baru dapat mengatasi kendala itu, bahkan ketika tidak memiliki tempat atau jarak yang jauh. Waktu dan tempat tidak lagi menentukan.
Namun demikian, apakah penggunaan TIK berbasis internet selalu bermanfaat bagi proses pembelajaran dan pendidikan? Hal yang sering diabaikan ketika menjelaskan manfaat TIK adalah konteks sosial budaya dan bahkan politik. Padahal secara empirik, konteks ini berkontribusi sangat besar untuk menjelaskan kemanfaatan TIK dalam pendidikan. Pada konteks tertentu, pemanfaatan TIK berbasis internet tidak selalu menguntungkan.

TIK merugikan proses pendidikan?

Ya, seandainya pemanfaatan TIK ini mengabaikan atau tidak mempertimbangkan konsekuensi dan implikasinya pada masyarakat, institusi, dan budaya (Pavlik, 1996:303-334). Dalam konteks pendidikan dan pembelajaran, pemanfaatan TIK akan berimplikasi pada individu anggota komunitas pendidikan, organisasi dan budaya belajar. Implikasi pemanfaatan TIK berbasis internet adalah melimpahnya pengetahuan. Ini akan menghasilkan ambiguitas yang sangat tinggi bagi sebagian komunitas pendidikan . Dihadapkan pada derajat rasionalitas yang tidak tinggi, peserta didik justru akan menghindari terpaan informasi karena ambiguitas menyebabkan ketidaknyamanan kognitif. Situasi ini tentu tidak kondusif bagi pencapaian tujuan pembelajaran. Dalam hal ini, guru tetap memiliki peran penting sebagai fasilitator untuk memilih dan memilah serta kalau perlu mereduksi informasi dan mengarahkan pemaknaan atas informasi. Namun demikian, bagi murid yang memiliki daya pemahaman yang tinggi dan cukup rasional, upaya ini dapat dimaknai sebagai upaya membatasi kebebasan murid untuk membangun pengetahuannya sendiri. Pada bagian lain, TIK juga memberikan kemudahan dan kecepatan olah data. Hal ini berimplikasi pada kemungkinan pengabaian proses yang bertahap dan berorientasi pada hasil. Ini menggiring pada terciptanya mental serba instan dan tidak peduli substansi dan esensi. Komunitas pendidikan menjadi pragmatis dan tidak lagi peduli pada hakiki dan filosofi.
Di sisi lain, komunikasi tatap muka yang tergantikan oleh media berbasis TIK menjadikan interaksi kehilangan sentuhan afeksi yang lebih mudah muncul ketika ada interaksi non verbal, terutama simbol-simbol yang melibatkan indra peraba dan indra pengecap yang sampai saat ini belum dapat dilakukan oleh teknologi.  Relasi guru dan murid yang terbangun menjadi pragmatis sehingga nilai-nilai kebersamaan personal yang biasanya menjadi karakter pendidikan di Indonesia justru sulit dicapai. Proses pembelajaran yang bertujuan untuk membangun karakter dan afeksi, moral dan integritas menjadi terkendala. Pada aspek pengurangan beban guru karena digantikan oleh TIK juga tidak selalu ditanggapi positif. Reduksi peran secara politis berarti juga pengurangan kewenangan dan kekuasaan. Tidak hanya itu, reduksi peran ini juga bisa diartikan sebagai reduksi finansial. Masih banyak ditemui guru yang masih nyaman dalam posisi sebagai “atasan” bagi muridnya, dan keberadaan TIK justru menjadi ancaman.
Efek negatif sebagai implikasi atas karakter teknologi tentu tidak hanya ini. Oleh karena itu, kebijakan organisasi pendidikan untuk menggunakan model e-learning harus mempertimbangkan rasio keuntungan dan kerugian dengan menganalisis karakter komunitas pendidikan, budaya organisasi dan tentu adalah tujuan pendidikan dan pembelajaran. Menggunakan metafora efektivitas obat, dianggap bermanfaat jika obat lebih banyak memberikan manfaat daripada efek samping. Demikian pula penggunaan model e-learning pada proses pendidikan di Indonesia. Dikatakan e-learning efektif jika manfaat lebih banyak daripada kerugian.

*Yudi Perbawaningsih, dosen pada Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta

 Bernas Jogja, Selasa 19 Juni 2012

Lingkungan dan Peran Media

Birgitta Bestari Puspita*

Manusia membutuhkan lingkungan untuk hidup, demikian pula lingkungan membutuhkan manusia untuk menjaga keseimbangannya. Seharusnya begitulah keseimbangan itu tercipta dan terjaga. Sayangnya, berbagai faktor mengganggu keselarasan yang sapatutnya ada. Bagaimana peran media?
Harimau, hewan yang beratnya bisa mencapai 350 kilogram termasuk pemangsa puncak dan terkenal buas. Benar pula bahwa harimau adalah mamalia yang memiliki tenaga kuat. Namun sayang, keganasan dan kekuatannya itu masih dapat menjadi sasaran empuk manusia, ditembak pemburu-pemburu ilegal yang tak punya hati. Populasi harimau dunia merosot drastis. Dari sembilan subspesies harimau di dunia, hanya enam yang tersisa, dan tiga di antaranya sudah mencapai kepunahan.
Dahulu Indonesia merupakan negara yang cukup kaya subspesies harimau. Dari kesembilan spesies di dunia, tiga di antaranya ada di Indonesia yaitu harimau Bali, harimau Jawa, dan harimau Sumatera. Namun kini hanya tersisa satu spesies saja, harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae)  dan itu pun dengan populasi yang sudah genting, yaitu hanya sekitar 400-an ekor. Pembunuhan kucing besar ini memang tidak hanya terjadi di Indonesia. Dan hampir semua perburuan ilegal dilakukan untuk menyuplai kebutuhan pasar berupa mata, gigi, taring, jeroan, dan kulit cantik the big cat.
Tidak secara langsung keberadaan kucing besar ini berhubungan dengan kehidupan manusia, dan tidak semua dari kita hidup berdampingan dengan mereka. Namun banyak yang kurang menyadari bahwa ketidakseimbangan ekosistem bisa berdampak luas, bahkan sampai pada kehidupan manusia.
Contoh diungkapkan dalam indonesia.mongabay.com tentang hilangnya predator puncak– serigala – yang mengubah ekosistem di Taman Nasional Yellowstone di Amerika Serikat. Ketika serigala lokal punah, rusa tumbuh liar dan melahap vegetasi, terutama pohon aspen dan willow muda. Tidak hanya itu, dengan hilangnya serigala, rusa menghancurkan vegetasi sungai. Dengan kurangnya vegetasi di sepanjang sungai, jumlah hewan seperti burung-burung berkicau dan berang-berang pun ikut menurun, demikian pula dengan populasi ikan di sana. Erosi tanah meningkat karena kurangnya naungan dari pohon di tepi sungai. Coyote juga menjadi lebih berani dan berkembang biak pesat tanpa adanya serigala, sebuah proses yang dikenal para ilmuwan sebagai pelampiasan mesopredator, yaitu hilangnya predator puncak yang memungkinkan predator lebih rendah mengambil alih ekosistem. Jadi, hilangnya satu spesies melukai seluruh ekosistem.
Kejadian di atas selayaknya bisa menjadi satu titik pandang bagi masyarakat kita terutama warga hidup atau bekerja di kawasan teritori harimau untuk dapat mencegah kepunahan harimau. Berbagai kegiatan penyuluhan sudah dilakukan baik oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga nonprofit di daerah habitat harimau. Target penyuluhan tersebut umumnya adalah masyarakat di sekitar habitat harimau dan juga pekerja serta pemilik usaha yang beroperasi di sana. Kemudian  bagaimana dengan kita, masyarakat yang hidup tidak berdampingan dengan satwa eksotis itu? Apakah kita cukup  hanya berdiam diri dan tidak peduli sementara keseimbangan alam tempat saudara-saudara kita tengah mengalami krisis?
Contoh tentang harimau dan serigala hanyalah secuil masalah lingkungan. Bagaimana dengan satwa lainya seperti kukang, badak, orang utan yang populasinya belum stabil, atau bagaimana pula dengan berhektar-hektar hutan yang hilang karena bencana maupun ulah manusia? Cepat atau lambat, langsung atau tidak langsung, dampak perubahan ekosistem akan berpengaruh pada seluruh bangsa.

Media dan Jurnalisme Lingkungan

Media adalah jawaban akan pertanyaan di atas. Media cetak maupun elektronik dan bahkan media online, melalui produk jurnalisme lingkungan, dapat menjadi jembatan informasi bagi masyarakat. Ini  berkaitan dengan lingkungan, baik lingkungan tempat mereka tinggal maupun lingkungan yang secara psikologis dekat dengan mereka.
Dari pengamatan terhadap media, masih jarang ditemui liputan  isu lingkungan yang bukan sekedar informatif namun juga edukatif. Liputan yang tidak sekedar memberitakan ada apa (5W1H) namun juga memberikan solusi. Pertanyaannya, jurnalisme lingkungan seperti apa yang ideal untuk menjadi sumber bagi masyarakat? Sangat disayangkan apabila Komisi Penyiaran Indonesia menerima surat terbuka yang dilayangkan Remotivi, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang peduli pada tayangan televisi, memprotes beberapa program televisi yang dianggap bermasalah atau akan mendatangkan masalah bagi masyarakat maupun kelangsungan hewan.
Menurut Anderson (Arief Fajar, 2011), jurnalisme lingkungan merupakan jurnalisme konvensional yang harus taat etika dan menyampaikan fakta tetapi bertitik tekan pada kasus lingkungan hidup. Jurnalisme ini  sadar etika lingkungan yaitu; (1) informasi yang relevan dengan latar belakang kasus lingkungan, (2) materi berita yang sering menjernihkan situasi atau menjadi mediasi (dalam istilah McLuhan sebagai extension of man) dan (3) memperhatikan risiko pemberitaan dari kasus lingkungan hidup.
Melalui jurnalisme lingkungan, masyarakat diharapkan dapat memperoleh informasi dan pengetahuan yang mereka butuhkan dengan liputan media massa. Oleh sebab itu, pemahaman tentang lingkungan sangat penting untuk dihadirkan media. Pemahaman tentang lingkungan dapat terjadi ketika masyarakat tidak hanya sekedar tahu tentang apa yang terjadi di lingkungan,  fisik ataupun budaya, namun  juga dapat menemukan solusi untuk isu-isu lingkungan. Misalnya, ketika ada berita tentang  harimau masuk  pemukiman penduduk. Dengan membaca berita tersebut  masyarakat tidak hanya tahu bahwa ada harimau masuk pemukiman namun tahu mengapa hal itu terjadi, dan tahu apa yang  harus dilakukan.
Sebagai salah satu sumber informasi yang dipercaya media tidak sekedar memberitakan namun juga paham akan efek dari pemberitaanya. Keberlangsungan lingkungan, ekosistem dan masyarakat  sebenarnya tidak lepas pula dari apa yang diinformasikan media.

*Birgitta Bestari Puspita adalah staff pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta

 Bernas Jogja, Selasa 26 Juni 2012

TV One – Lowongan Reporter Yogyakarta

PT. Lativi Media Karya (tvOne) adalah stasiun televisi swasta berita dan olahraga nomor satu di Indonesia. tvOne merupakan anak perusahaan dari VIVA Group (PT.Visi Media Asia Tbk), sebuah kelompok usaha media, yang juga menaungi vivanews.com dan antv. Seiring dengan pertumbuhan bisnis yang sangat cepat, saat ini kami membutuhkan tenaga-tenaga muda professional, dinamis dan kreatif untuk bergabung sebagai :
Reporter (Yogyakarta)
Yogyakarta (Yogyakarta)
Responsibilities:
  • Bertanggung jawab dalam meliput berita yang bervariasi mulai dari politik, ekonomi, budaya, dan human interest di area Yogyakarta dan sekitarnya
  • Melakukan instruksi peliputan sesuai dengan perencanaan dan rapat internal
  • Proaktif dalam mencari dan mendalami berita serta mencari narasumber yang relevan dengan topik
  • Bekerjasama dengan kru dan camera person untuk mendapatkan hasil dan kualitas berita yang baik
Requirements:
  • Laki-laki atau perempuan
  • Pendidikan mininal Sarjana dengan IPK minimal 3,00.
  • Usia maksimal 30 tahun
  • Minimal 1 tahun berpengalaman sebagai reporter di media elektronik
  • Mampu berbahasa Inggris aktif
  • Camera look
  • Aktif, dinamis, multitasking, dan mampu memenuhi deadline
  • Bersedia ditempatkan di Yogyakarta

Visit our website, www.tvOne.co.id