Seminar Nasional Hari Studi XXXVII STFT Widya Sasana Malang
Kemajuan teknologi biologi dan medis (biomedis)
dewasa ini semakin menawarkan aneka solusi bagi persoalan kehidupan manusia, khususnya perkara mendapatkan anak. Teknologi seperti
Bayi Tabung telah lama ditempu oleh
sebagian besar keluarga-keluarga guna mendapatkan keturunan yang mereka
inginkan. Bahkan teknik rekayasa keturunan pun telah lazim digunakan untuk
menghindari kemungkinan keturunan yang tidak diinginkan. Melalui teknologi
tersebut manusia bebas menentukkan pilihan kualitas dan layak tidaknya
keturunan sesuai keinginan. Terlepas dari kemajuan itu, muncul persoalan moral
yang sangat mendasar, yakni bahwa dibalik teknik bayi tabung dan rekayasa
keturunan, sebenarnya ada jutaan embrio bakal manusia yang menjadi “korban”,
entah dibuang karena tidak sempurna atau atau tidak memenuhi seleksi kualitas.
Bahkan ada embrio yang dibekukan karena keterbatasan jumlah embrio yang bisa
ditanam dalam rahim. Ditengarai di dunia saat ini terdapat jutaan embrio sisa
dari IVF (in vitro fertilization) yang tidak “bertuan” karena tidak lagi
dikehendaki untuk ditanam dalam rahim orangtua asal benih tersebut.
Bertolak
dari persoalan tersebut, Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Widya Sasana
Malang mengadakan Seminar Nasional Hari Studi XXXVII, pada akhir Oktober lalu,
dengan tema “Embrio: Ciptaan Tuhan atau Produk Manusia? Pandangan Gereja
Katolik Tentang Bayi Tabung, Sel Punca dan Kloning”. Seminar yang berlangsung 2 hari tersebut
menghadirkan pembicara dari beberapa ahli dengan disiplin ilmu yang mumpuni,
yakni Prof. F.X. Arif Adimoelja (Bapak Androlog Indonesia); Prof. J.
Sudarminta, SJ; Dr. Benny Phang, O.Carm; Dr. Yustinus, CM; Prof. Dr. Piet Go Twan An,
O. Carm; dan Prof. Dr. Berthold A. Pareira, O. Carm.
Seminar
yang diikuti oleh berbagai kalangan yang sebagian besar adalah para medis,
umat, mahasiswa serta beberapa ahli tersebut menjadi suatu kontribusi yangh sangat
berarti bagi masyarakat, khususnya umat Katolik dalam menyikapi perkembangan
teknologi biomedis. Prof. F.X. Arif Adimoelja dalam presentasi pertama,
memaparkan fungsi-fungsi alat reproduksi manusia dan perkembangan IVF. “Pada awalnya, ketika proses IVF masih
konvensional tidak pernah dilakukan proses ini. Hal yang dilakukan hanya
melihat sel ovum yang sehat, yang diketahui lewat mikroskop atau cara lain. Di
sisi lain, yang menentukan kehamilan adalah spermatozoa. Dalam perkembangannya,
dilakukan genetic engineering, khususnya pada spermatozoa, supaya embrio yang
terbentuk sesuai harapan” ungkap Prof. Arif.
Lebih lanjut ia menegaskan kelainan dapat saja terjadi pada janin karena
resiko seleksi embrio ialah infeksi pada embrio tersebut, sehingga dapat
menghasilkan keturunan yang cacat seperti hydrocephalus.
|
Prof. Pidyarto, O.Carm: Ketua STFT Widya Sasana Malang | |
|
|
|
|
Prof.
