Tangerang - PENDIDIKAN HUMANIORA yang mencakup pendidikan nilai, prinsip
hidup, ajaran luhur sebaiknya tidak perlu di-mata pelajaran-kan tetapi
pendidikan humaniora itu masuk , terintegrasi dalam seluruh mata pelajaran yang
dijarkan di sekolah (penddikan formal). Sebagai seorang pendidik seharusnya
milsanya ilmu teknologi memasukan pendidikan nilai dalam penddikan tekonologi
itu, jadi jangan sampai dibalik.
“Pendidikan humaniora itu dimasukan dalam setiap mata pelajaran
misalnya matematika, ilmu pengetahuan sosial, ilmu pengetahuan alam dan
sebagianya. Pendikkakan Humanira tidak perlu menjadi satu mata pelajaran khusus,’’ Demikian dikemukakan Allisa Qotrunada Wahid, puteri (alm)
Abdulrahman Wahid (Gus Dur) ketika menjadi pembicara dalam suatu sarasehan
setengah hari berretmpat di lantai tiga Paroki Hati Santa Perawan Maria Tak
Bernoda (HSPTB) Tangerang, Sabtu (19 Januari 2013).
Psikolog keluarga, yang kini bekerja di Pendidikan Anak Usia Dini
(PAUD) Yogyakarta ini menilai pembuat kebijakan sekarang ini hanya mengeluarkan
kebijakan lalu hanya sebatas wacana. Artinya pendidikan saat ini sangat sedikit memberikan ruang terhadap
generasi muda.
Sebagai seorang psikolog, ia mengakui bahwa ruang sangat sedikit bagi generasi. Ia
mengatakan bahwa generasi dulu itu berbeda dengan generasi muda sekarang. Oleh
karena perbedaan itu maka juga melihat suatu secara sangat berbeda.
Ia memberikan contoh bahwa ada pernyataan “Anak-anak sekarang
sangat susah hormat orangtua”. Menurutnya pendapat itu tidak benar. Dalam
psikolog pernyataan itu tidak benar. Pernyataan yang benar adalah ,’’ anak-anak
sekarang atau generasi muda sekarang tidak mau hormat orang yang menurut mereka
layak dihormati,’’. Pernyataan itu sesungguhnya sangat berbeda.
Allisa mengatakan guru, orangtua, atau pembimbing anak pada
umumnya sebaiknya menjadi figur yang
baik bagi pertumbuhan peserta didik. Maka ia berpendapat kebijakan pemerintah
cenderung tidak memperhatikan kondisi
psikologis generasi muda saat ini.
“Pembelajaran mengenai anti korupsi, Hak Asasi Manusia (HAM),
Pendidikan Lingkunbgan Hidup semua dijejalkan kepada anak, tapi justru tidak
diikuti dengan pemahaman maka semua yang diajarkan itu tidak membawa bermanfaat apa-apa,’’katanya.
Terkoyaknya kebhinekaan, tingginya intoleransi di Indonesia
sebagai akibat buruk sistem pendidikan di Indonesia. Pendidikan di Indonesia,
menurutnya belum memenuhi tugas Undang-Undang
Dasar 1945. Dikatakan, pendidikan saat ini masih terjebak dalam general
knowlegs. Itulah yang memberikan kesan system pendidikan yang dianut tanpa
karakter. Ia menambahkan, anak-anak lebih terfokus peningkatan ilmu dari pada
pemahaman dan kurang mengaplikasikan nilai-nilaimoral pendidikan.
Yang lebih menyedihkan pada saat yang sama, kurangnya perhatian
keluarga sehingga anak-anak tumbuh dan
hidup minim nilai kehidupannya. Ini sesungguhnya tugas keluarga (orangtua),
para pemuka agama untuk memastikan bahwa ada nilai-nilai luhur masuk dalam kehidupan
anak.
Sarasehan
tersebut mengusung tema “Merajut Kebhinekaan yang Terkoyak” menghadirkan nara
sumber Yudi Latif, P.hD (Pegiat Setara Institut), Alissa Qotunada Wahid (Puteri
Gus Dur, Pegiat Wahid Institut), Abdul Rozak (Ketua Forum Kerukunan Umat
Beragama kota Tangerang), Sebastian Salang (Koordinator Forum Pemantau Parlemen
Indonesia/Formappi).
Turut hadir
Pastor Paroki HSPMTB Tangerang, Pastor Ignasius Swasono SJ dan pastor rekan
Yohanes Wartaya SJ dan Dismas Tulolo SJ. Para peserta yang hadir adalah utusan
dari sjeumlah paroki seperti Paroki St Agustinus Perum Karawaci, Paroki St.
Helena Curug, Paroki St Gregorius Kota Bumi dan paroki St Odilia Citra Raya. (Stefania M Irma/ kr mangu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar