KEUTAMAAN TEOLOGAL: RELASI IMAN, PENGHARAPAN DAN KASIH

Oleh: Antonius Primus

1.      Iman
            Apakah iman itu? Iman merupakan suatu ungkapan penyerahan diri yang total kepada Allah, yang diimani. Iman merupakan suatu kekuatan adikodrati yang menggerakan akal budi manusia untuk membangun suatu relasi dengan Allah dalam misteri-misteri-Nya. Iman mengandaikan adanya peng-harapan. Orang yang tidak beriman adalah orang yang tidak memiliki pengharapan, sehingga banyak orang yang tidak memiliki pengharapan cendrung mengandalkan kekuatannya sendiri dalam me-mecahkan persoalan hidup. Pada akhirnya mereka harus mengakui diri tidak memiliki kekuatan apa-apa dan makna hidup mereka pun hanya berhenti pada kematian dan putus asa. Pengharapan yang dimaksudkan dalam hal ini, bukan sekedar pengharapan yang biasa, seperti seorang pemuda yang mengharapkan akan memperoleh pekerjaan dari usahanya melamar kerja. Pengharapan bukan terbatas pada aktivitas duniawi. Pengharapan dalam hal ini ialah pengharapan akan kehidupan kekal bersama Kristus. Iman akan Kristus merupakan dasar kehidupan Kristen, yang mewahyukan kebenaran bahwa kita telah diselamatkan oleh Allah melalui Yesus Kristus. Iman akan Kristus menjadi suatu fondasi bagi pembangunan hidup kristiani, teladan dalam mewujudkan suatu semangat hidup yang tiada akhir. Tanpa kehadiran Kristus, kehidupan umat kristiani akan sia-sia dan mengalami kehampaan, karena tanpa Allah di dalam dunia. Inkarnasi Allah dalam Yesus Kristus yang hidup, berkarya, sengsara, wafat dan bangkit memberikan harapan baru bagi umat dalam menghadapi persoalan hidup, terutama dalam berhadapan dengan dosa dan kematian. Demikianlah iman membawa setiap orang kepada suatu pengenalan hidup yang tiada akhir atau kehidupan abadi bersama dan dalam Allah.
2.      Harapan
            Penebusan Yesus Kristus  tidak terjadi secara cuma-cuma, tetapi mengandaikan kita telah di-berikan harapan. Harapan yang didasarkan pada iman akan Allah, Yang Mahakuasa, yang memberikan rahmat dan keadilan bagi umat-Nya. Harapan menggerakan hati kita untuk meletakkan hidup kita pada Allah, terutama melalui doa sebagai ungkapan bahwa kita memiliki harapan. Harapan bukan suatu sikap pasif, tetapi suatu semangat yang mengubah hidup kita dalam membangun kerajaan cinta kasih dan kedamaian. Harapan kita dibentuk oleh Allah melalui percobaan, godaan dan penderitaan, yang semakin mengarahkan kita pada-Nya. Harapan kita disempurnakan dalam ujian agar kita dapat menemukan makna terdalam hidup kita yang sebenarnya. Kesempurnaan pengharapan tercermin dalam hidup Yesus Kristus, terutama dalam sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya. Yesus Kristus rela menderita sengsara bu-kan karena Ia mampu menanggungnya, tetapi terlebih karena Ia memiliki pengharapan akan cinta Bapa. Semangat-Nya dalam menghadapi penderitaan meyakinkan kita bahwa harapan yang diarahkan kepada Allah, memiliki daya, kekuatan yang melampaui batas-batas penderitaan bahkan kematian.  Bukti semua ini adalah kebangkitan-Nya yang menunjukkan kebesaran dan kemahakuasaan Allah, menunjukkan kegenapan pengharapan. Konsekuensinya, kita tidak pernah boleh merasa putus asa/putus harapan atau larut dalam kesedihan dan duka, karena hal tersebut membuat segala usaha, pengorbanan hidup kita akan sia-sia. Harapan kita pun harus disempurnakan dalam harapan akan rahmat dan keadilan Allah yang dinyatakan dalam diri Yesus Kristus. Kita hidup seraya menantikan penyataan Kerajaan Allah (bdk. Mat 11:12-13; Rm 8:19). Harapan yang tertinggi ialah harapan akan persatuan dengan Allah, suatu kebahagiaan sejati yang harus dimulai sejak di dunia ini dan akan berpuncak pada hari pengadilan terakhir. Harapan bukanlah suatu sikap optimisme, seolah-olah menuntut sesuatu itu harus terjadi. Harapan merupakan suatu sikap menerima kebenaran-kebenaran Wahyu Ilahi, yang mengarahkan kita pada jawaban akan kasih Allah dan mengamalkan kasih itu kepada sesama. Dalam hal ini harapan kita digerakan oleh rahmat Allah. Harapan kita bukanlah sikap pasif melainkan sikap aktif kita dalam melanjutkan karya Cinta Allah di dunia sampai kedatangan-Nya kembali. 

3.      Kasih
            Harapan iman Kristen merupakan suatu harapan bersama seluruh umat manusia, karena ke-hidupan kita sebagaimana yang diwartakan oleh Yesus  agar kita dapat menjadi manusia yang hidup bagi sesama. Kata kunci untuk ini ialah kasih dan Kristus telah menunjukan bagaimana harus mengasihi. Kasih harus mendasari hidup iman dan harapan kita, sebab kasih itu menghubungkan kita dengan sesama dan orang-orang yang kita kasihi bahkan sampai sesudah kematian. Wujud nyata dari harapan iman kita ialah tindakan kasih terhadap sesama. Kita berani melakukan tindakan kasih, karena kita percaya akan ada harapan baru karena iman akan kasih Allah.
            Kasih merupakan sikap hati yang terbuka untuk menerima dan melayani sesama. Tindakan mengasihi merupakan suatu tindakan aktif  dimana hati kita tergerak untuk mengusahakan kebaikan kepada sesama, terutama mereka yang membutuhkan kebaikan. Keutamaan dari tindakan mengasihi adalah kerelaan untuk berkorban. Dalam situasi sulit ekspresi kasih kita semakin dipertajam dan diperdalam. Kenyataan menunjukkan bahwa tidak sedikit orang yang menyangkal diri untuk menolak berbuat kasih kepada sesama ketika berhadapan dengan kesulitan hidup yang berat. Banyak orang cendrung mengasihi dari apa yang kelebihan dari dirinya. Sulit menemukan orang yang mengasihi dari kekurangan, dimana tuntutan pengorbanan diri yang total perlu diwujudkan dari kasih yang total. Demikianlah kita sebagai umat Kristiani, dipanggil untuk mengasihi sampai kesudahan, sampai pada titik pemberian diri yang total bagi sesama.
4.         Harapan akan Pengadilan Terakhir: Suatu Problem?
            Pembahasan mengenai keutamaan pengharapan dalam iman Katolik mengalami kesulitan ketika kita memasuki pemahaman mengenai harapan akan pengadilan terakhir, khususnya dalam zaman modern ini. Kapan pengadilan terakhir dimulai? Bagaimana situasi atau apa yang terjadi ketika pengadilan terakhir tiba? Kenyataan akan pengadilan terakhir dewasa ini kerap dihubungkan dengan pengalaman penderitaan manusia zaman ini. Dunia penderitaan manusia dewasa ini menunjukan pertentangan antara cinta dan keadilan Allah. Bagaimana Allah dapat berlaku adil, sementara umat-Nya mengalami penderitaan di dunia? Perlukah adanya pengadilan terakhir, sementara manusia di dunia menderita? Ajaran Katolik, mengambil bentuk ajaran Yahudi awali, mengajarkan bahwa sesudah kematian, semua manusia akan berada dalam api penyucian seraya menantikan saat pengadilan terakhir. Ketika itu Mesias akan datang dan mengadili setiap orang sesuai dengan apa yang ia lakukan di dunia selama hidupnya. Mesias itu ialah Yesus Kristus sendiri, Hakim dan Penyelamat. Perjumpaan dengan Yesus merupakan suatu perjumpaan yang menentukan hidup kita selanjutnya. Kita akan diadili sesuai dengan segala apa yang telah kita bangun dalam hidup kita. Pengadilan Allah sekaligus merupakan penyataan rahmat dan keadilan Allah. Kita telah menerima rahmat melalui pembaptisan yang membuat kita menjadi anak-anak Allah, namun rahmat itu tidak membatalkan segala tindakan kita yang jahat di dunia. Rahmat tidak membatalkan keadilan, karena rahmat diberikan agar kita membangun pengharapan kita dalam menantikan  hari pengadilan Tuhan. Kapan hari itu dan bagaimana terjadinya kita tidak tahu. Tetapi kita menyadari dalam iman, bahwa saat pengadilan itu sungguh-sungguh ada dan akan kita alami. 
            Oleh karena itu pertanyaan tentang kapan dan bagaimana terjadinya hari pengadilan itu, sebenarnya tidak terlalu penting. Hal yang paling penting ialah bagaimana kita membangun sikap hidup kita  yang baik tanpa lepas dari iman kita akan Allah.  Karena hidup tanpa Allah adalah hidup tanpa harapan dan kita tidak akan dapat menghadapi penderitaan hidup jika kita meninggalkan Allah. Demikianlah hidup beriman kita harus sungguh-sungguh mengubah hidup kita dalam relasi dengan sesama dan terutama dengan Allah. Kita boleh berharap akan keselamatan di kehidupan yang akan datang, namun harapan itu perlu diwujudnyatakan dalam tindakan kasih kepada sesama dan terutama pada Allah. Karena pengadilan Allah yang akan kita hadapi didasarkan pada apa yang telah kita perbuat dalam hidup di dunia, dalam relasi dengan Allah dan sesama, bahkan sampai kematian pun kita masih diperkenankan untuk mendoakan sesama kita yang masih berada di api penyucian. Doktrin mengenai api penyucian, kita tahu dari Tradisi Gereja, namun secara nyata kita sebenarnya tidak tahu. Apakah api penyucian itu merupakan tempat dilangsungkannya pengadilan terakhir? Kita tidak tahu. Bagaimana menjelaskannya, sementara kita tidak mengetahuinya? Yang kita dapat ketahui ialah bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensinya masing-masing. Untuk itulah terkadang Allah membiarkan kita menanggung sendiri akibat dari perbuatan kita dalam dunia. Pertanyaan penting bagi seorang Kristiani ialah bagaimana cara saya hidup dan menghayati imanku dalam cara hidupku tersebut?