AWAM KATOLIK
SETURUT AJARAN KONSILI VATIKAN II
Pada Konsili Vatikan
II para Bapa Konsili yang terbuka bagi suatu pembaharuan dan terutama
para teolog yang merancang pembaharuan itu, ingin mengatasi penyempitan
dalam paham tentang Gereja dengan cara melengkapi tradisi millennium
kedua dengan unsur-unsur penting dari tradisi millennium pertama. Dengan
cara demikian Konsili akhirnya berhasil mengemukakan suatu eklesiologi
‘communio’ yang besar pengaruhnya bagi teologi dan gambaran mengenai
awam dalam Gereja.
Pada mulanya skema
yang disiapkan untuk didiskusikan dalam konsili mengikuti haluan umum
suatu eklesiologi golongan, lebih dahulu para uskup dibicarakan dengan
menyinggung sedikit para imam juga, kemudian para biarawan / biarawati
dan pada giliran terakhir para awam. Dengan cara demikian orang dan
haluan ini ingin melengkapi Konsili Vatikan I (pertama) yang hanya
berbicara tentang paus dan wewenangnya.
Tetapi kemudian
gambaran ini diatasi dengan menempatkan pada tempat pertama suatu bab
yang berbicara mengenai Gereja sebagai misteri dan menyusul lagi satu
hal tentang umat Allah sebelum konstitusi Lumen Gentium membahas
hierarki di dalam Gereja.
Pernyataan dalam bab
pertama bahwa Gereja merupakan suatu misteri cukup lama diperdebatkan di
sidang konsili, karena banyak bapa konsili menganggap pernyataan ini
terlalu Protestan. Cukup lama dalam tradisi, Gereja Protestan menganggap
Gereja pada intinya suatu kenyataan yang tak kelihatan. Hanya Allah
yang tahu, siapa sungguh beriman dan termasuk Gereja. Gereja yang
sesungguhnya itu tidak identik dengan Gereja kelihatan yang merupakan
lembaga terstruktur. Dan Gereja yang kelihatan / lahiriah itu sebenarnya
tidak begitu penting.
Berlawanan dengan
gambaran ini, Gereja Katolik menekankan dan mengutamakan sifat kelihatan
dari Gereja. Gereja sebagai lembaga dengan bentuk dan struktur
tertentu, di mana terutama hierarki mendapat perhatian. Malah hierarki
semakin diutamakan sampai dalam banyak kasus orang secara diam-diam
menyamakan Gereja dengan hierarki.
Berbeda dengan
gambaran demikian tentang Gereja, konsili mengatakan bahwa Gereja pada
tempat pertama bukan suatu lembaga dengan struktur dan peraturan
tertentu, dengan golongan anggota yang berbeda-beda yang mempunyai
wewenang masing-masing. Pada tempat pertama Gereja merupakan suatu
misteri, misteri itu hadir di bawah tanda yang dibawakan Yesus ke dalam
dunia, dan misteri itu masih tetap dihidupkan di atas bumi ini oleh Roh
Kudus.
Gereja itu merupakan
suatu misteri, karena ia adalah persekutuan para orang kudus, mereka
yang dikuduskan Kristus. Mereka semua yang melalui sakramen baptis dan
ekaristi dalam uraian pada awal konstitusi Lumen Gentium dalam bab
tentang Gereja sebagai misteri; sebelum kita memandang jabatan dan
golongan dan fungsi berbeda di dalam Gereja, perlu diperhatikan adanya
suatu kesamaan antara semua anggotanya yang jauh lebih fundamental
daripada semua pembedaan menurut aspek apa saja.
Pikiran dan penekanan
ini dilanjutkan dalam bab tentang Gereja sebagai umat Allah. Dengan
menghidupkan kembali gagasan Kitab Suci mengenai ‘laos’, mengenai umat
Allah, kecuali menggambarkan Gereja sebagai persekutuan, ‘communio’ yang
terbentuk dari semua orang yang beriman akan Yesus Kristus. Para
pejabat merupakan sebagian dari Gereja, tugas dan pelayanan mereka
dibutuhkan agar Gereja bisa berfungsi dengan baik, tetapi mereka bukan
keseluruhan Gereja. Gereja tidak identik dengan hierarki / klerus. Baru
semua orang beriman bersama-sama, para pejabat (klerus) dan para awam
merupakan Gereja. Gereja, bukan sebagian darinya, menjalankan ketiga
tugas Kristus di dalam dunia, tugas sebagai imam, nabi dan raja. Dalam
beberapa artikel dari bab itu, digambarkan bahwa wewenang di dalam
Gereja, dimensi imami, kenabian dan rajawi diserahkan kepada Gereja
seluruhnya.
Khususnya mengenai ciri imami seluruh umat Allah misalnya konsili menegaskan:
Kristus
Tuhan, Imam Agung yang dipilih dari antara manusia, menjadikan umat
baru ‘kerajaan dan imamat bagi Allah dan BapaNya’. Sebab mereka yang
dibaptis karena kelahiran kembali dan pengurapan Roh kudus disucikan
menjadi kediaman rohani dan imamat suci, untuk sebagai orang kristiani,
dengan segala perbuatan, mereka mempersembahkan korban rohani, dan untuk
mewartakan daya kekuatan Dia, yang telah memanggil mereka dari
kegelapan ke dalam cahayaNya yang mengagumkan. Maka hendaknya semua
murid Kristus, yang bertekun dalam dia dan memuji Allah, mempersembahkan
dan sebagai korban yang hidup, suci, berkenan kepada Allah. Hendaknya
mereka di seluruh bumi memberi kesaksian tentang Kristus, dan kepada
mereka yang memintanya memberi pertanggungjawaban tentang harapan akan
hidup kekal, yang ada pada mereka (LG 10)
Pernyataan ini
mengenai ciri imam, kita baca dalam ajaran konsili tentang Gereja.
Gereja seluruhnya sebelum ada pelbagai deferensiasi dan pembedaan,
sebelum ada bahasan tentang jabatan dan fungsi. Pernyataan dan penegasan
ini berlaku untuk seluruh Gereja, semua anggotanya, mereka semua adalah
imam, nabi dan raja dalam kuasa yang diberikan Kristus kepada Gereja
dan yang diaktifkan oleh Roh Kudus.
Konstitusi Lumen
Gentium ‘mengarahkan perhatiannya kepada status kaum beriman kristiani
yang disebut awam’. Dan langsung pada awal bab itu ditegaskan bahwa
‘segala sesuatu yang telah dikatakan tentang umat Allah, sama-sama
dimaksudkan bagi kaum awam, para religious dan kaum rohaniwan(klerus)’
(artikel 30 LG) Konsili berusaha sekuat tenaga untuk mengatasi gambaran
negative tentang kaum awam sebagai ‘bukan klerus’, dan secara positif
menyatakan awam sebagai orang beriman kristiani, sebagai kaum terbaptis.
Namun deskripsi negative tidak bisa dihindari secara tuntas, kita dapat
baca dalam artikel 31:
Yang
dimaksud dengan istilah awam di sini ialah semua orang beriman
kristiani kecuali mereka yang termasuk golongan imam (klerus) atau
status religious yang diakui dalam Gereja. Jadi kaum beriman kristiani,
yang berkat baptis telah menjadi anggota Tubuh Kristus, terhimpun
menjadi umat Allah, dengan cara mereka sendiri ikut mengemban tugas
imamat, kenabian dan rajawi Kristus, dan dengan demikian sesuai dengan
kemampuan mereka melaksanakan perutusan segenap Umat kristiani dalam
Gereja dan di dunia.
Ternyata juga dalam
deskripsi ini kaum awam tidak terutama dan bukan pada tempat pertama
dipandang sebagai ‘bukan klerus’, tetapi sebagai orang beriman yang
kepadanya tri-tugas Kristus dipercayakan melalui sakramen-sakramen.
Dengan demikian terdapat suatu kesamaan antara semua anggota Gereja yang
bersifat fundamental dan tidak dapat diganggu gugat. Jadi, ‘samalah
martabat para anggota Gereja karena kelahiran mereka kembali dalam
Kristus, sama juga rahmat para putra-puteri Allah, sama pula panggilan
kepada kesempurnaan; satu keselamatan, satu harapan dan tak terbagilah
cintakasih. Namun semua toh sungguh-sungguh sederajat martabatnya,
sederajat pula kegiatan yang umum bagi semua orang beriman dalam
membangun Tubuh Kristus’ (LG 32)
Berdasarkan kesamaan
fundamental ini maka semua dipanggil untuk menjalankan kerasulan Gereja.
‘Adapun kerasulan kaum awam itu ialah keikutsertaan dalam perutusan
keselamatan Gereja sendiri. Dengan baptis dan penguatan semua ditugaskan
oleh Tuhan sendiri untuk kerasulan itu’ (LG 33)
Para awam menjalankan
kerasulan Gereja dan mereka menjalankannya karena dipanggil dan
ditugaskan Yesus Kristus sendiri. Mereka bukan turut serta dalam
kerasulan hierarki, berdasarkan suatu mandat yang mereka peroleh dari
hierarki. Konsep (peran awam sebagai) Aksi Katolik dibuang jauh. Karena
para awam merupakan anggota umat Allah, maka mereka memiliki hak dan
kewajiban untuk menjalankan tugas dan misi Gereja sebagai umat Allah
itu.
Dekrit tentang
Kerasulan Awam memerinci gambaran yang ditetapkan dalam konstitusi
tentang Gereja. Pada mulanya ada diskusi mengenai penggunaan kata
kerasulan dalam judul. Bukankah para Uskup dipandang sebagai pengganti
para rasul, sehingga istilah kerasulan sebaiknya hanya dipakai untuk
para uskup dan tugas mereka? Tetapi istilah itu akhirnya dipertahankan
dengan argumentasi bahwa Gereja seluruhnya bersifat apostolic.
Apostolisitas merupakan satu dari keempat ciri dasar yang mewarnai
seluruh Gereja. Malah dalam dekrit itu sendiri satu kali para awam
disebut sebagai ‘rasul yang sejati’ (AA 5)
Secara khusus
Apostolicam Actuasitatem berbicara juga mengenai tugas kerasulan kaum
perempuan. ‘Karena zaman sekarang ini kaum perempuan semakin berperan
aktif dalam seluruh hidup masyarakat, maka sangat pentinglah bahwa
keikut-sertaan mereka diperluas, juga di pelbagai bidang kerasulan
Gereja’ (AA 9)
Dengan menetapkan
peran dan status awam di dalam Gereja secara baru, maka relasi antara
klerus dan awam mesti dipikirkan secara baru, karena relasi itu tidak
bisa lagi dengan begitu saja dimengerti menurut skema perintah ketaatan,
instruksi pelaksanaan, mengajarkan, mendengarkan. Bila para awam
mempunyai tugas dan peran aktif yang mereka peroleh dari Kristus, bukan
dari hierarki, kalau mereka mesti menjalankan tugas itu berdasarkan
tanggung jawab dan inisiatif mereka sendiri, maka skema lama itu tidak
cocok lagi.
Konsili berusaha
memberikan kerangka baru bagi relasi itu dalam gagasan Gereja sebagai
‘communio’ sebagai persekutuan. Menurut gagasan ini Gereja merupakan
suatu jaringan antara pelbagai pribadi yang saling membutuhkan, saling
melengkapi, saling memperkaya, saling menghargai, yang hanya dapat hidup
dalam interelasi satu dengan yang lain.
Kalau Gereja merupakan
suatu persekutuan, maka gambaran demikian membawa juga konsekuensi bagi
relasi antara klerus dengan kaum awam. Keduanya mesti menjalankan tugas
dan perannya masing-masing atas tanggung jawab masing-masing dan dengan
saling menghargai, agar Gereja bisa hidup dan berfungsi dengan baik.
Berulang kali para pejabat diajak agar mereka tidak saja menghargai
bakat dan karisma para awam, tetapi secara aktif mendesak dan menyiapkan
peluang agar pelbagai bakat dan karisma itu bisa dikembangkan dan
disumbangkan bagi kepentingan bersama. Saya ingin mengutip satu contoh
imbauan itu dari LG 37:
Hendaklah
para Gembala hierarkis mengakui dan memajukan martabat serta tanggung
jawab kaum awam dalam Gereja. Hendaklah nasehat mereka yang bijaksana
dimanfaatkan dengan suka hati, dan dengan penuh kepercayaan diserahkan
kepada mereka tugas-tugas dalam pengabdian kepada Gereja. Dan hendaklah
mereka diberi kebebasan dan keleluasaan untuk bertindak; bahkan mereka
pantas diberi hati, supaya secara spontan memulai kegiatan-kegiatan juga.
Akan tetapi pada
tempat ini perlu ditanya, apakah semuanya itu hanya peringatan saleh
yang sebaiknya diperhatikan para pejabat Gereja, tetapi yang tidak bisa
dituntut oleh kaum awam sebagai hak? Kalau sungguh bahwa Gereja pada
intinya merupakan suatu persekutuan, bila struktur ‘communio’ merupakan
struktur dasar Gereja, maka hukum Gereja mesti mencerminkan struktur
itu. Suatu hukum Gereja tidak bisa mengesahkan dan mewajibkan secara
legal seuatu struktur Gereja yang tidak sesuai dengan struktur dasar
Gereja. Dalam hal ini kita mesti mengemukakan pertanyaan serius terhadap
hukum gereja yang sedang berlaku. Ia sama sekali tidak mencerminkan
struktur dasar Gereja sebagai persekutuan. Seturut hukum itu segala
inisiatif di dalam Gereja, seluruh prosedur pengambilan keputusan tetap
semata-mata berada dalam tangan klerus, terutama para uskup. Semua dewan
yang dianjurkan atau diwajibkan di dalam Gereja Katolik bersifat
konsultatif dan tidak memiliki kuasa apapun, bergantung dari pastor atau
uskup; berapa jauh para pejabat Gereja mengikuti imbauan konsili
Vatikan II dan mendengarkan nasehat Konsili atau tidak. Atau kalau kita
perhatikan hukum yang berlaku menyangkut prosedur pemilihan uskup. Awam,
umat keuskupan hanya bisa secara pasif menerima calon yang ditetapkan
oleh Roma, tanpa ada kaum awam ditanya sedikitpun. Dalam hal ini kita
mesti katakan bahwa masih ada suatu kekurangan besar. Hukum yang ada
tidak mencerminkan gagasan teologis yang digariskan Konsili Vatikan II
sebagai struktur dasar Gereja, yakni ‘communion’.
Soal lain yang dalam
diskusi actual, dalam implementasi ajaran Konsili Vatikan II cenderung
mengebiri lagi peran dan status awam di dalam Gereja Katolik, ialah
gagasan mengenai ciri duniawi para awam. Menurut gagasan ini – yang
sebenarnya selalu muncul lagi sejak pertentangan penobatan (penetapan)
uskup – para awam menjalankan tugas mereka di tengah dunia, sedangkan
tugas intern gerejani, tugas mengembangkan Gereja adalah tugas klerus.
Konsili Vatikan II
tidak mengadakan pemisahan macam itu, tetapi sebaliknya dalam beberapa
teks berbicara mengenai tugas para awam di dunia dan Gereja. ‘Kaum awam
ikut serta mengemban tugas imamat, kenabian dan rajawi Kristus,
menunaikan bagian mereka dalam perutusan segenap Umat Allah dalam Gereja
dan di dunia’ (AA 2). Atau di tempat lain kita baca: ‘Dalam
melaksanakan perutusan Gereja itu kaum awam menunaikan kerasulan mereka
baik dalam Gereja maupun di tengah masyarakat, baik di bidang rohani
maupun dibidang duniawi’ (AA 5)
Memang benar konsili Vat II mengatakan bahwa para awam itu secara khusus diwarnai oleh cirr
i duniawi. Tetapi
menurut banyak pengamat pernyataan itu (misalnya LG 31) tidak merupakan
penilaian teologis, tetapi penggambaran sosiologis 13) Semua anggota
Gereja mesti menjalankan tugas perutusan Gereja, membawakan pewartaan
Kristus dan keselamatanNya ke tengah dunia dengan segenap diri dan
seluruh hidupnya. Para awam umumnya menjalankan profesi profan,
non-gerejani, maka penghayatan iman mereka yang mesti menyangkut segenap
hidup itu lebih banyak diwarnai oleh ciri duniawi, dalamnya mereka
berkecimpung dan menjalankan profesi mereka, dibanding dengan para
klerus yang menjalankan suatu profesi gerejani. Kalau konsili menyatakan
ciri duniawi sebagai ciri khas para awam, maka kita mesti mengerti hal
itu dalam arti bahwa juga peran mereka di dalam Gereja diwarnai oleh
pengalaman konkret mereka di tengah dunia, dan justru dari aspek ini
keterlibatan mereka dalam segala urusan gerejani penting sekali bagi
Gereja, agar Gereja bisa menghayati inti hakekatnya sendiri.
