Sabtu, 06 Agustus 2011

Bansos Sikka Di-KPK-kan?

Mempertimbangakn Alasan DPRD Sikka
Oleh Frans Anggal

DPRD Sikka memutuskan, kasus dana bantuan sosial (bansos) tahun 2009 yang dikelola Bagian Kesra Setda Sikka senilai Rp10,7 miliar ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal itu tertuang dalam SK Nomor 22/DPRD/2011 tanggal 4 Juli 2011. DPRD sendiri akan mengantarnya ke KPK. Dasar keputusannya adalah rekomendasi pansus DPRD, pendapat akhir fraksi, dan desakan elemen masyarakat (Flores Pos Selasa 5 Juli 2011).

Menurut hasil kerja pansus, pengeloaan dana bansos Rp10,7 miliar ditandai pembuatan kuitansi fiktif, pencairan dana yang tidak sesuai dengan prosedur, dan utang pihak ketiga. Apabila ditambah dengan total utang pihak ketiga Rp8,7 miliar, perkiraan kerugian negara mencapai Rp19,7 miliar.

Utang pihak ketiga, kata pansus, walau tidak prosedural, nyata dilakukan oleh Yosef Otu selaku Bendahara Pengeluaran Pembantu pada Bagian Kesra, atas nama Bagian Kesra Kabupaten Sikka, serta atas pengetahuan dan persetujuan bupati.

Ini poin penting: atas pengetahuan dan persetujuan bupati! Poin inilah yang sesungguhnya menentukan mengapa kasus dana bansos harus ditangani oleh KPK, bukan oleh Kejari Maumere. Kejari sendiri sedang menangani kasus ini setelah adanya laporan dari Bupati Sosimus Mitang akhir Mei 2011.

UU Nomor 30 Tahun 2002, Pasal 9, menyatakan pengambialihan penyidikan dan penuntutan dilakukan KPK manakala laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti oleh kepolisian dan kejaksaan, dan proses penanganannya berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Itukah yang sedang terjadi di Sikka? Tidak! Sejak kasus dana bansos dilaporkan oleh bupati, kejari langsung bekerja. Saat ini sedang dalam tahap penyelidikan untuk meningkat ke tahap penyidikan. Para calon tersangka sudah ada di saku kejari.

Jadi, laporan bupati bukannya tidak ditindakanjuti kejari. Juga, belum ada indikasi penanganannya berlarut-larut. Itu bukanlah sesuatu yang faktual pada kejari. Tapi, semata-mata, sesuatu yang psikologis pada diri DPRD dan elemen masyarakat. Mereka khawatir kejari akan melarut-larutkan penanganan kasus.

Kenapa mereka khawatir? Pertama, sudah ada presedennya. Ada 12 kasus dugaan korupsi yang hingga kini tidak tuntas-tuntas ditangani kejari dan kepolisian. Dikhawatirkan, nasib kasus dana bansos pun seperti itu. Kedua, dalam kasus bansos, bupati terlibat. Khususnya dalam utang pihak ketiga yang, menurut temuan pansus, dilakukan atas pengetahuan dan persetujuan bupati. Dikhawatirkan, terlibatnya bupati membuat kejari sungkan.

Ini sesungguhnya alasan DPRD dan elemen masyarakat. Tapi, mereka tidak jujur mengungkapkannya. Kenapa? Karena dasarnya tidak kuat. Kenapa disebut tidak kuat? Karena mereka berdiri di atas dasar psikologis (kekhawatiran), bukan di atas dasar yuridis (UU). Mereka berpijak pada sesuatu yang subjektif, bukan pada sesuatu yang objektif.

Semestinya tidak demikian. Berpijaklah pada UU. Maka, berikan dulu kesempatan kepada kejari. Kontrollah kejari. Desakkanlah penanganan segera dan tuntas. Kalau kejarinya tidak jalan, barulah kasus ini di-KPK-kan.

Pertanyaan kita: apakah KPK akan menerima keputusan DPRD Sikka? Menerima begitu saja penanganan kasus yang justru sedang gencar ditangani kejari? Hmm. Kita tunggu dan lihat.

”Bentara” FLORES POS, Rabu 6 Juli 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar