Bapa
di Surga, t’rimalah
hasil
usaha jemaat-Mu....
Sepenggal lagu persembahan yang tidak
asing di kalangan Gereja Katolik. Sedari kecil, lagu itu sering sekali
dinyanyikan, awalnya dari buku Madah Bakti, lalu Puji Syukur. Meski liriknya
sedikit berbeda, namun dengan maksud yang sama.
|
dr. Jodi Visnu (Tengah) bersama Uskup Larantuka (kiri) dan Uskup Maumere (kanan) |
Aku bertugas di sebuah kampung
pedalaman Asmat, Papua. Kampung Bayun, Distrik Pantai Kasuari. Di balai
kesehatan misi yang telah didirikan misionaris sejak puluhan tahun yang lalu,
aku mengabdikan diriku untuk masyarakat. Yah, meski kontrak kerjaku tidak lama,
namun cukup membuatku banyak belajar tentang kehidupan masyarakat pedalaman
yang jauh dari dunia luar. Mungkin lebih tepat bila dikatakan jauh dari
peradaban, meski menurut beberapa orang, “Keadaan ini jauh lebih baik bila
dibandingkan 10 tahun yang lalu, Dokter.” Tak dapat kubayangkan puluhan tahun
yang lalu perjuangan para misionaris dalam mewartakan cinta kasih Allah yang
harus mendayung perahu berhari-hari untuk dapat sampai ke Kampung Bayun, tentu
tak sebanding dengan perjalananku selama 4 jam dengan speedboat, meski kadang
mencapai 9 jam bila cuaca buruk.
Misa mingguan di Paroki Roh Kudus,
Bayun, tidak berbeda dengan misa di Gereja Katolik lainnya. Tata liturginya
sama, tentu saja. Tetapi satu hal yang membuatnya beda adalah budayanya.
Tidak ada koor yang megah, hanya
seorang suster dari Tarekat Maria Mediatrix yang memimpin lagu-lagu dari bangku
umat, dengan menggunakan buku Madah Bakti. Lagu-lagu yang semasa kecil
kunyanyikan, kini kunyanyikan kembali. Maklum, saat ini kebanyakan Gereja sudah
sejak lama menggunakan buku Puji Syukur. Tidak ada pastor, umat, atau siapapun
yang protes soal lagu-lagu Gereja di Bayun. Entah itu Ordinarium Misa Senja,
dll, lagu-lagu yang menurut berita sudah tidak dianjurkan, bahkan menurut
beberapa seksi liturgi: dilarang. Kadang aku berpikir, “Bila lagu-lagu tersebut
sudah ada di buku lagu yang disahkan Gereja dan tidak ada hukum yang sah bahwa
buku itu ditarik dari peredaran, lalu siapa yang mau melarang?” Agaknya
demikian.
Dan sungguhpun lagu tidak sesuai dengan
tema misa, tidak ada pastor yang akan marah. Mungkin umat tersebut tidak tahu,
dan mereka hanya memberikan yang terbaik. Seperti pengalamanku bersama seorang
pastor saat kunjungan ke sebuah stasi. Tanpa lampu, misa Minggu Prapaskah ke-3
berakhir pukul 18.30. Akibatnya umat yang harus menyanyikan lagu penutup, tidak
dapat membaca buku Madah Bakti. Akhirnya mereka spontan menyanyikan lagu
kebangkitan Tuhan. Mungkin hanya itu yang mereka hafal. Tentu tak mungkin hal
semacam ini terjadi di kota besar, bila itu terjadi pastilah seksi liturgi
sudah menegur lebih dulu sebelum pastor angkat bicara.
Tidak ada listrik, tentu saja suara
pastor dan petugas liturgi harus cukup lantang karena tidak didukung oleh
pengeras suara. Gereja memang tidak terlalu besar, namun bila hujan turun maka
suara pastor akan terganggu. Masih untung ada beberapa gereja yang memiliki
genset. Namun kelangkaan BBM acap kali menjadi kendala. Harga BBM di pedalaman
sangat tinggi, namun satu hal yang perlu kita ketahui: masyarakat pedalaman
tidak berpikir untuk melakukan demo atau pemogokan. Tidak ada tuntutan, mungkin
hanya sedikit keluhan yang tak begitu berarti bagi sebagian besar orang.
Tidak ada tabernakel yang indah dan
tidak ada lampu yang menyala di sisi tabernakel untuk menunjukkan adanya
Sakramen Mahakudus di dalamnya. Semua umat harus menunjukkan sikap hormat di
dalam Gereja. “Gereja adalah rumah Tuhan Yesus,” pernah terucap dari seorang
anak kecil di sini yang selalu kuingat.
Tidak ada uang persembahan yang bersih,
semuanya lusuh. Namun inilah persembahan mereka untuk Sang Pencipta. Jumlahnya
pun tidak besar, kira-kira hanya cukup untuk membeli beberapa susu kental manis
kaleng di sini.
Masyarakat Bayun menggunakan pakaian
terbaik mereka. Tidak ada keharusan mengenakan pakaian bersih. Tapi mereka
berusaha sebersih mungkin, meski tetap banyak noda menghalangi warna dan motif
baju mereka. Tidak ada keharusan mengenakan sepatu. Mengenakan sandal jepit
saja, barangkali itu sudah sangat baik karena sehari-hari mereka bertelanjang
kaki. Namun petugas-petugas liturgi selalu mengusahakan agar dirinya tampil
baik, meski menggunakan kaos sekalipun. Dan.... tidak ada keharusan untuk
mandi. Awalnya aku sulit menyesuaikan diri dengan keadaan ini, tetapi
lama-kelamaan terbiasa juga.
Anak-anak duduk terpisah dengan orang
tua mereka. Kadang bila ada tamu Keuskupan hadir, pandangan anak-anak itu tidak
tertuju pada altar. Dan suster-suster sibuk menertibkan mereka. Maklum saja,
hampir seluruh umat Bayun tidak memiliki TV. Akibatnya banyak diantara mereka
yang tidak pernah melihat wajah-wajah etnis lain.
Tidak ada musim pancaroba di Bayun,
kapan saja bisa panas terik berhari-hari lalu tiba-tiba turun hujan, atau bisa
juga hujan terus-menerus. Maka banyak anak yang terkena pilek. Pemandangan anak
dengan ingus meler dan tidak diusap,
sudah menjadi hal yang biasa, bahkan di Gereja saat misa berlangsung. Apalagi
bila ingus tersebut diusap oleh tangan mungil mereka, lalu tak sengaja terkena
baju kita. Janganlah marah, meskipun mereka akan segera dimarahi orang tuanya
habis-habisan.
Tidak ada tempat parkir kendaraan di
area Gereja. Tidak ada alat transportasi di kampung ini. Semua ditempuhh hanya
dengan berjalan kaki. Meski harus menempuh perjalanan satu jam dengan panas
terik yang menyengat, namun untuk memuji Tuhan tidak ada sedikitpun keluh kesah
keluar dari bibir umat. Bila letih, mereka dapat beristirahat sejenak di bawah
pohon, lalu melanjutkan perjalanan kembali.
Hal-hal di atas adalah segelitir budaya
masyarakat Indonesia di pedalaman. Semuanya mengalir begitu saja, dan budaya
modern selalu berjalan bersama-sama dengan budaya lokal. Soal memuji Tuhan,
masyarakat lokal memiliki ragam keunikan tersendiri yang mungkin perlu dibina.
Tapi kita perlu ingat, inti diri mereka adalah mempersembahkan yang terbaik
bagi Tuhan dan jangan sampai idealisme modern menghancurkan niat mereka,
makhluk Tuhan yang paling mulia.
Kubawa
kepada-Mu oh Tuhan
persembahanku
ini
Kuingin
Engkau menerima
korban
syukurku
melalui
pujian