Selasa, 30 Agustus 2011

SIAPA YANG MENCIPTAKAN ALLAH?

Oleh Anthoni Primus

Seorang sahabat bertanya, manusia diciptakan oleh Allah, namun siapakah yang menciptakan Allah? “Belum pernah ada jawaban yang mampu menjawab pertanyaan tersebut” katanya lagi. Jawabku adalah “tentu saja Allah sendiri”. Allah tidak menciptakan diri-Nya, tetapi IA adalah ADA (Being) yang menga-ada-kan segala sesuatu. Kemampuan meng-ada-kan merupakan kemampuan kreatif (creator) akal budi.  Segala sesuatu muncul dari daya-daya kreatif akal budi. Sesuatu yang tidak memiliki akal budi tidak memiliki daya cipta hingga ke batas-batas transendensi dirinya sebagai pencipta. Dan manusia memiliki kemampuan demikian. Kemampuan daya cipta seluruh makhluk manusia adalah akal budi dan Allah adalah AKAL BUDI TERTINGGI dari kodrat-NYA. Keserupaan manusia terhadap Allah terletak pada daya cipta akal budinya. Manusia hanya akan menjadi baik sejauh ia berpartisipasi pada akal budi Sang Pencipta segala sesuatu. Dalam Kitab Kejadian dikatakan “manusia diciptakan secitra dengan Allah” (bdk. Kej 1), itu hendak mengatakan bahwa “secitra” yang dimaksud ialah kemampuan mencipta dan menyadari dasar dan tujuan mencipta; karena memiliki kapasitas demikian, maka manusia secara khusus memiliki keistimewaan kemampuan berkomunikasi dengan Allah, bahkan dengan cara-cara transenden (menggapai ranah kehidupan rohaniah); semua itu hanya ada dalam diri makhluk hidup yang memiliki akal budi.
                Dunia ini sedang dibentuk oleh akal budi Ilahi dan partisipasi akal budi manusiawi. Begitulah peran akal budi sangat menentukan perkembangan hidup segala sesuatu yang ada di kosmos.  Selain kemampuan mencipta, akal budi juga memiliki kemungkinan menghancurkan, karena segala apa yang diciptakan memiliki kapasitas “ada” yang seperlunya atau “ada” yang dapat “tidak ada” (ada-aksidens).  Sangat memalukan jika seorang mengatakan bahwa Allah itu tidak ada dan manusia ada dari ketiadaan, tidak diciptakan. Apa dasar pemikiran yang demikian? Sementara yang berpikir demikian adalah orang yang juga memiliki akal budi seperti saya! Jika segala sesuatu sejak semula ada yang mengawali, di kemudian hari semua ini pun akan kembali kepada awalnya semula, yakni Allah (Geist). Dan di situlah kepenuhan dan kesempurnaan akal budi manusiawi sungguh-sungguh dialami. Sebagaimana yang diserukan oleh St. Agustinus, “Tuhan, Engkau menciptakan kami bagi-Mu. Jiwa kami tidak akan merasa tenang sebelum beristirahat di dalam Engkau!”
Oleh karena Allah itu adalah AKAL BUDI TERTINGGI maka ia masuk kategori mengatasi segala sesuatu, termasuk paham manusia tentang Allah sendiri. Apa yang akau pikirkan dan konsepkan tentang Allah ini sungguh sudah ada sebelum aku, implisit. Ini merupakan ciri khas memahami Allah bahwa Allah mendahului segala sesuatu sebelum IA sendiri ditemukan, terutama oleh manusia. Untuk itu, siapa pun yang berusaha menyangkal keberadaan Allah dalam semesta berarti ia mengabaikan sumber hidupnya yang tertinggi. Dan untuk mencapai sumber itu, manusia hanya bisa mengawali langkah dengan berupaya memahami dirinya sendiri dan alam sekitarnya. Pengetahuan manusia akan Allah, sejatinya muncul dari kerinduannya akan keterbukaan yang total akan realitas Ilahi. Kerinduan itu tidak dapat ditemukan dalam alam semesta, hanya terdapat dalam perjumpaan dengan Akal Budi Tertinggi. Itulah Allah! Bagaimana pun juga, Allah tetap menjadi misteri sejauh manusia itu hidup dalam keterbatasannya di dunia. Namun manusia tetap memiliki kesadaran bahwa dirinya merupakan ciptaan dari Yang Lain, yang Tak Terbatas, yang mendasari diri manusia sebagai pribadi yang bereksistensi***




Tidak ada komentar:

Posting Komentar