Rabu, 03 Agustus 2011

Pastor Markus Solo Kewuta, SVD: Misionaris Lintas Agama

Menjadi bagian dari anggota dewan Kepausan di  vatikan merupakan suatu  pengalaman yang mengejutkan bagi seorang Markus Solo Kewuta. Mengapa tidak?  Hal  ini  mengingat  fakta bahwa bagi seorang Indonesia untuk menduduki salah satu kursi penting di kepausan bukanlah hal yang mudah, Namun Pastor Markus Solo Kewuta, SVD membuktikan ketidakmungkinan tersebut menjadi suatu hal yang sangat mungkin. Imam SVD kelahiran 04 Agustus 1968 dari kampung kecil Lewouran yang berpenduduk sekitar 700-an orang, di wilayah Flores Timur  tersebut   mengisahkan  perjalanan hidupnya menggapai kursi Vatikan ketika dihubungi Primus, Wartawan  Majalah Keluarga Kana di sela-sela kesibukannya membangun dialog lintas agama.

    Di dalam keluarga, Pastor Markus Solo, tergolong anak Yang sederhana. Meskipun orangtuanya hanya berprofesi petani, tidak melemahkan semangatnya untuk terus berjuang menggapai cita-citanya. Putra dari Nikolaus (Alm) dan Gertrud (Almh) ini menceritakan semangat orangtuanya yang  begitu besar akhirnya mampu mengantar Ia dan saudara sulungnya menjadi misionaris, “Ayah saya petani sederhana seperti banyak petani lain di Flores Timur. Berkat kerajinan dan keuletannya dalam membudidaya  dan memasarkan segala   sesuatu, beliau bisa menyekolahkan saya dan saudara sulung saya yang juga seorang Pastor SVD dan berkarya di Paroki Gembala Yang Baik, Surabaya (P. Joseph Bukubala Kewuta SVD). Ibu saya bekerja sebagai Ibu rumah tangga. Dua saudara sudah meninggal, tiga masih hidup termasuk saya. Saya anak bungsu dari lima bersaudara. Di kampung saya tinggal seorang saudara yang menikah dengan tiga anak” Ungkap Pastor yang sejak kecil sangat tertarik pada dunia Muslim tersebut.

Tertarik oleh Islam
    Menjadi misionaris lintas agama bukanlah suatu panggilan hidup yang mudah, mengingat situasi pergolakan dan pertentangan yang kerap terjadi antara umat beragama dewasa ini. Hal ini mendorong Pastor Markus Solo untuk tekun menggeluti teologi dan filsafat agama-agama, terutama pengetahuan tentang Islam. Pengalaman masa kecil Pastor yang pernah bersekolah di Sekolah Dasar Lewouran ini ternyata sangat membantu ia menggeluti dunia Islam. “Di pulau Flores mayoritas penduduk beragama Katolik. Kebanyakan dari jumlah minoritas Muslim di Flores hidup di kota-kota dan wilayah pesisir pantai karena alasan mata pencaharian sebagai pelaut dan pedagang.
    Kisah kehidupan pluralitas di Indonesia terus menginspirasi dirinya hingga membawanya untuk belajar Islam di Kairo, Mesir. Baginya, Islam itu begitu unik dan aktual untuk dipahami. Fenomena Islam semakin mewabah hingga ke wilayah-wilayah Eropa, menjadi perbincangan di sana sini. “Ketika di Eropa saya mengalami bahwa Islam sudah menjadi pusat perhatian terutama tahun 1990-an ketika pecah perang Balkan dan gelombang pengungsi memadati Eropa Tengah dan Barat. Banyak orang Eropa bertanya kepada saya tentang Islam Indonesia, bagaimana Indonesia yang plural dengan dominasi Islam dan tantangan-tantangannya terhadap harmoni serta perdamaian di Indonesia bisa memberikan kontribusi untuk perdamaian hidup antara orang Eropa yang mayoritas Kristen dan imigran-imigran Muslim dari berbagai Negara. Saya pribadi semakin menganggap pertanyaan itu relevan dan menantang untuk dijawab” paparnya. Pengetahuannya akan islam pun dituangkannya dalam bentuk karya  ilmiahnya, “Untuk menyelesaikan program Magister Teologi di Austria, saya menulis skripsi tentang „Humanisasi Penerapan Hukum Agama Islam Dalam al-Qur’an” (Jerman: Humanisierung der Handhabung des Gesetzes im Koran). Melihat interese saya, pimpinan SVD di Austria menganjurkan saya untuk mendalami studi Islam dan bahasa Arab yang dipikirkan untuk mempromosi Dialog dengan Islam di Austria, yang adalah juga sebuah aspek karya misi serikat SVD. Studi Islam ini didahului oleh sebuah program studi doktoral di kota Innsbruck, Austria, untuk memperkuat landasan iman Kristiani” tambahnya lagi. “Studi Islamologi saya awali dengan studi Bahasa Arab klassik dan Pengantar Islamologi di Kairo, Mesir selama lebih dari satu tahun hingga meraih sertifikat untuk boleh melanjutkannya ke Institut PISAI (Instutut Kepausan untuk Studi Arabistik dan Islamologi) di Roma, Italia. Setelah menyelesaikan studi Islamologi dan Bahasa Arab tahun 2005 di Roma, saya kembali ke Provinsi SVD di Austria karena dari sana saya diutus untuk studi lanjut di atas. Sejak 2005 saya terlibat aktif dalam mempromosi dialog Kristen-Islam di Austria, karena Islam sudah sedang menjadi tema penting sekaligus tantangan serius di Austria pada khususnya dan Eropa pada umumnya” ungkapnya.

Perjalanan Menuju Kursi Vatikan
    “Januari 2007 saya dipanggil dari Vatikan melalui sebuah telpon untuk segera memulai proses pembebasan tugas di Wina dan bergabung dalam Dewan Kepausan untuk Dialog Antar Agama di Vatikan untuk menangani Desk Dialog Kristen-Islam”. Lantas bagaimana Vatikan mengenal sosok Imam yang telah mengeluarkan beberapa album lagu tersebut? “Ketika studi Islamologi dan Bahasa Arab di Kairo dan di Roma saya sudah berkenalan dengan mantan Presiden Dewan Kepausan untuk Dialog Antar Agama (PCID), Mgr. Michael Fitzgerald yang saat ini bertugas sebagai Nuntius di Mesir. Bulan September 2005, ketika sudah kembali ke Wina, saya diundang oleh Mgr. Fitzgerald untuk mengikuti sebuah Konferensi Internasional Dialog Antar Agama yang diselenggarakan oleh Dewan Kepausan untuk Dialog  antar-Agama  bertempat di  Wina.  Dalam  kesempatan  konferensi  itu saya berkenalan dan bekerja sama dengan Pembantu Sekretaris PCID waktu itu, Mgr. Felix Machado (Saat ini menjabat Uskup Agung di India). Presiden PCID dan Pembantu Sekretaris memperkenalkan saya di dalam Dewan di Vatikan dan memutuskan untuk mengundang saya setelah mewawancarai berbagai pihak yang mengenal saya. Keputusan final kemudian diambil melalui negosiasi beberapa pihak, misalnya Generalat SVD di Roma, Provinsi SVD di Austria tempat saya bekerja dan Dioses Agung Wina, karena saat itu saya bekerja sebagai Rektor sebuah Insititusi internasional di bahwa Keuskupan Agung Wina”.
    Seperti mimpi, saat pertama kali mendengar panggilan untuk menuju Vatikan. Aneka pertanyaan berkecamuk dalam batin, sebab tidak pernah terpikir olehnya untuk bisa mendapat tempat istimewa di Dewan Kepausan. “Ketika menerima telpon dari Vatikan berisi permohonan untuk membebastugaskan diri dari jabatan Rektor Afro-Asia Institut di Wina waktu itu dan segera datang ke Vatikan, rasanya tidak percaya dan seperti mimpi. Itulah telpon pertama yang saya terima dari Vatikan dalam hidup saya. Sebelum mengetahui isi pembicaraan, saya mula-mula merasa agak cemas dan takut kalau-kalau saya dipanggil oleh karena sudah melakukan sebuah kesalahan yang melanggar dogma Katolik. Jantung saya berdebar agak lebih cepat dari biasanya, sekaligus merasa seperti tidak mungkin meninggalkan jabatan Rektor Institut yang barusan saya terima lima bulan sebelumnya dari Kardinal di Dioses Agung Wina. Selain itu saya tidak pernah membayangkan untuk sekali waktu bergabung dalam team Penasihat Sri Paus dalam hal dialog dengan Islam karena ada banyak ahli di kalangan Kristen di dunia ini dan tentu banyak sekali yang menginginkan jabatan itu. Saya menyerahkan keputusan kepada pimpinan Provinsi di  Austria, Generalat  SVD di Roma dan Dioses Agung Wina.  Hasil akhir, saya dimotivasi untuk menerima undangan dari Vatikan. Banyak rekan dan kenalan meneguhkan saya dengan ungkapan, bahwa ini jalan yang dikehendaki Tuhan sendiri karena saya sendiri tidak pernah melamar menduduki tempat ini. Konsekuensi praktis untuk saya pribadi adalah sekali lagi pindah dari Negara yang sudah saya anggap negri sendiri. Barusan 2005 saya pindah dari Roma ke Wina, dua tahun kemudian harus kembali dengan segala perlengkapan hidup dan kerja”.
    Sementara itu, keluarga Pastor Markus Solo sendiri pun merasa gembira bercampur haru mendengar salah satu anggota keluarga mereka terpilih menjadi penasehat Paus bidang hubungan antar agama. Rasa takjub terutama muncul dari sang kakak, Pastor Yoseph Bukubala, SVD. ”Beliau terkejut, tetapi kemudian memberanikan saya untuk menerima tugas itu, karena dia percaya bahwa pihak-pihak yang menganjurkan saya, mengenal saya dengan segala kemampuan dan kekurangan pada diri saya. Beliau sebagai wakil ”orangtua” memberikan dukungan penuh kepada saya”.

Misi Lintas Agama: Tantangan Dan Harapan
    Di Vatikan Pastor Markus Solo disambut gembira oleh Presiden PCID waktu itu, Kardinal Paul Poupard, Sekretaris General Mgr. Pier-Luigi Celata dan segenap pegawai. Kardinal Poupard saat itu sekalian menjabat sebagai Presiden Dialog Kultur. Misi utama Pastor Markus Solo di Vatikan ialah menangani dialog Kristen-Islam. Tugas ini, bukanlah tugas yang mudah, namun disadari Pastor Markus Solo sebagai bagian yang harus dijalani. “Saya pribadi melihat kehadiran dan kerja saya di Vatikan sebagai sebuah tantangan tetapi juga sebuah kans. Tantangan karena pertama, Vatikan bekerja dari Senin sampai Sabtu. Hari Minggu adalah satu-satunya hari untuk beristirahat. Kedua, wilayah tanggung jawab yang luas menuntut kerja keras. Ketiga, konflik antar agama yang berkembang dan meningkat di banyak wilayah dan negara menuntut intensitas dan metode-metode efektif dalam kerjasama yang akrab dengan Gereja-gereja Lokal untuk mencari solusi secara damai dan bertahan lama. Keempat, berbicara tentang dialog dan perdamaian untuk negara-negara lain ketika hubungan Kristen-Islam di negara saya Indonesia kerap terganggu oleh aksi kekerasan para fundamentalis dan anggota-anggota organisasi - organisasi ekstrim”  katanya  membeberkan situasi Kristen-Islam yang harus dihadapinya. Namun ia menambahkan bahwa lingkup kerjanya menjadi suatu harapan mewujudkan mimpi-mimpinya. Juga sekaligus  merupakan sebuah kans: pertama, untuk memperkenalkan bangsa dan Gereja Katolik Indonesia di Vatikan, karena di dalam sejarah Gereja Katolik Indonesia, saya orang pertama dan masih satu-satunya orang Indonesia yang bekerja di Vatikan. Kedua, mengenal Gereja-gereja Lokal, membuka kesempatan untuk membentuk jaringan kerja dan mengenal berbagai tokoh dan pribadi yang bergerak di bidang dialog antar Agama, Ketiga, oleh karena observasi lapangan merupakan bagian integral dari kerja di dalam Dewan, maka perjalanan mengunjungi Gereja-gereja lokal di negara-negara yang ditangani sambil memberikan ceramah dan konferensi-konferensi merupakan kesempatan untuk memperkaya pengetahuan akan situasi Gereja-gereja Lokal dalam hubungan dengan dialog dengan Islam. Penggunaan bahasa asing yang berbeda-beda juga merupakan sebuah unsur yang memperkaya. Keempat, kesempatan untuk mengenal cara berpikir, cara berekspresi, sistim, metode dan disiplin kerja Vatikan dari dekat. Kelima, kesempatan ini juga merupakan sebuah kans dalam arti bahwa berdasarkan pengalaman-pengalaman ini saya bisa menyumbangkan sesuatu yang positif dan berguna untuk Dialog dengan Islam di Indonesia” lanjutnya.
”Dewan juga menerima kunjungan ad-Limina para Uskup seluruh dunia. Ini merupakan kesempatan untuk saling memberikan informasi tentang  perkembangan terakhir menyangkut dialog Kristen-Islam, memberikan peneguhan dan motivasi kepada para Uskup untuk mempromosi dialog Kristen-Islam sebagai bagian integral dari karya kerasulan Gereja Katolik sesuai semangat Konsili Vatikan II. Selain desk Dialog Kristen-Islam dalam Dewan ini masih ada juga desk Dialog Kristen-Hindu, Kristen-Buddha, Kristen-Konghucu, Kristen-New Religious Movements dan Kristen-Agama Asli” tutur Pastor Markus Solo yang telah mengeluarkan album CD  “Agora”  Volume 1 (2008) berisi lagu-lagu Rohani dalam bahasa Indonesia, Jerman dan Italia. Demikian seorang Pastor Markus Solo Kewuta, SVD, dikenal sebagai ” Misionaris Lintas Agama” yang sangat sederhana dan penuh kreativitas. Perjalanan hidupnya  mengemban  tugas mulia di vatikan,  kiranya  dapat  menginspirasi kaum muda  dan  keluarga-keluarga kristiani untuk terus berkarya dan bekerja bagi kemuliaan Tuhan dan kesejahteraan sesama. (Antonius Primus-Kana)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar