JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah khususnya
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia diminta segera menghentikan
pemberian remisi atau pengurangan masa tahanan untuk para koruptor.
Pemberian remisi kepada para koruptor tersebut sama dengan melanggar
rasa keadilan masyarakat.
Hal itu disampaikan Wakil Koordinator
Indonesia Corruption Watch Emerson Yuntho saat dihubungi wartawan,
Minggu (4/9/2011). "Ini sama saja tidak memberikan efek jera kepada
para koruptor. Selama ini hukuman bagi koruptor itu masih tergolong
ringan. Di Pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) saja paling lama
tiga tahun," ujar Emerson.
Dia menerangkan, penghentian remisi
untuk koruptor dapat dimulai dengan moratorium atau penghentian
sementara. Moratorium, lanjutnya, dilakukan hingga undang-undang yang
mengatur soal remisi diperbaiki. Remisi seharusnya hanya dapat diberikan
kepada koruptor yang berperan sebagai pelaku pelapor atau pelaku tindak
pidana korupsi yang turut membongkar kejahatan.
Emerson juga
mengingatkan, tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang
harus diatasi dengan cara luar biasa pula. Dengan memberi remisi kepada
para koruptor, masyarakat hanya akan menganggap korupsi sebagai
kejahatan biasa. Dengan demikian, orang akan cenderung menggampangkan
untuk melakukan korupsi karena menilai hukumannya ringan.
Selain
itu, kata Emerson, pemberian remisi akan merugikan para penegak hukum
seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Kejaksaan, dan Kepolisian.
"Penegak hukum juga harus berperan, tuntutan dan juga vonis kepada
pelaku korupsi tidak boleh ringan dan harus seberat-beratnya. Jadi,
walaupun ada remisi maka gak signifikan," ujarnya.
Pada peringatan
hari raya Idul Fitri tahun ini, sebanyak 253 koruptor mendapatkan
remisi dari pemerintah. Sebanyak delapan koruptor dinyatakan bebas
setelah mendapatkan remisi. (Icha Rastika |
Laksono
Hari W)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar