SEMINAR: “KRISIS DALAM HIDUP MEMBIARA” Bersama P. Dr. Paul Suparno, SJ.

Krisis dalam hidup membiara umumnya terjadi sesudah masa Novisiat sampai dengan Kaul Kekal/tahbisan; atau beberapa tahun sesudah kaul Kekal. Kenyataan ini mirip dengan krisis yang dialami oleh remaja dalam kehidupan mereka. Demikian ungkap P. Paul Suparno dalam seminar tentang “Krisis Dalam Hidup membiara”.
P. DR. Paul Suparno, SJ
 Seminar yang diadakan pada hari Jumat, 11 September 2009 yang lalu terselenggara berkat kerjasama Penerbit Dioma, Kana (Majalah Keluarga), UNIKA Widya Karya Malang, Universitas Sanata Darma Yogyakarta, serta Sejahtera FM tersebut dihadiri oleh sebagian besar biarawan, biarawati seperti ALMA, Suster Sang Timur, Suster Pasionis, Suster Hermanas Carmelit, PK, S.Sp.S, Ordo Carmel, para Frater Projo, CM, SMM, CSE, SVD, beberapa imam dan beberapa di antaranya adalah kaum awam. Seminar yang dipandu oleh salah seorang Biarawati Kongregasi Suster Pasionis ini merupakan salah satu bentuk kepedulian terhadap pendidikan calon imam, biarawan, biarawati yang dewasa ini mengalami kompleksitas tantangan globalisasi sehingga berdampak pada krisis panggilan hidup membiara. Dalam seminar yang berlangsung di aula UNIKA Widya Karya tersebut, P. Paul Suparno menggambarkan bentuk-bentuk krisis yang  cendrung hadir dalam diri manusia, khususnya dalam konteks hidup membiara. Krisis-krisis tersebut meliputi: Krisis identitas, krisis sosial, kerjasama, komunitas, krisis pekerjaan, krisis seksualitas awal yang diawali dengan jatuh cinta, serta  krisis dalam hidup doa/hidup rohani. Bentuk-bentuk krisis di atas dirangkum dalam beberapa tahap perkembangan krisis, mengikuti psikologi perkembangan hidup manusia, yakni  Krisis Medior (Krisis Tengah), dan Krisis Usia Lanjut.
Krisis Medior umumnya dialami oleh biarawan, biarawati, imam yang sudah lama berkarya dalam suatu kongregasi atau tarekat religius. Sebagian besar dari mereka berusia sekitar 35-60 tahun. Gejala yang sering muncul antara lain, hati tidak tenang, gelisah, mudah berubah sikap, psikologisnya tidak stabil dan mudah berubah, merasa tidak nyaman dengan tubuhnya/fisiknya, penampilannya dan sering sakit-sakitan. Terkadang pula muncul rasa kesepiaan, kekeringan, kosong, mudah merasa tidak puas dalam banyak hal, bahkan ada yang berkeinginan lari dari biara karena merasa bukan panggilannya, dorongan intimacy makin kuat dan kecendrungan untuk hidup berkeluarga pun mulai merasuk dalam pikiran. Situasi dan kondisi demikian, menurut P. Dr. Paul Suparno, SJ., disebabkan oleh beberapa faktor berikut: kondisi fisik yang makin hari makin tua sehingga kecendrungan untuk terserang penyakit menjadi lebih besar, kesulitan menerima kenyataan atau keadaan diri karena idealismenya terlalu tinggi/tidak tercapai, mengalami kendala dalam menghayati kaul-kaul hidup membiara, mengalami tekanan pada pekerjaan sehingga banyak kegagalan yang diperoleh, pengalaman menopause dan andropause yang berimbas pada persoalan pilihan akhir hidup manusia dan kesetiaan pada pilihan tersebut. Banyak orang mengalami gelisah dan stress menyikapi kenyataan tersebut. Keadaan yang juga selalu hadir mewarnai hidup para biarawan dan biarawati adalah kesepian, kesendirian, Loneliness, krisis kekuasaan, kekayaan, popularitas, krisis keturunan, selibat,
Sementara itu  berhubungan dengan Krisis usia lanjut, P. Paul Suparno, SJ.,  mengatakan bahwa krisis usia lanjut itu terjadi ketika menjelang masa pensiunan dan menjelang kematian. Banyak orang yang berusia sekitar 60-65 tahun mengalami krisis yang demikian. mereka kerap mudah mengeluh tentang dirinya, terutama fisiknya sering capek, ngantuk, loyo, keadaan psikisnya tidak stabil, mudah berubah gagasan, mudah marah,tidak puas, merasa tidak digunakan lagi, merasa dibuang, tidak tahan dalam situasi sama terlalu lama, merasa ditinggalkan semua orang. Penyebab semua itu tidak lain adalah kenyataan keadaan fisik yang semakin menurun (pendengaran, penglihatan, ingatan, daya tahan, refleks, dll), sakit-sakitan; tergantung obat; tidak optimal ekspresikan diri, sakit berkepanjangan, tidak sembuh-sembuh, seksualitas lemah, tidak ada gairah, merasa tidak diberi tanggungjawab, power syndrome, tidak siap menghadapi kematian, tidak dapat menerima menjadi tua, tidak berdaya, tidak jadi orang utama.
Menghadapi Krisis
Menyikapi berbagai krisis yang menimpa kehidupan membiara zaman sekarang, P. Dr. Paul Suparno, SJ., memberikan beberapa solusi menghadapi krisis dalam hidup membiara. Hal terutama ialah membangun konsep pemahaman tentang diri dan mengembangkan sikap realistis terhadap situasi dan kondisi hidup yang berubah-ubah. Setiap orang perlu mampu belajar menerima diri seperti apa adanya, termasuk kekurangan dan kegagalan, bersikap seimbang dalam berpikir, bertindak, ambil keputusan, kembangkan generativity yang sehat, membangun intimacy (relasi) yang sehat, bertahan. Di samping itu juga dibutuhkan kesadaran akan pentingnya regenerasi dari yang tua kepada yang muda, mengembangkan hobi di masa tua, diberi tugas ringan sebagai tanda berguna, mendekatkan diri dengan Tuhan, makin hidup kontemplatif: memupuk keseimbangan hidup doa dan kerja serta discernment (pembedaan roh).
Dalam menghadapi krisis orang membutuhkan kedamaian hidup, lantas pa yang perlu dilakukan? Beberapa sikap yang dapat dipupuk dalam diri manusia, yakni buang rasa sakit hati, luka batin, mengampuni siapapun yang salah, menyakiti, memusuhi, bangun kedamaian dengan siapapun, melihat seluruh hidup, yang lemah dimohonkan ampun, bangun komunio, persatuan dengan semua.
Salah satu upaya menghadapi krisis ialah dengan membangun sikap syukur. Dalam menghadapi situasi kondisi masa tua seseorang perlu mensyukuri apa yang sedang dialami dan diperolehnya, terutama mensyukuri usia lanjut. Masa usia lanjut merupakan masa untuk mengucapkan syukur atas kasih Tuhan dalam seluruh hidup (bakat, talenta, kongregasi, panggilan, dll), bersyukur atas kasih Tuhan yang telah kita berikan kepada orang lain (dalam perutusan), masa tua juga menjadi kesempatan untuk bersaksi bahwa panggilan Tuhan itu serius, tidak main-main. Inilah suatu kesaksian kesetiaan  kepada Tuhan.
Seminar yang  begitu menarik tersebut mendapat antusiasme semua peserta. Ini terasa terutama ketika para peserta diberi kesempatan untuk bertanya. Salah satu pertanyaan bersoal mengenai keadaan orang yang “bersarang dalam biara”. Menurut P. Paul Suparno, SJ., Ungkapan “bersarang dalam biara” mencakup orang yang  hidup dalam biara tetapi tidak hidup dalam semangat membiara. Biasanya mereka takut untuk dikeluarkan atau keluar dari biara (takut mengundurkan diri dari biara), misalnya yang berusia sekitar 60-an tahun ke atas.  Ada macam-macam alasan, sehingga tidak berani memutuskan keluar dari biara; seperti takut nanti tidak diterima oleh keluarga, dijauhi  umat, karena adat/tradisi yang cendrung memaksa atau bahkan takut diancam dibunuh kalau keluar dari biara. Kata P. Dr. Paul Suparno, “kalau ada orang seperti ini, sering saya nasehatkan supaya keluar dari biara, tetapi ke tempat lain. Mungkin bisa mendapat jodoh di sana”. Lebih lanjut doktor  Fisika yang aktif menjadi dosen di Universitas Sanata Darma Yogyakarta tersebut menambahkan, “Orang harus menerima kalau ada sesama di dalam biara yang seperti itu”. Akhirnya seminar yang berlangsung sejak pkl. 09.30 hingga 13.00 diakhiri dengan  pembagian doorprize bagi para peserta yang mampu menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh P.Dr. Paul Suparno, SJ.  (Antonius Primus).