Yudi Perbawaningsih*
Guru belum banyak menerapkan “E-Learning” baik di pedesaan, pinggiran kota dan perkotaan (Kompas, 28/5). Kompas mengutip pernyataan ini dari Dekan Sampoerna School of Education (SSE).
Sejauh ini penggunaan teknologi internet yang memicu munculnya
media-media baru dan model komunikasi baru diyakini dapat memberikan
manfaat yang besar bagi tercapainya tujuan-tujuan pada berbagai bidang
kehidupan, termasuk bidang pendidikan khususnya pada mutu pembelajaran.
Merujuk pada keyakinan ini maka guru sebagai pendidik sangat dianjurkan
untuk meningkatkan keterampilan penggunaan Teknologi Informasi dan
Komunikasi (TIK) untuk kepentingan proses pembelajaran karena teknologi
ini dapat menolong guru menyajikan materi pembelajaran dengan lebih
menarik. Kreativitas model pembelajaran memang sangat diharapkan dapat
menarik perhatian peserta didik, dengan asumsi daya tarik ini akan
berimbas pada kemudahan pemahaman materi. Keyakinan ini juga mendorong
banyak institusi pendidikan membangun sistem pendidikan dengan model
“E-Learning.” Penerapan model ini bahkan kemudian menjadi bagian dari
pencitraan institusi pendidikan sebagai institusi yang berkualitas.
Benarkah selalu bermanfaat?
Mengabaikan faktor-faktor yang mungkin turut berkontribusi, TIK
memberikan banyak sekali keuntungan. Hakikat teknologi yaitu untuk
menciptakan efisiensi dan efektivitas menjadi hal yang menguntungkan.
Demikian juga TIK diciptakan untuk menciptakan efisiensi dan efektivitas
dalam pengolahan data dan komunikasi. Efisiensi waktu, tenaga, dan
biaya adalah hal yang tidak terbantahkan, demikian juga dengan
tercapainya tujuan. Selain itu, TIK juga dapat mengatasi kendala waktu
dan tempat. Dalam pembelajaran yang bertujuan untuk meningkatkan
pemahaman dan pengetahuan peserta didik, tentu diyakini dapat dicapai
dengan lebih efisien dengan menggunakan atau memanfaatkan TIK. Dalam
mencari data, TIK berbasis internet memberikan keuntungan yang tidak
terkira. Referensi dan sumber data dapat diakses dengan mudah, cepat dan
kadang murah, serta dapat dilakukan oleh seorang individu saja.
Demikian halnya dalam olah data. Bandingkan olah data statistik secara
manual dengan cara memanfaatkan TIK, tentu waktu yang dibutuhkan jauh
lebih cepat dan akurat. Peran guru menjadi lebih ringan, tidak lagi
menjadi sumber pengetahuan karena pengetahuan dapat dengan mudah
dimiliki oleh murid melalui internet. Peran guru cukup menjadi
inisiator, motivator, fasilitator dan evaluator. Pada kondisi semacam
ini, paradigma pendidikan dapat dilaksanakan dengan konsep andragogi yang menempatkan murid sebagai partisipan aktif, rasional dan dewasa, yang dapat memotivasi dirinya sendiri untuk belajar.
Bagaimana dengan komunikasi guru dan murid, komunikasi antarkomunitas
akademik? Pemanfaatan TIK berbasis internet sebagai media komunikasi
baru juga memberikan efisiensi. Bandingkan komunikasi tatap muka
guru-murid di kelas dengan melalui e-mail dan e-conference.
Berapa waktu, tenaga dan biaya yang dihemat? Dalam komunikasi tatap
muka guru-murid dibutuhkan waktu yang sama dan tempat yang sama. Jika
tak ada waktu dan tempat yang sama, komunikasi ini gagal dilaksanakan.
TIK dan media baru dapat mengatasi kendala itu, bahkan ketika tidak
memiliki tempat atau jarak yang jauh. Waktu dan tempat tidak lagi
menentukan.
Namun demikian, apakah penggunaan TIK berbasis internet selalu
bermanfaat bagi proses pembelajaran dan pendidikan? Hal yang sering
diabaikan ketika menjelaskan manfaat TIK adalah konteks sosial budaya
dan bahkan politik. Padahal secara empirik, konteks ini berkontribusi
sangat besar untuk menjelaskan kemanfaatan TIK dalam pendidikan. Pada
konteks tertentu, pemanfaatan TIK berbasis internet tidak selalu
menguntungkan.
TIK merugikan proses pendidikan?
Ya, seandainya pemanfaatan TIK ini mengabaikan atau tidak
mempertimbangkan konsekuensi dan implikasinya pada masyarakat,
institusi, dan budaya (Pavlik, 1996:303-334). Dalam konteks pendidikan
dan pembelajaran, pemanfaatan TIK akan berimplikasi pada individu
anggota komunitas pendidikan, organisasi dan budaya belajar. Implikasi
pemanfaatan TIK berbasis internet adalah melimpahnya pengetahuan. Ini
akan menghasilkan ambiguitas yang sangat tinggi bagi sebagian komunitas
pendidikan . Dihadapkan pada derajat rasionalitas yang tidak tinggi,
peserta didik justru akan menghindari terpaan informasi karena
ambiguitas menyebabkan ketidaknyamanan kognitif. Situasi ini tentu tidak
kondusif bagi pencapaian tujuan pembelajaran. Dalam hal ini, guru tetap
memiliki peran penting sebagai fasilitator untuk memilih dan memilah
serta kalau perlu mereduksi informasi dan mengarahkan pemaknaan atas
informasi. Namun demikian, bagi murid yang memiliki daya pemahaman yang
tinggi dan cukup rasional, upaya ini dapat dimaknai sebagai upaya
membatasi kebebasan murid untuk membangun pengetahuannya sendiri. Pada
bagian lain, TIK juga memberikan kemudahan dan kecepatan olah data. Hal
ini berimplikasi pada kemungkinan pengabaian proses yang bertahap dan
berorientasi pada hasil. Ini menggiring pada terciptanya mental serba
instan dan tidak peduli substansi dan esensi. Komunitas pendidikan
menjadi pragmatis dan tidak lagi peduli pada hakiki dan filosofi.
Di sisi lain, komunikasi tatap muka yang tergantikan oleh media
berbasis TIK menjadikan interaksi kehilangan sentuhan afeksi yang lebih
mudah muncul ketika ada interaksi non verbal, terutama simbol-simbol
yang melibatkan indra peraba dan indra pengecap yang sampai saat ini
belum dapat dilakukan oleh teknologi. Relasi guru dan murid yang
terbangun menjadi pragmatis sehingga nilai-nilai kebersamaan personal
yang biasanya menjadi karakter pendidikan di Indonesia justru sulit
dicapai. Proses pembelajaran yang bertujuan untuk membangun karakter dan
afeksi, moral dan integritas menjadi terkendala. Pada aspek pengurangan
beban guru karena digantikan oleh TIK juga tidak selalu ditanggapi
positif. Reduksi peran secara politis berarti juga pengurangan
kewenangan dan kekuasaan. Tidak hanya itu, reduksi peran ini juga bisa
diartikan sebagai reduksi finansial. Masih banyak ditemui guru yang
masih nyaman dalam posisi sebagai “atasan” bagi muridnya, dan keberadaan
TIK justru menjadi ancaman.
Efek negatif sebagai implikasi atas karakter teknologi tentu tidak
hanya ini. Oleh karena itu, kebijakan organisasi pendidikan untuk
menggunakan model e-learning harus mempertimbangkan rasio
keuntungan dan kerugian dengan menganalisis karakter komunitas
pendidikan, budaya organisasi dan tentu adalah tujuan pendidikan dan
pembelajaran. Menggunakan metafora efektivitas obat, dianggap bermanfaat
jika obat lebih banyak memberikan manfaat daripada efek samping.
Demikian pula penggunaan model e-learning pada proses pendidikan di Indonesia. Dikatakan e-learning efektif jika manfaat lebih banyak daripada kerugian.
*Yudi Perbawaningsih, dosen pada Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Bernas Jogja, Selasa 19 Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar