Senin, 01 Agustus 2011

SARASEHAN “Menyikapi Carut-Marut Bangsa dan Melihat Tanda-Tanda Zaman”



Situasi dan kondisi politik bangsa Indonesia dewasa ini sangat memprihatinkan. Begitu banyak kasus dan problem yang tumpang tindih mewarnai kehidupan bangsa Indonesia, terutama dalam arena pemerintahan. Tidak sedikit pejabat yang terbelit berbagai perkara Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Kondisi tersebut bukan tidak mungkin menjadi penyebab, bangsa Indonesia menjadi bangsa yang gagal dalam mensejahterakan rakyatnya. Menyikapi situasi dan kondisi tersebut, Forum Masyarakat Katolik Indonesia (FMKI) Wilayah Keuskupan Malang menggelar Sarasehan bertajuk “Menyikapi Carut-Marut Bangsa dan Melihat tanda-tanda Zaman”, yang dilaksanakan pada hari Jumat 29 Juli 2011 lalu. Sarasehan yang dimulai pada pukul 16.00 tersebut menghadirkan narasumber Dra. Hj. Sri Rahayu (Anggota DPR RI), Drs. Ignatius Sigit Setiawan (Anggota DPRD Prov. Jawa Timur) serta Romo Andi Wibowo, Pr (Vikep Kategorial Keuskupan Malang).
Sarasehan yang dijadwalkan berlangsung hingga pukul 21.00 tersebut, dihadiri peserta dari berbagai elemen masyarakat, seperti dari kelompok PMKRI, WKRI, serta tokoh masyarakat yang pemerhati masalah politik, yang umumnya beragama Katolik. dr. Himawan Lukito, MM., ketika membuka Sarasehan bernuansa politik tersebut mengemukakan realitas bangsa Indonesia di mata Internasional. “Bangsa ini mengalami carut-marut!” seru dokter yang juga aktif sebagai dosen tersebut. “salah satu pendapat yang muncul berasal dari penelitian lembaga internasional mengenai kriteria negara gagal. Hasil penelitian lembaga internasional bahwa ada 177 negara yang masuk dalam kategori negara gagal. Negara yang paling bagus adalah Finlandia, sementara yang terburuk ialah Somalia. Indonesia menduduki posisi ke-60 negara yang gagal. Ini harus kita waspadai” tambah dr. Himawan. Beliau menambahkan ada beberapa acuan negara gagal yakni:
  1. Tidak adanya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahnya
  2. Jaminan keamanan hampir tidak ada bagi masyarakatnya. Kenyataan menunjukan banyak terjadi konflik horisontal di mana-mana, pertikaian antara agama seperti tragedi Dampit, pertikaian antara kelompok.
  3. Masalah pendidikan dan kesehatan yang seolah-olah terlihat baik. Ada himbauan sekolah gratis misalnya, ternyata di belakang bayarannya mahal. Masalah kesehatan juga muncul banyak program yang hanya iming-iming seperti, jampersal (jaminan persalinan) dan Keluarga Berencana. Angka kematian Ibu dan anak makin meningkat.
Salah satu keprihatinan terhadap situasi Indonesia, pungkas dr. Himawan ialah soal Pancasila yang perlahan mulai tersingkirkan. Untuk itu harapan dokter tersebut agar pancasila mendapat perhatian, dihidupkan kembali, menjadi pedoman. Ini perlu mendapat perhatian juga bagi umat Katolik.
Melihat situasi Indonesia yang demikian, Drs. Ignasius Sigit membeberkan bahwa stigma DPR sekarang ini citranya buruk. “Meskipun demikian tetap masih ada orang baik dan masih bisa di percaya untuk bekerja di DPR. Boleh dikatakan kemerosotan telah terjadi di berbagai bidang, IPOLEKSOSBUDHANKAM. Pancasila semakin jauh dari tolak ukur bangsa Indonesia. Kegaduhan politik sangat luar biasa. Banyak mafia di Indonesia, seperti mafia kasus Bank Century, dan lain sebagainya” tutur mantan anggota DPRD Kota Malang tersebut. Drs. Ignasius Sigit juga menyampaikan masalah kepemimpinan menjadi kendala. “Masalah kepemimpinan, saat ini kita butuh pemimpin yang kuat, berani dan jujur. Kita bangga punya pemimpin yang tegas, kuat dan jujur, berani menanggung resiko” seru politisi yang juga seorang tokoh Katolik tersebut. Untuk itu ia menghimbau agar perjuangan setiap partai perlu mengusung visi misi pro kerakyatan. Ke depannya bagaimana visi-misi partai dapat menjadi bagian dari program pemerintah.
Dalam waktu yang berbeda Dra. Hj. Sri Rahayu mengungkap situasi carut-marut yang terjadi di pemerintahan, khususnya di kementerian dan DPR RI. Beliau mengungkapkan ada banyak kebijakan pemerintah pusat yang tidak sampai ke daerah-daerah. “Kenyataan tidak semua kabupaten/provinsi yang bergantung pada pusat dalam hal menerima bantuan. Kalau setiap provinsi/kabupaten/walikota bergantung pada pusat maka kebijakan pusat tidak akan sampai ke daerah. Rata-rata kebijakan pusat tidak memikirkan soal bagaimana masyarakat sejahtera, namun lebih pada memikirkan kepentingan sendiri atau kelompoknya” ujar wanita yang juga sahabat politisi Rieke Diah Pitaloka tersebut. “ketika ambil kebijakan, terjadi banyak benturan di DPR RI. Persoalan di pusat itu merupakan akumulasi dari kepentingan masing-masing orang. Ego sektoral pusat masih sangat kental. Ini menimbulkan program yang terpecah belah. Misalnya saja hampir semua kementerian memiliki bantuan sosial, sehingga tidak ada keseimbangan antara kebijakan dengan kenyataan. Tidak ada koordinasi yang terpusat. Akibatnya ada daerah yang mendapat bantuan sampai berkali-kali. Di samping itu juga tidak ada kerja sama antara pemimpin dengan anggota” kata politisi yang pernah meniti karir politiknya di DPR Kabupaten Malang.
pada kesempatan tanya jawab, sebagian besar peserta mempersoalkan kemungkinan adanya degradasi moral yang merangsang tindakan korupsi meraja lela. Menjawabi keluhan peserta, Drs. Sigit menyampaikan beberapa terobosan yang bisa dicapai, yakni pendidikan moral/pembentukan karakter sangat penting untuk diperhatikan. “Sekarang pendidikan cendrung pada teknologi, sementara bidang pembentukan moral kurang mendapat perhatian. Di samping itu, hilangnya tokoh-tokoh yang menjadi panutan/teladan terutama politikus Katolik seperti Almarhum Frans seda dan IJ Kasimo. Selain itu instruksi pemimpin sering tidak diikuti dan ditambah dengan saling melempar tanggung jawab di antara kementerian dalam menangani masalah” ucap Drs. Sigit. Ke depannya, Drs. Sigit menghimbau agar perlunya kaderisasi, terutama dalam lingkup masyarakat Katolik. yang menjadi tantangan kita saat ini adalah kecendrungan mengatakan politik itu kotor. Dra. Sri rahayu menambahkan bahwa masalah degradasi moral sering dibicarakan di Komisi X DPR RI. “Pembentukan karakter dimulai di usia sekolah. Umumnya yang diajarkan di sekolah bukan nilai pengetahuan yang bukan pokok materi. Misalnya dalam pelajaran sejarah, siswa cendrung menghafal tahun perjuangan Diponegoro tetapi tidak diajarkan apa nilai yang harus dipetik dari perjuangan itu? Pembentukan karakter merupakan filter yang harus dimiliki masyarakat” ujar Politikus yang juga aktivis perempuan tersebut. Bertolak dari persoalan tersebut Dra. Sri Rahayu menjelaskan pentingnya pendidikan moral, seperti PPKN, PSPB. Namun ia menyesalkan bahwa negara kita ternyata memegang paham liberalis dan kapitalis. Hampir semua kebijakan didasarkan pada permintaan pasar. Untuk itu saat ini pemerintah sedang mengadakan rancangan Undang-Undang pendidikan, sehingga Dra. Siti Rahayu meminta siapa saja yang ingin menyampaiakan usul/saran untuk pembentukan UU Pendidikan bisa segera menyampaikan lewat instansi pemerintahan.
Pada kesempatan terakhir, Rm. Andi Wibowo, Pr. Menyimpulkan situasi carut-marut bangsa dalam banyolan politik praktisnya yakni situasi bangsa bukan lagi pancasila tetapi pancasial, sila ketuhanan diubah menjadi keuangan yang mahakuasa, permusyawaratan sosial menjadi pemelaratan sosial, muncul pula bisnis politik, diktator. “kembali ke Pancasila merupakan tugas kita, bukan hanya umat Katolik tetapi juga semua kita!” seru Rm. Andi. “Rakyat mengharapkan perjuangan politikus. Semoga masih ada harapan meski situasi bangsa yang carut-marut. Kalau masih ada politikus yang baik tunjukan buktinya. Pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang selain mempunyai arah yang jelas, juga pemimpin yang ber-Tuhan!” kata Rm. Andi di akhir sarasehan diiringi tepuk tangan peserta. Terlihat para peserta begitu antusiasme mendengarkan setiap pendapat yang terlontar. Tidak ketinggalan juga beberapa kaum muda yang ikut dalam menyampaikan suaranya. Demikian bagaimana situasi carut-marut bangsa yang cendrung menunjukan tanda-tanda ke arah kehancuran. Meskipun demikian harapan akan suatu zaman yang lebih baik selalu menjadi kekuatan untuk membangun bangsa Indonesia yang lebih baik lagi. (Anthoni Primus)

1 komentar:

  1. Saatnya para imam terlibat dalam dunia politik yaitu menjaga etika politik, etika mengambil keputusan yaitu pengambilan keputusan yang bersumber pada kepentingan umum (bonnum communae). Namun para imam tetap di larang dalam politik praktis.

    BalasHapus