Minggu, 23 September 2012

Alfonsa Horeng, Duta Budaya Flores di Kancah Internasional


Alfonsa (kiri)

            Keunikan tenun ikat Flores begitu memikat hati seorang ALFONSA  HORENG. Bagi wanita lulusan Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya ini, keunikan budaya tanah air sangat kaya akan nilai-nilai integritas budaya dan nilai kebijaksanaan lokal yang mendalam. Konon sejak kecil Ibu dan nenek telah terbiasa mengajarkan Alfonsa tentang apa dan bagaimana membuat tenun ikat Flores. Pengalaman masa kecil itu akhirnya mengantarkan ALFONSA HORENG mengelilingi dunia, mengunjungi negara-negara asing guna mempromosikan kekayaan nilai tenun ikat Flores. Lantas apa visi dan misi Alfonsa dalam hal ini, “Merambah ke desa-desa,  kampung-kampung yang kritis - giving awarness and development them to love the ikat weaving - jadi bukan usaha perdagagan yang menjadi prioritas kami krena kami bukan pedagang” jelas Alfonsa ketika bincang-bincang dengan Majalah Keluarga Kana di sela-sela kesibukannya di luar negeri.   
Puluhan event internasional telah diikutinya, di antaranya berupa presentasi, workshop dan memberikan pendidikan budaya kepada masyarakat dunia seperti, International Folk Art di Santa Fe, New Mexico 2011;  Indonesian Day  di San Francisco, California 2011; Presentasi di The TSA “Textiles and Politics”, Washington DC, 2012, Workshop pada The Yield University, Connecticut, New York, 2012; presentasi dan workshop di TAASA, Sydney 2008; Destination of Tourism in Gold Coast – Queensland 2009; presentasi dan workshop pada The International Symposium of Natural Dye in La Rochelle, France 2011; serta aneka kegiatan  di beberapa negara lainnya. “Kesan mereka mendalam kepada penyaji. Jika penyajinya tidak bisa membawa situasi promote menjadi menarik atau tidak bisa omong dalam bahasa-bahasa mereka maka nihil. Pemerintah Indonesia sangat mendukung tapi hanya Pemerintah Pusat is the best memberikan support dalam bentuk program-program  yang relatif dan bantuan material serta rekomendasi” ujar Alfonsa menunjukkan bagaimana reaksi masyarakat dunia internasional.
            Bagi Alfonsa, saat ini salah satu kekayaan budaya Indonesia tersebut memang telah dilestarikan, namun pelestariannya masih bersifat instan, sehingga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tidak mendapat prioritas perhatian.  Keprihatinan tersebut menggerakan hati alumni Flinders University, Adelaide, Gender Consortium, Good Governance and Leadership, Australia 2008 ini kemudian mendirikan Sentra Tenun Ikat “Lepo Lorun” tahun 2002. Sentra ini tergabung dari wanita-wanita yang memiliki integritas dan minat dalam mempromosikan budaya tradisional Indonesia, khususnya budaya Flores.
            Menghadapi perkembangan globalisasi Alfonsa berharap pemerintah perlu adakan sekolah formal di bidang ini. Ia mengajak generasi muda untuk mulai berbuat sesuatu memberikan sumbangannya bagi perkembangan budaya bangsa. Semua itu dapat dimulai dari lingkungan keluarga sebagai dasar pendidikan pertama bagi setiap pribadi. “Keluarga, bergantung si ibu yang mendidik anaknya menjadi kebiasaan budaya yang langsung dikonsumsi  bukan menjadi batu loncatan saja atau tunggu proyek-proyek siluman” harap Alfonsa mengakhiri perbincangan. (Anthonius Primus)



Intan Ledalero

"Ledalero kirim yang terbaik"

Di usianya yang ke-75, Pater Paulus Budi Kleden, SVD, seorang dosen dan teolog muda Ledalero terpilih sebagai anggota Dewan Jenderal di Roma. Dalam sejarah Ledalero, Budi Kleden adalah orang ketiga dari Ledalero yang terpilih sebagai anggota dewan Jenderal. Sebelumnya Pater Hendrick Heekeren, SVD (1978-1988), seorang dosen Kitab Suci Ledalero berkebangsaan Belanda dan menyusul Pater Leo Kleden, SVD (2000).
"Kita memang kehilangan seorang dosen yang terbaik. Para mahasiswa tentu kecewa, tetapi kita selalu mengirimkan yang terbaik untuk kebutuhan serikat," demikian Leo Kleden, Provinsial SVD Ende ketika menyampaikan sambutannya saat resepesi pesta intan Ledalero.
Lebih dari dua ratus imam hadir dalam perayaan puncak intan Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero pada Sabtu (8/9/2012). Ekaristi yang berlangsung di Aula St. Thomas Aquinas Ledalero itu dipimpin oleh Rektor Ledalero, P. Kletus Hekong, SVD didampingi provinsial SVD Ende dan Vikjen keuskupan Maumere.
Dalam kata pengantarnya, ketika membuka perayaan ini, Rektor Ledalero mengatakan bahwa merayakan ulang tahun berarti merayakan kehidupan.
"Dalam nada penuh syukur seminari ini merayakan kehidupan yang telah dimulai sejak 75 tahun silam," demikian kata Pater Kletus Hekong, SVD.
Pater Paul Budi Kleden, SVD
"Sebagai sebuah seminari terbesar dalam SVD bahkan dalam gereja Katolik, Seminari ini telah menjadi rahim yang mengandung dan melahirkan; ibu yang telah menghidupkan para imam dan awam yang tangguh," imbuh Kletus Hekong.
Bertepatan dengan perayaan intan Seminari Tinggi tertua di regio Nusa Tenggara ini, hadir pula ratusan misionaris Serikat Sabda Allah (SVD) yang bekerja baik di dalam maupun luar negeri serta wakil para alumni awam.
Sementara itu, Pater Paul Budi Kleden, SVD dalam khotbahnya mengatakan Ledalero yang dahulunya bukit angker dan dijauhi oleh masyarakat sekitar justru telah memikat hati anak-anak muda.
"Sebagai panti pendidikan, bukit ini membantu agar para frater mampu mengambil keputusan yang tepat, entah diutus sebagai awam yang menggarami dunia dalam beragam bidang karya, atau dikirim sebagai misionaris ke berbagai penjuru dunia yang pantulkan cahaya dan gemakan warta kesetiaan Allah," demikian Budi Kleden.
Perayaan intan Ledalero ini sekaligus menjadi momen untuk menyampaikan rasa bangga bagi yang sukses, mengungkapkan keprihatinan kepada yang salah arah, dan meneguhkan yang kecapaian di medan karya.
"Sebagai almamater, bukit ini selalu memanggil para alumni, awam dan imam, untuk menyegarkan komitmen dan membaharui tekad bersama agar di mana dan kapan saja kita tetap menjadi Ledalero, menjadi bukit yang memancarkan terang dan menggemakan suara Tuhan," imbuh Budi Kleden.
Di akhir perayaan ekaristi Pater provinsial SVD Ende membacakan benuming (penempatan) pertama tujuh belas orang frater yang berkaul kekal dan tiga orang diakon yang sedang berpraktik di Keuskupan Maumere. Dari keduapuluh misionaris muda ini enam belas orang dikirim ke luar negeri dan hanya lima orang yang bekerja di Indonesia.
Hadir pula dalam perayaan ini para pimpinan biara, anggota DPR RI, Bpk. Melkhias Markus Mekeng dan Bpk. Yosef Nai Soi, anggota DPR Provinsi, Bpk. Kristo Blasin, Bupati dan Wakil Bupati Sikka serta para alumni dan anggota komunitas Seminari Tinggi Ledalero. Perayaan ekaristi menampilkan juga nuansa inkulturatif dengan menghadirkan tarian-tarian daerah dan doa umat dalam beberapa bahasa daerah di NTT. ( Yuven Fernandez)

 ________________________________________________________________________________
Umat merasa memiliki Ledalero

Dalam sejarahnya Ledalero pernah melewati masa-masa krisis yang berat. Tahun 1942, baru lima tahun sesudah Seminari ini berdiri Seminari ini dijarah tentara Jepang dan para pastor Belanda ditawan. Tahun 1978 pemerintah Indonesia membatasi masuknya misionaris asing. Tahun 1992 Ledalero diguncang gempa. Namun, Ledalero terbukti berhasil melewati masa-masa sulit ini.
“Ketika misionaris dibatasi pada tahun 1978 reaksi umat sangat positif. Umat ambil tanggung jawab dan  panggilan imam bertumbuh subur. Tahun 1992 gempa bumi hancurkan Ledalero, tetapi itu menjadi saat membaharui sistem formasi dari sistem sentral ke sistem unit-unit," terang Leo Kleden dalam sambutannya.
Saat ini Ledalero tengah mengalami krisis keuangan tetapi reaksi umat sangat positif. "Bukan hanya di Flores tapi sampai di Jawa umat merasa sangat memiliki Ledalero," demikian Leo Kleden.
"Dalam sejarah gereja tidak ada satu biara pun yang ditutup karena krisis finansial. Biara itu mati karena para anggota tidak menghayati kharisma dan panggilan dasar tarekatnya secara konsekuen,” tegas Pater Leo Kleden, SVD, Provinsial SVD Ende saat resepsi perayaan intan 75 Tahun Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero.
Seminari tinggi Ledalero merekam jejak sejarah pendidikan yang penting di bumi Flores. Flores yang jauh tidak diperhitungkan oleh bangsa kolonial dalam peta kekuasaan Belanda waktu itu, namun Flores yang saat itu termasuk dalam kepulauan Sunda Kecil diperhitungkan oleh para misionaris Belanda. "Jawa penting karena tanahnya subur dan menjadi pusat kolonialisme, demikian pun Sumatra dan Kalimantan, tetapi Flores? Sebetulnya tidak ada harapan sama sekali," demikian Leo Kleden.
"Coba bayangkan, sudah sejak tahun 1926, para misionaris mulai berpikir untuk memulai sebuah seminari di Sikka-Lela. Itu artinya, mereka mau supaya orang-orang kita menjadi sama dengan mereka. Dan ini adalah suatu tanda sejarah yang luar biasa," kata Leo Kleden.
"Konon, ketika dua seminaris angkatan pertama, Pater Karel Kale Bale, SVD dan Pater Gabriel Manek, SVD ditahbiskan imam Pater Frans Cornelissen, SVD, guru mereka, berteriak seperti orang gila karena rasa tidak percaya."
Menurut Leo Kleden, dengan adanya pendidikan calon imam dan tahbisan imam pribumi ini menjadi satu tanda sejarah yang mebangkitkan rasa percaya diri masyarakat kita.
 _________________________________________________________________________________

Frater pesantren bawa grup kasidah

Resepsi bersama di aula Seminari Tinggi Ledalero diisi beragam acara. Tampil pula pada kesempatan ini grup kasidah dari pesantren Wali Songo Ende.
Kehadiran siswa-siswi pesantren ini sudah menarik perhatian para tamu dan undangan sejak awal perayaan ekaristi. Yosef Nai Soi, anggota DPR RI ketika memberikan sambutannya mengapresiasi kehadiran para siswa pesantren ini. "Ledalero sudah menunjukkan keterbukaan dan toleransi dalam hidup bermasyarakat bagi agamaku, bagimu agamamu," demikian Nai Soi mengutip ayat-ayat Alquran.
Grup kasidah ini dibawa oleh frater Baltasar Asa, SVD yang sedang berpraktik di pesantren tersebut. Sejak tahun 1997 hingga kini Ledalero masih terus mengirim fraternya untuk berpraktik pada pesantren tersebut.
Hal tersebut bisa dilihat sebagai salah satu bentuk penerapan dari ilmu yang telah diperoleh di ruang kuliah. Sebab dalam perkuliahan di Ledalero, para frater juga dibekali dengan mata kuliah ilmu perbandingan agama dan Islamologi yang diasuh oleh P. Dr. Philipus Tule, SVD.    
Tampil pula pada kesempatan tersebut tarian tradisional Hegong dari siswa-siswi SDI Gere. Perayan syukur ini ditutup dengan penyerahan hadiah bagi para pemenang lomba kuis Kitab Suci antar Sekolah dasar dan Sepak Bola Mini. Kuis Kitab Suci dimenangkan oleh SDI Gere sedangkan Sepak Bola mini dimenangkan oleh SDK Wairpelit. 


Uskup Baru Ketapang


Pastor Pius Riana Prabdi

            September lalu menjadi momen yang sangat berarti bagi umat di Keuskupan Ketapang Kalimantan Barat. Pastor Pius Riana Prabdi, 45 tahun resmi ditahbiskan menjadi Uskup di Keuskupan tersebut, setelah pada 25 Juni 2012 lalu, Vatikan memilihnya untuk memimpin Keuskupan Ketapang setelah mempertimbangkan permohonan pengunduran diri Mgr Blasius Pujaraharja. Perayaan yang diikuti sejumlah besar umat dirayakan dengan sangat meriah. Tak terkecuali, Duta Besar Takhta Suci untuk Indonesia Mgr. Antonio Guido Filipazzi pun turut hadir bersama sekitar 25 uskup dan 60 Imam dari berbagai keuskupan di Indonesia. Uskup Emeritus Ketapang, Mgr. Blasius Pujaraharja, didampingi oleh  Uskup Agung Pontianak Mgr Hieronymus Herculanus Bumbun OFMCap dan Mgr Johannes Maria Trilaksyanto Pujasumarta, Uskup Agung Semarang, mendapat kesempatan istimewa untuk menahbiskan Pastor Pius.
Dalam sambutannya, Mgr. Filipazzi menyampaikan ucapan selamat kepada Uskup baru dan kepada umat Keuskupan Ketapang yang telah lama menantikan hadirnya seorang gembala yang baru, menggantikan Uskup Emeritus Pujaraharja. Mgr. Puja, demikian sapaan akrab Uskup Uskup Emeritus Pujaraharja memuji semangat muda Uskup Pius yang berkenan mempersembahkan diri menggembalakan umatnya. Menyambut tahbisannya, mantan Vikaris Jenderal Keuskupan Agung Semarang, Mgr. Pius mengungkapkan syukur dan terima kasihnya. Harapannya ke depan agar selalu terjalin kerja sama di antara umat dengan para gembalanya, khususnya dalam ikatan pelayanan penuh kasih. Mgr. Pius, kelahiran Painiai, Papua adalah alumnus Seminari Menengah Santo Petrus Kanisius Mertoyudan Magelang, Jawa Tengah (1983). Uskup yang pernah menjabat sebagai Administrator Keuskupan Semarang ini dikenal sebagai seorang yang rendah hati dan sabar. Ini tercetus dari motto tahbisan uskupnya: “Serviens in Caritate” (Pelayanan dalam Kasih), yang diinspirasikan dari Yoh 21:15-18. (Antony)