ENSIKLIK SPE SALVI
DARI PAUS BENEDIKTUS XVI
KEPADA PARA USKUP
PARA IMAM, DIAKON
BIARAWAN DAN BIARAWATI
DAN SEMUA UMAT BERIMAN AWAM
MENGENAI HARAPAN KRISTEN
Pengantar
1. "SPE SALVI facti sumus"—kita
diselamatkan dalam pengharapan, kata Santo Paulus kepada jemaat di Roma,
dan begitu juga kepada kita (Rom 8:24). Menurut iman Kristen,
"penebusan"—keselamatan—bukanlah sesuatu yang [otomatis] diberikan.
Penebusan ditawarkan kepada kita dalam artian bahwa kita telah diberi
harapan, sebuah harapan yang bisa-dipercaya, yang oleh karena kebajikan
[dari harapan tersebut] kita bisa menghadapi saat kini kita: saat kini,
meskipun itu melelahkan, bisa dihidupi dan diterima kalau [saat kini
tersebut] mengarah kepada suatu tujuan, kalau kita bisa yakin akan
tujuan ini, dan kalau tujuan ini cukup besar untuk menjustifikasi [atau
"membenarkan"] upaya untuk suatu perjalanan [dalam mencapai tujuan itu].
Sekarang, pertanyaan dengan segera muncul: harapan macam apa yang dapat
menjustifikasi [atau "membenarkan"] pernyataan bahwa, —atas dasar
harapan itu dan hanya karena [harapan] itu ada—, kita telah ditebus? Dan
kepastian seperti apakah yang terlibat disini?
Iman adalah Harapan
2. Sebelum mengarahkan perhatian
kita kepada pertanyaan yang ditanyakan pada saat yang tepat tersebut,
kita harus mendengar sedikit lebih dekat kepada kesaksian Alkitab atas
harapan. "Harapan," pada kenyataannya, adalah sebuah kata kunci dalam
iman Biblis—sebegitu rupa sehingga dalam beberapa perikop kata-kata
"iman" dan "harapan" sepertinya saling dipergantikan. Karenanya Surat
kepada jemaat Ibrani menghubungkan dengan dekat "kepenuhan iman" (10:22)
kepada "pengakuan akan harapan kita tanpa bergeming" (10:23). Begitu
pula, ketika Surat Pertama Petrus menganjurkan umat Kristen untuk selalu
siap memberi jawaban mengenai sang Logos—[yang adalah] arti dan
alasan—dari harapan mereka (bdk. 3:15), "harapan" ekuivalen dengan
"iman". Bila kita membandingkan kehidupan umat Kristen dengan kehidupan
[sebelum umat Kristen itu mempunyai iman Kristen], atau [bila kita
membandingkan kehidupan umat Kristen] dengan situasi dari pengikut
agama-agama lain, kita melihat bagaimana dengan keteguhan pemahaman-diri
para umat Kristen awal dibentuk [oleh karena] mereka memiliki karunia
harapan yang bisa-dipercaya. Paulus mengingatkan kepada jemaat Efesus
bahwa sebelum pertemuan mereka dengan Kristus mereka "tanpa pengharapan
dan tanpa Allah didalam dunia" (Ef 2:12). Tentu saja dia [St. Paulus]
tahu bahwa mereka dulunya mempunyai ilah-ilah, dia tahu bahwa mereka
dulunya mempunyai sebuah agama, tapi ilah-ilah mereka terbukti [patut]
dipertanyakan, dan tidak ada harapan yang muncul dari mitos-mitos
[ilah-ilah] yang kontradiktif [tersebut]. [Meskipun memiliki] ilah-ilah,
mereka dulunya "tanpa Allah" dan konsekuensinya mereka menemukan diri
mereka didalam dunia yang gelap, menghadapi masa depan yang buruk. In
nihil ab nihilo quam cito recidimus (Bagaimana cepat kita jatuh dari
kehampaan ke kehampaan): [1] seperti yang dikatakan satu batu nisan dari
periode itu. Di frase ini kita melihat dalam suatu ungkapan yang pasti,
inti yang ingin disampaikan Paulus. Dalam nada yang sama dia berkata
kepada jemaat Tesalonika: kamu seharusnya tidak "bersedih seperti orang
lain yang tidak memiliki harapan" (1 Tes 4:13). Juga disini kita melihat
sebuah tanda pembeda umat Kristen, [yaitu] bahwa mereka mempunyai
sebuah masa depan: bukan [berarti] bahwa mereka tahu detail-detail dari
apa yang menanti mereka, tapi mereka tahu secara garis besar bahwa
kehidupan mereka tidak akan berakhir dalam kehampaan. Hanya ketika masa
depan [menjadi] pasti sebagai suatu realitas yang positif [maka hal itu]
menjadikan mungkin untuk hidup dalam masa kini [dengan pasti pula].
Jadi sekarang kita bisa berkata: Kekristenan bukan hanya "kabar
baik"—sebuah komunikasi atas suatu kandungan yang tidak diketahui.
Dengan kata lain kita akan berkata: pesan Kristen tidak hanya
"informative" tapi juga "performative". Itu berarti: Injil tidak hanya
sekedar sebuah komunikasi akan hal-hal yang bisa diketahui—[injil]
adalah suatu hal yang membuat sesuatu terjadi dan [merupakan sesuatu
yang] mengubah hidup. Pintu gelap waktu, [pintu gelap] masa depan, telah
dibentang terbuka. Mereka yang memiliki harapan, hidup secara berbeda;
mereka yang mempunyai harapan telah diberikan karunia kehidupan baru.
3. Namun pada titik ini sebuah
pertanyaan timbul: dimana dalam harapan ini terkandung suatu "penebusan"
yang masih berbentuk harapan? Inti dari jawabannya diberikan didalam
frase dari Surat kepada Jemaat di Efesus yang dikutip diatas: para umat
Efesus, sebelum pertemuan mereka dengan Kristus, adalah tanpa harapan
karena mereka "tanpa Allah didalam dunia". Untuk datang mengenal
Allah—Allah yang sejati—berarti untuk menerima harapan. Kita yang selalu
hidup dengan konsep Kristen akan Allah, dan telah terbiasa dengannya,
hampir berhenti menyadari bahwa kita memiliki suatu harapan yang
bermuasal dari sebuah perjumpaan nyata dengan Allah ini. Teladan dari
seorang kudus di masa kita dapat pada suatu tingkat membantu kita
memahami apa arti mempunyai sebuah perjumpaan nyata dengan Allah ini
untuk pertama kalinya. Aku berpikiran tentang Josephine Bakhita seorang
Afrika, yang dikanonisasi oleh Paus Yohanes Paulus II. Dia dilahirkan
sekitar tahun 1869—dia sendiri tidak tahu hari persisnya—di Darfur di
Sudan. Pada usia sembilan tahun, dia diculik oleh pedagang budak,
dipukuli sampai berdarah, dan dijual lima kali di pasar budak sudan.
Pada akhirnya dia menemukan dirinya bekerja sebagai budak bagi seorang
ibu dan istri dari seorang jendral, dan di tempat itu dia didera setiap
hari sampai berdarah; sebagai akibatnya dia memiliki 144 bekas luka
[yang membekas] sepanjang hidupnya. Akhirnya, pada 1882, dia dibeli oleh
seorang pedagang Italia untuk seorang konsul Italia Callisto Legnani,
yang kembali ke Italia ketika para Mahdist bergerak. Pada saat ini,
setelah sebelumnya Bakhita dimiliki oleh seorang "majikan" yang
menakutkan, Bakhita mengenal seorang "majikan" yang sangat berbeda—dalam
dialek Venesia, yang sekarang dipelajarinya, dia menggunakan nama
"paron" bagi sang Allah yang hidup, Allah dari Yesus Kristus. Sampai
saat itu dia hanya mengenal majikan-majikan yang jijik dan
memperlakukannya dengan buruk, atau paling baik, hanya melihat dia
sebagai seorang budak yang berguna. Namun sekarang dia mendengar bahwa
ada seorang "paron" diatas semua majikan, Tuhan semua tuhan, dan Tuhan
ini adalah baik, kebaikan dalam pribadi. Dia menjadi tahu bahwa Tuhan
ini bahkan mengenalnya, bahwa Dia telah menciptakannya—bahwa Dia
nyata-nyatanya mencintainya. Dia juga dicintai, dan tidak lain oleh sang
"paron" tertinggi, yang dihadapanNya [si paron ini] semua majikan tidak
lebih hanya pelayan-pelayan rendah. Dia [ie. Josephine Bakhita]
diketahui dan dicintai dan dia [Josephine Bakhita] ditunggui.
Terlebihnya, Sang Majikan ini sendiri telah menerima tujuan hidup
["destiny"] untuk didera dan sekarang dia [Josephine Bakhita] menanti
bagi Dia [yang] "duduk disebalah kanan Bapa". Sekarang dia mempunyai
"harapan"—tidak lagi sekedar harapan sederhana untuk bertemu
majikan-majikan yang kurang kejam [dari majikan-majikan sebelumnya],
tapi sebuah harapan besar: "Aku benar-benar dicintai dan apapun yang
terjadi padaku—aku ditunggui oleh Cinta ini. dan karenanya hidupku
baik." Melalui pengetahuan akan harapan ini dia "ditebus", bukan lagi
seorang budak, tapi seorang anak Allah yang bebas. Dia memahami apa yang
dimaksud Paulus ketika Paulus mengingatkan umat Efesus bahwa sebelumnya
mereka tanpa harapan dan tanpa Allah didalam dunia—tanpa harapan karena
tanpa Allah. Oleh karena itu, ketika dia [Josephine Bakhita] akan
dibawa kembali ke Sudan, Bakhita menolak; dia tidak ingin dipisahkan
dari "paron"-nya. Pada 9 Januari 1890, dia dibaptis dan dikonfirmasi dan
menerima Komuni Kudus pertama dari tangan Patriarkh Venesia. Pada 8
Desember 1896, di Verona, dia mengambil kaul di Kongregasi Suster
Canossian dan sejak saat itu, disamping karyanya di sakristi dan di
rumah portir di biara, dia telah melakukan beberapa perjalanan
disekeliling Italia untuk mempromosikan misinya [maksudnya misi dari
kongregasinya]: menurutnya pembebasan yang telah diterima melalui
perjumpaannya dengan Allah Yesus Kristus harus dia sebarkan, [pembebasan
tersebut] harus diberikan kepada yang lain, kepada sebanyak mungkin
orang. Harapan yang lahir dariNya yang telah "menebus"-nya tidak bisa
dia miliki sendiri; harapan ini harus mencapai banyak [orang], mencapai
semua orang.
Konsep dari harapan berdasar-iman di Perjanjian Baru dan Gereja awal
4. Kita telah memunculkan
pertanyaan: bisakah perjumpaan kita dengan Allah, yang dalam Kristus
telah menunjukkan kepada kita wajahNya dan membuka hatiNya, menjadi juga
bagi kita tidak hanya bersifat "informative" saja tapi
"performative"—maksudnya, bisakah [perjumpaan kita dengan Allah]
mengubah hidup kita, sehingga kita tahu bahwa kita ditebus melalui
harapan yang diekspresikan [melalui perjumpaan tersebut]? Sebelum
mencoba untuk menjawab pertanyaan itu, marilah kita kembali sekali lagi
ke Gereja awal. Tidaklah sulit untuk menyadari bahwa pengalaman dari
gadis-budak Afrika Bakhita juga adalah pengalaman dari banyak [orang] di
periode awal Kekristenan yang dipukuli dan dikutuk ke perbudakan.
Kekristenan tidak hanya membawa sebuah pesan revolusi sosial bernasib
buruk seperti [yang dibawa] Spartacus, yang perjuangannya [ie.
Spartacus] mengarah ke begitu banyak pertumpahan darah. Yesus bukanlah
Spartacus, Dia tidak sedang berjuang bagi pembebasan politis seperti
Barabas atau Bar-Kochba. Yesus, yang Diri-Nya sendiri mati di Salib,
membawa sesuatu yang sangat berbeda: sebuah perjumpaan dengan Tuhan
semua tuhan, sebuah perjumpaan dengan Allah yang hidup dan karenanya
sebuah perjumpaan dengan sebuah harapan yang lebih kuat dari
penderitaan-penderitaan perbudakan, sebuah harapan yang mentransformasi
hidup dan dunia dari dalam. Apa yang baru disini bisa dilihat dengan
lebih jelas lagi di Surat paulus kepada Filemon. Ini adalah sebuah surat
pribadi, yang ditulis Paulus dari penjara dan dipercayakan kepada budak
yang melarikan diri, Onesimus, bagi majikan Onesimus, yaitu Filemon.
Ya, Paulus mengirimkan sang budak kembali ke majikan yang telah
ditinggalkannya, bukan memerintah tapi meminta: "Aku mengajukan
permintaan kepadamu bagi anakku ... dimana aku telah menjadi bapa
baginya dalam penjara ... aku mengirimkan dia kembali kepadamu,
mengirimkan hatiku sendiri ... mungkin inilah kenapa dia berpisah darimu
untuk sementara, sehingga engkau bisa mendapatkannya kembali untuk
selamanya, tidak lagi sebagai budak tapi lebih dari budak, sebagai
saudara terkasih..." (Fil 10-16). Mereka yang, menurut status sipil,
berdiri dengan yang lain dalam hubungan sebagai majikan-majikan dan
budak-budak, sepanjang mereka adalah anggota-anggota dari Gereja yang
satu, telah menjadi saudara dan saudari—inilah bagaimana umat Kristen
menyebut satu sama lain. Oleh karena baptisan mereka [ie. umat Kristen],
mereka telah dilahirkan kembali, mereka telah diberi minuman dari roh
yang sama dan mereka menerima Tubuh Tuhan bersama, bersama satu sama
lain. Meski bila struktur eksternal tetap tidak berubah [ie. maksudnya
struktur sosial di luar Gereja dimana yang atasan tetap atasan yang
bawahan tetap bawahan], [namun] hal ini merubah masyarakat dari dalam.
Ketika Surat kepada jemat Ibrani mengatakan bahwa umat Kristen di Bumi
ini tidak mempunyai tempat tinggal permanen, tapi mencari [tempat
tinggal] yang berada di masa depan (bdk. Ibr 11:13-16; Fil 3:20), ini
tidak berarti sedetikpun bahwa mereka hanya hidup untuk masa depan:
masyarakat masa kini dikenali oleh umat Kristen sebagai orang
terasingkan; mereka merupakan milik sebuah masyarakat baru dimana
[masyarakat baru itu] adalah tujuan dari peziarahan mereka yang sama dan
dimana [masyarakat baru itu] telah diantisipasi dalam perjalanan ziarah
tersebut.
5. Kita harus menambahkan sudut
pandang yang lebih jauh. Surat Pertama kepada jemaat di Korintus
(1:18-31) memberitahu kita bahwa banyak umat Kristen awal berada pada
strata sosial bawah, dan justru karena alasan ini [umat Kristen] terbuka
terhadap pengalaman akan harapan baru, seperti yang kita lihat dari
contoh Bakhita. Namun sejak awal juga ada pertobatan di lingkaran [kaum]
aristokrat dan [kaum] berbudaya, karena mereka juga hidup "tanpa
harapan dan tanpa Alah di dunia ini". Mitos telah kehilangan
kredibilitasnya; agama negara Romawi telah ter-fosil-kan menjadi
seremoni sederhana yang dilaksanakan dengan terlalu teliti, namun saat
itu [agama negara Romawi] hanyalah sebuah "agama politis". Rasionalisme
politis telah mengukung dewa-dewa pada suatu ruang ketidak-nyataan. Para
ilahi dilihat dalam berbagai cara di kuasa-kuasa kosmik, namun suatu
Allah dimana seseorang bisa berdoa kepada Dia, tidak ada. Paulus
mengilustrasikan masalah esensial dari agama saat itu secara akurat
ketika dia meng-kontras-kan hidup "menurut Kristus" dan hidup didalam
dominasi dari "roh-roh elemental dari alam semesta" (Kol 2:8). Dalam hal
ini, sebuah teks dari Santo Gregorius Naziansus [bisa] mencerahkan. Dia
mengatakan bahwa pada saat para Majus, dituntun bintang, menyembah
Kristus sang raja baru, astrologi telah berakhir, karena bintang-bintang
sekarang bergerak pada orbit yang ditentukan Kristus.[2] Adegan ini,
nyatanya, membalikkan pandangan-dunia saat itu, yang dengan cara berbeda
telah menjadi trend [fashionable] lagi saat ini. Bukanlah roh-roh
elemental alam semesta, [ataupun] hukum-hukum materi, yang pada akhirnya
mengatur dunia dan umat manusia, tapi seorang Allah yang berpribadi
mengatur bintang-bintang, yaitu, alam semesta; bukanlah hukum-hukum
materi dan [hukum-hukum] evolusi yang memiliki kata penutup, tapi rasio,
kehendak, cinta—sebuah Pribadi. Dan bila kita tahu Pribadi ini dan Dia
mengetahui kita, maka kuasa tak-terhentikan dari elemental-elemental
material tidak lagi mempunyai kuasa; kita bukanlah budak-budak dari alam
semesta dan hukum-hukumnya, kita bebas. Di waktu-waktu kuno, para
pemikir yang tulus dan memiliki keingintahuan sadar akan hal ini [ie.
sadar bahwa kita bukan budak alam semesta, kita bebas]. Surga tidaklah
kosong. Hidup bukan hanya sebuah produk dari hukum-hukum dan keacakan
materi, tapi didalam semua hal, dan pada saat yang sama, diatas segala
hal, ada kehendak pribadi, ada sebuah Roh yang dalam Yesus mewahyukan
diriNya sebagai Cinta.[3]
6. Sarkofagus-Sarkofagus [ie.
peti mati berukiran jaman dahulu] di era umat Kristen awal
mengilustrasikan konsep ini secara visual—dalam konteks kematian,
dihadapan [kematian itu], pertanyaan mengenai makna kehidupan menjadi
tak terelakkan. Gambaran dari Kristus ditafsirkan pada
sarkofagus-sarkofagus kuno menjadi dua bayangan secara prinsipiil: sang
filsuf dan sang gembala. Filosofi pada saat itu tidak dipandang sebagai
suatu disiplin akademis yang sulit, seperti yang terjadi saat ini.
Namun, filsuf adalah seseorang yang tahu bagaimana mengajar seni yang
esensial; seni menjadi manusia secara otentik—seni hidup dan mati. Telah
lama disadari bahwa banyak orang berkeliling berpura-pura menjadi
filsuf, guru kehidupan, [yang sebenarnya hanyalah seorang] penipu yang
mendapat uang melalui kata-kata mereka, [padahal mereka] tidak punya
kata apapun mengenai kehidupan yang nyata. Lebih dari itu, sang filsuf
sejati, yang memang tahu bagaimana menunjukkan jalan hidup, sangat
dicari. Menuju akhir abad ketiga, diatas sebuah sarkofagus seorang anak
di Roma, kita menemukan pertama kalinya, dalam konteks kebangkitan
Lazarus, bayangan dari Kristus sebagai seorang filsuf sejati, memegang
injil di satu tangan dan tongkat bepergian filsuf di tangan yang lain.
Dengan tongkatnya, Dia menguasai kematian; Injil membawa kebenaran,
[kebenaran] yang dicari si filsuf keliling dengan sia-sia. Dalam
gambaran ini, yang kemudian menjadi sebuah fitur yang umum dalam seni
sarkofagus untuk waktu yang lama, kita melihat dengan jelas apa yang
ditemukan dalam Kristus baik oleh orang terdidik maupun orang sederhana;
Dia memberitahu kita siapa manusia itu sebenarnya dan apa yang harus
dilakukan manusia untuk menjadi benar-benar manusia. Dia menunjukkan
kepada kita jalan [untuk menjadi manusia], dan jalan ini adalah
kebenaran. Dia sendiri adalah jalan dan kebenaran, dan karenanya Dia
juga adalah kehidupan yang kita semua cari. Dia juga menunjukkan kepada
kita jalan diseberang kematian; yang mampu melakukan hanyalah orang yang
adalah guru hidup sejati. Hal yang sama menjadi kasat mata di gambaran
seorang gembala. Sebagaimana dalam representasi dari sang filsuf, begitu
pula melalui gambaran sang gembala, [umat] Gereja awal bisa
diidentikkan dengan model seni Romawi saat itu. Disana [ie. di model
seni Romawi saat itu] gembala adalah sebuah ekspresi umum akan sebuah
mimpi tentang hidup yang damai dan sederhana, yang dirindukan oleh
orang-orang ditengah kebingungan kota-kota besar. Sekarang gambaran itu
dibaca sebagai bagian dari sebuah skenario baru yang memberikan
kandungan yang lebih dalam: "Tuhanlah gembalaku: aku takkan kekurangan
... Meskipun aku berjalan melalui lembah bayang-bayang kematian, aku
tidak takut yang jahat, karena Engkau bersamaku ..." (Mzm 23 [22]:1, 4).
Gembala sejati adalah dia yang mengetahui jalan yang melalui lembah
kematian sekalipun; dia yang berjalan denganku bahkan di jalan
kesendirian akhir, dimana tidak ada seorang pun yang menemaniku, [tidak
ada seorangpun yang] menuntunku melaluinya; Dia sendiri telah menjalani
jalan ini, Dia telah turun ke kerajaan maut, Dia telah menguasai
kematian, dan Dia telah kembali untuk menuntun kita sekarang dan memberi
kita kepastian bahwa, bersama denganNya, kita bisa menemukan sebuah
jalan melalui [kematian]. Kesadaran bahwa ada Seseorang yang bahkan
dalam kematian menemaniku, dan yang dengan "gada dan tongkatNya
menghibur aku", sehingga "aku tidak takut yang jahat" (bdk. Mzm 23
[22]:4)—inilah "harapan" baru yang muncul atas kehidupan orang yang
percaya.
7. Kita harus kembali sekali
lagi ke Perjanjian Baru. Di bab kesebelas dari Surat kepada jemaat
Ibrani (v. 1) kita menemukan sejenis definisi iman yang berhubungan erat
dengan kebajikan harapan. sejak [jaman] reformasi [ie. munculnya
Protestantisme] ada perselisihan antar para penafsir atas kata sentral
dari frase ini, namun sekarang sebuah jalan menuju penafsiran yang umum
tampak terbuka sekali lagi. Untuk waktu ini aku akan membiarkan kata
sentral ini tidak diterjemahkan. Kalimat itu karenanya terbaca sebagai
berikut: "iman adalah hypostasis dari hal-hal yang diharapkan; bukti
dari hal-hal yang tidak kelihatan". Bagi para Bapa [Gereja] dan bagi
teolog-teolog abad pertengahan, telah jelas bahwa kata Yunani hypostasis
diterjemahkan ke [bahasa] Latin dengan istilah substantia. Karenanya
terjemahan Latin dari teks yang dihasilkan pada [jaman] Gereja awal
terbaca: Est autem fides sperandarum substantia rerum, argumentum non
apparentium—iman adalah "substansi" dari hal-hal yang diharapkan; bukti
dari hal-hal yang tidak kelihatan. Santo Thomas Aquinas,[4] menggunakan
terminologi dari tradisi gerejawi dimana dia berada [ie. St. Thomas
adalah umat Gereja Katolik Barat dengan tradisi Gereja Katolik Barat,
bedakan dengan tradisi Gereja Katolik Timur], menjelaskannya sebagai
berikut: iman adalah sebuah habitus, yaitu, sebuah disposisi yang stabil
atas roh, yang melalui [roh itu] hidup abadi berakar dalam kita dan
rasio dituntun untuk menyepakati apa yang tidak dilihat olehnya [ie.
rasio]. Konsep dari "substansi", dimodifikasi dalam artian bahwa melalui
iman, secara samar, atau kalau boleh kita sebut "dalam bentuk
embrio"—dan karenanya menurut "substansi" tersebut—telah hadir dalam
kita hal-hal yang diharapkan: [yaitu] kehidupan yang menyeluruh dan
sejati. Dan tepatnya karena hal tersebut sudah hadir, kehadiran dari apa
yang akan datang ini juga menciptakan kepastian: "hal" yang harus
datang ini belumlah terlihat di dunia eksternal (["hal" tersebut] tidak
"nampak"), tapi karena fakta bahwa, sebagai suatu realitas permulaan dan
dinamis, kita membawanya dalam diri kita, sebuah persepsi tertentu akan
["hal" tersebut] bahkan sekarang telah menjadi ada. Bagi Luther, yang
kurang suka terhadap Surat kepada jemaat Ibrani, konsep dari
"substansi", dalam konteks pandangan [Luther] akan iman, tidak berarti
apa-apa. Atas alasan ini dia memahami istilah hypostasis/substansi tidak
dalam artian obyektif (dari realitas yang hadir dalam diri kita), tapi
dalam artian subyektif, sebuah ekspresi dari sikap interior, dan
karenanya, dengan wajar, dia juga harus memahami istilah argumentum
sebagai sebuah disposisi dari [sang] subyek. Pada abad ke dua puluh
penafsiran ini menjadi begitu umum—paling tidak di Jerman—di exegesis
["ilmu tafsir"] Katolik juga, sehingga terjemahan ekumenis Perjanjian
Baru kedalam bahasa Jerman, yang diakui oleh Uskup-Uskup, terbaca
sebagai berikut: Glaube aber ist: Feststehen in dem, was man erhofft,
Ãœberzeugtsein von dem, was man nicht sieht (iman adalah: berdiri tegak
atas apa yang diharapkan seseorang, diyakinkan oleh apa yang tidak
dilihat seseorang [tersebut]. [Terjemahan] ini sendiri tidaklah tidak
tepat, tapi [terjemahan itu] bukanlah maksud dari teks [Kitab suci],
karena kata Yunani yang digunakan (elenchos) tidak mempunyai artian
subyektif dari "keyakinan" tapi artian obyektif dari "bukti". Dengan
tepat, karenanya, exegesis [ie. "ilmu tafsir"] Protestant akhir-akhir
ini telah tiba pada penafsiran yang berbeda: "Namun tidak dapat
dipertanyakan lagi bahwa pemahaman Protestant klasik tersebut [ie.
pemahaman seperti yang terlihat di terjemahan ekumenis Perjanjian Baru
ke dalam bahasa Jerman diatas] tidak bisa dipertahankan."[5] Iman
bukanlah hanya suatu gapaian [dari kata dasar "gapai" seperti digunakan
dalam kata "menggapai"] pribadi kepada hal-hal yang akan datang yang
sekarang masih absen total: [imam] memberi kita sesuatu. [Iman] memberi
kita, bahkan sekarang ini, sesuatu dari realitas yang kita tunggu, dan
realitas saat kini tersebut memberikan kita sebuah "bukti" dari hal-hal
yang masih tidak kelihatan. Iman menarik masa depan ke saat ini,
sehingga [masa depan tersebut] tidak lagi sekedar sebuah "belum". Fakta
bahwa masa depan ini ada [pada saat ini] mengubah saat kini; saat kini
[atau "masa kini"] disentuh oleh realitas masa depan, dan karenanya
hal-hal dari masa depan tertumpahkan ke masa kini dan [hal-hal] masa
kini [tertumpahkan] ke masa depan.
8. Penjelasan ini kemudian lebih
dikuatkan dan dihubungkan kepada hidup keseharian bila kita
mempertimbangkan ayat ke 34 dari bab kesepuluh Surat kepada jemaat
Ibrani, yang dihubungkan oleh perbendaharaan bahasa ["vocabulary"] dan
kandungan dari definisi iman yang dipenuhi harapan ini dan menyiapkan
jalan baginya. Disini sang pengarang berbicara kepada umat yang percaya
yang telah melalui pengalaman penganiayaan dan dia berkata kepada
mereka: "engkau memiliki compassion (ie. rasa kasihan terhadap
penderitaan orang lain) kepada para tahanan, dan engkau dengan gembira
menerima perampasan atas hartamu (hyparchonton—[Alkitab versi Vulgata
dalam bahasa Latin menerjemahkan kata hyparchonton tersebut dengan]
bonorum), karena engkau tahu dirimu sendiri mempunyai milik (hyparxin
—[Alkitab versi Vulgata dalam bahasa Latin menerjemahkan kata hyparxin
tersebut dengan] substantiam) yang lebih baik dan yang lebih menetap
sifatnya. "Hyparchonta" mengacu pada kepemilikan ("property"], pada apa
yang di kehidupan dunia ini merupakan sarana pendukung [ie. sarana
pendukung kehidupan], yang memang merupakan hal-hal mendasar [ie.
kebutuhan mendasar], [dan adalah] "substansi” dari hidup, [hal-hal] yang
kita bergantung [padanya]. "Substansi" ini, [yang merupakan] sumber
rasa aman kehidupan, telah diambil dari umat Kristen selama masa
penganiayaan. Meskipun begitu mereka tetap teguh karena mereka
menganggap substansi materi ini tidak begitu berpengaruh. Mereka bisa
meninggalkannya karena mereka mempunyai "dasar" yang lebih baik bagi
eksistensi mereka—sebuah dasar yang menetap, yang tidak seorangpun dapat
mengambilnya. Kita tidak sepatutnya melewatkan hubungan antara dua
"substansi" ini, [yaitu] antara sarana pendukung [hidup] atau dasar
materi dan sabda iman yang juga adalah suatu "dasar", suatu "substansi"
yang berketahanan. Iman memberi hidup sebuah dasar baru, sebuah pondasi
baru dimana kita bisa berdiri, yang merelatifkan pondasi habitual
["habit" = "kebiasaan"], [yaitu] kebergantungan terhadap pendapatan
materi. Sebuah kebebasan baru diciptakan dengan menghargai pondasi
habitual atas hidup ini, yang hanya nampak mampu memberikan dukungan
[terhadap kehidupan], meskipun kebebasan baru tersebut jelas-jelas tidak
menolak artian normalnya. Kebebasan baru ini, kesadaran akan
"substansi" baru yang telah kita terima tersebut, tersingkapkan tidak
hanya dalam [peristiwa] ke-martir-an, dimana orang melawan kuasa
ideologis yang mencekam dan organ-organ politisnya dan, oleh kematian
mereka, memperbaharui dunia. Diatas segalanya, [hal tersebut, yaitu
kebebasan baru tersebut] terlihat dalam tindakan penyangkalan yang
agung, dari rahib-rahib jaman kuno sampai ke Santo Fransiskus dari
Assisi, dan mereka sekarang ini yang memasuki Institusi dan gerakan
religi modern dan meninggalkan semuanya bagi cinta akan Kristus, untuk
membawa para pria dan wanita beriman kepada cinta akan Kristus, dan
untuk membantu mereka yang menderita badani dan rohani. Dalam kasus
mereka, "substansi" baru ini telah terbukti sebagai sebuah "substansi"
asli dari harapan orang-orang yang telah disentuh oleh Kristus ini,
harapan mengalir bagi sesama lain yang hidup didalam kegelapan dan tanpa
harapan. Dalam kasus mereka, telah terdemonstrasikan bahwa kehidupan
baru ini benar-benar memiliki dan adalah "substansi" yang memanggil
kehidupan bagi sesama lainnya. Bagi kita yang meng-kontemplasi-kan
gambaran-gambaran ini, tindakan dan kehidupan mereka [ie. para rahib]
adalah sebuah "bukti" de facto bahwa hal-hal yang akan datang, janji
Kristus, bukanlah sebuah realitas yang kita tunggu, tapi kehadiran
nyata: Dia benar-benar sang "filsuf" dan "gembala" yang menunjukkan
kepada kita apa hidup itu dan dimana [hidup itu] ditemukan.
9. Untuk mengerti lebih mendalam
refleksi atas dua type substansi ini—hypostasis dan hyperchonta—dan dua
pendekatan atas hidup yang diekspresikan oleh dua istilah tersebut,
kita harus melanjutkan dengan pertimbangan singkat atas dua kata yang
berkaitan kepada diskusi ini yang bisa ditemukan di bab kesepuluh Surat
kepada jemaat Ibrani. Aku mengacu pada kata hypomone (10:36) dan
hypostole (10:39). Hyponome normalnya diterjemahkan sebagai
"kesabaran"—ketekunan ["perseverance"], ketetapan ["constancy"]. Tahu
bagaimana untuk menanti, sementara secara sabar bertekun menghadapai
ujian, adalah [hal] yang penting bagi umat yang percaya untuk dapat
"menerima apa yang dijanjikan" (10:36). Dalam konteks religius Yudaisme
kuno, kata ini digunakan untuk mengekspresikan harapan akan Allah yang
merupakan karakteristik orang Israel, yaitu kesetian mereka yang tekun
pada Allah atas dasar kepastian terhadap Perjanjian didalam dunia yang
berlawanan dengan Allah. Karenanya kata tersebut mengindikasikan sebuah
harapan yang dihidupi, sebuah kehidupan yang didasarkan atas kepastian
harapan. Di Perjanjian Baru harapan akan Allah ini, berdiri bersama
Allah ini, memiliki suatu signifikansi baru: dalam Kristus, Allah telah
mewahyukan diriNya sendiri. Dia telah mengkomunikasikan kepada kita
"substansi" dari hal-hal yang akan datang, dan karenanya harapan akan
Allah mendapatkan sebuah kepastian baru.
[Kepastian baru itu] adalah
harapan akan hal-hal yang akan datang melalui perspektif atas masa kini
yang telah diberikan. [Kepastian baru itu] adalah melihat-kedepan dalam
kehadiran Kristus, dengan Kristus yang juga hadir, menuju penyempurnaan
tubuhNya, untuk kedatanganNya yang definitif. Kata hypostole, disisi
lain, bermakna bersembunyi dibelakang ["shrinking back"] karena
kurangnya keberanian untuk berbicara secara terbuka dan gamblang atas
kebenaran, [dimana berbicara seperti itu] mungkin berbahaya. Bersembunyi
lewat roh ketakutan mengarah kepada "kebinasaan" (Ibr 10:39). "Allah
tidak memberikan kita roh ketakutan tapi roh kekuatan dan cinta dan
pengendalian diri"—yang, secara kontras, adalah suatu cara yang indah
dimana Surat Kedua kepada Timotius (1:7) mendeskripsikan sikap
fundamental umat Kristen.
Hidup abadi – apa itu?
10. Kita telah berbicara sejauh
ini akan iman dan harapan di Perjanjian Baru dan di jemaat Kristen awal;
namun selalu jelas bahwa kita mengacu tidak hanya kepada masa lalu:
refleksi keseluruhan [ini] berkaitan dengan hidup dan mati secara umum,
dan karenanya [keseluruhan refleksi ini] berkaitan dengan kita disini
dan sekarang. Jadi sekarang kita harus bertanya secara eksplisit: apakah
iman Kristen bagi kita hari ini [merupakan] sebuah harapan yang
mengubah-hidup dan memelihara-hidup?
Apakah [iman Kristen bagi kita
sekarang ini] "performative"—apakah [iman Kristen bagi kita sekarang
ini] adalah sebuah pesan yang membentuk hidup kita dengan cara baru,
atau [iman Kristen tersebut] hanya sekedar "informasi" yang, untuk saat
ini, kita pinggirkan dan yang sekarang bagi kita sepertinya telah
digantikan oleh informasi yang lebih mutakhir? Dalam pencarian atas
sebuah jawaban, aku ingin memulai dengan bentuk klasik dari dialog yang
diekspresikan oleh ritual Baptisan [pada bagian] penerimaan bayi ke
komunitas umat yang percaya dan kelahiran kembali bayi tersebut dalam
Kristus. Pertama-tama imam menanyakan nama apa yang dipilih orang tua
bagi anak tersebut, dan kemudian dia melanjutkan dengan pertanyaan: "Apa
yang kau minta dari Gereja?" Jawaban: "Iman". "Dan apa yang diberi iman
kepadamu?" "Hidup abadi". Menurut dialog ini, sang orang tua mencari
akses kepada iman bagi anak mereka, persekutuan dengan umat yang
percaya, karena mereka melihat pada iman tersebut kunci ke "kehidupan
abadi". Sekarang ini seperti di masa lalu, ini adalah makna [ketika
seseorang] dibaptis, [ketika seseorang] menjadi Kristen: [Baptisan]
bukan hanya tindakan sosialisasi dengan komunitas, bukan sekedar ucapan
selamat datang ke Gereja. Sang orang tua mengharapkan lebih bagi orang
yang dibaptis: mereka mengharapkan iman tersebut, yang termasuk
didalamnya [adalah] hakikat badaniah dari Gereja dan
sakramen-sakramennya, [dimana semua itu] akan memberikan hidup kepada
anak mereka—hidup abadi. Iman adalah substansi dari harapan. Tapi
kemudian [sebuah] pertanyaan muncul: apakah kita benar-benar
menginginkan ini—hidup abadi? Banyak orang menolak iman sekarang ini
hanya karena mereka tidak menemukan prospek dari [suatu] hidup abadi
menarik. Apa yang mereka inginkan bukanlah hidup abadi, tapi hidup saat
ini, dimana iman akan hidup abadi malahan bagai suatu penghalang. Untuk
terus hidup selamanya—tak berkesudahan—nampaknya lebih seperti kutukan
daripada suatu karunia. Kematian, diakui, [merupakan sesuatu] yang oleh
orang ingin untuk ditunda selama mungkin. Tapi untuk selalu hidup, tanpa
akhir—ini, mempertimbangkan semuanya, hanya bisa [terasa] monoton dan
akhirnya tak tertahankan. Inilah yang justru point yang dibuat,
contohnya, oleh Santo Ambrosius, salah satu Bapa Gereja, di pidato
pemakaman saudaranya Satyrus yang meninggal: "Kematian bukanlah bagian
dari kodrat hidup; [kematian] menjadi bagian dari kodrat [hidup]. Allah
tidak menitahkan kematian sejak awal. Dia membuatnya sebagai suatu obat.
Kehidupan manusia, karena dosa … mulai mengalami beban dari kebusukan
kerja tak terhapuskan dan kepedihan yang tak tertahankan. Harus ada
akhir dari kejahatan tersebut [ie. kejahatan dari kebusukan kerja tak
terhapuskan dan kepedihan yang tak tertahankan], kematian harus
mengembalikan apa yang telah dibuang oleh hidup. Tanpa bantuan rahmat,
ketidak-bisa-mati-an lebih merupakan beban daripada sebuah berkah." [6]
Lebih awal sedikit, Ambrosius telah mengatakan: "Kematian, karena itu
bukanlah alasan untuk kedukaan, karena [kematian] adalah penyebab
keselamatan manusia". [7]
11. Apapun yang tepatnya
dimaksudkan Santo Ambrosius atas kata-kata tersebut, adalah benar bahwa
untuk menghilangkan kematian atau untuk menundanya untuk suatu waktu
tertentu akan menempatkan bumi dan umat manusia pada situasi yang tidak
mungkin, dan bahkan bagi individu [hal tersebut] tidak akan memberikan
keuntungan. Tentu saja ada kontradiksi atas sikap kita, yang menunjuk
kepada kontradiksi mendalam atas eksistensi kita. Di satu sisi, kita
tidak ingin mati; diatas segalanya, mereka yang mencintai kita tidak
ingin kita mati. Namun disisi lain, kita juga tidak ingin hidup terus
untuk waktu yang tak tertentukan, bumi pun tidak diciptakan menurut
pandangan itu [ie. pandangan bahwa umat manusia akan hidup terus untuk
waktu yang tak tertentukan]. Jadi sebenarnya apa yang benar-benar kita
inginkan? Sikap paradoksial ["paradoks" = "sesuatu yang kelihatannya
berlawanan padahal tidak"] memunculkan pertanyaan yang lebih dalam: apa
sebenarnya "hidup"? Dan apa sebenarnya makna "keabadian"? Ada saat-saat
dimana tiba-tiba hal itu menjadi jelas bagi kita: ya, inilah "hidup"
yang sebenarnya—seperti inilah yang seharusnya. Lagipula, apa yang kita
sebut "hidup" dalam bahasa kita sehari-hari bukanlah "hidup" sama
sekali. Santo Agustinus, dalam surat panjang mengenai doa yang dia
alamatkan kepada Proba, seorang janda Romawi yang kaya dan ibu dari tiga
konsul, menulis ini: pada akhirnya kita menginginkan satu hal—"hidup
berbahagia", hidup yang hanya hidup, hanya "kebahagiaan". Pada analisa
final, tidak ada hal lain yang kita minta untuk doa [kita]. Perjalanan
kita tidak punya tujuan lain—[Perjalanan itu] hanyalah untuk hal
tersebut saja. Tapi kemudian Agustinus juga berkata: melihat lebih
dekat, kita tidak punya gagasan apa yang pada akhirnya kita inginkan,
apa yang sebenarnya kita sukai. Kita tidak tahu realitas ini sama
sekali; bahkan di saat-saat ketika kita berpikir kita telah menjangkau
dan menyentuhnya, hal itu kabur dari kita. "Kita tidak tahu apa yang
harus kita doakan sebagaimana kita harus [doakan]," katanya, mengutip
Santo paulus (Rom 8:26). Yang kita ketahui hanyalah bahwa [yang kita
inginkan] bukan ini. Namun dalam tidak mengetahui, kita tahu bahwa
realitas ini haruslah ada. "Karenanya ada dalam kita suatu
ketidaktahuan-yang-terpelajari (docta ignorantia), begitu kira-kira",
tulisnya. Kita tidak tahu apa yang sebenarnya kita sukai; kita tidak
tahu apa "hidup sejati" ini; namun kita tahu bahwa harus ada sesuatu
yang tidak kita ketahui dimana [hal tersebut] membuat kita
tergerakkan.[8]
12. Aku pikir bahwa dengan cara
yang sangat tepat dan sah secara permanen, Agustinus mendeskripsikan
situasi pokok manusia, situasi yang memunculkan
kontradiksi-kontradiksinya dan harapan-harapannya. Dalam suatu cara kita
ingin hidup itu sendiri, kehidupan sejati, yang tak tersentuhkan bahkan
oleh kematian; namun di saat yang sama kita tidak tahu hal yang
menggerakkan kita [kesitu]. Kita tidak dapat berhenti menjangkaunya,
namun kita tahu bahwa semua yang bisa kita alami dan capai bukanlah apa
yang kita dambakan. "Hal" tak diketahui ini adalah "harapan" sejati yang
menggerakkan kita, dan pada saat yang sama fakta bahwa [harapan sejati
tersebut] adalah sesuatu yang tak diketahui merupakan sebab dari semua
bentuk keputus-asaan dan juga [sebab] dari semua upaya, baik positif
maupun destruktif, yang diarahkan kepada otentisitas duniawi atau
otentisitas manusia. Istilah "hidup abadi" dimaksudkan untuk memberi
nama dari "[hal] tak diketahui" yang [kita] tahu [ie. maksudnya kita
tidak tahu hal itu seperti apa, tapi kita tahu bahwa hal itu ada]. Tak
terelakkan [istilah "hidup abadi" tersebut] adalah istilah yang kurang
memadai yang menciptakan kebingungan. "Keabadian", kenyataannya,
memberikan gambaran pada kita suatu gagasan akan sesuatu yang tidak
berakhir, dan ini menakutkan kita; "hidup" membuat kita berpikir akan
hidup yang kita ketahui dan cintai dan tidak ingin [kita] hilangkan,
meskipun sering [hidup] tersebut membawa kesulitan daripada kepuasan,
sehingga sementara disatu sisi kita menginginkannya, disisi lain kita
tidak menginginkannya. Untuk membayangkan diri kita sendiri diluar
kesementaraan yang memenjarakan kita dan dengan suatu cara merasakan
bahwa keabadian bukanlah pergantian hari yang tak berakhir di kalender,
tapi sesuatu yang lebih merupakan saat paling tinggi dari kepuasan, yang
totalitasnya memeluk kita dan kita memeluk totalitas—[semua] ini kita
hanya bisa mencoba. [Mencoba hal tersebut] akan seperti mencebur kedalam
lautan cinta tak terbatas, sebuah saat dimana waktu—sebelum dan
sesudah—tidak lagi ada. Kita hanya bisa mencoba untuk memahami gagasan
bahwa saat tersebut adalah [saat dimana] hidup dalam makna yang penuh,
sebuah penceburan yang selalu baru kedalam keluasan keberadaan, dimana
kita sekedar terliputi dengan kesukacitaan. Inilah bagaimana Yesus
meng-ekspresikan-nya di Injil Santo Yohanes: "Aku akan melihat engkau
lagi dan hatimu akan bersuka cita, dan tidak ada yang akan mengambil
sukacitamu darimu" (16:22). Kita harus berpikir seperti itu bila kita
ingin mengerti obyek dari harapan Kristen, untuk mengerti apa yang iman
kita, [apa yang] keberadaan kita dengan Kristus, arahkan kita untuk
berharap.[9]
Apakah harapan Kristen individualistis?
13. Dalam sejarahnya, umat
Kristen telah mencoba untuk mengekspresikan [konsep] "mengetahui tanpa
mengetahui" ini dengan menggunakan gambaran-gambaran yang bisa
diwakilkan, dan mereka telah mengembangkan bayangan-bayangan "Surga"
yang jauh dari apa yang bisa diketahui secara negatif, [yaitu] melalui
ketidaktahuan. [catatan DeusVult: kalimat ini agak rumit, pada dasarnya
yang ingin disampaikan adalah, surga biasanya digambarkan secara
negatif, tapi umat Kristen sepanjang sejarah mencoba untuk menggambarkan
Surga jauh dari cara yang negatif tersebut dengan berbagai gambaran
mereka yang mereka dapatkan melalui ketidaktahuan mereka akan surga.
Yang dimaksud menggambarkan secara negatif adalah mendefinisikan sesuatu
menurut apa yang bukan dari sesuatu itu, misalnya, "surga itu
bukanlah..." Sedangkan mendefinisikan sesuatu secara positif adalah
seperti, "surga itu adalah..."]. Semua usaha untuk mewakilkan
[kehadiran] harapan [ini] telah memberi banyak orang sepanjang abad
insentif untuk hidup oleh iman dan karenanya juga meninggalkan
hyperchonta mereka, [yaitu] substansi material bagi kehidupan mereka.
Pengarang dari Surat kepada jemaat Ibrani, di bab kesebelas,
menggariskan semacam sejarah dari mereka yang hidup dalam iman dan akan
perjalanan [mereka], sebuah sejarah yang merentang dari masa Habil ke
masa si pengarang sendiri. Tipe harapan ini telah menjadi bahan kritik
yang keras di masa modern ini: [harapan seperti itu] diabaikan sebagai
individualisme murni, sebuah cara meninggalkan dunia kepada kesuraman
[sang dunia] dan mengungsi kedalam bentuk pribadi atas keselamatan
abadi. Henri de Lubac, dalam perkenalan [introduction] di bukunya yang
seminal yaitu Catholicisme. Aspects sociaux du dogme, menata beberapa
artikulasi karakteristik dari pandangan ini, satu yang layak dikutip:
"Haruskah aku menemukan kegembiraan? Tidak ... hanya kegembiraanku, dan
itu adalah sesuatu yang sangat berbeda ... Kegembiraan Yesus bisa
[bersifat] pribadi. [Kebahagiaan Yesus] bisa dimiliki satu orang dan dia
terselamatkan. Dia dalam damai ... sekarang dan selalu, tapi dia
sendiri. Isolasi dari kegembiraan ini tidak mengganggu dia. Sebaliknya:
dia adalah sang terpilih! Dalam kebahagiaannya dia melalui medan
pertempuran dengan mawar di tangannya." [10]
14. Melawan [pandangan yang
digambarkan olehnya] ini, [dengan] mengambil dari teologi patristic yang
luas, de Lubac mampu menunjukkan bahwa keselamatan selalu dianggap
sebagai suatu realitas "sosial". Memang, Surat kepada jemaat Ibrani
berbicara mengenai sebuah "kota" (bdk. 11:10, 16; 12:22; 13:14) dan
karenanya, sebuah keselamatan komunal. Secara konsisten dengan pandangan
ini, dosa dianggap oleh para Bapa [Gereja] sebagai kehancuran dari
kesatuan bangsa manusia, sebagai pengkotakan dan perpecahan. Babel,
tempat dimana bahasa-bahasa dikacaukan, tempat perpisahan, dilihat
sebagai suatu ekspresi atas apa itu dosa secara fundamental. Karenanya
"penebusan" tampak sebagai pendirian kembali dari kesatuan, dimana kita
datang bersama sekali lagi dalam suatu kesatuan yang mulai mengambil
bentuk di komunitas umat yang percaya di dunia. Marilah kita
berkonsentrasi kepada Surat kepada Proba dimana Agustinus mencoba
mengilustrasikan pada suatu tingkat "ketidaktahuan yang diketahui" yang
kita cari ini. Titik berangkat [Agustinus] hanyalah ekspresi "kehidupan
berbahagia". Kemudian dia mengutip Mazmur 144 [143]:15: "Berbahagialah
orang-orang yang Allahnya adalah Tuhan." Dan dia melanjutkan: "Supaya
dihitung diantara orang-orang ini dan mendapat ... hidup takberkesudahan
dengan Allah, 'akhir dari perintah itu adalah kasih yang keluar dari
hati yang murni dan [dari] nurani yang baik dan iman yang tulus' (1 Tim
1:5)." [11] Hidup yang nyata ini, yang kita coba untuk jangkau lagi dan
lagi, dihubungkan dengan sebuah kesatuan yang dihidupi dengan suatu
"orang-orang", dan bagi tiap individu hal tersebut hanya dapat
didapatkan dalam "ke-kami-an" ini. [Semua ini] mensyaratkan bahwa kita
lolos dari penjara "ke-aku-an" kita, karena hanya dalam keterbukaan dari
subyek universal ini pandangan kita [bisa] terbuka kepada sumber
kegembiraan, kepada cinta itu sendiri—kepada Allah.
15. Sementara visi yang
community-oriented dari "kehidupan berbahagia" ini memang diarahkan
melampaui dunia sekarang, [namun visi itu] juga punya kaitan dengan
pembangunan dunia [sekarang] ini—dengan cara yang berbeda menurut
konteks sejarah dan kemungkinan-kemungkinan yang ditawarkan dan yang
dikecualikan [oleh sejarah tersebut]. Pada masa Agustinus, masuknya
orang-orang baru secara tiba-tiba telah memaksa kerekatan dunia, dimana
sebelumnya ada semacam jaminan hukum dan [jaminan] kehidupan dalam suatu
masyarakat yang tertata secara yuridis; [sehingga] pada [situasi
seperti] itu masalahnya adalah menguatkan pondasi-pondasi dasar dari
keberadaan masyarakat yang damai ini, untuk bertahan hidup di dunia yang
berubah. Marilah kita sekarang mempertimbangkan satu episode dari Abad
Pertengahan, yang kurang lebih dipilih secara acak, yang berfungsi,
dalam banyak hal, untuk mengilustrasikan apa yang kita coba untuk
katakan. Cukup umum untuk dipikirkan pada saat itu bahwa biara adalah
tempat untuk pergi dari dunia (contemptus mundi) dan untuk menarik diri
dari tanggungjawab dunia bagi pencarian keselamatan pribadi. Bernard
dari Clairvaux, yang menginspirasi banyak orang muda untuk masuk ke
biara dari Ordonya yang sudah direformasi, mempunyai perspektif yang
cukup berbeda akan hal ini [maksudnya pemikiran umum bahwa biara adalah
tempat untuk pergi dari dunia dan menarik diri dari tanggungjawab
dunia]. Dalam pandangannya, biarawan melakukan suatu tugas bagi seluruh
Gereja dan karenanya juga bagi dunia. Dia menggunakan banyak gambaran
untuk mengilustrasikan tanggungjawab yang dipunyai para biarawan kepada
keseluruhan tubuh Gereja, dan tentu saja kepada kemanusiaan; dia
menerapkan kepada mereka kata-kata dari [buku] pseudo-Rufinus: "Bangsa
manusia hidup berkat beberapa [orang]; kalau bukan karena mereka, dunia
akan lenyap ...".[12] [Para] kontemplatif—contemplantes—harus menjadi
pekerja-pekerja agrikultural—laborantes—katanya. Kehormatan dari
bekerja, yang diwarisi umat Kristen dari Yudaisme, telah diekspresikan
di aturan membiara Agustinus dan Benediktus. Bernard mengambil lagi
gagasan tersebut. Para bangsawan muda yang mengerubuti biaranya harus
melakukan kerja manual. Nyatanya, Bernard menyatakan secara eksplisit
bahwa bahkan biarapun tidak dapat mengembalikan Firdaus, tapi dia
berketetapan bahwa [biara], sebagai suatu tempat "penggemburan tanah"
praktis dan spiritual, harus mempersiapkan Firdaus baru tersebut.
Sebidang tanah hutan rimba dibuat subur—dan dalam prosesnya, pohon-pohon
kebanggaan dijatuhkan, apapun ilalang yang mungkin tumbuh didalam
jiwa-jiwa semuanya dicabut, dan karenanya tanah dipersiapkan sehinga
roti bagi tubuh dan jiwa bisa berkembang.[13] Apakah kita tidak melihat
sekali lagi, dalam terang sejarah saat ini, bahwa tidak ada tatanan
dunia positif yang dapat makmur dimana jiwa-jiwa terlalu matang?
Transformasi atas harapan-iman Kristen di jaman modern
16. Bagaimana berkembangnya
gagasan bahwa pesan Yesus adalah [sebuah] individualistik sempit dan
ditujukan hanya kepada tiap-tiap orang? Bagaimana kita tiba pada
penafsiran [bahwa] "keselamatan jiwa" merupakan suatu pelarian dari
tanggungjawab bagi kesemuanya, dan bagaimana kita memikirkan [bahwa]
proyek Kristen [adalah] suatu pencarian egois untuk keselamatan yang
menolak gagasan akan pelayanan kepada yang lain? Untuk menemukan jawaban
atas ini kita harus melihat pada pondasi-pondasi dari jaman modern. Hal
ini nampak cukup jelas dalam pemikiran Francis Bacon. Melalui
ditemukannya Amerika [sebagai benua baru] dan pencapaian-pencapaian
tekhnis baru yang membuat perkembangan ini mungkin, suatu era telah
muncul, dan ini takterpungkiri. Tapi apa dasar dari era baru ini? [Dasar
tersebut] adalah korelasi baru akan eksperimen dan metode yang
memampukan manusia untuk tiba pada penafsiran akan alam yang sesuai
dengan hukum-hukumnya dan pada akhirnya mencapai "kejayaan dari seni
atas alam" (victoria cursus artis super naturam). [14] Hal baru dan
asing ini—menurut visi Bacon—terletak dalam sebuah korelasi baru antara
ilmu pengetahuan [science] dan praxis ["praxis" = "cara atau metode
untuk melakukan sesuatu yang diterima khalayak"]. Hal ini juga memberi
aplikasi teologis: korelasi baru antara ilmu pengetahuan dan praxis akan
berarti bahwa dominasi atas ciptaan—[yang] diberikan kepada manusia
oleh Allah dan hilang melalui dosa asal—akan dibuat kembali.[15]
17. Siapapun yang membaca dan
bercermin pada pernyataan-pernyataan ini dengan penuh perhatian akan
menyadari bahwa sebuah langkah yang [cukup] mengganggu telah diambil:
sampai saat itu [ie. saat pembuatan kembali dominasi atas ciptaan karena
adanya korelasi baru antara ilmu pengetahuan dan praxis], pemulihan
kembali atas apa yang dihilangkan manusia melalui pengusiran [manusia]
dari Firdaus diharapkan dari iman dalam Yesus Kristus: disinilah
terletak "penebusan". Nah, "penebusan" ini, [yaitu] pemulihan "Firdaus"
yang hilang, tidak lagi diharapakan dari iman tapi dari suatu hubungan
yang baru ditemukan antara ilmu pengetahuan dan praxis. Bukannya iman
sekedar di-ingkari; namun [iman] dipindahkan ke tingkatan lain—[ke
tingkatan] yang murni pribadi dan [berkaitan dengan] masalah-masalah
duniawi lain—dan pada saat yang sama [iman] menjadi agak tidak relevan
bagi dunia. Visi programatik ini telah menentukan arah pantul masa
modern dan juga membentuk krisis iman saat ini yang secara esensial
adalah krisis dari harapan Kristen. Karenanya, dalam [pemikiran] Bacon,
harapan juga mendapatkan bentuk barunya. Sekarang harapan disebut: iman
kepada kemajuan. Bagi Bacon, jelaslah bahwa munculnya banyak hal-hal
yang ditemukan dan penemuan-penemuan hanya merupakan sebuah awal:
melalui interplay ilmu pengetahuan dan praxis akan ikut [muncul]
penemuan-penemuan baru, sebuah dunia yang benar-benar baru akan muncul,
kerajaan manusia.[16] Dia [ie. Bacon] bahkan mengajukan sebuah visi akan
perangkat-perangkat penemuan baru yang bisa diprediksikan—termasuk
didalamnya kapal udara dan kapal selam. Seiring dengan perkembangan
lebih lanjut [dari] ideologi kemajuan, kegembiraan atas kemajuan yang
kasat mata dalam potensi manusia menjadi suatu konfirmasi terus menerus
atas iman akan kemajuan.
18. Pada saat yang sama, dua
kategori menjadi semakin penting bagi gagasan akan kemajuan: rasio dan
kebebasan. Kemajuan terutamanya dihubungkan dengan dominasi rasio yang
meningkat, dan rasio ini tentunya dianggap sebagai suatu daya yang baik
dan daya bagi kebaikan. Kemajuan adalah penaklukan atas semua bentuk
ketergantungan—[penaklukkan atas semua bentuk ketergantungan] adalah
kemajuan kearah kebebasan sempurna. Sesuai dengannya kebebasan dilihat
murni sebagai sebuah janji, dimana manusia menjadi dirinya dengan penuh
[secara] lebih dan lebih. Dalam kedua konsep—[yaitu] kebebasan dan
rasio—ada aspek politis. Kenyataannya kerajaan rasio diperkirakan
sebagai kondisi baru umat manusia setelah [umat manusia] mendapatkan
kebebasan total. Namun pada pandangan pertama kondisi politik dari
sebuah kerajaan rasio dan kebebasan tersebut nampak agak terdefinisikan
secara keliru. Karena kebenaran intrinsiknya, rasio dan kebebasan
sepertinya menjamin, [atas] diri mereka ["mereka" = "rasio dan
kebebasan"] sendiri, sebuah komunitas manusia yang baru dan sempurna.
Namun, dua konsep kunci dari "rasio" dan "kebebasan" diterjemahkan
secara verbal sebagai [konsep-konsep] yang berkonflik dengan belenggu
iman dan [belenggu] Gereja dan juga [berkonflik] dengan struktur politik
jaman itu. Kedua konsep tersebut karenanya mengandung sebuah potensi
revolusioner dengan kekuatan ledakan yang besar.
19. Kita harus melihat lebih
singkat dua tahapan esensial dari realisasi politik atas harapan ini,
karena hal tersebut penting bagi perkembangan harapan Kristen, bagi
sebuah pengertian yang tepat akannya [ie. akan "harapan ini" tersebut]
dan atas alasan-alasan bagi kengototannya [ie. "harapan ini"]. Pertama
ada Revolusi Prancis—sebuah upaya untuk menetapkan aturan rasio dan
kebebasan sebagai sebuah realitas politis. Pada awalnya, Eropa di Jaman
Pencerahan melihat dengan keterpesonaan pada peristiwa-peristiwa ini
[ie. peristiwa seputar Revolusi Prancis], yang seiring dengan
berkembangnya peristiwa tersebut, [peristiwa itu] telah menyebabkan
refleksi baru atas rasio dan kebebasan. Sebuah ilustrasi yang baik atas
dua fase dalam penerimaan atas peristiwa-peristiwa tersebut di Prancis
ditemukan pada dua essay oleh Immanuel Kant dimana dia merefleksikan apa
yang telah terjadi. Pada 1792 dia menulis Der Sieg des guten Prinzips
über das böse und die Gründung eines Reiches Gottes auf Erden
("Kemenangan Kebaikan atas Prinsip Jahat dan Pendirian Sebuah Kerajaan
Allah di Bumi"). Di teks ini dia mengatakan yang berikut: "transisi
sedikit demi sedikit atas iman gerejawi kepada kedaulatan eksklusif dari
iman religius murni adalah datangnya Kerajaan Allah."[17] Dia juga
mengatakan kepada kita bahwa revolusi-revolusi bisa mempercepat transisi
dari iman gerejawi ke iman rasional ini. Disini "Kerajaan Allah" yang
diproklamirkan Yesus mendapatkan sebuah definisi baru dan mengambil
sebuah modus kehadiran baru; sebuah "pengharapan yang akan segera
terjadi" muncul ke eksistensi/keberadaan: "Kerajaan Allah" tiba dimana
"iman gerejawi" dilenyapkan dan diganti oleh "iman religius", yaitu,
dengan iman rasional sederhana. Pada 1795, dalam teks Das Ende aller
Dinge ("Akhir Dari Semuanya") sebuah gambaran yang telah berubah nampak.
Sekarang Kant mempertimbangkan kemungkinan bahwa sebagaimana [ada]
akhir alami dari semua hal, mungkin juga ada [akhir] lain yang tidak
alami, sebuah akhir yang melenceng. Dia menulis dalam hubungan ini:
"Bila Kekristenan pada suatu hari akan berhenti [menjadi sesuatu] yang
layak [untuk mendapatkan] cinta ... maka modus yang populer
["prevailing"] dalam pemikiran manusia adalah penolakan dan perlawanan
atasnya; dan sang Antikristus ... akan memulai rezimnya yang pendek
(diasumsikan [rezim itu] didasari oleh ketakutan dan egoisme); namun
kemudian, karena Kekristenan, meskipun ditakdirkan menjadi agama dunia,
pada kenyataanya tidak akan disukai oleh takdir untuk menjadi [agama
dunia], maka, dalam kaitannya dengan moral, hal ini bisa mengarah kepada
akhir [melenceng] dari segalanya." [18]
20. Abad sembilan belas memegang
teguh iman [dari abad tersebut] atas kemajuan sebagai sebuah bentuk
baru harapan manusia, dan [abad tersebut] terus menganggap rasio dan
kebebasan sebagai bintang penuntun untuk diikuti pada jalan harapan.
Namun, kemajuan yang cepat dan sering atas perkembangan tekhnis dan
industrialisasi yang berhubungan dengannya, segera memunculkan sebuah
situasi sosial baru: muncul sebuah kelompok pekerja-pekerja industri dan
[kelompok] yang disebut "industrial proletariat" ["proletariat" =
"kelompok pekerja yang tidak mempunyai alat-alat produksi dan hidup oleh
upah"], yang kondisi hidupnya yang mengerikan dideskripsikan oleh
Friedrich Engels pada 1845. Bagi pembacanya [ie. Friedrich Engels],
kesimpulannya jelas: hal ini [kondisi mengerikan para industrial
proletariat] tidak dapat berlanjut; sebuah perubahan diperlukan. Namun
perubahan akan mengoncang dan membalik seluruh struktur dari masyarakat
borjuis [ie. kaya]. Setelah revolusi borjuis pada 1789, saatnya telah
tiba bagi sebuah revolusi proletarian baru: kemajuan tidak bisa sekedar
berlanjut dalam langkah-langkah yang kecil dan linear. Sebuah lompatan
revolusioner diperlukan. Karl Marx menyambut ajakan itu dan
mempergunakan [gaya] bahasa dan intelektualnya yang tajam untuk
meluncurkan langkah yang besar dan baru dalam sejarah ini, begitu
menurutnya, menuju ke keselamatan—menuju ke apa yang dideskripsikan Kant
sebagai "Kerajaan Allah". Setelah kebenaran akan kehidupan setelah mati
ditolak, maka akan ada pertanyaan untuk menetapkan kebenaran akan yang
sekarang dan yang disini. Kritikan terhadap Surga ditransformasi menjadi
kritikan terhadap Bumi, kritikan terhadap teologi kepada politik.
Kemajuan kepada dunia yang baru, dunia yang benar-benar baik, tidak lagi
datang sekedar dari ilmu pengetahuan, tapi dari politik—dari politik
menurut sudut pandang ilmu pengetahuan yang mengenali struktur sejarah
dan masyarakat dan karenanya menunjukkan jalan menuju revolusi, menuju
semuanya—perubahan menyeluruh. Dengan ketepatan yang tajam, meski dengan
bias tertentu, Mark mendeskripsikan situasi di jamannya, dan dengan
kemampuan analitis yang baik dia memaparkan jalan menuju revolusi—dan
tidak hanya secara teoritis: [tapi secara praktis] melalui Partai
Komunis yang terwujudkan dari Communist Manifesto 1848, dia [Marx]
memulai pergerakannya [ie. jalan menuju revolusi]. Janjinya, berdasarkan
analisanya dan indikasinya yang jelas akan sarana-sarana bagi perubahan
radikal, saat itu dan juga sekarang, masih merupakan sumber pesona tak
berakhir. Revolusi yang sebenarnya kemudian terjadi, dalam cara yang
paling radikal, di Rusia.
21. Namun, bersama dengan
kemenangan revolusi, kesalahan mendasar Marx juga semakin terbukti. Dia
menunjukkan dengan tepat bagaimana caranya untuk membuang tatanan yang
ada, tapi dia tidak mengatakan bagaimana hal-hal berlanjut setelah itu.
Dia hanya mengasumsikan bahwa dengan perampasan milik dari kelompok yang
berkuasa, dengan jatuhnya kekuasaan politis dan sosialisasi
sarana-sarana produksi, Yerusalem baru akan muncul. Lalu semua
kontradiksi akan diselesaikan, manusia dan dunia akan kemudian saling
mencocokkan. Lalu semuanya akan mampu untuk mulai sendiri pada jalan
yang benar, karena semuanya akan menjadi milik semua orang dan semua
orang akan menginginkan yang terbaik bagi yang lain. Karenanya, setelah
revolusi tercapai, Lenin tentunya sadar bahwa tulisan-tulisan dari
gurunya [ie. Marx] tidak memberikan indikasi bagaimana untuk
melanjutkan. Memang benar bahwa Marx berbicara mengenai fase peralihan
akan kediktatoran kaum proletariat sebagai sesuatu yang perlu, dimana
dengan berlalunya waktu [kediktatoran kaum proletariat itu] akan secara
otomatis menjadi berlebihan dan tidak diperlukan. Kita paham dengan baik
"fase peralihan" ini, dan kita juga tahu bagaimana [fase tersebut]
kemudian berkembang, [dengan] tidak membawa sebuah dunia sempurna, tapi
meninggalkan jejak kehancuran yang mengejutkan. Marx tidak hanya
menghilangkan penyelesaian mengenai bagaimana dunia baru[nya] ini akan
diorganisir—yang mestinya, dan tentunya, [peng-organisir-an ini] tidak
perlu [menurut teorinya]. Diamnya dia atas hal ini [ie. penyelesaian
mengenai bagaimana dunia barunya akan diorganisir] merupakan konsekuensi
logis dari pendekatan yang dia pilih. Kesalahannya terletak lebih
dalam. Dia melupakan bahwa manusia akan selalu menjadi manusia. Dia
melupakan kebebasan manusia. Dia melupakan bahwa kebebasan selalu juga
menjadi kebebasan dari kejahatan. Dia berpikir bahwa setelah ekonomi
diperbaiki dengan benar, semuanya akan secara otomatis menjadi benar.
Kesalahan nyata [Marx] adalah materialisme: manusia, pada kenyataannya,
tidak hanya merupakan produk dari kondisi ekonomi, dan tidaklah mungkin
untuk menebus si manusia dari luar dengan menciptakan lingkungan ekonomi
yang nyaman.
22. Sekali lagi kita mendapatkan
diri kita menghadapi pertanyaan: apa yang boleh kita harapkan? Sebuah
kritik-diri atas modernitas diperlukan dalam dialog dengan Kekristenan
dan konsep [kekristenan tersebut] akan harapan. Di dialog ini umat
Kristen juga, dalam konteks pengetahuan dan pengalaman mereka, harus
belajar kembali mengenai apa yang benar-benar berada dalam harapan
mereka, apa yang bisa mereka tawarkan kepada dunia dan apa yang tidak
bisa mereka tawarkan. Mengalir kedalam kritik-diri jaman modern ini juga
adalah kritik-diri atas Kekristenan modern, yang harus terus
memperbaharui pemahaman-dirinya [ie. Kekristenan] yang berdasar pada
akar-akarnya [ie. Kekristenan]. Dalam subyek ini, apa yang bisa kita
coba disini adalah beberapa pengamatan singkat. Pertama kita harus
menanyakan diri kita sendiri: apa sebenarnya makna "kemajuan"; apa yang
dijanjikannya dan apa yang tidak dijanjikannya? Pada abad
kesembilanbelas, iman atas kemajuan sudah menjadi sasaran kritik. Pada
abad keduapuluh, Theodor W. Adorno merumuskan masalah iman atas kemajuan
secara cukup drastis: dia mengatakan bahwa kemajuan, dipandang secara
akurat, adalah kemajuan dari ketapel menuju ke bom atom. Nah, ini
merupakan sebuah aspek dari kemajuan yang tidak perlu disembunyikan.
Dengan kata lain: kekaburan dari kemajuan menjadi jelas. Tanpa ragu,
[kemajuan] menawarkan kemungkinan-kemunginan baru untuk kebaikan, tapi
[kemajuan] juga membuka kemungkinan yang mengejutkan bagi
kejahatan—suatu kemungkinan yang sebelumnya tidak ada. Kita semua telah
menyaksikan bagaimana kemajuan, ditangan yang salah, bisa menjadi, dan
memang menjadi, sebuah kemajuan yang menakutkan kepada kejahatan. Bila
kemajuan tekhnis tidak diiringi oleh kemajuan yang sejajar dalam
pembentukan etis manusia, dalam pertumbuhan internal manusia (bdk. Ef
3:16; 2 Kor 4:16), maka itu bukanlah kemajuan sama sekali, tapi ancaman
bagi manusia dan bagi dunia.
23. Sejauh dua tema besar
tersebut, yaitu "rasio" dan "kebebasan", kita hanya bisa menyentuh atas
isu-isu yang berhubungan dengannya. Ya memang, rasio adalah anugerah
agung Allah kepada manusia, dan kemenangan rasio atas ketidak-rasio-an
juga adalah tujuan dari kehidupan Kristen. Tapi kapan rasio benar-benar
berjaya? Kapankah rasio dilepaskan dari Allah? Kapan rasio menjadi buta
kepada Allah? Apakah rasio dibalik suatu tindakan dan kapasitas bagi
tindakan tersebut merupakan keseluruhan dari rasio? Jika kemajuan,
supaya menjadi suatu kemajuan, memerlukan pertumbuhan moral dari sisi
manusiawinya, maka rasio dibalik tindakan dan kapasitas bagi tindakan
juga perlu integrasi melalui keterbukaan rasio kepada daya penyelamatan
iman, kepada pembedaan antara yang baik dan yang jahat. Hanya setelah
itulah rasio menjadi benar-benar manusiawi. Rasio menjadi manusiawi
hanya jika rasio mampu mengarahkan kehendak kepada jalan yang benar, dan
rasio mampu melakukan ini hanya jika rasio melihat melampaui dirinya
sendiri. Kalau tidak, [maka] situasi manusia, mengingat
ketidakseimbangan antar kapasitas material dan kurangnya penilaian di
hatinya, menjadi sebuah ancaman bagi manusia itu sendiri dan ciptaan.
Karena itu, ketika kebebasan dipedulikan, kita harus ingat bahwa
kebebasan manusia selalu memerlukan penyatuan berbagai jenis kebebasan.
Namun penyatuan ini tidak dapat berhasil kecuali penyatuan itu
ditentukan oleh sebuah kriteria ukuran intrinsik yang sama, yang adalah
pondasi dan tujuan dari kebebasan kita. Marilah kita [katakan] dengan
sederhana: manusia memerlukan Allah, kalau tidak manusia akan tetap
tanpa harapan. Mengingat perkembangan jaman modern, kutipan dari Santo
Paulus yang aku mulai (Ef 2:12) terbukti nyata secara menyeluruh dan
benar secara gamblang. Karenanya tidak ada keraguan bahwa sebuah
"Kerajaan Alah" yang dicapai tanpa Allah—sebuah kerajaan manusia
saja—secara tidak terelakkan berakhir sebagai "akhir yang melenceng"
dari segala sesuatu [seperti yang telah] dideskripsikan Kant: kita telah
melihatnya, dan kita melihatnya [terjadi] berulang-ulang. Namun
tidaklah ada keraguan bahwa Allah benar-benar terlibat kedalam
perkara-perkara manusia, bukannya sekedar ada di pikiran kita, hanya
jika Dia sendiri datang kepada kita dan berbicara kepada kita.
Karenanya, rasio memerlukan iman kalau rasio ingin menjadi lengkap:
rasio dan iman memerlukan satu sama lain untuk memenuhi hakikat sejati
mereka dan misi sejati mereka.
Bentuk sebenarnya dari harapan Kristen
24. Marilah kita bertanya sekali
lagi: apa yang boleh kita harapkan? Dan apa yang tidak boleh kita
harapkan? Pertama-tama, kita harus mengakui bahwa kemajuan sedikit-demi
sedikit adalah mungkin hanya dalam lingkup material. Disini,
ditengah/diantara perkembangan pengetahuan kita akan struktur
benda-benda dan dalam terang semakin canggihnya temuan-temuan, kita
dengan jelas melihat sebuah kemajuan yang berkelanjutan menuju ke
penguasaan alam yang semakin besar. Namun dalam bidang kesadaran etis
dan pengambilan keputusan moral, tidak ada kemungkinan yang sama akan
[suatu] akumulasi karena satu alasan sederhana bahwa kebebasan manusia
adalah selalu baru dan dia harus selalu membuat keputusan dengan baru.
Keputusan-keputusan ini tidak pernah dapat dibuat bagi kita di awal-awal
oleh orang lain—Kalau itu [bisa dilakukan], kita tidak akan bebas.
Kebebasan memprasyaratkan bahwa dalam keputusan-keputusan fundamental,
setiap orang dan setiap generasi adalah sebuah permulaan baru. Secara
alami, generasi-generasi baru bisa membangun diatas pengetahuan dan
pengalaman dari [orang-orang yang terdahulu], dan mereka bisa mengambil
dari harta karun moral dari seluruh kemanusian. Tapi mereka juga bisa
menolaknya, karena [harta karun moral dari seluruh kemanusiaan tersebut]
tidak pernah dapat terbukti dengan sendirinya [ie.self-evident]
sebagaimana temuan-temuan materiil. Harta karun moral kemanusiaan
tidaklah siap digunakan seperti alat-alat yang kita pakai; [harta karun
tersebut] hadir sebagai daya tarik bagi kebebasan dan kemungkinan
baginya [ie. kebebasan]. Namun ini berarti bahwa:
a) Status yang benar dari
perkara-perkara manusia, kesejahteraan moral dari dunia tidak pernah
dapat dijamin sekedar dengan melalui struktur-struktur saja, sebagaimana
pun bagusnya [struktur-struktur] tersebut. Struktur-struktur seperti
itu tidak hanya penting, tapi perlu; tapi mereka tidak dapat dan tidak
seharusnya memarjinalisasi [ie. meminggirkan] kebebasan manusia. Bahkan
struktur-struktur terbaik akan berfungsi hanya ketika [suatu komunitas]
digerakkan oleh keyakinan yang mampu memotivasi orang-orang untuk patuh
dengan bebas pada tatanan sosial. Kebebasan mensyaratkan keyakinan;
keyakinan tidak ada dengan sendirinya, tapi harus selalu didapatkan
dengan baru oleh komunitas tersebut.
b) Karena manusia selalu tetap
bebas dan karena kebebasannya selalu rapuh, kerajaan kebenaran tidak
akan pernah didirikan di dunia. Setiap orang yang menjanjikan dunia yang
lebih baik yang dijamin akan berakhir tanpa kesudahan, telah membuat
janji palsu; dia tidak mempertimbangkan kebebasan manusia. Kebebasan
harus secara konstan dimenangkan bagi sebab-sebab kebaikan. Kepatuhan
yang bebas kepada kebaikan tidak pernah ada dengan sendirinya. Bila ada
struktur-struktur yang dapat secara tak-tergantikan [irrevocably]
menjamin sebuah status dunia—yang baik—yang berketetapan, kebebasan
manusia akan diingkari, dan karenanya [struktur-struktur] tersebut tidak
akan menjadi struktur-struktur yang baik sama sekali.
25. Makna semua ini adalah bahwa
semua generasi punya tugas untuk secara baru berhadapan dalam pencarian
meletihkan bagi cara yang benar untuk menata perkara-perkara manusia;
tugas ini tidak pernah sekedar selesai. Namun tiap generasi harus
membuat sumbangsihnya untuk mendirikan struktur-struktur kebebasan dan
kebaikan yang meyakinkan, yang dapat membantu generasi berikutnya
sebagai suatu petunjuk bagi penggunaan yang patut akan kebebasan
manusia; dan karenanya, [dengan] tetap berada dalam batasan manusia,
[struktur-struktur kebebasan dan kebaikan yang meyakinkan yang dibuat
tiap generasi sebelumnya tersebut] memberikan semacam jaminan juga bagi
masa depan. Dengan kata lain: struktur-struktur yang baik memang
membantu, tapi hanya itu saja tidaklah cukup. Manusia tidak pernah dapat
ditebus sekedar dari luar. Francis Bacon dan mereka yang mengikuti arus
intelektual modernitas yang diinspirasikannya adalah salah untuk
mempercayai bahwa manusia akan ditebus melalui ilmu pengetahuan.
Pengharapan seperti itu menuntut terlalu banyak dari ilmu pengetahuan;
harapan seperti ini menipu. Ilmu pengetahuan bisa menyumbang banyak
untuk membuat dunia dan umat manusia lebih manusiawi. Namun ilmu
pengetahuan juga dapat menghancurkan umat manusia dan dunia kecuali ilmu
pengetahuan tersebut dikemudikan oleh kuasa-kuasa yang ada diluarnya.
Disisi lain, kita juga harus mengakui bahwa Kekristenan modern,
dihadapkan dengan kesuksesan ilmu pengetahuan dalam [upayanya]
men-struktur dunia secara progresif telah, sampai jangkauan tertentu,
membatasi perhatiannya kepada individu dan keselamatan [individu
tersebut]. Dalam melakukan itu [Kekristenan modern] telah membatasi
wawasan harapannya dan telah gagal untuk mengenali dengan mencukupi
besarnya tugas dari [Kekristenan modern]—bahkan bila [Kekristenan
modern] telah mencapai banyak hal besar dalam pembentukan manusia dan
perawatan yang lemah dan menderita.
26. Bukan ilmu pengetahuan yang
menebus manusia: manusia ditebus oleh cinta. Hal ini juga berlaku di
dunia sekarang ini. Ketika seseorang mengalami cinta yang besar dalam
hidupnya, ini adalah saat "penebusan" yang memberi arti baru bagi
kehidupannya. Tapi segera kemudian dia akan juga menyadari bahwa cinta
yang diberikan kepadanya tidak dapat menjawab pertanyaan hidupnya.
Sebuah cinta yang tetap rapuh. Sebuah cinta yang bisa dihancurkan oleh
kematian. Umat manusia memerlukan cinta tak-bersyarat. Dia memerlukan
kepastian yang membuatnya berkata: "tidak kematian, maupun hidup, maupun
malaikat-malaikat, maupun kekuasaan-kekuasaan, maupun hal-hal sekarang,
maupun hal-hal yang akan datang, maupun kuasa-kuasa, maupun ketinggian,
maupun kedalaman, maupun apapun juga dalam semua ciptaan, akan mampu
memisahkan kita dari cinta Allah dalam Kristus Yesus Tuhan kita" (Rom
8:38-39). Bila cinta absolut ini ada, dengan kepastiannya yang absolut,
maka—hanya dengan begitu—manusia "ditebus", apapun yang harus terjadi
padanya dalam keadaan khususnya. Inilah yang dimaksud dengan mengatakan:
Yesus Kristus telah "menebus" kita. Melalui Dia kita telah menjadi
pasti akan Allah, seorang Allah yang bukanlah "sebab utama" [ie. causa
prima] dunia yang [bertahta di tempat yang] jauh, karena Anak tunggal
satu-satuNya telah menjadi manusia dan akan Dia setiap orang dapat
berkata: maka—"Aku hidup oleh iman dalam Anak Allah, yang mencintaiku
dan memberikan diriNya bagiku" (Gal 2:20).
27. Dalam artian ini, adalah
benar bahwa setiap orang yang tidak mengenal Allah, meskipun Dia
menghiburi [entertain] semua jenis harapan, pada akhirnya [dia menjadi]
tanpa harapan, tanpa harapan besar yang menjaga keseluruhan hidup (bdk.
Ef 2:12). Harapan besar dan sejati manusia yang tetap teguh alih-alih
semua kekecewaan hanya dapat merupakan Allah—Allah yang telah mencintai
kita dan yang terus mencintai kita "sampai akhir," sampai semuanya
"tercapai" (cf. Yoh 13:1 dan 19:30). Siapapun yang digerakkan oleh cinta
[akan] mulai untuk memandang apa itu "hidup" sebenarnya. Dia mulai
memandang arti kata harapan yang kita dapati dalam ritus Baptisan: dari
iman aku menunggu "kehidupan abadi"—kehidupan sejati, penuh dan
tak-terancam dalam semua kepenuhannya, yang sekedar hidup. Yesus, yang
berkata bahwa Dia telah datang sehingga kita semua boleh mempunyai hidup
dan mempunyainya dalam kepenuhannya, dalam kelimpahannya (bdk. Yoh
10:10), juga telah menjelaskan kepada kita apa makna "hidup": "Inilah
kehidupan abadi, bahwa mereka mengenalMu satu-satunya Allah sejati, dan
Yesus Kristus yang kau utus" (Yoh 17:3). Hidup dalam artian sebenarnya
bukanlah sesuatu yang kita miliki secara eksklusif bagi diri kita
sendiri: [hidup dalam artian sebenarnya] adalah sebuah hubungan. Dan
hidup dalam totalitasnya adalah sebuah hubungan dengan Dia yang adalah
sumber hidup. Bila kita berada dalam hubungan dengan Dia yang tidak bisa
mati, yang adalah Hidup itu sendiri dan Cinta itu sendiri, maka kita
berada dalam hidup. Maka kita "hidup".
28. Namun sekarang pertanyaan
muncul: apakah dengan cara ini kita tidak kembali sekali lagi kepada
sebuah pemahaman individualistik akan keselamatan, kepada harapan bagi
diriku sendiri, yang bukanlah harapan sejati karena [harapan semacam
itu] melupakan dan mengabaikan sesama? Memang tidak! Hubungan kita
dengan Allah dibangun melalui persekutuan dengan Yesus—kita tidak dapat
mencapainya sendiri atau [mendapatnya dengan bergantung pada] sumberdaya
kita sendiri. Namun, hubungan dengan Yesus adalah hubungan dengan Dia
yang memberi diriNya bagi tebusan untuk semua (bdk. 1 Tim 2:6). Berada
dalam persekutuan dengan Yesus Kristus menarik kita kedalam "ada bagi
semuanya" [dari sang Kristus]; [dan persekutuan semacam itu] membuatnya
sendiri sebagai cara keberadaan kita. Dia membuat kita bertanggungjawab
[committed] untuk hidup bagi sesama, tapi hanya melalui persekutuan
dengan Dia [maka] menjadi mungkin untuk benar-benar menjadi ada bagi
sesama, bagi keseluruhan. Atas ini aku ingin mengutip Doktor Gereja
Yunani yang agung, Maximus Sang Pengaku († 662), yang mulai menganjurkan
kita untuk tidak lebih menyukai apapun daripada pengetahuan dan cinta
akan Allah, tapi kemudian [setelah menuliskan hal tersebut sang Doktor]
dengan cepat melanjutkan ke ke-praktis-an: "Dia yang mencintai Allah
tidak dapat memegang uang tapi memberikannya sesuai dengan cara Allah
... dengan cara yang sama yang sesuai dengan ukuran keadilan"[19]. Cinta
akan Allah mengarah kepada keikutsertaan dalam keadilan dan
kedermawanan Allah kepada sesama. Mencintai Allah memprasyaratkan sebuah
kebebasan interior dari semua kepemilikan dan semua barang materi:
cinta akan Allah disingkapkan dalam tanggungjawab kepada sesama[20].
Hubungan yang sama antara cinta akan Allah dan tanggungjawab bagi sesama
bisa dilihat dalam cara yang menarik perhatian dalam kehidupan Santo
Agustinus. Setelah pertobatannya ke iman kristen, dia memutuskan,
bersama dengan teman-teman dengan pemikiran yang sama, untuk hidup
dengan berdedikasi penuh kepada sabda Allah dan kepada perkara-perkara
abadi. Tujuannya adalah mempraktekkan versi Kristen dari kehidupan
kontemplatif ideal yang diekspresikan dalam tradisi agung filosofis
Yunani, dengan begini dia "memilih bagian yang terbaik" (bdk. Luk
10:42). Namun persoalannya menjadi berubah. Ketika menghadiri liturgi
Minggu di kota pelabuhan Hippo, dia dipanggil diantara para jemaat oleh
Uskup dan terpaksa menerima tahbisan untuk tugas pelayanan imam [ie.
sebagai romo] di kota itu. Melihat kembali peristiwa tersebut, Santo
Agustinus menulis dalam [bukunya] Confession: "Takut oleh dosa-dosaku
dan beban kegundahanku, aku telah memutuskan dalam hatiku, dan
memikirkan untuk pergi ke belantara; tapi Engkau melarangku dan
memberiku kekuatan, dengan berkata: 'Kristus mati bagi semua orang,
sehingga mereka yang hidup boleh hidup tidak lagi bagi diri mereka
sendiri tapi bagi Dia yang bagi diri mereka tersebut telah mati' (bdk. 2
Cor 5:15)"[21]. Kristus mati untuk semua orang. Untuk hidup bagiNya
berarti membiarkan diri kita ditarik kedalam ada bagi semuanya [dari
sang Kristus].
29. Bagi Agustinus ini berarti
sebuah kehidupan baru yang total. Suatu ketika dia mendeskripsikan
kehidupan sehari-harinya dalam ucapan berikut: Goncangan harus
dibenarkan, yang berhati lemah di hibur, yang lemah didukung;
lawan-lawan injil perlu di sanggah, [injil] perlu dijaga dari
musuh-musuh dalam selimut; yang tak berpendidikan perlu diajar, yang
malas digerakkan, yang argumentatif di tanggapi; yang bangga harus
diletakkan pada tempat mereka [yang patut], yang putus asa dibangkitkan,
mereka yang cekcok diperdamaikan; yang membutuhkan perlu dibantu, yang
terjajah dimerdekakan, yang baik didukung, yang jahat ditoleransi; semua
harus dikasihi"[22]. "Injil menakutkan aku"[23]—[injil menimbulkan]
ketakutan yang sehat yang mencegah kita dari hidup bagi diri kita
sendiri dan mendorong kita untuk meneruskan harapan yang kita pegang
bersama. Ditengah kesulitan-kesulitan serius yang dihadapi Imperium
roma—dan juga menghadapi ancaman serius kepada Roma Afrika, yang
dihancurkan pada akhir kehidupan Agustinus—ini adalah apa yang dia
tetapkan utuk dilakukan: untuk meneruskan harapan [kepada orang-orang],
harapan yang datang kepadanya dari iman dan yang, bertentangan dengan
temperamennya yang introvert, memampukan [Santo Agustinus] untuk
mengambil peran yang menentukan, dan dengan semua kekuatannya, dalam
upaya untuk membangun kota tersebut [ie. Hippo, Afrika]. Di bagian yang
sama dari [buku] Confession, dimana kita melihat komitmen [Santo
Agustinus] atas "bagi semua", dia berkata bahwa Kristus "mewakili bagi
kita, kalau tidak aku akan putus asa. Kelemahanku banyak dan besar,
sungguh memang banyak dan besar, tapi lebih berkelimpahan lagi obatMu.
Kita mungkin berpikir bahwa sabdaMu berjarak jauh dari persatuan dengan
manusia, dan karenanya kita menjadi putus asa sendiri, jika sang Sabda
ini tidak menjadi daging dan tinggal diantara kita"[24]. Atas kekuatan
harapannya, Agustinus mendedikasikan dirinya dengan total kepada
orang-orang biasa dan kepada kotanya—mengingkari kebangsawanan
spiritualnya, dia berkhotbah dan bertindak dengan cara yang sederhana
bagi orang yang sederhana.
30. Mari kita meringkas apa yang
telah muncul sejauh ini dalam refleksi kita. Hari demi hari manusia
mengalami banyak harapan-harapan yang lebih besar dan lebih kecil,
berbeda jenisnya menurut periode yang berbeda dalam hidupnya.
Kadang-kadang salah satu dari harapan-harapan tersebut mungkin nampak
secara total memuaskan tanpa perlu harapan-harapan lain. Orang muda
dapat mempunyai harapan akan cinta yang besar dan benar-benar memuaskan;
harapan akan suatu posisi dalam profesi mereka, atau suatu sukses yang
akan terbukti menentukan bagi kehidupan mereka selanjutnya. Namun ketika
harapan-harapan ini dipenuhi akanlah jelas bahwa [harapan-harapan]
tersebut, pada nyatanya, bukanlah keseluruhan. Menjadi terbukti bahwa
manusia mempunyai rasa perlu akan sebuah harapan yang melampaui. Menjadi
jelas bahwa hanya sesuatu tak-terbatas akan mencukupi [sang manusia],
sesuatu yang akan selalu lebih dari apa yang dia akan pernah dapat.
Dalam hal ini, jaman kontemporer kita telah mengembangkan harapan
[untuk] menciptakan suatu dunia yang sempurna, berkat ilmu pengetahuan
dan politik berlandaskan ilmu pengetahuan, yang tampaknya bisa dicapai.
Karenanya harapan Biblis akan Kerajaan Allah telah digantikan oleh
harapan dalam kerajaan manusia, harapan untuk sebuah dunia yang lebih
baik yang akan menjadi "Kerajaan Allah" yang sejati. Ini semua tampak
pada akhirnya sebagai suatu harapan besar dan realistik yang diperlukan
manusia. [Harapan tersebut] mampu menggerakkan—untuk satu waktu—semua
energi manusia. Tujuan agung tersebut kelihatannya layak [mendapatkan]
komitmen penuh. Namun dengan berjalannya waktu telah menjadi jelas bahwa
harapan ini secara konstan menurun. Diatas segalanya, telah menjadi
nampak bahwa [harapan tersebut] mungkin adalah harapan bagi generasi
mendatang, tapi bukan buatku.
Dan sebanyak apapun "bagi
semuanya" bisa menjadi bagian dari sebuah harapan besar—karena aku tidak
bisa gembira tanpa yang lain atau dalam pertentangan dengan yang
lain—akan tetap benar bahwa sebuah harapan yang tidak mempedulikan aku
pribadi bukanlah harapan sejati. Juga menjadi jelas bahwa harapan ini
bertentangan dengan kebebasan, karena perkara-perkara manusia di setiap
generasi bergantung kepada keputusan bebas dari mereka yang
berkepentingan. Kalau kebebasan ini diambil, sebagai akibat dari
kondisi-kondisi atau struktur-struktur tertentu, maka pada akhirnya
dunia tidak akan menjadi baik, karena sebuah dunia tanpa kebebasan tidak
dapat merupakan sebuah dunia yang baik. Karenanya, sementara kita harus
selalu berkomitmen kepada perbaikan dunia, dunia yang lebih baik besok
harinya tidak dapat menjadi kandungan harapan kita yang patut dan
mencukupi. Dan dalam kaitan dengan ini pertanyaan selalu muncul: kapan
dunia menjadi "lebih baik"? Apa yang membuat [dunia itu] baik? Atas
standard apa kita menilai kebaikannya? Apa jalan yang mengarah kepada
"kebaikan" ini?
31. Marilah kita katakan sekali
lagi: kita memerlukan harapan-harapan yang lebih besar dan lebih kecil
yang menggerakkan kita hari demi hari. Tapi ini tidaklah cukup tanpa
harapan besar/agung tersebut, yang harus melampaui segalanya. Harapan
besar/agung ini hanya bisa merupakan Allah, yang meliputi keseluruhan
realitas dan yang dapat menganugerahkan kita apa yang kita sendiri tidak
dapat peroleh. Fakta bahwa [harapan besar/agung tersebut] datang kepada
kita sebagai suatu anugerah sebenarnya merupakan bagian dari harapan.
Allah adalah pondasi dari harapan: bukan sembarang allah, tapi Allah
yang mempunyai wajah manusia dan yang mencintai kita sampai
kesudahannya, setiap diri kita dan kemanusiaan dalam keseluruhannya.
KerajaanNya bukanlah sebuah khayalan saat mendatang, yang terletak di
sebuah masa depan yang tidak akan pernah tiba; KerajaanNya hadir
dimanapun Dia dicintai dan dimanapun cintaNya mencapai kita. CintaNya
saja memberi kepada kita kemungkinan untuk dengan terjaga bertahan hari
demi hari, tanpa berhenti didorong oleh harapan, di dunia yang pada
hakikatnya tidak sempurna. CintaNya pada saat yang sama adalah jaminan
kita akan keberadaan dari apa yang hanya bisa kita rasakan dengan gamang
dan yang, dalam diri kita terdalam, bagaimanapun kita nantikan: sebuah
kehidupan yang "benar-benar" hidup. Marilah kita sekarang di bagian
final mengembangkan gagasan ini secara lebih detail saat kita
memfokuskan perhatian kita pada beberapa "pengaturan" ["settings"]
dimana kita bisa mempelajari dalam praktek mengenai harapan dan
pelaksanaannya.
"Pengaturan" bagi mempelajari dan mempraktekkan harapan
I. Doa sebagai sebuah kumpulan harapan
32. Sebuah pengaturan inti bagi
mempelajari harapan adalah doa. Ketika tidak ada seorang pun yang
mendengarkan aku lagi, Allah masih mendengarkan aku. Ketika aku tidak
dapat lagi berbicara kepada siapapun atau memanggil siapapun, aku selalu
dapat berbicara kepada Allah. Ketika tidak ada lagi seorangpun yang
membantuku menghadapi sebuah keperluan atau pengharapan yang melampaui
kapasitas manusia bagi harapan, Dia dapat membantuku[25]. Ketika aku
terjerumus ke kesendirian total ...: bila aku berdoa aku tidak pernah
sendiri. Almarhum Cardinal Nguyen Van Thuan, seorang narapidana selama
13 tahun, [dimana] sembilan tahun darinya dihabiskan dalam kurungan
soliter [ie. dikurung sendiri jauh dari yang lain], telah meninggalkan
pada kita sebuah buku kecil yang berharga: Doa-doa Harapan. selama tiga
tahun dalam penjara, dalam sebuah situasi yang sepertinya tidak ada
harapan, fakta bahwa dia dapat mendengar dan berbicara kepada Allah
menjadi baginya sebuah kekuatan harapan yang terus bertambah, yang
setelah pembebasanya memampukan dia untuk menjadi seorang saksi akan
harapan bagi seluruh orang di dunia—[seorang saksi] akan suatu harapan
besar yang tidak bergeming bahkan di malam-malam kesendirian.
33. Santo Agustinus, dalam
sebuah homili atas Surat Pertama Yohanes, mendeskripsikan dengan indah
hubungan yang intim antara doa dan harapan. Dia mendefinisikan doa
sebagai sebuah latihan keinginan. Manusia diciptakan untuk
kebesaran/keagungan—bagi Allah sendiri; dia diciptakan untuk dipenuhi
oleh Allah. Tapi hatinya terlalu kecil untuk kebesaran/keagungan yang
adalah takdir [sang hati]. Hati tersebut harus direntangkan. "Dengan
menunda [anugerahNya], Allah menguatkan keinginan kita; melalui
keinginan, Dia memperbesar jiwa kita dan dengan melebarkannya Dia
memperbesar kapasitasnya [untuk menerimaNya]". Agustinus mengacu ke
Santo Paulus, yang berbicara akan dirinya sendiri bagai mengarahkan diri
kepada hal-hal yang akan datang (bdk. Fil 3:13). Dia kemudian
menggunakan sebuah gambaran yang sangat indah untuk mendeskripsikan
proses pembesaran dan penyiapan hati manusia ini. "Umpamanya Allah
berkeinginan untuk memenuhimu dengan madu [sebuah simbol kelembutan dan
kebaikan Allah]; tapi bila engkau penuh dengan cuka, dimanakah engkau
akan menaruh madunya?" Bejananya, yaitu hatimu, harus pertama-tama
diperbesar dan kemudian di bersihkan, dibebaskan dari cuka dan rasanya.
Ini memerlukan kerja keras dan menyakitkan, tapi hanya dengan cara ini
kita menjadi cocok kepada apa yang ditakdirkan [destined]bagi kita[26].
Bahkan kalaupun Agustinus berbicara langsung hanya mengenai kapasitas
kita bagi Allah, telah jelas bahwa melalui upaya ini kita dibebaskan
dari cuka dan rasa cuka tersebut, tidak hanya kita dibuat bebas bagi
Allah, tapi kita juga menjadi terbuka bagi yang lain. Hanya dengan
menjadi anak-anak Allah kita bisa bersama dengan Bapa kita semua. Berdoa
bukanlah melangkah keluar dari sejarah dan menarik [diri] ke pojok
kebahagiaan pribadi kita sendiri. Ketika berdoa dengan tepat kita
melalui sebuah proses pembersihan mendalam yang membuka diri kita kepada
Allah dan karenanya kepada sesama kita manusia juga. Dalam doa kita
harus belajar apa yang bisa benar-benar kita minta dari Allah—apa yang
layak atas Allah. Kita harus belajar bahwa kita tidak bisa berdoa
melawan yang lain. Kita harus belajar bahwa kita tidak dapat meminta
hal-hal yang dangkal dan menyamankan yang kita inginkan saat ini—harapan
yang kecil dan salah tempat yang menuntun kita jauh dari Allah. Kita
harus belajar untuk memurnikan keinginan kita dan harapan kita. Kita
harus membebaskan diri kita dari kebohongan-kebohongan tersembunyi yang
dengannya kita menipu diri kita sendiri. Allah melihat menembus hal-hal
seperti itu, dan ketika kita datang kehadapan Allah, kita juga dipaksa
untuk mengenali [hal-hal tersebut]. "Tapi siapa yang dapat mengetahui
kesalahan-kesalahannya? Bersihkan aku dari kesalahan tersembunyi" doa
sang pe-mazmur (Mzm 19:12 [18:13]). Kegagalan untuk mengenali
kesalahan-kesalahanku [dan terbutakan oleh] ilusi ketidakberdosaanku,
tidak membenarkan aku dan tidak menyelamatkanku, karena aku bersalah
[culpable] atas kebekuan suara hatiku dan [atas] ketidakmampuanku
[incapacity] untuk mengenali kejahatan didalam aku seperti apa adanya.
Jika Allah tidak ada, mungkin aku harus mencari perlindungan dalam
kebohongan-kebohongan ini, karena tidak ada seorangpun yang dapat
mengampuniku; tidak ada seorangpun yang adalah [sang] standard sejati
[atas mana yang benar dan mana yang salah]. Namun perjumpaanku dengan
Allah membangunkan suara hatiku sedemikian sehingga [suara hatiku] tidak
lagi menuju [ke sebuah] pembenaran-diri, dan tidak lagi [suara hatiku]
merupakan sekedar refleksi akan diriku dan orang-orang jamanku yang
membentuk pemikiranku, namun [suara hatiku] menjadi sebuah kapasitas
untuk mendengar sang Kebaikan itu sendiri.
34. Supaya doa mengembangkan
kekuatan pemurnian ini, [maka doa] harus pada satu sisi merupakan
sesuatu yang sangat pribadi, sebuah perjumpaan antara diri intimku
sendiri dengan Allah, Allah yang hidup. Disisi lain [doa] harus terus
dituntun da dicerahkan oleh doa-doa agung Gereja dan para kudus, oleh
doa liturgis. Cardinal Nguyen Van thuan, dalam buku latihan
spiritualnya, mengatakan kepada kita bahwa selama kehidupannya ada
periode waktu yang lama dimana dia tidak mampu berdoa dan dia akan
berpegang erat kepada teks-teks doa Gereja [dalam berdoa]: Bapa Kami,
Salam Maria, dan doa-doa liturgis[27]. Berdoa harus selalu melibatkan
percampuran doa umum dan pribadi. Beginilah bagaimana kita dapat
berbicara kepada Allah dan bagaimana Allah berbicara kepada kita. Dengan
cara ini kita melalui pemurnian-pemurnian yang olehnya kita menjadi
terbuka kepada Allah dan dipersiapkan bagi pelayanan akan sesama kita
manusia. Kita menjadi mampu atas harapan besar/agung tersebut, dan
karenanya kita menjadi pelayan harapan bagi yang lain. Harapan dalam
artian kristen adalah selalu harapan bagi sesama yang lain juga.
[Harapan tersebut] adalah harapan aktif, dimana kita berjuang untuk
mencegah hal-hal bergerak menuju "akhir yang melenceng". [Harapan
tersebut] adalah sebuah harapan aktif juga dalam artian bahwa kita
menjaga dunia [supaya tetap] terbuka kepada Allah. Hanya dengan cara ini
[harapan tersebut] terus menjadi sebuah harapan yang benar-benar
manusia.
II. Tindakan dan penderitaan sebagai pengaturan bagi mempelajari harapan
35. Semua perilaku manusia yang
serius dan benar adalah harapan yang sedang beraksi. Ini memang demikian
pertama-tama dalam artian bahwa kita berusaha untuk merealisasi
harapan-harapan kecil dan besar kita, untuk melengkapi tugas ini atau
itu yang penting bagi perjalanan kedepan kita, atau kita berusaha menuju
sebuah dunia yang lebih terang dan manusiawi sehingga membuka pintu
bagai masa depan. Namun upaya tiap hari kita dalam mengejar kehidupan
kita dan dalam berusaha untuk masa depan dunia, melelahkan kita, ataupun
berubah menjadi fanatisme, kecuali kita diterangi oleh sinar terang
harapan agung yang tidak dapat dihancurkan bahkan oleh
kegagalan-kegagalan berskala kecil atau oleh runtuhnya perkara-perkara
sejarah yang penting. Kalau kita tidak dapat berharap lebih dari yang
dapat dicapai secara efektif pada satu waktu tertentu, atau lebih dari
yang dijanjikan oleh otoritas ekonomi atau politis, kehidupan kita akan
segera menjadi tanpa harapan. Adalah penting untuk tahu bahwa aku selalu
dapat terus berharap, bahkan kalau dalam hidupku sendiri, atau dalam
periode sejarah saat aku hidup, tampaknya tidak ada apapun untuk
diharapkan. Hanya sebuah kepastian besar akan harapan bahwa hidupku
sendiri dan sejarah secara umum, alih-alih semua kegagalan, dipegang
teguh oleh kekuatan Cinta yang tak terhancurkan, dan ini memberi
[kehidupanku sendiri dan sejarah secara umum] makna dan kepentingan,
hanya harapan seperti ini yang memberi keberanian untuk bertindak dan
tahan uji. [Catatan DeusVult: kalimat panjang dan penuh anak kalimat dan
ruwet ini pada dasarnya kalimat utamanya adalah sebagai berikut, "Hanya
sebuah kepastian besar akan harapan bahwa hidupku sendiri dan sejarah
secara umum dipegang teguh oleh kekuatan Cinta yang tak terhancurkan,
yang memberi keberanian untuk bertindak dan tahan uji"]. Tentu saja kita
tidak dapat "membangun" Kerajaan Allah dengan upaya-upaya kita
sendiri—apa yang kita bangun akan selalu adalah kerajaan manusia dengan
semua keterbatasan yang patut bagi kodrat manusiawi kita. Kerajaan Allah
adalah karunia, dan justru karena ini, [Kerajaan Allah] itu agung dan
indah, dan [Kerajaan tersebut] merupakan tanggapan atas harapan kita.
Dan kita tidak dapat—dengan memakai istilah klasik—"merit" Surga melalui
perbuatan kita [Catatan DeusVult: "merit" kira-kira terjemahannya
adalah "jasa". Jadi maksudnya disini Kerajaan Alalh itu adalah sebuah
karunia bukan sesuatu yang kita dapatkan karena kita telah berjasa sebab
kita melakukan perbuatan tertentu. Surga tidak dapat di-"jasa"-i].
Surga adalah selalu sesuatu yang melampaui apa yang bisa kita jasa-i,
sebagaimana dicintai tidak pernah merupakan sesuatu yang bisa diperoleh
dengan "berjasa", tapi [dicintai] selalu adalah karunia. Namun, bahkan
ketika kita benar-benar sadar bahwa Surga melampaui apa yang bisa kita
jasa-i, akan selalu benar bahwa perilaku kita tidaklah tak-ada-bedanya
dihadapan Allah dan karenanya tidak tak-ada-bedanya bagi berlangsungnya
sejarah. Kita bisa membuka diri sendiri dan dunia dan membiarkan Allah
masuk: kita dapat membuka diri sendiri kepada kebenaran, kepada cinta,
kepada apa yang baik. Ini adalah apa yang dilakukan para kudus, mereka
yang, sebagai "kawan sekerja Allah", menyumbang kepada kesalamatan dunia
(bdk. 1 Kor 3:9; 1 Tes 3:2). Kita dapat membebaskan hidup kita dan
dunia dari racun-racun dan pencemaran-pencemaran yang dapat
menghancurkan masa kini dan masa depan. Kita dapat menyingkap
sumber-sumber penciptaan dan menjaganya agar tidak ternoda, dan dengan
cara ini kita bisa menggunakan dengan benar ciptaan, yang datang pada
kita sebagai suatu karunia, menurut persyaratan intrinsik dan tujuan
akhir [dari ciptaan tersebut]. Ini masuk akal bahkan kalau dari luaran
kita tidak mencapai apapun atau kelihatan tidak berdaya dihadapan
kekuatan-kekuatan ganas. Jadi di satu sisi, tindakan-tindakan kita
menyebabkan timbulnya harapan bagi kita dan bagi yang lain: tapi pada
saat yang sama, adalah harapan agung yang didasarkan pada janji Allah
yang memberi kita keberanian dan mengarahkan tindakan kita dalam
masa-masa baik dan buruk.
36. Seperti tindakan,
penderitaan adalah sebuah bagian dari keberadaan kita manusia.
Penderitaan bersumber sebagian dari diri kita yang terbatas, dan
sebagian dari banyaknya dosa yang telah terakumulasi sepanjang sejarah,
dan terus bertumbuh tak-terkurangkan hari ini. Tentunya kita harus
melakukan apa yang kita dapat untuk mengurangi penderitaan: untuk
menghindari sejauh mungkin penderitaan orang tak bersalah; untuk
meringankan rasa sakit; untuk memberi bantuan dalam mengatasi penderitan
mental. Ini adalah kewajiban-kewajiban baik dalam keadilan maupun dalam
cinta, dan hal-hal tersebut termasuk diantara prasyarat fundamental
bagi kehidupan Kristen dan setiap kehidupan manusia sesungguhnya.
Kemajuan besar telah dibuat dalam pertempuran melawan sakit fisik; namun
penderitaan-penderitaan para orang tak bersalah dan penderitaan mental
telah bertambah dalam dekade-dekade terakhir. Memang, kita harus
melakukan apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasi penderitaan, tapi
untuk menghilangkannya dari dunia ini secara keseluruhan adalah diluar
kekuatan kita. Ini dikarenakan kita tidak dapat menghilangkan
keterbatasan (finitude) kita dan karena tidak seorangpun dari kita mampu
untuk menghilangkan kekuatan kejahatan, [juga kekuatan] dosa yang,
seperti kita lihat dengan gamblang, adalah sebuah sumber konstan dari
penderitaan. Hanya Alah yang mampu melakukan ini: hanya seorang Allah
yang secara pribadi masuk kedalam sejarah dengan membuat diriNya sendiri
seorang manusia dan menderita dalam sejarah. Kita tahu Allah ini ada,
dan karenanya kekuatan untuk "menghapus dosa dunia" (Yoh 1:29) tersebut
ada di dunia. Melalui iman dalam keberadaan kekuatan ini, harapan bagi
penyembuhan dunia telah muncul dalam sejarah. Namun ini adalah
harapan—belum merupakan pemenuhan: harapan yang memberi kita keberanian
untuk menempatkan diri kita disisi kebaikan bahkan dalam situasi yang
tampaknya tidak ada harapan [ketika kita sadar bahwa] mengingat jalur
sejarah eksternal [yang telah terjadi, tampaknya] kekuatan dosa akan
terus ada dengan mengerikan.
37. Mari kita kembali ke topik
kita. Kita dapat mencoba untuk membatasi penderitaan, untuk melawannya,
tapi kita tidak dapat menghilangkannya. Adalah ketika kita berusaha
untuk menghindari penderitaan dengan menarik diri dari semua hal yang
mungkin menyakitkan, ketika kita mencoba untuk mengelak dari upaya dan
kesakitan dalam mengejar kebenaran, cinta dan kebaikan, [maka] kita
mengambang kedalam kehidupan yang kosong, yang mana mungkin tidak ada
kesakitan, tapi sensasi gelap dari ketidakbermaknaan dan pengucilan
[justru] lebih besar. Bukanlah dengan menghindari atau menyingkir dari
penderitaan kita bisa disembuhkan, tapi [kita bisa disembuhkan] oleh
kapasitas kita untuk menerima penderitaan, menjadi dewasa melaluinya dan
menemukan makna[nya] melalui kesatuan dengan Kristus, yang menderita
dengan cinta yang tak terbatas. Dalam konteks ini, aku ingin mengutip
perkataan dari martir Vietnam Paul Le-Bao-Tinh († 1857) yang
mengilustrasikan transformasi penderitaan melalui kekuatan harapan yang
bersumber dari iman. "Aku, Paul, dirantai bagi nama Kristus, ingin
memberitahukan kepadamu percobaan yang setiap hari menggangguku, supaya
engkau dibakar dengan cinta bagi Allah dan bergabung bersamaku dalam
memujiNya, karena kerahimanNya adalah selamanya (Mzm 136 [135]). Penjara
disini benar-benar merupakan gambaran dari Neraka abadi: dari siksaan
kejam dengan berbagai bentuk—borgol, rantai besi, manacles [rantai yang
menghubungkan satu borgol ke borgol yang lain]—ditambahkan kepadanya
kebencian, dendam, fitnah, kata-kata kotor, perselisihan, tindakan
jahat, sumpah serapah, kutukan, dan juga keterpurukan dan kesedihan
mendalam. Tapi Allah, yang pada suatu kali telah membebaskan tiga anak
dari tungku berapi, selalu ada bersamaku; Dia telah membebaskan aku dari
pergolakan in dan membuatnya manis, karena kerahimanNya adalah
selamanya. Ditengah-tengah siksaan-siksaan ini, yang biasanya membuat
ngeri yang lain, aku, oleh rahmat Allah, penuh kegembiraan dan
kesenangan, karena aku tidak sendiri—Kristus bersamaku ... Bagaimana aku
tahan menghadapi pemandangan [tersebut], karena setiap hari aku melihat
kaisar-kaisar, pejabat-pejabat tinggi dan ajudan mereka menghujat
namaMu, Oh Tuhan, yang bertahta diatas Kerubim dan Serafim? (bdk. Mzm
80:1 [79:2]). Lihatlah, para kafir telah menginjak-injak SalibMu!
Dimanakah kemulianMu? Ketika aku melihat semua ini, aku akan, dalam
cinta menggebu yang aku miliki bagiMu, lebih suka bagian tubuhku
dicabik-cabik dan mati sebagai saksi cintamu. Oh Tuhan, tunjukkanlah
kekuatanmu, selamatkanlah aku, peliharalah aku, sehingga dalam kelemahan
mentalku kekuatanmu bisa tertunjukkan dan bisa dimuliakan dihadapan
seluruh bangsa ... Saudara-saudara tercinta, ketika kalian mendengarkan
semua ini biarlah kalian memberikan terima kasih tak terhingga dalam
kegembiraan kepada Allah, yang dariNya semua kebaikan berasal;
diberkatilah Allah yang ada padaku, karena kerahimanNya adalah selamanya
... aku menuliskan hal-hal ini kepadamu supaya imanmu dan [iman]ku
dipersatukan. Ditengah-tengah badai-guntur aku melemparkan jangkarku
kepada tahta Allah, jangkar yang adalah harapan hidup hatiku." [28] Ini
adalah sebuah surat dari "Neraka". [Surat tersebut] mengandung semua
kengerian dari sebuah concentration camp, dimana atas
penyiksaan-penyiksaan yang diberikan para tiran kepada korban-korban
mereka ditambahi oleh maraknya kejahatan dalam korban-korban itu
sendiri, sehingga [kejahatan yang timbul dari para korban itu sendiri]
menjadi sarana untuk semakin [meningkatkan] kekejaman sang penganiaya.
Ini benar-benar surat dari Neraka, tapi [surat ini] juga menyingkapkan
kebenaran dari teks Mazmur: "Jika aku mendaki ke langit, Engkau di sana;
jika aku tenggelam di dunia orang mati, Engkau ada disana ... Jika aku
berkata, 'Biarlah kegelapan saja melingkupi aku, dan terang sekelilingku
menjadi malam'—karena bagiMu kegelapan itu sendiri tidaklah gelap, dan
malam bersinar seperti siang hari, kegelapan dan terang adalah sama"
(Mzm 139 [138]:8-12; bdk. Juga Mzm 23 [22]:4). Kristus turun ke "Neraka"
dan karenanya [Dia] dekat dengan mereka yang dilemparkan kesana,
mengubah kegelapan mereka menjadi terang. Penderitaan dan penyiksaan
memang masih mengerikan dan hampir tak tertahankan. Namun bintang
harapan telah bangkit—jangkar hati [manusia] menjangkau tahta Allah.
Alih-alih kejahatan dilepaskan dalam diri manusia, sang cahaya bersinar
penuh kemenangan: penderitaan—tanpa berhenti menjadi
penderitaan—menjadi, alih-alih apapun juga, sebuah hymne pujian.
38. Ukuran sejati dari
kemanusiaan secara esensial ditentukan dalam hubungan pada penderitaan
dan kepada orang yang menderita. Ini memang benar baik bagi individu
maupun masyarakat. Sebuah masyarakat yang tidak mampu menerima
anggotanya yang menderita dan tidak dapat membantu untuk berbagi dalam
penderitaan mereka dan untuk menanggungnya dari dalam melalui
"com-passion" adalah sebuah masyarakat yang kejam dan tidak
berprikemanusiaan. Namun masyarakat tidak dapat menerima anggotanya yang
menderita dan mendukung mereka dalam pencobaan mereka kecuali
individu-individu dapat melakukannya sendiri; terlebih, individu tidak
dapat menerima penderitaan yang lain kecuali dia secara pribadi mampu
menemukan makna dalam penderitaan, [dimana makna itu adalah] sebuah
jalan penyucian dan pertumbuhan dalam kedewasaan, sebuah perjalanan
harapan. Memang, untuk menerima "sesama" yang menderita, berarti bahwa
aku mengambil penderitaannya sedemikian rupa sehingga [penderitaan itu]
menjadi milikku juga. Karena [penderitaan tersebut] sekarang telah
menjadi penderitaan bersama, meskipun, dimana orang lain itu hadir,
penderitaan ini ditembus oleh terang cinta. Kata latin con-solatio,
"penghiburan [consolation]", mengekspresikan hal tersebut dengan indah.
[Kata tersebut] menunjukkan bersama dengan yang lain dalam
kesendiriannya, sehingga [kesendirian] itu berhenti menjadi kesendirian.
Terlebih, kapasitas untuk menerima penderitaan bagi kebaikan, kebenaran
dan keadilan adalah kriteria esensial bagi kemanusiaan, karena kalau
kesejahteraanku dan keselamatanku sendiri lebih penting dari kebenaran
dan keadilan, maka kekuatan dari yang lebih kuat akan jaya, sehingga
kekerasan dan ketidakbenaran akan berdaulat. Kebenaran dan keadilan
harus berdiri diatas kenyamananku dan kesejahteraan fisik-ku, kalau
tidak kehidupanku sendiri menjadi sebuah kebohongan. Pada akhirnya,
bahkan [jawaban] "ya" kepada cinta adalah sumber dari pnderitaan, karena
cinta selalu memerlukan penghilangan ke-"aku"-anku sendiri, dimana aku
membiarkan diriku diperkecil dan disakiti. Cinta tidak dapat ada tanpa
penolakan terhadap diriku sendiri yang menyakitkan ini, karena kalau
tidak [cinta] akan menjadi ke-egois-an murni dan karenanya berhenti
menjadi cinta.
39. Untuk menderita dengan yang
lain dan bagi yang lain; untuk menderita bagi kebenaran dan keadilan;
untuk menderita karena cinta dan supaya menjadi seorang pribadi yang
benar-benar mencinta—ini adalah unsur-unsur fundamental dalam
kemanusiaan, dan untuk meninggalkan [unsur-unsur fundamental tersebut]
berarti menghancurkan manusia itu sendiri. Namun sekali lagi pertanyaan
muncul: apakah kita mampu melakukan ini? Apakah yang lain [ie. sesama]
cukup penting untuk membuatku menjadi orang yang menderita baginya?
Apakah kebenaran cukup perlu bagiku untuk membuat penderitaan ada
harganya? Apakah janji cinta begitu besar sehingga janji tersebut
membenarkan karunia diriku sendiri? Dalam sejarah kemanusiaan, adalah
iman Kristen yang mempunyai jasa tertentu dalam menunjukkan dalam diri
manusia sebuah kapasitas yang baru dan mendalam bagi penderitaan seperti
ini yang menentukan bagi kemanusiaannya. Iman Kristen telah menunjukkan
bagi kita bahwa kebenaran, keadilan dan cinta bukanlah sekedar
ideal-ideal, tapi sebuah kenyataan yang berat dan besar. [Iman Kristen]
telah menunjukkan kepada kita bahwa Allah—sang Kebenaran dan sang Cinta
dalam kepribadian—ingin untuk menderita bersama kita dan dengan kita.
Bernard dari Clairvaux menciptakan ungkapan luar biasa: Impassibilis est
Deus, sed non incompassibilis [29]—Allah tidak dapat menderita, tapi
Dia bisa menderita dengan. Manusia begitu berharga bagi Allah sehingga
Dia sendiri menjadi manusia dan menderita dengan manusia dalam cara yang
nyata—dalam daging dan darah—sebagaimana diwahyukan kepada kita dalam
kisah sengsara Kristus. Karenanya dalam semua penderitaan manusia kita
disatukan dengan seorang yang mengalami dan membawa penderitaan itu
bersama kita; karenanya con-solatio hadir dalam semua penderitaan,
penghiburan dari cinta Allah yang penuh pengasihan—dan karenanya bintang
harapan muncul. Tentu saja, dalam banyak penderitaan dan pencobaan kita
yang berbeda kita selalu memerlukan harapan-harapan yang besar ataupun
kecil—jengukan yang baik, penyembuhan luka eksternal dan internal,
resolusi yang disukai dari suatu krisis, dan seterusnya. Dalam
pencobaan-pencobaan kecil kita harapan-harapan ini mungkin cukup. Tapi
dalam pencobaan yang benar-benar besar, ketika aku harus membuat suatu
keputusan definitif untuk menempatkan kebenaran sebelum kesejahteraanku
sendiri, sebelum karirku sendiri, dan sebelum profesiku sendiri, aku
memerlukan kepastian harapan yang benar dan besar itu yang mana telah
aku [ie. Paus Benediktus XVI] bicarakan disini. Juga bagi hal ini kita
perlu saksi-saksi—para martir—yang telah memberikan diri mereka sendiri
dengan total, untuk menunjukkan kita jalannya—hari demi hari. Kita
memerlukan [kesaksian para martir] kalau kita [berusaha untuk] lebih
menyukai kebaikan daripada kenyamanan, bahkan dalam hal-hal kecil yang
kita hadapi tiap hari—dengan mengetahui bahwa inilah bagaimana kita
menghidupi kehidupan kita secara penuh. Mari kita berkata sekali lagi;
kapasitas untuk menderita bagi kebenaran adalah ukuran bagi kemanusiaan.
Namun kapasitas untuk menderita ini bergantung pada tipe dan sejauh
mana harapan yang kita kandung dan bangun dalam diri kita. Para kudus
telah mampu melakukan perjalanan besar [di jalur] eksistensi kemanusiaan
dalam cara yang telah dilakukan Kristus sebelumnya, karena mereka penuh
dengan harapan besar.
40. Aku juga ingin menambahkan
disini satu komentar singkat [yang memiliki] sedikit relevansi dengan
kehidupan sehari-hari. Dulu ada satu bentuk devosi—mungkin jarang
dipraktekkan saat ini tapi cukup terkenal dahulu—yang berkaitan dengan
gagasan "mempersembahkan" kesukaran-kesukaran sehari-hari yang terus
menerus menyerang kita bagai "pukulan-pukulan" yang menyebalkan,
sehingga [dengan mempersembahkan hal-hal menyebalkan tersebut maka
hal-hal menyebalkan itu lebih] mempunyai makna. Memang, ada beberapa
pelebih-lebihan dan mungkin aplikasi yang kurang sehat atas devosi ini,
tapi kita perlu bertanya pada diri kita sendiri apakah mungkin ada
beberapa hal esensial dan berguna yang terkandung didalam [praktek
mempersembahkan kesukaran hidup sehari-hari tersebut]. Apa yang dimaksud
mempersembahkan sesuatu? Mereka yang melakukannya yakin bahwa mereka
bisa memasukkan gangguan-gangguan kecil kedalam "com-passion" Kristus
yang agung sehingga gangguan-gangguan kecil tersebut dengan satu cara
menjadi bagian dari harta karun compassion yang begitu dibutuhkan bagi
umat manusia. Dengan cara ini, bahkan ketidaknyamanan-ketidaknyamanan
kecil dalam kehidupan sehari-hari bisa mendapatkan makna dan meyumbang
kepada ekonomi kebaikan dan cinta manusia. Mungkin kita harus
mempertimbangkan apakah mungkin baik untuk menghidupkan kembali praktek
ini bagi diri kita.
III. Penghakiman sebagai pengaturan bagi pembelajaran dan praktek harapan
41. Pada akhir dari bagian
sentral Credo agung Gereja—bagian yang mengingat kembali misteri
Kristus, dari kelahiran abadiNya dari sang Bapa sampai kelahiran
temporalNya dari Perawan Maria, melalui SalibNya dan KebangkitanNya
sampai pada kedatanganNya yang kedua—kita menemukan frase: "Dia akan
datang lagi dengan kemuliaan untuk menghakimi yang hidup dan yang mati".
Sejak dari masa-masa awal, prospek Penghakiman telah mempengaruhi umat
Kristen dalam kehidupan mereka sehari-hari sebagai suatu kriteria untuk
menata kehidupan mereka saat ini, sebagai suatu panggilan kepada suara
hati mereka, dan pada saat yang sama sebagai harapan dalam keadilan
Allah. Iman dalam Kristus tidak pernah kelihatan sekedar kebelakang atau
keatas, tapi selalu kedepan kepada saat pengadilan yang sering
diproklamirkan Tuhan. [Sikap] melihat kedepan ini telah memberi
Kekristenan [rasa penting] bagi saat sekarang. Dalam penataan
bangunan-bangunan sakral Kristen, yang dibuat untuk menunjukkan iman
Kristus yang historis dan kosmik, telah menjadi kebiasaan untuk
memperlihatkan Tuhan datang kembali sebagai seorang raja—[yang adalah]
sebuah simbol harapan—di sebelah Timur; sementara tembok barat normalnya
digambarkan Penghakiman Terakhir sebagai suatu simbol tanggungjawab
kita bagi hidup kita—[itulah] pemandangan yang mengikuti dan menemani
umat beriman ketika mereka keluar [dari bangunan-bangunan sakral
Kristen] untuk kembali kepada rutinitas sehari-hari mereka. Namun,
sebagaimana iconography Penghakiman Terakhir berkembang, lebih dan lebih
penekanan diberikan kepada aspek Penghakiman Terakhir yang mencekam dan
menakutkan, yang jelas lebih mengagumkan bagi artis [yang melukisnya]
daripada [memperlihatkan] kegemilangan harapan yang sering begitu
tersembunyi dibawah kengerian [yang terlukiskan].
42. Di era modern, gagasan
Penghakiman Terakhir telah [semakin hilang]: iman Kristen telah
ter-individualisasi dan lebih terarahkan kepada keselamatan jiwa umat
yang percaya, sementara refleksi atas sejarah dunia kebanyakan
didominasi oleh gagasan akan kemajuan. Namun, kandungan fundamental akan
penungguan terhadap sebuah Penghakiman akhir, belum hilang; hanya saja
hal itu telah berubah kedalam bentuk yang benar-benar berbeda. Atheisme
pada abad kesembilanbelas dan keduapuluh adalah—dalam asal dan
tujuannya—"sebuah tipe dari moralisme: sebuah protes terhadap
ketidakadilan dunia dan sejarah dunia. Sebuah dunia yang ditandai oleh
begitu banyak ketidakadilan, penderitaan dari yang tak bersalah, dan
sinisme atas kekuasaan tidak dapat merupakan karya Allah yang baik.
Seorang Allah dengan tanggungjawab atas dunia seperti itu bukanlah
seorang Allah yang adil, apalagi seorang Allah yang baik. Adalah demi
moralitas bahwa Allah yang seperti ini harus dipertanyakan. Karena tidak
ada Allah untuk menciptakan keadilan, maka tampaknya manusia sendirilah
yang dipanggil untuk mendirikan suatu keadilan. Kalau mengingat
penderitaan dunia, protes melawan Allah bisa dimengerti, [maka] klaim
bahwa kemanusian dapat dan harus melakukan apa yang tidak dapat
dilakukan Allah atau mampu melakukannya [adalah sebuah klaim yang]
gegabah dan secara intrinsik salah. Bukanlah sebuah kebetulan bahwa
gagasan ini telah berujung pada sebuah bentuk kekejaman dan pelanggaran
keadilan yang besar; [hal ini] didasari oleh kesalahan intrinsik dari
klaim tersebut. Sebuah dunia yang harus menciptakan keadilannya sendiri
adalah dunia tanpa harapan. Tidak ada seorangpun dan tidak ada apapun
dapat menjawab penderitaan yang [berlangsung] berabad-abad. Tidak ada
seorangpun dan tidak ada apapun yang dapat menjamin bahwa sinisme
kekuasaan—apapun topeng ideologis menawan yang dipakainya—akan berhenti
mendominasi dunia. Inilah mengapa pemikir-pemikir besar Sekolah
Frankfurt [seperti] Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, sama-sama
bersikap kritis terhadap atheisme dan juga theisme. Horkheimer secara
radikal mengecualikan kemungkinan untuk dapat menemukan pengganti
duniawi bagi Allah, sementara disaat yang sama dia menolak gambaran
seorang Allah yang baik dan adil. Dalam radikalisasi ekstrim Perjanjian
Lama akan larangan terhadap gambaran-gambaran [maksudnya, patung, ukiran
etc] dia berbicara mengenai sebuah "penantian bagi yang benar-benar
Lain [ie. maksudnya suatu Allah yang benar-benar lain]" yang tetap tak
ter-akses—sebuah tangisan penantian yang diarahkan kepada sejarah dunia.
Adorno juga dengan tegas memegang penolakan terhadap gambaran-gambaran
[maksudnya, patung, ukiran etc], yang secara alami berarti pengecualian
"gambaran" apapun atas suatu Allah yang mencintai. Di sisi lain, dia
juga secara konstan menekankan dialektif "negatif" ini dan meyakinkan
bahwa keadilan—keadilan sejati—akan memerlukan sebuah dunia "dimana
tidak hanya penderitaan saat ini akan dihapus, tapi dimana masa lalu
yang tak-terbatalkan [irrevocably past] tersebut akan dibatalkan
[undone]." [20] Namun ini berarti—untuk diekspresikan secara positif dan
karenanya, bagi Adorno, sebuah simbol yang tak mencukupi—tidak bisa ada
keadilan tanpa kebangkitan yang mati. Namun ini harus melibatkan
"kebangkitan badan, sesuatu yang sangat asing bagi idealisme dan
[berada] di ranah rohani yang absolut." [31]
43. Umat Kristen dapat dan harus
secara konstan belajar dari penolakan ketat dari gambaran-gambaran
[maksudnya patung, ukiran etc] yang terkandung di perintah pertama Allah
(bdk. Kel 20:4). Kebenaran dari teologi negatif ditekankan oleh Konsili
Lateran Keempat, yang secara eksplisit menyatakan bahwa bagaimanapun
kemiripan yang mungkin dibuat antara Pencipta dan ciptaan,
ketidakmiripan diantara mereka selalu lebih besar. [32] Dalam kasus
apapun, bagi umat yang percaya, penolakan terhadap gambaran-gambaran
[maksudnya patung, ukiran etc] tidak dapat diyakini sedemikian rupa
sehingga seorang berkesimpulan, sebagaimana yang diinginkan Horkheimer
dan Adorno, dengan mengatakan "tidak" kepada kedua thesis—[yaitu]
atheisme dan theisme. Allah telah memberikan bagi diriNya sendiri sebuah
"gambaran": [yaitu] dalam Kristus yang menjadi manusia. DidalamNya yang
tersalib, penolakan terhadap gambaran-gambaran palsu akan Allah
dipegang sampai ke batas ekstrim. Allah sekarang menunjukkan wajahNya
yang sebenarnya dalam bayangan si penderita yang berbagi dengan kondisi
manusia yang terjauhkan-Allah dengan menanggung [penderitaan] itu bagi
diriNya sendiri. Si penderita yang tak bersalah ini mendapatkan
kepastian harapan: ada seorang Allah, dan Allah dapat menciptakan
keadilan dalam cara yang kita tidak dapat pikirkan, namun kita dapat
mulai mencoba mengertinya melalui iman. Ya, memang ada kebangkitan
badan. [33] Ada keadilan. [34] Ada "pembatalan [undoing]" dari
penderitaan-penderitaan masa lalu, sebuah perbaikan yang membetulkan
perkara-perkara dengan benar. Atas alasan ini, iman dalam Penghakiman
Terakhir pertama dan terutama [adalah] harapan—dimana perlunya [harapan
tersebut] telah dinyatakan dengan sangat jelas pada
pergolakan-pergolakan di abad-abad terakhir ini. Aku yakin bahwa
pertanyaan tentang keadilan mendasari argumen esensial, atau bahkan
argumen terkuat, bagi iman akan hidup abadi. Kebutuhan murni individual
bagi sebuah pemenuhan yang ditolak dari kita di kehidupan ini, bagi
sebuah cinta tak berkesudahan yang kita nantikan, jelas merupakan motif
yang penting untuk mempercayai bahwa manusia diciptakan untuk keabadian;
[dan mengingat ketidakmungkinan bahwa sejarah yang tidak adil tersebut
harus menjadi kata penutup, maka akan terlihat perlunya suatu kedatangan
kembali Kristus dan perlunya suatu hidup yang baru menjadi meyakinkan].
44. Untuk protes terhadap Allah
atas nama keadilan tidaklah membantu. Sebuah dunia tanpa Allah adalah
dunia tanpa harapan (bdk. Ef 2:12). Hanya Allah yang dapat menciptakan
keadilan. Dan iman memberi kita sebuah kepastian bahwa Dia melakukan
itu. Gambaran Penghakiman Terakhir terutama bukanlah gambaran teror,
tapi sebuah gambaran harapan; bagi kita mungkin gambaran tersebut
merupakan gambaran harapan yang menentukan. Bukankah gambaran tersebut
juga merupakan gambaran yang mengerikan? Menurutku: itu adalah sebuah
gambaran yang menggugah rasa tanggungjawab, sebuah gambaran akan
ketakutan yang dibicarakan St. Hilary ketika dia berkata bahwa semua
ketakutan kita punya tempat dalam cinta.[35] Allah adalah keadilan dan
[Dia juga] menciptakan keadilan. Inilah penghiburan dan harapan kita.
Dan dalam keadilanNya juga ada rahmat. Ini kita ketahui dengan
mengarahkan pendangan kita kepada Kristus yang tersalib dan bangkit. Dua
hal ini—keadilan dan rahmat—harus dilihat dalam hubungan mendalam
mereka yang benar. Rahmat tidak membatalkan keadilan. Rahmat tidak
membuat yang salah menjadi benar. Rahmat bukanlah spons yang menghapus
semuanya, sehingga apapun yang dilakukan seseorang dibumi berakhir
dengan nilai yang sama. Dostoevsky, sebagai contoh, memang benar untuk
memprotes Surga semacam ini dan rahmat semacam ini dalam novelnya The
Brothers Karamazov. Pada akhirnya pelaku kejahatan tidak akan duduk di
meja perjamuan abadi disamping korban-korban mereka tanpa pembedaan,
seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Disini aku ingin mengutip sebuah
perkataan dari Plato yang mengekspresikan sebuah bayangan masa depan
dari suatu penghakiman yang adil yang dalam banyak hal tetap benar dan
menyelamatkan bagi umat Kristen juga. Meskipun menggunakan
gambaran-gambaran mitologis, [Plato] mengekspresikan kebenaran dengan
kejelasan, [dengan] mengatakan bahwa pada akhirnya jiwa-jiwa akan
berdiri telanjang dihadapan sang hakim. Tidak penting lagi apa dulunya
[status] mereka dalam sejarah, tapi [yang penting adalah] apa mereka
sekarang dalam kebenaran: "Sering, ketika yang harus dihadapinya (sang
hakim) adalah raja atau monarch lain atau penguasa lain, dia [ie. sang
hakim] menemukan tidak adanya keberesan apapun dalam jiwa [mereka], dia
[ie. sang hakim] menemukan bahwa jiwa tersebut terdera dan tercoreng
oleh berbagai tindakan pelanggaran sumpah dan kesalahan-kesalahan ...;
[jiwa tersebut] dipelintir dan diselubungi oleh kebohongan dan kemewahan
[vanity], dan tidak ada apapun yang lurus karena kebenaran tidak
memiliki bagian dalam perkembangan [jiwa tersebut]. Kekuasaan, kemewahan
[luxury], kesombongan dan kemaksiatan telah membuat [jiwa tersebut]
penuh disproporsi dan kejelekan sehngga ketika dia [ie. sang hakim]
selesai menginspeksinya, dia [ie. sang hakim] mengirimkan [jiwa
tersebut] langsung ke penjara, dimana setelah kedatangannya [di penjara,
jiwa itu] akan mengalami hukuman yang sesuai ... Namun, kadang-kadang
mata sang hakim bersinar atas satu jiwa yang berbeda yang telah hidup
dalam kemurnian dan kebenaran ... lalu dia [ie. sang hakim] dilanda
kegembiraan dan mengirimkan dia [ie. orang yang memiliki jiwa yang hidup
dalam kemurnian dan kebenaran] ke pulau orang yang
terberkati/berbahagia [blessed]" [36]. Dalam perumpamaan orang yang kaya
dan Lazarus (bdk. Lk 16:19-31), Yesus menasehati kita melalui gambaran
satu jiwa yang dihancurkan oleh kesombongan dan kemewahan, [dimana
kesombongan dan kemewahan tersebut] telah menciptakan jurang tak
terlewati antara dirinya dan si orang miskin; jurang –perangkap
kenikmatan materi; jurang kelupaan terhadap sesama, [jurang]
ketidakadaan kapasitas untuk mencinta, yang kemudian menjadi kedahagaan
yang menyala dan tak terpadamkan. Kita harus mencatat bahwa dalam
perumpamaan ini Yesus tidak mengacu kepada tujuan akhir setelah
Penghakiman Terakhir, tapi [Dia] berbicara mengenai gagasan yang
ditemukan, inter alia, dalam Yudasime awal, yaitu sebuah keadaan
peralihan antara kematian dan kebangkitan, sebuah keadaan dimana hukuman
final belum dinyatakan.
45. Gagasan Yahudi awal akan
sebuah keadaan peralihan ini menyertakan suatu pandangan bahwa jiwa-jiwa
ini tidak sekedar berada dalam penahanan sementara tapi, sebagaimana
[diceritakan] dalam perumpamaan orang kaya, [jiwa-jiwa tersebut] sudah
dihukum atau mengalami bentuk awal [provisional] kebahagiaan. Juga ada
gagasan bahwa keadaan ini bisa melibatkan pemurnian dan penyembuhan yang
mendewasakan jiwa untuk persekutuan dengan Allah. Gereja awal mengambil
konsep-konsep ini, dan di Gereja Barat, [konsep-konsep tersebut]
sedikit demi sedikit berkembang menjadi ajaran Api Penyucian. Disini
kita tidak perlu mempelajari jalan historis yang komplek atas
perkembangan ini; adalah cukup untuk bertanya apa sebenarnya maksud
[dari perkembangan tersebut]. Dengan kematian, pilihan-hidup kita
menjadi definitif—kehidupan kita tersebut berdiri dihadapan sang hakim.
Pilihan kita, yang dalam berlalunya seluruh hidup mengambil bentuk
[shape] tertentu, bisa punya berbagai variasi bentuk [forms]. Bisa ada
orang yang secara total menghancurkan keinginan mereka untuk kebenaran
dan kesiapan untuk cinta, orang yang baginya [sendiri] segalanya telah
menjadi kebohongan, orang yang hidup bagi kebencian dan telah menekan
semua cinta dalam diri mereka sendiri. Ini adalah pemikiran yang
mengerikan, tapi type yang mengejutkan ini bisa dilihat dalam
orang-orang tertentu di sejarah kita. Di orang-orang seperti itu
semuanya menjadi diluar kemampuan untuk diobati dan kehancuran yang baik
akan tak terbatalkan: inilah apa yang kita maksudkan dengan kata
Neraka.[37] Di sisi lain bisa ada orang yang benar-benar murni, dengan
secara lengkap terpenuhi oleh Allah, dan karenanya menjadi terbuka
dengan penuh terhadap sesamanya—orang yang baginya persekutuan dengan
Allah bahkan saat ini memberi arahan kepada keseluruhan keberadaan
mereka dan [orang yang] perjalanannya kepada Allah hanya membawa ke
kepenuhan apa yang sudah [merupakan jati diri mereka].[38]
46. Namun kita tahu dari
pengalaman bahwa kedua kasus tersebut tidaklah normal dalam kehidupan
manusia. Karena bagi mayoritas orang—kita bisa mengandaikan—masih ada
didalam kedalaman keberadaan mereka sebuah keterbukaan interior akhir
terhadap kebenaran, kepada cinta dan kepada Allah. Namun dalam
pilihan-pilihan konkrit hidup, hal tersebut diselubungi oleh komprimi
dengan kejahatan yang selalu baru—banyak kotoran yang menyelubungi
kemurnian, tapi kedahagaan untuk kemurnian tetap ada dan terus muncul
kembali dari semua yang tetap hadir dan berdasar dalam jiwa. Apa yang
terjadi kepada individu seperti itu ketika mereka muncul dihadapan sang
Hakim? Apakah semua ketidakmurnian yang mereka kumpulkan sepanjang hidup
tiba-tiba tidak [dipertimbangkan]? Apa lagi yang mungkin terjadi? Santo
Paulus, dalam Surat Pertama kepada umat Korintus, memberi kita ide akan
akibat yang berbeda dari penghakiman Allah sesuai keadaan tertentu
tiap-tiap orang. Dia [ie. Santo Paulus] melakukan ini dengan menggunakan
gambaran-gambaran yang dengan cara tertentu mencoba mengekspresikan
yang tidak kelihatan, tanpa memungkinkan kita untuk
meng-konseptualisasi-kan gambaran-gambaran tesebut—karena kita tidak
dapat melihat dunia diseberang kematian ataupun kita punya pengalaman
[akan dunia diseberang kematian]. Paulus mulai dengan berkata bahwa
kehidupan Kristen dibangun diatas pondasi yang sama: Yesus Kristus.
Pondasi ini bertahan selama-lamanya. Jika kita berdiri teguh diatas
pondasi ini dan membangun hidup kita diatasnya, kita tahu bahwa [apa
yang kita bangun] tidak akan diambil dari kira bahkan dalam kematian.
Kemudian Paulus melanjutkan: "Sekarang jika seseorang membangun diatas
pondasi dengan emas, perak, batu berharga, kayu, rumput kering atau
jerami— sekali kelak pekerjaan masing-masing orang akan nampak. Karena
hari Tuhan akan menyatakannya, sebab [pekerjaan tesebut] akan nampak
dengan api dan bagaimana pekerjaan masing-masing orang akan diuji oleh
api itu, Jika pekerjaan yang dibangun seseorang tahan uji, ia akan
mendapat upah. Jika pekerjaannya terbakar, ia akan menderita kerugian,
tetapi ia sendiri akan diselamatkan, tetapi seperti dari dalam api" (1
Kor 3:12-15). Di teks ini, telah terbukti bahwa keselamatan kita bisa
mengambil bentuk yang berbeda, bahwa beberapa yang telah dibangun
mungkin terbakar, bahwa supaya selamat kita harus secara pribadi melalui
"api" supaya bisa menjadi terbuka penuh dalam menerima Alah dan mampu
mengambil tempat kita pada meja perjamuan perkawinan abadi.
47. Beberapa teolog saat ini
punya pendapat bahwa api yang membakar dan menyelamatkan adalah Kristus
sendiri, sang Hakim dan Penyelamat. Perjumpaan denganNya adalah tindakan
penghakiman yang menentukan. Dihadapan pandanganNya semua kepalsuan
lumer. Perjumpaan denganNya yang membakar kita ini, mentransformasi dan
membebaskan kita, membolehkan kita untuk benar-benar menjadi diri kita
sendiri. Semua yang kita bangun selama hidup kita bisa terbukti sebagai
sekedar jerami, kesombongan murni, dan [bangunan kita itu akan] runtuh.
Namun dalam rasa sakit dari perjumpaan ini, ketika ketidakmurnian dan
kesakitan hidup kita menjadi jelas bagi kita, terhamparlah keselamatan.
PandanganNya, sentuhan hatiNya menyembuhkan kita melalui sebuah
transformasi menyakitkan yang tak teringkarkan "seperti dari dalam api".
Tapi ini adalah kesakitan yang membahagiakan [blessed], dimana kekuatan
kudus cintaNya membakar kita seperti sebuah api, memampukan kita untuk
secara total menjadi diri kita sendiri dan secara total menjadi [sesuatu
yang] dari Allah. Dengan cara ini hubungan timbal balik antara keadilan
dan rahmat juga menjadi jelas: bagaimana kita menghidupi kehidupan kita
tidaklah penting, tapi pengotoran diri kita tidak menodai kita
selamanya jika kita paling tidak terus menerus menjangkau kepada
Kristus, kepada kebenaran dan kepada cinta. Memang, [noda kita] telah
terbakar oleh sengsara kristus. Pada saat penghakiman kita mengalami dan
kita meresapi kekuatan cintaNya yang begitu besar atas semua kejahatan
didunia dan didalam diri kita sendiri. Kesakitan cinta ini menjadi
keselamatan kita dan kegembiraan kita. Sudah jelas bahwa kita tidak
dapat menghitung "lama" dari pembakaran yang men-transformasi ini dengan
ukuran khronologis dunia. "Saat" pen-transformasi-an dari perjumpaan
ini mengakali [eludes] penghitungan waktu dunia—["saat" tersebut] adalah
inti dari waktu, ["saat" tersebut] adalah waktu [untuk melalui]
"terowongan [passage]" kepada persekutuan dengan Allah dalam Tubuh
Kristus.[39] Penghakiman dari Allah adalah harapan, baik karena [harapan
tersebut] adalah keadilan dan karena [harapan tersebut] adalah rahmat.
Kalau [penghakiman dari Allah] hanyalah sekedar rahmat, [yang] membuat
semua perkara duniawi tak bermakna, [maka] Allah masih akan berhutang
kepada kita suatu jawaban atas pertanyaan mengenai keadilan—pertanyaan
penting yang kita tanyakan kepada sejarah dan kepada Allah. Kalau
[penghakiman dari Allah] hanyalah sekedar keadilan, [maka] pada akhirnya
hal itu hanya akan membawa ketakutan bagi kita semua. Inkarnasi Allah
dalam Kristus telah begitu dekat menghubungkan keduanya bersama—keadilan
dan rahmat—sehingga keadilan tertegakkan dengan teguh: kita semua
mengerjakan keselamatan kita dengan "takut dan gentar" (Fil 2:12). Namun
rahmat membuat kita semua untuk berharap, dan untuk pergi dengan
percaya menemui sang Hakim yang kita tahu sebagai "advokat" kita, atau
parakletos (bdk. 1 Yoh 2:1).
48. Hal lebih lanjut harus
disebut disini, karena hal tersebut penting bagi praktek harapan
Kristen. Pemikiran Yahudi awal-awal mencakup gagasan bahwa seseorang
bisa membantu yang meninggal dalam keadaan peralihan mereka melalui doa
(sebagai contoh lihat 2 Mak 12:38-45; abad pertama masehi). Praktek yang
ekuivalen [dengan pemikiran Yahudi awal-awal tersebut] sudah dengan
siap diadopsi oleh umat Kristen dan umum di Gereja Timur dan Barat.
[Gereja] Timur tidak mengenal pemurnian jiwa dan penderitaan karena
kesalahan para jiwa tersebut di kehidupan setelah mati, tapi [Gereja
Timur] mengakui berbagai tingkat kebahagiaan dan berbagai tingkat
penderitaan dalam keadaan peralihan. Namun, jiwa-jiwa yang telah
meninggal dapat menerima "penghiburan dan penyejukan" melalui Ekaristi,
doa dan derma. Kepercayaan bahwa cinta dapat menjangkau kehidupan
setelah mati, bahwa pemberian dan penerimaan timbal balik masih mungkin,
dimana rasa kasih kita bagi satu sama lain terus berlanjut diseberang
batas kematian—merupakan keyakinan mendasar Kekristenan disepanjang abad
dan [keyakinan tersebut] masih merupakan sumber penghiburan sampai hari
ini. Siapa yang tidak merasakan perlunya menyatakan kepada orang
terkasih yang telah meninggalkan mereka, sebuah tanda kebaikan, sebuah
tindakan terima kasih dan bahkan sebuah permintaan maaf? Sekarang sebuah
pertanyaan lebih lanjut timbul: Jika "Api Penyucian" hanya sekedar
penyucian melalui api dalam perjumpaan dengan Allah, Hakim dan
Penyelamat, bagaimana orang ketiga ikut campur, meskipun kalau [orang
ketiga tersebut] cukup dekat dengan yang lain? Ketika kita bertanya
pertanyaan seperti itu, kita harus ingat bahwa [tidak seorangpun hidup
seluruhnya untuk dirinya sendiri]. Kehidupan kita terlibatkan dengan
satu sama lain. Tidak seorangpun hidup sendirian. Tidak seorangpun
berdosa sendirian. Tidak seorangpun diselamatkan sendirian. Kehidupan
yang lain terus meluber kekehidupanku: dalam apa yang aku pikirkan, [apa
yang aku] katakan, [apa yang aku] lakukan dan [apa yang aku] capai. Dan
sebaliknya, kehidupanku meluber ke kehidupan yang lain: secara baik
ataupun secara buruk. Jadi doaku bagi yang lain bukanlah sesuatu yang
diluar pribadi tersebut, sesuatu yang eksternal, bahkan tidak [begitu]
setelah kematian. Dalam keterkaitan Keberadaan, rasa terima kasihku
kepada yang lain —doaku kepadanya—dapat memainkan peran kecil dalam
pemurniannya. Dan karena itu tidak perlu untuk mengkonversi waktu dunia
kedalam waktu Allah: dalam persekutuan jiwa-jiwa waktu dunia yang
sederhana telah tergantikan. Tidaklah pernah terlambat untuk menyentuh
hati sesama yang lain, ataupun hal tersebut merupakan kesia-siaan.
Dengan cara ini kita lebih lanjut menjelaskan sebuah unsur penting dalam
konsep Kristen akan harapan. Harapan kita secara esensial adalah selalu
juga merupakan harapan bagi yang lain; hanya dengan begitu [harapan
tersebut] adalah benar-benar harapan bagiku juga.[40] Sebagai umat
Kristen kita tidak seharusnya membatasi diri kita dengan bertanya:
bagaimana aku dapat menyelamatkan diriku sendiri? Kita harus juga
bertanya: apa yang bisa aku lakukan agar yang lain bisa selamat dan agar
bagi mereka juga bintang harapan bisa timbul? [Dengan begitu] maka aku
telah melakukan yang terbaik bagi keselamatan pribadiku juga
Maria, Bintang Harapan
49. Dengan sebuah hymne yang
dikomposisi pada abad kedelapan atau kesembilan, jadi lebih dari seribu
tahun, Gereja telah menyambut Maria, Bunda Allah, sebagai "Bintang
Lautan": Ave maris stella. Kehidupan manusia adalah sebuah perjalanan.
Menuju tujuan apa? Bagaimana kita menemukan jalannya? Kehidupan adalah
bagaikan sebuah perjalanan diatas lautan sejarah, sering gelap dan
ber-badai, sebuah perjalanan dimana kita melihat bintang-bintang yang
menunjukkan rute perjalanan. Bintang-bintang sejati dari hidup kita
adalah orang-orang yang hidup dengan baik. Mereka adalah cahaya-cahaya
harapan. Tentu saja, Yesus Kristus adalah cahaya sejati, matahari yang
telah terbit diatas semua bayangan sejarah. Tapi untuk menjangkaunya
kita juga memerlukan cahaya-cahaya yang dekat—orang yang bersinar dengan
cahayanya dan dengan begitu menuntun kita sepanjang perjalanan. Siapa
yang lebih dari Maria yang dapat menjadi sebuah bintang harapan bagi
kita? Dengan "ya"-nya, [Maria] membuka pintu dunia kita kepada Alah
sendiri; dia menjadi Tabut Perjanjian yang hidup, dimana Allah mengambil
daging, menjadi salah seorang dari kita, dan mendirikan tendaNya
diantara kita (bdk. Yoh 1:14).
50. Jadi kita berteriak kepada
Maria; Maria yang Suci, engkau adalah bagian dari jiwa-jiwa Israel yang
sederhana dan agung yang, seperti Simeon, "mencari penghiburan bagi
Israel" (Luk 2:25) dan berharap, seperti Anna, "bagi penebusan
Yerusalem" (Luk 1:55). Dengan cara ini kami bisa menghargai ketakutan
kudus yang meliputi engkau ketika malaikat Allah menampakkan diri
kepadamu dan memberitahumu bahwa engkau akan melahirkan Dia yang
merupakan harapan Israel, Dia yang ditunggu dunia. Melaluimu, melalui
"ya"-mu, harapan dari jaman-jaman menjadi nyata, memasuki dunia ini dan
sejarahnya. Engkau membungkuk rendah dihadapan besarnya tugas ini dan
memberikan kesediaanmu: "lihat, aku adalah hamba Tuhan; terjadilah
padaku menurut perkataanmu" (Luk 1:38). Ketika engkau bergegas dengan
kegembiraan kudus menyeberangi gunung-gunung Yudea untuk menjumpai
sepupumu Elizabeth, engkau menjadi gambaran Gereja yang akan datang,
yang membawa harapan bagi dunia dalam rahimnya menyeberangi
gunung-gunung sejarah. Namun disamping kegembiraan yang, dengan
Magnificat-mu engkau proklamirkan dalam kata-kata dan nyanyian untuk
didengar semua abad, engkau juga tahu perkataan-perkataan kelam para
nabi mengenai penderitaan hamba Allah di dunia ini. Bersinar diatas
kelahiranNya di kandang Bethlehem, ada malaikat-malaikat dengan
kegemilangan yang membawa kabar baik kepada para gembala, tapi pada saat
yang sama kesederhanaan Allah didunia ini begitu nyata. Si tua Simeon
berbicara kepada engkau mengenai pedang yang akan menembus jiwamu (bdk.
Luk 2:35), mengenai Putramu yang akan menjadi tanda perbantahan di dunia
ini. Lalu, ketika Yesus memulai pelayanan umumNya, engkau harus
minggir, sehingga sebuah keluarga baru dapat tumbuh, sebuah keluarga
yang merupakan misi bagiNya untuk didirikan dan [sebuah keluarga baru]
yang terdiri dari mereka yang mendengarkan perkataanNya dan
memeliharanya (bdk. Luk 11:27f). Terlepas dari kegembiraan besar yang
menandai permulaan pelayanan Yesus, di sinagoga Nazareth engkau pasti
telah mengalami kebenaran mengenai perkataan "tanda perbantahan" (bdk.
Luk 4:28ff). Dengan cara ini engkau melihat berkembangnya kekuatan
keganasan [hostility] dan penolakan yang terkumpul disekitar Yesus
sampai saat [Dia] Salib, ketika engkau harus melihat sang Penyelamat
dunia, pewaris Daud, Putra Allah, mati seperti sebuah kegagalan, terbuka
kepada ejekan, diantara para kriminal. Lalu engkau menerima perkataan
Yesus: "Wanita, lihatlah Putramu!" (Yoh 19:26). Dari Salib engkau
menerima sebuah misi baru. Dari Salib engkau menjadi ibu secara baru:
ibu bagi semua yang mempercayai Putarmu Yesus dan ingin mengikutiNya.
Pedang kesedihan menembus hatimu. Apakah harapan mati? Apakah dunia
tetap tanpa terang secara definitif, dan kehidupan tanpa tujuan? Pada
saat itu, didalam hati, engkau mungkin mendengar lagi kata-kata yang
diucapkan malaikat sebagai jawaban ketakutanmu pada saat menerima kabar
gembira: "Jangan takut, Maria!" (Luk 1:30). Berapa kali [pula] Tuhan,
Putramu, mengatakan hal yang sama kepada murid-muridNya: jangan takut!
Di dalam hatimu, engkau mendengar kata-kata ini lagi selama malam di
Golgota. Sebelum masa pengkhianatanNya Dia berkata kepada para muridNya:
""bergembiralah, Aku telah menaklukkan dunia" (Yoh 14:27). "Jangan
takut, Maria!" Pada masa itu di Nazareth sang malaikat juga telah
berkata kepadamu: "—KerajaanNya tidak akan berakhir" (Luk 1:33). Bisakah
[kerajaan tersebut] berakhir sebelum dimulai? Tidak, pada kaki salib,
atas kekuatan kata-kata Yesus sendiri, engkau menjadi ibu dari orang
yang percya. Dalam iman ini, yang bahkan dalam kegelapan Sabtu Suci
mengandung kepastian harapan, engkau melaluinya sampai Paskah di pagi
harinya. Kegembiraan kebangkitan menyentuh hatimu dan bersatu denganmu
dalam cara yang baru dengan para murid, didestinasikan untuk menjadi
keluarga Yesus melalui iman. Dengan cara ini engkau berada
ditengah-tengah komunitas orang yang percaya, yang di hari-hari itu,
dengan mengikuti Kenaikan [Yesus], berdoa dengan satu suara bagi karunia
Roh Kudus (bdk. Kis 1:14) dan kemudian menerima karunia tersebut pada
hari Pentekosta. "Kerajaan" Yesus tidak seperti yang dibayangkan.
[Kerajaan tersebut] dimulai pada saat itu, dan mengenai "Kerajaan" ini
tidaklah akan ada akhirannya. Karenanya engkau tetap selalu
ditengah-tengah para murid sebagai Ibu mereka, sebagai Ibu harapan.
Maria yang Kudus, Bunda Allah, Ibu kami, ajarkanlah kita untuk
mempercayai, untuk berharap, untuk mencinta bersamamu. Tunjukkanlah bagi
kita jalan kepada KerajaanNya! Bintang Lautan, bersinarlah diatas kita
dan tuntunlah kita di perjalanan kita!
Diberikan di Roma, di Santo Petrus, pada 30 November Pesta Santo Andreas sang Rasul, di tahun 2007, tahun ketiga Kepausanku.
Paus Benediktus XVI
________________________________________
1 Corpus Inscriptionum Latinarum VI, no. 26003.
2 Bdk. Puisi-puisi Dogmatis, V, 53-64: PG 37, 428-429.
3 Bdk. Katekismus Gereja Katolik, 1817-1821.
4 Summa Theologiae, II-IIae, q.4, a.1.
5 H. Köster di Theological Dictionary of the New Testament VIII (1972), p.586.
6 De excessu fratris sui Satyri, II, 47: CSEL 73, 274.
7 Ibid., II, 46: CSEL 73, 273.
8 Bdk. Ep. 130 Ad Probam 14, 25-15, 28: CSEL 44, 68-73.
9 Bdk. Katekismus Gereja Katolik, 1025.
10 Jean Giono, Les vraies
richesses (1936), Prakata, Paris 1992, pp.18-20; dikutip di Henri de
Lubac, Catholicisme. Aspects sociaux du dogme, Paris 1983, p.VII.
11 Ep. 130 Ad Probam 13, 24: CSEL 44, 67.
12 Sententiae III, 118: CCL 6/2, 215.
13 Bdk. ibid. III, 71: CCL 6/2, 107-108.
14 Novum Organum I, 117.
15 Bdk. ibid. I, 129.
16 Bdk. New Atlantis.
17 Di Werke IV, ed. W. Weischedel (1956), p.777.
18 I. Kant, Das Ende aller Dinge, di Werke VI, ed. W.Weischedel (1964), p.190.
19 Bab-bab mengenai kasih, Centuria 1, ch. 1: PG 90, 965.
20 Bdk. ibid.: PG 90, 962-966.
21 Conf. X 43, 70: CSEL 33, 279.
22 Sermo 340, 3: PL 38, 1484; bdk. F. Van der Meer, Agustinus sang Uskup, London and New York 1961, p.268.
23 Sermo 339, 4: PL 38, 1481.
24 Conf. X 43, 69: CSEL 33, 279.
25 Bdk. Katekismus Gereja Katolik, 2657.
26 Bdk. In 1 Ioannis 4, 6: PL 35, 2008f.
27 Kesaksian akan harapan, Boston 2000, pp.121ff.
28 The Liturgy of the Hours, Office of Readings, 24 November.
29 Sermones in Cant., Sermo 26, 5: PL 183, 906.
30 Negative Dialektik (1966), Bagian ketiga, III, 11, di Gesammelte Schriften VI, Frankfurt am Main 1973, p.395.
31 Ibid., bagian Kedua, p.207.
32 DS 806.
33 Bdk. Katekismus Gereja Katolik, 988-1004.
34 Bdk. ibid., 1040.
35 Bdk. Tractatus super Psalmos, Ps 127, 1-3: CSEL 22, 628-630.
36 Gorgias 525a-526c.
37 Bdk. Katekismus Gereja Katolik, 1033-1037.
38 Bdk. ibid., 1023-1029.
39 Bdk. Katekismus Gereja Katolik, 1030-1032.
40 Bdk. Katekismus Gereja Katolik, 1032.