Rabu, 14 Maret 2012

Berawal dari Hutang

Kisah Nyata Seorang  Penjaja Seks Bebas
  
            Lia Permatasari, demikian wanita asal Solo ini disebut, terlihat duduk merenung dengan wajah gundah-gulana, diam membisu di sudut taman. Dua  tahun mendekam di sebuah panti rehabilitasi penanggulangan HIV AIDS di Surabaya, telah mengubah hidupnya yang sebelumnya suram menjadi kian baik. Sekurang-kurangnya ia semakin berkembang dalam kesadaran akan jati dirinya sebagai seorang wanita, ibu dari seorang gadis kecil berusia 2 tahun.

Ketika aku mencoba menemuinya, ia terkejut dan merasa minder ingin menjauh. Kehadiranku seperti mengingatkannya pada masa lalu hidupnya. Konon ia pernah dijauhi dan dianggap sampah” oleh masyarakat sekitar tempatnya karena positif mengidap penyakit HIV  AIDS.  Setelah mendapat penjelasan Petugas Medis dari panti tersebut, wanita paru  baya berusia 28 tahun ini pun perlahan berubah ramah menerima kehadiranku. Sekali-sekali senyum di wajahnya mengembang dan terlihat begitu tenang menyapaku serta menjawabi pertanyaan-pertanyaanku.
            Sudah menjadi konsumsi publik bahwa setiap penderita HIV AIDS sering mendapat „cap“ sebagai orang yang tidak bernilai atau ternoda karena menjadi „aib“ bagi orang-orang di sekitarnya, khususnya keluarga sendiri. HIV AIDS pada umumnya berkembang di kalangan  para pelaku seks bebas. Spesifiknya penderita HIV AIDS sering diidentikan dengan para „penjaja“ seks bebas. Umumnya situasi ini dipicu oleh sulitnya memenuhi kebutuhan finansial dalam tata kelola kehidupan serta ada yang jadi korban perdagangan wanita.  Situasi ekonomi yang serba sulit telah menyeret seorang Lia, sapaan akrab Lia Permatasari  untuk terjun dalam “dunia malam” kota Surabaya. Bermodalkan kecantikan dan tubuh yang proporsional, wanita yang memiliki wajah oriental ini kerap mendapatkan banyak pelanggan yang sebagian besar adalah orang-orang tua alias “om-om”.

Terjerat Hutang
            Berapa tahun menekuni dunia malam? Tanyaku membuka pembicaraan. Tiga tahun aku menjalani hidup sebagai pekerja seks. Semua itu aku lakukan karena kesulitan finansial. Pada saat itu aku terperangkap dalam banyak hutang yang harus dibayar. Ketika itu Aku telah memiliki suami dan seorang anak perempuan yang masih kecil, namun karena hutang itu, suamiku pergi meninggalkan aku. Sebelumnya aku bekerja di sebuah toko kosmetik di Surabaya, namun penghasilanku belum mencukupi untuk melunasi hutang. Aku terpaksa memilih jalan menjadi pekerja seks demi menyambung hidup aku dan anakku yang masih kecil. Keluargaku tidak mengetahui kalau aku bekerja “memperdagangkan tubuhku”. Mereka hanya tahu bahwa aku masih bekerja di salah satu toko kosmetik Surabaya.
Ada kalanya Aku juga berpikir untuk meninggalkan “dunia malam” ini jika semua hutangku sudah terbayarkan. Terkadang aku juga berkecil hati dan merasa menyesal ketika melakoni semua aktivitas seks bebas dengan melayani ‘om-om” yang membutuhkan kesenangan seksual. Tetapi apa arti penyesalan itu dibandingkan dengan hutang yang harus aku bayar? Ungkap Lia dengan nada memelas.
            Selama melakoni dunia malam, aku belajar bagaimana menjadi orang yang sabar. Aku sadar Tuhan tentu marah dan melihat semuanya, namun aku tidak dapat berbuat apa-apa selain memuaskan nafsu “om-om” yang menikmati tubuhku demi menyelesaikan hutang-hutangku. Pernah aku menangis, namun mengingat anakku satu-satunya membuat aku semakin tegar menjalani semua itu. Seru Lia sambil menunjukkan foto seorang anak kecil yang cantik sedang tersenyum dalam kamera Handphone-nya. “ini anak aku, masih kecil dan cantik” katanya.

Anakku tinggal dengan ibuku di Solo, dan aku sering menelpon ketika aku merindukannya. Aku selalu berharap anakku kelak tidak mengalami hidup sebagaimana aku alami. Aku tidak ingin ia tahu betapa terpuruknya ibunya. Itulah sebabnya aku ingin sekali membangun suatu hidup baru di kemudian hari setelah semua ini berakhir. Aku merasa sangat bersalah dan tidak berdaya. Dalam situasi batin demikian aku pun menyempatkan diri untuk berdoa kepada Tuhan atas semua yang aku jalani. Aku menyadari sungguh bahwa jalan yang telah aku ambil bukanlah jalan terbaik dalam sejarah hidupku. Pungkas wanita berambut panjang tersebut sambil menundukkan kepala mengisyaratkan penyesalan yang sangat mendalam. Sejenak air matanya jatuh membasahi raut wajahnya yang kusam.

Hari Esok adalah Harapan
            Mendekam di panti rehabilitasi HIV AIDS tidak membuat wanita muda ini merasa terpenjara. Di sini ia mendapat kesempatan untuk mengekspresikan dirinya, mengungkapkan isi hatinya yang terdalam akan suatu situasi kehidupan yang dialaminya. Banyak sahabat dan kenalan yang senasib dengannya, sehingga ia dapat berbagi suka dan duka bersama mereka. Semangat hidupnya semakin terus diasah dan diperdalam dengan berbagai aktivitas hidup. Berangsur-angsur Lia Permatasari diajak untuk menyadari bahwa masih ada hari esok untuk memulai sesuatu yang baru, memulai suatu yang jauh lebih baik. Dengan berpegang pada prinsip “hari esok adalah harapan“, Lia berusaha membangkitkan dalam dirinya berbagai cita-cita dan impian. Khususnya ia ingin fokuskan dirinya dan hidupnya bagi tumbuh kembang putri kesayangannya. Rasa penyesalan yang besar sering menyelimuti batinnya, namun penyesalan tiada berarti tanpa usaha untuk mau kembali di jalan yang benar. Oleh karena itulah, wanita cantik ini  menanamkan niat sucinya untuk bangkit dari situasi terpuruk ini.
            Bermacam-macam perasaan berkecamuk dalam pikiran dan perasaan Lia. Terutama perasaan tidak berguna dan kehilangan arti hidup yang paling mendasar. Untuk mengatasi perasaan-perasaan tersebut, pihak panti rehabilitasi mencanangkan aneka kegiatan yang bermanfaat untuk  membangkitkan semangat hidup yang telah hampa. Di Panti rehabilitasi ini, Lia selalu disibukKan dengan aneka kegiatan yang berguna bagi kehidupan, seperti bhakti sosial. Kegiatan di sini membuat aku merasa berguna bagi sesama.

Aku tidak lagi harus minder dan takut dengan segala cemoohan, sebab aku sadar bahwa semua itu adalah  cara lain orang men-support hidupku untuk menjadi lebih baik. Aku bersyukur dapat memperoleh kesempatan untuk membaharui hidupku hingga saat ini. Keluargaku belum tahu aku berada di sini. Suatu waktu nanti aku akan tunjukkan kepada mereka bahwa aku mampu menjadi yang terbaik bagi mereka. Tegas Lia penuh keyakinan.
            Menyinggung peran keluarga, Lia berpesan bahwa lingkungan yang paling menentukan perkembangan dan kejatuhan hidup kita ialah keluarga. Terkadang keluarga juga sering mengabaikan kita, untuk itu kita tidak boleh menyerah, sebelum akhirnya kita harus berhadapan dengan situasi-situasi tersulit dalam mengambil keputusan. Setiap keputusan mengandung konsekuensi yang tidak kecil, tetapi kita tetap harus memilih jalan apa saja pun dalam situasi keterpurukan. Banyak sekali kisah hidupku yang bisa aku share, namun nanti waktunya tidak cukup. Aku harus segera kembali untuk melanjutkan kegiatanku. Terima kasih telah mendengarkan kisahku. Tutup Lia sambil menyodorkan tangannya menjabat tanganku. (Grantes-Suara Maumere)

1 komentar:

  1. Realitas kehidupan ;p, gak dulu gak sekarang, justru sekarang makin banyak.

    BalasHapus