Sudarminta, SJ membuka wawasan berpikir
dengan menyajikan refleksi etis-filosofis atas perkembangan moral bayi tabung,
sel punca dan kloning manusia. “Menghawatirkan, karena perkembangan baru itu
memunculkan berbagai persoalan baru, khususnya persoalan moral yang serius. Ada
pergeseran fokus yang diakibatkan oleh perkembangan teknologi reproduksi dan
rekayasa genetika. Dari “how to have sex without making a baby” ke “how to make
a baby without having sex” ujar Prof. Sudarminta. Menjawabi pergulatan
moral-etis, Dr. Benny Phang menegaskan ajaran Magisterium Gereja Katolik
tentang perkembangan teknologi reproduksi yang marak saat ini. Dua poin penting yang ditekankan oleh Gereja
ialah pertama, sikap hormat terhadap martabat pribadi manusia sebelum dan
sesudah dilahirkan, termasuk sejak
embrio awal. Kedua, pentingnya sanggama suami-istri (prokreasi) tanggung jawab; dalam arti bahwa anugerah
hidup manusia harus diwujudkan melalui tindakan spesifik dan eksklusif
suami-istri dalam perkawinan. Teknologi reproduksi harus mengabdi pada martabat
pribadi manusia yang hakiki.
Sementara itu, Dr. Yustinus,
CM., memberikan beberapa pertimbangan moral dalam situasi konkrit. Prinsip
penilaian moral Katolik ialah obyektifitas perkara, maksud dan keadaan-keadaan,
serta faktor subyektif yang kompleks dengan keputusan hati nuraninya. “Kita
harus tahu mengapa Gereja melarang. Yang menjadi persoalan ialah soal embrio
yang sisa dalam proses bayi tabung. Ada keberatan bahwa tindakan laboratorium
itu menggantikan sanggama, sehingga lepas dari cinta kasih suami-istri. Untuk
itu dokter dapat melakukannya sesuai moral Katolik” tegas Dosen Moral STFT
Widya Sasana tersebut. Lebih lanjut Dr. Yustinus menekankan bahwa bayi tabung
jangan cepat dipandang sebagai anugerah Tuhan, sebab hal itu telah melibatkan
manusia. Kita perlu melihat proses-prosesnya, sejauh mana Tuhan bekerja dan
sejauh mana manusia boleh ambil bagian di dalamnya. Prof. Dr. Piet Go Twan An
memberikan dasar-dasar ajaran Magisterium Gereja bagi pastoral praktis di
bidang bioetika. “Keberatan Gereja terutama soal status embrio dan martabat
prokreasi” kata Prof. Piet Go. Manusia harus bertanggung jawab dan bergumul
dengan keputusannya jika ingin menemukan jawaban atas persoalan hidupnya.
Prof. Dr. Berthold A. Pareira menutup
keseluruhan presentasi dengan refleksi biblis “Kisah penciptaan manusia”.
Manusia diciptakan secitra dengan Allah
dan karena itu mendapat anugerah kemampuan-kemampuan yang patut dikagumi.
“Dalam hubungan dengan program bayi tabung, sering dilakukan karena alasan
ekonomi dan industri, tidak sampai ke tindakan yang luhur. Itulah paradoksal
kehidupan manusia. Maka butuh ilmuwan yang beriman yang membantu kita supaya teknologi
memberikan nilai positif bagi hidup manusia” harap Profesor asal Maumere,
Flores tersebut.
Seminar ini semakin menarik
karena menghadirkan dua kesaksian pergumulan dari keluarga Katolik yang
terlibat menggunakan teknologi bayi
tabung. Dialog dan diskusi kelompok menambah suasana seminar menjadi lebih
bermakna. Tampak semua peserta begitu antusias dan bersyukur, bahwa seminar ini
sungguh membuka wawasan global umat mengenai polemik teknologi reproduksi
dengan Ajaran Magisterium Gereja. Ketua STFT Widya Sasana Malang, Prof. Dr.
Hendrikus Pidyarto, O. Carm., dalam
menutupi seminar mengemukakan pentingnya
membela kehidupan dalam keseharian hidup. “Yang jelas kita semua pasti sama
dalam prinsip. Gereja Katolik harus membela kehidupan, Prolife” ujar Profesor
Kitab Suci tersebut menutupi seluruh kegiatan seminar. (Antonius Primus)