Karena itu kita mesti
memperhatikan ajaran konsili Vat II mengenai Gereja yang menurut
hakekatnya bersifat misioner. Gereja tidak ada untuk dirinya sendiri,
tetapi untuk dunia, untuk lingkungan dan masyarakat yang di dalamnya ia
hidup. Gereja seluruh umat Allah (klerus dan awam), mesti bertobat dan
bertobat, ditransformasi menjadi masyarakat baru, menjadi persekutuan
yang dijiwai Roh Allah. Sebagai masyarakat baru yang dijiwai Injil,
Gereja mesti hidup di tengah dunia, dengan membawa semangat Injil ke
dalam dunia, meresapkan semangat Yesus Kristus itu ke dalam segala
bidang dunia ini. Karena pada umumnya para awam lebih langsung
berkecimpung dalam pelbagai bidang dunia ini, maka mereka mempunyai
peluang dan tanggung jawab lebih besar untuk menjalankan tugas perutusan
Gereja itu.
Tetapi ini tidak
berarti bahwa dengan demikian mereka tidak mempunyai suara dalam hal
yang menyangkut penafsiran Injil dan pengaturan struktur intern
gerejani. Justru sebaliknya, karena Gereja seturut inti hakekatnya
berada untuk misi, bereksistensi dalam menjalankan tugas perutusannya,
maka mereka yang berada pada garis depan perutusan dan kerasulan itu,
para awam, mesti mempunyai suara yang menentukan dalam mengatur struktur
intern gerejani dan soal penafsiran Injil seturut kebutuhan zaman,
berarti seturut kebutuhan misi Gereja.
Jelas bahwa dalam hal
ini kita masih sangat kuat dipengaruhi perkembangan selama masa yang
panjang dalam sejarah Gereja, di mana klerus dan awam dipertentangkan
sebagai dua golongan, dan relasi mereka terutama dipandang dari
perspektif wewenang dan kuasa. Dan kita masih kurang berpikir seturut
gagasan Gereja sebagai persekutuan (communion) dan kurang pula mencari
bagaimana struktur Gereja harus di atur secara praktis dan yuridis agar
Gereja sungguh bisa menghayati hakikatnya sebagai persekutuan.
© pada penulis: Georg
Kirchberger, salah satu bagian yang ada dalam buku RANCANG BERSAMA –
Awam – Klerus, penerbit Ledalero, Maumere, 2006
Mengapa keberadaan dan peran AWAM dalam Gereja Katolik masih belum seperti harapan dari
KONSILI VATIKAN II ?
Faham
tentang awam dan klerus berkembang dari masa ke masa, dan ada faham di
masa silam yang tidak sesuai dengan faham Konsili Vatikan II, itulah
yang menyebabkan 'salah faham'.
Silahkan membaca sejarah ringkas
hubungan klerus - awam
dari masa ke masa
dalam buku
RANCANG BERSAMA
Awam - Klerus
Penerbit Ledalero, Maumere, 2006
Pesan di
SEMINARI TINGGI LEDALERO
Maumere 86152 - Tlp 0382 22898
email : penerbitledalero@yahoo.com