Hongkong - Keuskupan Hong Kong membuka Tahun
Iman dengan
tema "pembaruan
dan PERUBAHAN," yang diawali Misa Kudus pada hari Minggu, 16 Desember pada akhir Tahun
Awam keuskupan Hongkong. Menurut Kong Ko Bao (buletin keuskupan
versi Cina), Mgr. Dominic Chan, Vikaris Keuskupan dan Presiden Kelompok Keuskupan untuk Tahun Iman, menyajikan bahwa program keuskupan menekankan
dua tema: "Pembaharuan dan Perubahan".
Berbagai kegiatan di paroki dan tingkat
keuskupan diselenggarakan, juga
kursus dan seminar dijadwalkan untuk
mengeksplorasi tema Tahun Iman, termasuk penerbitan teks-teks terkait. Mgr.
Chan mendesak umat
beriman untuk mempunyai sikap tertentu
dan tindakan nyata dalam Tahun Iman: agar publik
mengenali identitas Katolik, memberitakan dan menyatakan
iman dengan Credo, memperdalam dan memperkuat
iman sebelum menerima sakramen,
menelusuri kembali ajaran Konsili Vatikan II dan
Katekismus Gereja Katolik, mengambil bagian dalam visi misi keuskupan selama Tahun
iman, menghadapi tantangan
kehidupan sehari-hari dengan iman.
Akhirnya, Mgr. Chan merekomendasikan perhatian khusus kepada umat yang baru dibaptis. (Diego/Agenzia Fides)
Sabtu, 01 Desember 2012
Embrio: Ciptaan Tuhan atau Produk Manusia?
Seminar Nasional Hari Studi XXXVII STFT Widya Sasana Malang
Kemajuan teknologi biologi dan medis (biomedis)
dewasa ini semakin menawarkan aneka solusi bagi persoalan kehidupan manusia, khususnya perkara mendapatkan anak. Teknologi seperti
Bayi Tabung telah lama ditempu oleh
sebagian besar keluarga-keluarga guna mendapatkan keturunan yang mereka
inginkan. Bahkan teknik rekayasa keturunan pun telah lazim digunakan untuk
menghindari kemungkinan keturunan yang tidak diinginkan. Melalui teknologi
tersebut manusia bebas menentukkan pilihan kualitas dan layak tidaknya
keturunan sesuai keinginan. Terlepas dari kemajuan itu, muncul persoalan moral
yang sangat mendasar, yakni bahwa dibalik teknik bayi tabung dan rekayasa
keturunan, sebenarnya ada jutaan embrio bakal manusia yang menjadi “korban”,
entah dibuang karena tidak sempurna atau atau tidak memenuhi seleksi kualitas.
Bahkan ada embrio yang dibekukan karena keterbatasan jumlah embrio yang bisa
ditanam dalam rahim. Ditengarai di dunia saat ini terdapat jutaan embrio sisa
dari IVF (in vitro fertilization) yang tidak “bertuan” karena tidak lagi
dikehendaki untuk ditanam dalam rahim orangtua asal benih tersebut.
Bertolak
dari persoalan tersebut, Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Widya Sasana
Malang mengadakan Seminar Nasional Hari Studi XXXVII, pada akhir Oktober lalu,
dengan tema “Embrio: Ciptaan Tuhan atau Produk Manusia? Pandangan Gereja
Katolik Tentang Bayi Tabung, Sel Punca dan Kloning”. Seminar yang berlangsung 2 hari tersebut
menghadirkan pembicara dari beberapa ahli dengan disiplin ilmu yang mumpuni,
yakni Prof. F.X. Arif Adimoelja (Bapak Androlog Indonesia); Prof. J.
Sudarminta, SJ; Dr. Benny Phang, O.Carm; Dr. Yustinus, CM; Prof. Dr. Piet Go Twan An,
O. Carm; dan Prof. Dr. Berthold A. Pareira, O. Carm.
Seminar
yang diikuti oleh berbagai kalangan yang sebagian besar adalah para medis,
umat, mahasiswa serta beberapa ahli tersebut menjadi suatu kontribusi yangh sangat
berarti bagi masyarakat, khususnya umat Katolik dalam menyikapi perkembangan
teknologi biomedis. Prof. F.X. Arif Adimoelja dalam presentasi pertama,
memaparkan fungsi-fungsi alat reproduksi manusia dan perkembangan IVF. “Pada awalnya, ketika proses IVF masih
konvensional tidak pernah dilakukan proses ini. Hal yang dilakukan hanya
melihat sel ovum yang sehat, yang diketahui lewat mikroskop atau cara lain. Di
sisi lain, yang menentukan kehamilan adalah spermatozoa. Dalam perkembangannya,
dilakukan genetic engineering, khususnya pada spermatozoa, supaya embrio yang
terbentuk sesuai harapan” ungkap Prof. Arif.
Lebih lanjut ia menegaskan kelainan dapat saja terjadi pada janin karena
resiko seleksi embrio ialah infeksi pada embrio tersebut, sehingga dapat
menghasilkan keturunan yang cacat seperti hydrocephalus.
Prof. Pidyarto, O.Carm: Ketua STFT Widya Sasana Malang |
Prof.
Sudarminta, SJ membuka wawasan berpikir
dengan menyajikan refleksi etis-filosofis atas perkembangan moral bayi tabung,
sel punca dan kloning manusia. “Menghawatirkan, karena perkembangan baru itu
memunculkan berbagai persoalan baru, khususnya persoalan moral yang serius. Ada
pergeseran fokus yang diakibatkan oleh perkembangan teknologi reproduksi dan
rekayasa genetika. Dari “how to have sex without making a baby” ke “how to make
a baby without having sex” ujar Prof. Sudarminta. Menjawabi pergulatan
moral-etis, Dr. Benny Phang menegaskan ajaran Magisterium Gereja Katolik
tentang perkembangan teknologi reproduksi yang marak saat ini. Dua poin penting yang ditekankan oleh Gereja
ialah pertama, sikap hormat terhadap martabat pribadi manusia sebelum dan
sesudah dilahirkan, termasuk sejak
embrio awal. Kedua, pentingnya sanggama suami-istri (prokreasi) tanggung jawab; dalam arti bahwa anugerah
hidup manusia harus diwujudkan melalui tindakan spesifik dan eksklusif
suami-istri dalam perkawinan. Teknologi reproduksi harus mengabdi pada martabat
pribadi manusia yang hakiki.
Sementara itu, Dr. Yustinus,
CM., memberikan beberapa pertimbangan moral dalam situasi konkrit. Prinsip
penilaian moral Katolik ialah obyektifitas perkara, maksud dan keadaan-keadaan,
serta faktor subyektif yang kompleks dengan keputusan hati nuraninya. “Kita
harus tahu mengapa Gereja melarang. Yang menjadi persoalan ialah soal embrio
yang sisa dalam proses bayi tabung. Ada keberatan bahwa tindakan laboratorium
itu menggantikan sanggama, sehingga lepas dari cinta kasih suami-istri. Untuk
itu dokter dapat melakukannya sesuai moral Katolik” tegas Dosen Moral STFT
Widya Sasana tersebut. Lebih lanjut Dr. Yustinus menekankan bahwa bayi tabung
jangan cepat dipandang sebagai anugerah Tuhan, sebab hal itu telah melibatkan
manusia. Kita perlu melihat proses-prosesnya, sejauh mana Tuhan bekerja dan
sejauh mana manusia boleh ambil bagian di dalamnya. Prof. Dr. Piet Go Twan An
memberikan dasar-dasar ajaran Magisterium Gereja bagi pastoral praktis di
bidang bioetika. “Keberatan Gereja terutama soal status embrio dan martabat
prokreasi” kata Prof. Piet Go. Manusia harus bertanggung jawab dan bergumul
dengan keputusannya jika ingin menemukan jawaban atas persoalan hidupnya.
Prof. Dr. Berthold A. Pareira menutup
keseluruhan presentasi dengan refleksi biblis “Kisah penciptaan manusia”.
Manusia diciptakan secitra dengan Allah
dan karena itu mendapat anugerah kemampuan-kemampuan yang patut dikagumi.
“Dalam hubungan dengan program bayi tabung, sering dilakukan karena alasan
ekonomi dan industri, tidak sampai ke tindakan yang luhur. Itulah paradoksal
kehidupan manusia. Maka butuh ilmuwan yang beriman yang membantu kita supaya teknologi
memberikan nilai positif bagi hidup manusia” harap Profesor asal Maumere,
Flores tersebut.
Seminar ini semakin menarik
karena menghadirkan dua kesaksian pergumulan dari keluarga Katolik yang
terlibat menggunakan teknologi bayi
tabung. Dialog dan diskusi kelompok menambah suasana seminar menjadi lebih
bermakna. Tampak semua peserta begitu antusias dan bersyukur, bahwa seminar ini
sungguh membuka wawasan global umat mengenai polemik teknologi reproduksi
dengan Ajaran Magisterium Gereja. Ketua STFT Widya Sasana Malang, Prof. Dr.
Hendrikus Pidyarto, O. Carm., dalam
menutupi seminar mengemukakan pentingnya
membela kehidupan dalam keseharian hidup. “Yang jelas kita semua pasti sama
dalam prinsip. Gereja Katolik harus membela kehidupan, Prolife” ujar Profesor
Kitab Suci tersebut menutupi seluruh kegiatan seminar. (Antonius Primus)
Minggu, 18 November 2012
AWAM KATOLIK
AWAM KATOLIK
SETURUT AJARAN KONSILI VATIKAN II
Pada Konsili Vatikan
II para Bapa Konsili yang terbuka bagi suatu pembaharuan dan terutama
para teolog yang merancang pembaharuan itu, ingin mengatasi penyempitan
dalam paham tentang Gereja dengan cara melengkapi tradisi millennium
kedua dengan unsur-unsur penting dari tradisi millennium pertama. Dengan
cara demikian Konsili akhirnya berhasil mengemukakan suatu eklesiologi
‘communio’ yang besar pengaruhnya bagi teologi dan gambaran mengenai
awam dalam Gereja.
Pada mulanya skema
yang disiapkan untuk didiskusikan dalam konsili mengikuti haluan umum
suatu eklesiologi golongan, lebih dahulu para uskup dibicarakan dengan
menyinggung sedikit para imam juga, kemudian para biarawan / biarawati
dan pada giliran terakhir para awam. Dengan cara demikian orang dan
haluan ini ingin melengkapi Konsili Vatikan I (pertama) yang hanya
berbicara tentang paus dan wewenangnya.
Tetapi kemudian
gambaran ini diatasi dengan menempatkan pada tempat pertama suatu bab
yang berbicara mengenai Gereja sebagai misteri dan menyusul lagi satu
hal tentang umat Allah sebelum konstitusi Lumen Gentium membahas
hierarki di dalam Gereja.
Pernyataan dalam bab
pertama bahwa Gereja merupakan suatu misteri cukup lama diperdebatkan di
sidang konsili, karena banyak bapa konsili menganggap pernyataan ini
terlalu Protestan. Cukup lama dalam tradisi, Gereja Protestan menganggap
Gereja pada intinya suatu kenyataan yang tak kelihatan. Hanya Allah
yang tahu, siapa sungguh beriman dan termasuk Gereja. Gereja yang
sesungguhnya itu tidak identik dengan Gereja kelihatan yang merupakan
lembaga terstruktur. Dan Gereja yang kelihatan / lahiriah itu sebenarnya
tidak begitu penting.
Berlawanan dengan
gambaran ini, Gereja Katolik menekankan dan mengutamakan sifat kelihatan
dari Gereja. Gereja sebagai lembaga dengan bentuk dan struktur
tertentu, di mana terutama hierarki mendapat perhatian. Malah hierarki
semakin diutamakan sampai dalam banyak kasus orang secara diam-diam
menyamakan Gereja dengan hierarki.
Berbeda dengan
gambaran demikian tentang Gereja, konsili mengatakan bahwa Gereja pada
tempat pertama bukan suatu lembaga dengan struktur dan peraturan
tertentu, dengan golongan anggota yang berbeda-beda yang mempunyai
wewenang masing-masing. Pada tempat pertama Gereja merupakan suatu
misteri, misteri itu hadir di bawah tanda yang dibawakan Yesus ke dalam
dunia, dan misteri itu masih tetap dihidupkan di atas bumi ini oleh Roh
Kudus.
Gereja itu merupakan
suatu misteri, karena ia adalah persekutuan para orang kudus, mereka
yang dikuduskan Kristus. Mereka semua yang melalui sakramen baptis dan
ekaristi dalam uraian pada awal konstitusi Lumen Gentium dalam bab
tentang Gereja sebagai misteri; sebelum kita memandang jabatan dan
golongan dan fungsi berbeda di dalam Gereja, perlu diperhatikan adanya
suatu kesamaan antara semua anggotanya yang jauh lebih fundamental
daripada semua pembedaan menurut aspek apa saja.
Pikiran dan penekanan
ini dilanjutkan dalam bab tentang Gereja sebagai umat Allah. Dengan
menghidupkan kembali gagasan Kitab Suci mengenai ‘laos’, mengenai umat
Allah, kecuali menggambarkan Gereja sebagai persekutuan, ‘communio’ yang
terbentuk dari semua orang yang beriman akan Yesus Kristus. Para
pejabat merupakan sebagian dari Gereja, tugas dan pelayanan mereka
dibutuhkan agar Gereja bisa berfungsi dengan baik, tetapi mereka bukan
keseluruhan Gereja. Gereja tidak identik dengan hierarki / klerus. Baru
semua orang beriman bersama-sama, para pejabat (klerus) dan para awam
merupakan Gereja. Gereja, bukan sebagian darinya, menjalankan ketiga
tugas Kristus di dalam dunia, tugas sebagai imam, nabi dan raja. Dalam
beberapa artikel dari bab itu, digambarkan bahwa wewenang di dalam
Gereja, dimensi imami, kenabian dan rajawi diserahkan kepada Gereja
seluruhnya.
Khususnya mengenai ciri imami seluruh umat Allah misalnya konsili menegaskan:
Kristus
Tuhan, Imam Agung yang dipilih dari antara manusia, menjadikan umat
baru ‘kerajaan dan imamat bagi Allah dan BapaNya’. Sebab mereka yang
dibaptis karena kelahiran kembali dan pengurapan Roh kudus disucikan
menjadi kediaman rohani dan imamat suci, untuk sebagai orang kristiani,
dengan segala perbuatan, mereka mempersembahkan korban rohani, dan untuk
mewartakan daya kekuatan Dia, yang telah memanggil mereka dari
kegelapan ke dalam cahayaNya yang mengagumkan. Maka hendaknya semua
murid Kristus, yang bertekun dalam dia dan memuji Allah, mempersembahkan
dan sebagai korban yang hidup, suci, berkenan kepada Allah. Hendaknya
mereka di seluruh bumi memberi kesaksian tentang Kristus, dan kepada
mereka yang memintanya memberi pertanggungjawaban tentang harapan akan
hidup kekal, yang ada pada mereka (LG 10)
Pernyataan ini
mengenai ciri imam, kita baca dalam ajaran konsili tentang Gereja.
Gereja seluruhnya sebelum ada pelbagai deferensiasi dan pembedaan,
sebelum ada bahasan tentang jabatan dan fungsi. Pernyataan dan penegasan
ini berlaku untuk seluruh Gereja, semua anggotanya, mereka semua adalah
imam, nabi dan raja dalam kuasa yang diberikan Kristus kepada Gereja
dan yang diaktifkan oleh Roh Kudus.
Konstitusi Lumen
Gentium ‘mengarahkan perhatiannya kepada status kaum beriman kristiani
yang disebut awam’. Dan langsung pada awal bab itu ditegaskan bahwa
‘segala sesuatu yang telah dikatakan tentang umat Allah, sama-sama
dimaksudkan bagi kaum awam, para religious dan kaum rohaniwan(klerus)’
(artikel 30 LG) Konsili berusaha sekuat tenaga untuk mengatasi gambaran
negative tentang kaum awam sebagai ‘bukan klerus’, dan secara positif
menyatakan awam sebagai orang beriman kristiani, sebagai kaum terbaptis.
Namun deskripsi negative tidak bisa dihindari secara tuntas, kita dapat
baca dalam artikel 31:
Yang
dimaksud dengan istilah awam di sini ialah semua orang beriman
kristiani kecuali mereka yang termasuk golongan imam (klerus) atau
status religious yang diakui dalam Gereja. Jadi kaum beriman kristiani,
yang berkat baptis telah menjadi anggota Tubuh Kristus, terhimpun
menjadi umat Allah, dengan cara mereka sendiri ikut mengemban tugas
imamat, kenabian dan rajawi Kristus, dan dengan demikian sesuai dengan
kemampuan mereka melaksanakan perutusan segenap Umat kristiani dalam
Gereja dan di dunia.
Ternyata juga dalam
deskripsi ini kaum awam tidak terutama dan bukan pada tempat pertama
dipandang sebagai ‘bukan klerus’, tetapi sebagai orang beriman yang
kepadanya tri-tugas Kristus dipercayakan melalui sakramen-sakramen.
Dengan demikian terdapat suatu kesamaan antara semua anggota Gereja yang
bersifat fundamental dan tidak dapat diganggu gugat. Jadi, ‘samalah
martabat para anggota Gereja karena kelahiran mereka kembali dalam
Kristus, sama juga rahmat para putra-puteri Allah, sama pula panggilan
kepada kesempurnaan; satu keselamatan, satu harapan dan tak terbagilah
cintakasih. Namun semua toh sungguh-sungguh sederajat martabatnya,
sederajat pula kegiatan yang umum bagi semua orang beriman dalam
membangun Tubuh Kristus’ (LG 32)
Berdasarkan kesamaan
fundamental ini maka semua dipanggil untuk menjalankan kerasulan Gereja.
‘Adapun kerasulan kaum awam itu ialah keikutsertaan dalam perutusan
keselamatan Gereja sendiri. Dengan baptis dan penguatan semua ditugaskan
oleh Tuhan sendiri untuk kerasulan itu’ (LG 33)
Para awam menjalankan
kerasulan Gereja dan mereka menjalankannya karena dipanggil dan
ditugaskan Yesus Kristus sendiri. Mereka bukan turut serta dalam
kerasulan hierarki, berdasarkan suatu mandat yang mereka peroleh dari
hierarki. Konsep (peran awam sebagai) Aksi Katolik dibuang jauh. Karena
para awam merupakan anggota umat Allah, maka mereka memiliki hak dan
kewajiban untuk menjalankan tugas dan misi Gereja sebagai umat Allah
itu.
Dekrit tentang
Kerasulan Awam memerinci gambaran yang ditetapkan dalam konstitusi
tentang Gereja. Pada mulanya ada diskusi mengenai penggunaan kata
kerasulan dalam judul. Bukankah para Uskup dipandang sebagai pengganti
para rasul, sehingga istilah kerasulan sebaiknya hanya dipakai untuk
para uskup dan tugas mereka? Tetapi istilah itu akhirnya dipertahankan
dengan argumentasi bahwa Gereja seluruhnya bersifat apostolic.
Apostolisitas merupakan satu dari keempat ciri dasar yang mewarnai
seluruh Gereja. Malah dalam dekrit itu sendiri satu kali para awam
disebut sebagai ‘rasul yang sejati’ (AA 5)
Secara khusus
Apostolicam Actuasitatem berbicara juga mengenai tugas kerasulan kaum
perempuan. ‘Karena zaman sekarang ini kaum perempuan semakin berperan
aktif dalam seluruh hidup masyarakat, maka sangat pentinglah bahwa
keikut-sertaan mereka diperluas, juga di pelbagai bidang kerasulan
Gereja’ (AA 9)
Dengan menetapkan
peran dan status awam di dalam Gereja secara baru, maka relasi antara
klerus dan awam mesti dipikirkan secara baru, karena relasi itu tidak
bisa lagi dengan begitu saja dimengerti menurut skema perintah ketaatan,
instruksi pelaksanaan, mengajarkan, mendengarkan. Bila para awam
mempunyai tugas dan peran aktif yang mereka peroleh dari Kristus, bukan
dari hierarki, kalau mereka mesti menjalankan tugas itu berdasarkan
tanggung jawab dan inisiatif mereka sendiri, maka skema lama itu tidak
cocok lagi.
Konsili berusaha
memberikan kerangka baru bagi relasi itu dalam gagasan Gereja sebagai
‘communio’ sebagai persekutuan. Menurut gagasan ini Gereja merupakan
suatu jaringan antara pelbagai pribadi yang saling membutuhkan, saling
melengkapi, saling memperkaya, saling menghargai, yang hanya dapat hidup
dalam interelasi satu dengan yang lain.
Kalau Gereja merupakan
suatu persekutuan, maka gambaran demikian membawa juga konsekuensi bagi
relasi antara klerus dengan kaum awam. Keduanya mesti menjalankan tugas
dan perannya masing-masing atas tanggung jawab masing-masing dan dengan
saling menghargai, agar Gereja bisa hidup dan berfungsi dengan baik.
Berulang kali para pejabat diajak agar mereka tidak saja menghargai
bakat dan karisma para awam, tetapi secara aktif mendesak dan menyiapkan
peluang agar pelbagai bakat dan karisma itu bisa dikembangkan dan
disumbangkan bagi kepentingan bersama. Saya ingin mengutip satu contoh
imbauan itu dari LG 37:
Hendaklah
para Gembala hierarkis mengakui dan memajukan martabat serta tanggung
jawab kaum awam dalam Gereja. Hendaklah nasehat mereka yang bijaksana
dimanfaatkan dengan suka hati, dan dengan penuh kepercayaan diserahkan
kepada mereka tugas-tugas dalam pengabdian kepada Gereja. Dan hendaklah
mereka diberi kebebasan dan keleluasaan untuk bertindak; bahkan mereka
pantas diberi hati, supaya secara spontan memulai kegiatan-kegiatan juga.
Akan tetapi pada
tempat ini perlu ditanya, apakah semuanya itu hanya peringatan saleh
yang sebaiknya diperhatikan para pejabat Gereja, tetapi yang tidak bisa
dituntut oleh kaum awam sebagai hak? Kalau sungguh bahwa Gereja pada
intinya merupakan suatu persekutuan, bila struktur ‘communio’ merupakan
struktur dasar Gereja, maka hukum Gereja mesti mencerminkan struktur
itu. Suatu hukum Gereja tidak bisa mengesahkan dan mewajibkan secara
legal seuatu struktur Gereja yang tidak sesuai dengan struktur dasar
Gereja. Dalam hal ini kita mesti mengemukakan pertanyaan serius terhadap
hukum gereja yang sedang berlaku. Ia sama sekali tidak mencerminkan
struktur dasar Gereja sebagai persekutuan. Seturut hukum itu segala
inisiatif di dalam Gereja, seluruh prosedur pengambilan keputusan tetap
semata-mata berada dalam tangan klerus, terutama para uskup. Semua dewan
yang dianjurkan atau diwajibkan di dalam Gereja Katolik bersifat
konsultatif dan tidak memiliki kuasa apapun, bergantung dari pastor atau
uskup; berapa jauh para pejabat Gereja mengikuti imbauan konsili
Vatikan II dan mendengarkan nasehat Konsili atau tidak. Atau kalau kita
perhatikan hukum yang berlaku menyangkut prosedur pemilihan uskup. Awam,
umat keuskupan hanya bisa secara pasif menerima calon yang ditetapkan
oleh Roma, tanpa ada kaum awam ditanya sedikitpun. Dalam hal ini kita
mesti katakan bahwa masih ada suatu kekurangan besar. Hukum yang ada
tidak mencerminkan gagasan teologis yang digariskan Konsili Vatikan II
sebagai struktur dasar Gereja, yakni ‘communion’.
Soal lain yang dalam
diskusi actual, dalam implementasi ajaran Konsili Vatikan II cenderung
mengebiri lagi peran dan status awam di dalam Gereja Katolik, ialah
gagasan mengenai ciri duniawi para awam. Menurut gagasan ini – yang
sebenarnya selalu muncul lagi sejak pertentangan penobatan (penetapan)
uskup – para awam menjalankan tugas mereka di tengah dunia, sedangkan
tugas intern gerejani, tugas mengembangkan Gereja adalah tugas klerus.
Konsili Vatikan II
tidak mengadakan pemisahan macam itu, tetapi sebaliknya dalam beberapa
teks berbicara mengenai tugas para awam di dunia dan Gereja. ‘Kaum awam
ikut serta mengemban tugas imamat, kenabian dan rajawi Kristus,
menunaikan bagian mereka dalam perutusan segenap Umat Allah dalam Gereja
dan di dunia’ (AA 2). Atau di tempat lain kita baca: ‘Dalam
melaksanakan perutusan Gereja itu kaum awam menunaikan kerasulan mereka
baik dalam Gereja maupun di tengah masyarakat, baik di bidang rohani
maupun dibidang duniawi’ (AA 5)
Memang benar konsili Vat II mengatakan bahwa para awam itu secara khusus diwarnai oleh cirr
i duniawi. Tetapi
menurut banyak pengamat pernyataan itu (misalnya LG 31) tidak merupakan
penilaian teologis, tetapi penggambaran sosiologis 13) Semua anggota
Gereja mesti menjalankan tugas perutusan Gereja, membawakan pewartaan
Kristus dan keselamatanNya ke tengah dunia dengan segenap diri dan
seluruh hidupnya. Para awam umumnya menjalankan profesi profan,
non-gerejani, maka penghayatan iman mereka yang mesti menyangkut segenap
hidup itu lebih banyak diwarnai oleh ciri duniawi, dalamnya mereka
berkecimpung dan menjalankan profesi mereka, dibanding dengan para
klerus yang menjalankan suatu profesi gerejani. Kalau konsili menyatakan
ciri duniawi sebagai ciri khas para awam, maka kita mesti mengerti hal
itu dalam arti bahwa juga peran mereka di dalam Gereja diwarnai oleh
pengalaman konkret mereka di tengah dunia, dan justru dari aspek ini
keterlibatan mereka dalam segala urusan gerejani penting sekali bagi
Gereja, agar Gereja bisa menghayati inti hakekatnya sendiri.
Karena itu kita mesti
memperhatikan ajaran konsili Vat II mengenai Gereja yang menurut
hakekatnya bersifat misioner. Gereja tidak ada untuk dirinya sendiri,
tetapi untuk dunia, untuk lingkungan dan masyarakat yang di dalamnya ia
hidup. Gereja seluruh umat Allah (klerus dan awam), mesti bertobat dan
bertobat, ditransformasi menjadi masyarakat baru, menjadi persekutuan
yang dijiwai Roh Allah. Sebagai masyarakat baru yang dijiwai Injil,
Gereja mesti hidup di tengah dunia, dengan membawa semangat Injil ke
dalam dunia, meresapkan semangat Yesus Kristus itu ke dalam segala
bidang dunia ini. Karena pada umumnya para awam lebih langsung
berkecimpung dalam pelbagai bidang dunia ini, maka mereka mempunyai
peluang dan tanggung jawab lebih besar untuk menjalankan tugas perutusan
Gereja itu.
Tetapi ini tidak
berarti bahwa dengan demikian mereka tidak mempunyai suara dalam hal
yang menyangkut penafsiran Injil dan pengaturan struktur intern
gerejani. Justru sebaliknya, karena Gereja seturut inti hakekatnya
berada untuk misi, bereksistensi dalam menjalankan tugas perutusannya,
maka mereka yang berada pada garis depan perutusan dan kerasulan itu,
para awam, mesti mempunyai suara yang menentukan dalam mengatur struktur
intern gerejani dan soal penafsiran Injil seturut kebutuhan zaman,
berarti seturut kebutuhan misi Gereja.
Jelas bahwa dalam hal
ini kita masih sangat kuat dipengaruhi perkembangan selama masa yang
panjang dalam sejarah Gereja, di mana klerus dan awam dipertentangkan
sebagai dua golongan, dan relasi mereka terutama dipandang dari
perspektif wewenang dan kuasa. Dan kita masih kurang berpikir seturut
gagasan Gereja sebagai persekutuan (communion) dan kurang pula mencari
bagaimana struktur Gereja harus di atur secara praktis dan yuridis agar
Gereja sungguh bisa menghayati hakikatnya sebagai persekutuan.
© pada penulis: Georg
Kirchberger, salah satu bagian yang ada dalam buku RANCANG BERSAMA –
Awam – Klerus, penerbit Ledalero, Maumere, 2006
Mengapa keberadaan dan peran AWAM dalam Gereja Katolik masih belum seperti harapan dari
KONSILI VATIKAN II ?
Faham
tentang awam dan klerus berkembang dari masa ke masa, dan ada faham di
masa silam yang tidak sesuai dengan faham Konsili Vatikan II, itulah
yang menyebabkan 'salah faham'.
Silahkan membaca sejarah ringkas
hubungan klerus - awam
dari masa ke masa
dalam buku
RANCANG BERSAMA
Awam - Klerus
Penerbit Ledalero, Maumere, 2006
Pesan di
SEMINARI TINGGI LEDALERO
Maumere 86152 - Tlp 0382 22898
email : penerbitledalero@yahoo.com
SILAHKAN KLIK DAN BACA DI BAWAH INI
DEKRIT TENTANG KERASULAN AWAM
PANGGILAN DAN MISI KAUM AWAM KATOLIK
DOKUMEN CHRISTIFIDELES LAICI - KAUM AWAM
DOA TAHUN IMAN
Ya Allah Tritunggal Mahakudus,
Bapa, Putra dan Roh Kudus,
kami umat-Mu bersyukur atas karunia iman
yang membawa kami pada keselamatan.
.
Semoga setiap kali merayakan Ekaristi,
iman kami semakin diteguhkan.
Semoga iman kami mendorong kami
untuk mewujudkan persaudaraan dengan sesama
dan melayani dengan tulus dan rendah hati.
.
Semoga kami tekun mendalami iman
dan makin meyakini Tuhan Yesus Kristus
sebagai Jalan, Kebenaran dan Hidup kami.
.
Bunda Maria, bunda kami semua,
doakanlah kami agar kami makin setia pada Puteramu
dan makin berbakti pada masyarakat dan bangsa.
.
Demi Kristus, Tuhan kami.
.
Amin.
(Didoakan setiap selesai perayaan Ekaristi mulai Oktober 2012-November 2013)
Pembukaan Tahun Iman, KWI Selenggarakan Seminar
.
Untuk
merayaan pembukaanTahun Iman yang dicanangkan oleh Paus Benedictus XVI
sekaligus sebagai peringatan 50 tahun dimulainya Konsili Vatikan II, kantor
Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) mengadakan seminar yang diselenggarakan
pada 11/10 di Kantor KWI –Jln.Cutmutiah 10- Jakarta Pusat.
Para
narasumber yang memberikan masukan-masukan inspiratif adalah P.Wim Van Der
Weiden, MSF yang menyajikan cerita (panorama) di sekitar Konsili Vatikan II.
Pada saat Konsili Vatikan II berlangsung (1962-1965) , Romo Wim , demikian
panggilan akrabnya, sedang belajar di Roma yang sekaligus diundang untuk
mendampingi para Uskup yang lagi bersidang. Tema utama dalam diskusi Konsiliar
adalah pembaruan gereja katolik agar lebih menjaman (aggiornamento).
"Hanya 20% para bapa Konsiliar yang terbuka terhadap pembaruan Gereja dan
mau berjuang untuk itu. Sebagian besar mereka berasal dari Eropa Tengah dan
Utara, Kanada dan para Uskup dari daerah misi. Sedangkan yang menolak pembaruan
gereja dan tetap berpegang pada pola menggereja tradisional juga berjumlah 20%
dari total para Uskup yang hadir. 60% memandang bahwa diperlukan pembaruan yang
terbatas tetapi tidak bersedia memperjuangkannya," ungkap Romo
Wim. Walaupun pada akhirnya lewat proses diskusi, perlahan-lahan terjadi
pertobatan dari pandangan konservatif kepada pandangan yang progresif yang
hasilnya dapat kita rasakan sekarang ini, demikian lanjut mantan Superior
General MSF ini.
Narasumber
yang kedua adalah Romo Eddy Kristiyanto, OFM yang memberikan gambaran sejarah
(aspek historis Konsili Vatikan II) dan Rm.Martin Chen Pr, tentang proyeksi
eklesiologi Konsili Vatikan II untuk Gereja Indonesia.
Kegiatan
ini diikuti oleh Para Staf Kantor Waligereja Indonesia, anggota Badan Pengurus
(BP) Komisi, Lembaga, Sekretariat, Departemen KWI, para Biarawan-wati, para
awam Katolik dan undangan. Acara seminar dibuka dengan misa konselebrasi yang
dipimpin oleh Mgr. J.Pujasumarta (Sekretaris Jendral KWI sekaligus Uskup Agung
Semarang) didampingi oleh Mgr. Agustinus Agus (Uskup Sintang), Mgr.Hilarius Moa
Nurak (Uskup Pangkalpinang), Mgr. Yos Suwatan (Uskup Manado), Mgr. Sunarko
(Uskup Purwokerto) dan yang kemudian bergabung juga Mgr. Michael Angkur (Uskup
Bogor).
Dalam
kotbahnya, Mgr.Pujasumarta menekankan pentingnya memperkokoh iman kita seperti
nasehat Yesus kepada wanita Samaria di Sumur Yakub: sudah tiba waktunya, kita
harus menyembah Allah bukan di gunung ini atau di tempat itu, tetapi di dalam
Roh dan Kebenaran yang adalah Yesus sendiri karena Dia adalah sumber air hidup
setiap umat kristiani. Diharapkan kegiatan ini menjadi ilham bagi setiap
peserta untuk mendalami dan menghidupi spirit Konsili Vatikan II dalam
kehidupan nyata (www.mirifica.net)
Langganan:
Postingan (Atom)