Sabtu, 18 Mei 2013

"Calo" Lahan Tempat Pemakaman


Perkara kematian dan hak untuk dimakamkan secara layak ternyata masih menimbulkan soal, khususnya di kota Malang. Keruwetan pengurusan pemakaman pun menjadi incaran para pengangguran untuk mengais keuntungan. Betapa tidak, hampir setiap hari, jasa pemakaman pun makin laris seiring dengan angka kematian yang kian bertambah dari hari-ke hari. Maka tak heran di beberapa wilayah TPU (Tempat Pemakaman Umum) terdapat "calo" tempat pemakaman. Mereka sengaja mengambil alih lahan pemakaman dengan cara-cara yang seharusnya tidak patut. Di beberapa tempat tersbut terdapat batu nisan lengkap dengan nama korban meninggal, namun ternyata itu hanya kedok. Nama dan nisa itu ternyata hanya fiktif dipakai untuk memudahkan transaksi lahan pemakaman jika ada jenazah dari keluarga/warga yang hendak membutuhkan tempat pemakaman. Hal itu menjadi peluang bisnis gaya baru, terutama di kota yang cukup padat penduduk tersebut. Uniknya bahwa harga lahan tempat pemakaman itu pun terbilang besar. Untuk memakamkan seorang manusia saja harus mengeluarkan kocek senilai Rp. 700 ribu hingga Rp. 1,7 Juta jika ingin mendapat lahan. Tragisnya bahwa lahan pemakaman fiktif tersebut justru berada di lahan pemakaman milik pemerintah kota Malang (TPU Malang). Inilah salah satu alasan mengapa tidak sedikit warga Malang yang cendrung kremasi jenazah keluarganya daripada menguburkannya. Sungguh hidup dan mati itu tak ada bedanya, kita hidup saja sudah dipersulit, matipun lebih dipersulit. Sangat ironis!!!!! (Antonius Primus)

Jumat, 17 Mei 2013

PENGUNGSI PALUE: HIDUP DARI BELASKASIH



Anak-anak pengungsi

Maumere, Flores-NTT - Ketua Kelompok Pengungsi Asrama Transito Maumere,  Anastasia Bure (32) mengatakan, sejak meletusnya gunung api Rokatenda,  800 KK warga Palue mengungsi di beberapa lokasi yakni: di Kota Baru, Maurole, Ropah, Nangahure, Mausambi, Uludala, Keli Kembu, Ae Wora,   dan  pengungsi di asrama Transito ada 33 kk. Hidup kami hanya dari belas kasih orang, khususnya dari pihak relawan Caritas Maumere. Mereka hampir setiap hari datang memberikan bantuan  berupa beras, sarimie, air minum, minyak goreng, gula pasir, dan pakaian layak pakai,”  ujar Ibu Anas kepada  koresponden Majalah Kana di Asrama Transito  Maumere, Mei lalu. Selain itu kami juga mendapat kunjungan dari  Indosiar, Trans TV, Metro TV dan TV One. Akibat letusan gunung api warga Palue mengalami kerusakan rumah, air minum tercemar  belerang, iritasi kulit dan banyak anak terancam putus sekolah. Warga yang paling parah mengalami kerusakan adalah  warga desa Lidi dan Desa Nitunglea,” tambah pengungsi Asrama Transito ini.

 Seorang warga pengungsi  di lokasi Penampungan Asrama Transito, Bapak Geradus Badar (52) mengungkapkan banyak anak-anak Palue terancam putus sekolah. “Selama ini anak kami dititipkan di sekolah terdekat dengan tempat pengungsi namun menjadi persoalan kami tidak sanggup lagi untuk membiayai  pendidikan khususnya anak kami yang mengenyam pendidikan tingkat SLTP dan SLTA di Kota Maumere. Kami hidup sudah susah, makan minum hanya karena belas kasih orang , apalagi untuk membiayai pendidikan anak sekolah,” ungkap Geradus Badar. Ia menambahkan bahwa seluruh anak pengungsi yang mengenyam pendidikan di jenjang SLTP dan SLTA di Kota Maumere sekitar 50  anak.
 
Rokatenda terus beraktivitas tak henti
Salah seorang siswa SLTA yang terancam putus sekolah adalah Delvianti Nikmati Toji, siswi kelas XI  salah satu SMA Negeri di Kota Maumere. “Sudah satu bulan  saya tidak bisa ikut kegiatan belajar mengajar (KBM) karena malu belum melunasi uang sekolah,” ujar Delvi.  Ibunya hanya seorang perajin tenun ikat, sehingga tidak berdaya membiayai  lima orang adiknya yang semuanya sekolah di tingkat SD, SMP dan SMA sedangkan ayahnya merantau ke Malaysia sejak Delvi SMP kelas II. Masalah ini tidak hanya dialami  Delvi tetapi masih banyak rekan lain mengalami hal yang sama.

Koordinator Umum Posko Kemanusiaan Palue Romo Yan Faroca Pr, mengatakan, akan berusaha mencari solusi mengatasi masalah biaya sekolah siswa-siswi asal Palue dengan melakukan koordinasi dengan para kepala sekolah dan kepala Dinas PPO Sikka, agar mereka memberikan kebijakan sehingga anak-anak tetap sekolah.

Salah seorang pengungsi yang sakit digotong ke kantor DPRD Sikka menuntut keadilan
Para pengungsi Palue di lokasi Penampungan Asrama Transito mengharapkan Pemerinta Daerah Kabupaten Sikka memberikan bantuan, khususnya untuk biaya pendidikan di tingkat SLTP dan SLTA sehingga anak-anak tetap sekolah. Kami tidak memiliki apa-apa lagi, kegiatan kami setiap hari  bervariasi; ada yang ikat tenun, jual bensin eceran, ada yang buruh bangunan. Penghasilan kami sungguh menyedihkan apalagi untuk membiayai pendidikan anak sekolah,” ekspresi salah satu pengungsi. (Agus Badjo/Guru SMAK Frateran Maumere)

Rabu, 27 Maret 2013

SEMINAR DAN BEDAH BUKU “Statika”



Buku Sebagai Warisan Luhur


Medan - Buku adalah warisan yang memiliki banyak manfaat. Dengan membaca mungkin orang menjadi semakin baik. Demikian menurut Koordinator Kopertis Sumut / NAD  Prof. Dian Armanto, MA. MPd. MSc. PhD., dalam sambutannya pada Seminar dan Bedah Buku di Convention Hall, Bina Media, Medan pertengahan Februari lalu. Prof. Dian berharap buku kiranya dapat membuat hati kita menjadi beku, dimana ada kekuatan batin dalam buku. Buku merupakan apresiasi batin di mana kita dapat melihat makna-makna dari apa yang tertulis.
Seminar yang bertemakan “Menulis Buku sebagai Sarana Harta Warisan yang Luhur” dan Bedah Buku “STATIKA” Prof. Dr. Ing. Johanes Tarigan ini dihadiri sekitar 150 undangan dari berbagai kalangan Dosen dan Mahasiswa. RP. Bonifasius Saragih, OFMCap., memukul gong 3 kali sebagai tanda resmi pembukaan seminar dan bedah buku. Seminar dan bedah buku ini terselenggara berkat kerja sama antara dua lembaga yakni Unika St. Thomas dan PT Bina Media Perintis. Sejak Mei 2012 kedua lembaga ini sudah mulai kerja sama dalam banyak hal. Kedua lembaga Katolik ini diharapkan ke depannya dapat terus bersinerji mengadakan aneka kegiatan.
RD Dr. Hieronymus Simorangkir  yang mewakili kedua lembaga ini menyambut gembira kegiatan ini, khususnya dengan kehadiran Kopertis Sumut/NAD, karena beliau baru menjabat Kopertis di wilayah Sumut/NAD ini. “Kita semakin masuk dalam jelajah wawasan yang lebih luas, lebih dalam dan lebih tinggi terkait dengan ilmu-ilmu yang kita penuhi serta bagaimana menuangkan dan mengekpresikan itu kedalam bentuk tulisan atau dalam bentuk studi kasus-studi kasus lainnya” Ujar Rektor Unika St. Thomas Sumatera Utara tersebut. 


Ilmu Statika
Prof. Dr. Ing. Johanes Tarigan, penulis buku “STATIKA”, menjelaskan bahwa perkembangan ilmu statika terdiri dari: Pertama, Konvensional. Di mana sekitar tahun 1700-an sampai dengan 1800-an ilmu statika berkembang pesat; lalu tahun 1800 – 1900 boleh dikatakan abad genius dalam perkembangan ilmu statika. Kedua, Numeris/FEM (finite element method) Computational Engineering yang mana perkembangannya dari tahun 1940 – sekarang.  
Pembanding I, Prof. Dr. Ir. Bahrian Lubis MSC., mengomentari dari sisi artistic buku ini perlu ditingkatkan. Sedangkan pembanding II, Ir. Simon Derta Tarigan, MT., seorang dosen, mahasiswa dan praktisi, meminta kepada penulis untuk lebih menyajikan contoh-contoh soal konkrit dan aktual sehingga mudah dipahami mahasiswa; seperti tentang ilmu gaya.
 Prof Johanes mengatakan bahwa buku Statika ini adalah sebuah buku tentang ilmu dasar statika, sebagai salah satu referensi di bidang ilmu-ilmu teknik sipil.

Budaya Menulis
Usai bedah buku acara dilanjutkan Seminar yang bertemakan: “Menulis Buku sebagai Sarana Harta Warisan yang Luhur” dengan narasumber: Simon Saragih (Wartawan Senior KOMPAS), Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu dari Dirjen Dikti Kemendikbud (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) dan RP. Daniel Erwin Simanullang, MA, OFMCap. (Direktur Penerebit Bina Media Perintis Medan). Pembicara pertama, Simon Saragih membawakan materi: “Mengapa Menulis Penting? Apa Tantangannya? Topik Apa Yang Harus Ditulis? Kiat Menjadi Penulis?”.
Menurut Simon Saragih, banyak hal yang membuat orang mau menulis. “Diawali karena hoby maupun iseng (biasanya secara alamiah), lalu ada juga adanya panggilan jiwa (memiliki kebiasaan suka menulis), dan kewajiban (bukan untuk mencari uang semata tetapi wadah ekspresi pemikiran) serta Achievement. Kemudian bagaimana harus memulai menulis kata Simon Saragih. “Bakat menulis juga tercipta karena adanya pemaksaan diri sehingga memunculkan niat menulis. Warisan bukan hanya berupa kekayaan pada anak-anak tetapi juga bisa berupa informasi dan pelajaran demi generasi masa depan, yang sebagian nasibnya ada di tangan para pendahulu mereka,” tambah Simon Saragih.
Sementara itu Dirjen Dikti, Wasmen Manalu menyajikan topik “Peranan Pemerintah Dalam Pemberdayaan Penulisan Buku dan Karya Ilmiah Bagi Para Dosen”. Dalam hal ini Wasmen Manalu menjelaskan komponen kegiatan meliputi kegiatan penelitian yang dilakukan para dosen, yakni: untuk menghasilkan karya ilmiah, menerjemahkan dan menyadur buku ilmiah, mengedit/menyunting karya ilmiah, membuat rancangan dan karya teknologi yang dipatenkan serta rancangan dan karya seni monumental/seni pertunjukan/karya sastra.
Dalam kesempatan yang sama, Daniel Erwin Manullang memaparkan mengenai komitmen Bina Media Perintis Dalam Dunia Penerbitan Buku serta keterbukaannya terhadap kalangan pendidik dan akademik yang ingin menghasilkan karya tulis untuk diterbitkan.  (Parulian Tinambunan - Medan)

John Latuan: Ziarah Iman tak Bertepi

           
Di usia 55 Tahun sudah tidak tergolong muda lagi. Namun berkat kekuatan doa  Ia telah menorehkan sejarah dalam hidupnya  di Kota Maumere, bumi pijakan Bapa Paus Yohanes Paulus II, dengan menghasilkan goresan  ungkapaan permenungan dalam ziarah hidupnya yang tak bertepi. Pengalaman ziarah di tanah suci Yerusalem disharingkan kepada kita. Semua terekam dalam bukunya “Allah dalam jejak-jejak kehidupan, ziarah iman tak bertepi” 



 Pengalaman Ziarah di Tanah Suci
“Allah dalam jejak-jejak kehidupan, ziarah iman tak bertepi” adalah buah karya Bapak John di usia senja. Karya ini terinspirasi ketika dalam perjalanan ziarah suci ke Timur tengah: Amman dan Petra (Yordania), Nazareth, Tabor, Sungai Yordan, Danau Galilea, Kapernaum, Yerusalem, Makam Yesus Kristus, Sinai dan tempat-tempat suci lainnya sebagaimana tertera dalam Alkitab pada zaman Yesus 2000-an tahun lalu. Saya sungguh melihat dan merasakan Yesus dalam sejarah,” demikian kata suami dari Bernadetha Grasiana kepada penulis saat peluncuran buku di Aula LK3 I Maumere awal Januari lalu.
John Latuan
Pria kelahiran Lembata, yang juga Ketua Persekutuan Doa Hati Tak Bernoda Maria Maumere mengatakan, doa  sebagai kekuatan utama dalam hidup, banyak problem dapat diselesaikan dengan doa. Ini berangkat dari pengalaman dan permenungan saya dalam kelompok doa sekaligus pengalaman iman yang diperoleh di Tanah Suci. Pengalaman itu saya refleksikan dan  bagikan kepada masyarakat luas dengan membuat buku. Harapan refleksi itu menjadi pelajaran iman bagi  sesama untuk kehidupan agama dan penghayatan dalam hidup harian pembaca. Buku setebal 132 halaman  yang dicetak pada Penerbit Mosalaki Labrica Jakarta adalah buku kedua, setelah buku  perdananya Pulang Ke rumah, Bergumul dengan Nurani. Bapak dari ketiga putra, yang selalu tampil sederhana dengan senyuman  khas ini selalu membagikan pengalaman imannya  kepada  semua  orang  tanpa mengenal status pendidikan, ekonomi, politik, dan budaya.

Apresiasi dari tokoh agama dan masyarakat
Sekretaris Keuskupan Maumere Romo Richard Muga Buku, Pr., dalam kotbah misa peluncuran buku mengatakan, saya juga pernah ke Tanah Suci tetapi hanya sekedar wisata rohani saja tidak terpikir untuk merefleksikan dan dibukukan. Karya Bapa John ternyata sangat luar biasa, kita tidak saja dihadapkan dengan informasi tentang Tanah Suci tetapi  juga diajak turut merasakan getaran iman penulis di setiap tempat suci yang dikunjungi. Mudah-mudahan kita yang  punya kesempatan membaca buku ini semakin bertumbuh  dalam iman akanTritunggal Maha Kudus dan terutama semakin mencintai Sabda yang menjadi manusia”, harap  dosen Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero itu. Pujian  senada juga disampaikan Staf Komisi Kateketik Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Daniel Boli Kotan, “buku karya John Latuan adalah sebuah anugerah, untuk menulis buku yang bernafaskan rohani atau teologi itu tidak gampang, apalagi datang dari seorang awam. Ini termasuk suatu karya besar yang sangat spektakuler “ ungkap dosen Sekolah Tinggi Ilmu Pemerintah Abdi Negara, Jakarta tersebut.

Sosok seorang John Latuan
            Johanes Baptista Bosco Latuan, dilahirkan di Balurebong-Lembata pada tanggal 8 Agustus 1958, Pendidikan SD-SMP di Lembata, SMAK St.Gabriel Maumere dan meraih sarjana muda di Perguruan Tinggi Undana Kupang. Kini  bekerja sebagai Kepala Seksi Kurikulum Pendidikan Menengah Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Sikka. John juga pernah menjadi Local Adviser Pendidikan Anak Usia Dini yang bekerja sama dengan Pemerintah Australia dalam program NTT-PEP dan sebagai spesialis Gender pada NTT - PEP.  Selain aktif mengkoordinir dan menggerakan Komunitas Doa Hati Tak Bernoda Maria, juga aktif di Paroki St.Thomas Morus Maumere sebagai Ketua Rumpun Kemasyarakatan dalam Dewan Pastoral Paroki. (Agus Badjo/Yuven Fernandez, Staf Pengajar SMAK Frateran Mumere)