Rabu, 24 Agustus 2011

IDO NOZOKI, KETIKA TRADISI PEDULI SI KECIL

Hendri Daros, SVD
saat 'ido nozoki', si putri cilik menjenguk ke dalam sumur, dibantu ibunya

sumur untuk ritus keluarga 'ido nozoki' di salah satu bagian kuil
            Jepang, negara Sakura yang begitu eksotik dan mengagumkan, terutama karena tumbuh dan berkembang dengan aneka tradisi yang mempesona. Sebelum perang dunia II, tidak banyak misionaris yang diutus ke Jepang. Namun ketika Jepang dikuasai oleh Amerika, Jenderal Douglas MacArthur mengijinkan para missionaris, baik Katolik maupun Protestan, untuk membantu umat setempat. Siapa yang tidak menyangka bahwa Jepang memiliki kekayaan budaya yang begitu mendalam. Selain dari budaya “samurai”, Jepang menyimpan satu tradisi yang begitu unik bagi “Si Kecil”. Setiap anak memiliki nilai khusus bagi keluarga warga Nippon tersebut. Hal ini dikisahkan oleh Hendri Daros, SVD, seorang misionaris asal Lempang Paji/Manggarai yang bertugas di Jepang. Orang Jepang memiliki rasa kedekatan terhadap alam  sehingga dalam setiap tradisi, alam terkadang menjadi objek penghormatan. Aneka simbol yang tampak dalam setiap perayaan tradisional masyarakat Jepang memberikan kesan mendalam, menggambarkan jiwa dan semangat masyarakat Jepang. Kedalaman karakter masyarakat Jepang dapat dialami dari kehalusan budi dan sangat bersahabat. Karakter tersebut, telah ditanamkan oleh para keluarga di Jepang sejak anak-anak mereka masih kecil. Anak-anak sudah dilibatkan dalam tradisi budaya Jepang, seperti tradisi “Ido Nozoki”. Berikut, Henri Daros, yang pernah mengenyam pendidikan di  STFTK, Sekolah Tinggi Filsafat & Teologi Katolik Ledalero, Maumere ini mengisahkan budaya peduli Si Kecil, “IDO NOZOKI.
Watak pemarah, jelas, tak ada yang suka. Apalagi jika ketika bereaksi terhadap segala sesuatu yang menghambat keinginan, atau menghalangi kehendak, selalu dengan letupan kemarahan yang meledak-ledak. Tak terkendali nalar dan rasa. Tak tersaring budi dan hati.
Untuk hal yang satu ini, saudara-saudara kita di Nippon tampaknya luar biasa peduli. Sedemikian peduli sehingga dirasa perlu untuk mencegah gelagat mencuatnya temperamen tersebut dalam diri anak sejak dini.
Bisa saja ada yang bilang, ah, bukan cuma orang Nippon yang peduli hal itu. Betul, siapa pun tahu. Namun, bukanlah di situ duduk ceritanya.
Hal yang unik ialah cara bagaimana warga Negeri Samurai ini menunjukkan kepeduliannya. Lagi-lagi saya menemukan dalam Kalender Tradisional Nippon contoh keunikan itu. Tradisi ”Ido Nozoki”, tradisi ”Menjenguk Ke Dalam Sumur”, itulah keunikannya.
Tahun ini, tahun 2011, hari khusus itu jatuh pada tanggal 1 Juni. Keluarga yang mempunyai anak kecil membawa anaknya ke kuil tertentu yang mempunyai sumur khusus.
Di samping sumur yang terbuka anak digendong atau diangkat sampai bisa menjengukkan kepalanya untuk melihat ke dalam sumur.
Tradisi mengisahkan bahwa memandang ke dalam sumur yang berair bening itu akan membantu menghindari anak dari kecenderungan berperilaku garang dan penuh amarah (‘mushike’) dan dari tingkah laku tidak kenal sabar. Penyadarannya sejak usia dini akan membantu pertumbuhan sehat si anak untuk selanjutnya.
Tentu saja pendidikan anak sehari-harilah yang akan membantu pertumbuhan kepribadiannya secara sehat. Namun, suatu tradisi yang sudah sangat membudaya seperti ini, tidak salah lagi, akan selalu menjadi seperti denting lonceng kecil nan merdu yang mengingatkan dan menyadarkan.
Juga bagi si kecil yang akan selalu mengenangnya sebagai peristiwa unik dan kemudian menangkap pula pesan dan maknanya.
Baru sebulan yang lalu, tanggal 5 Mei, warga Nippon merayakan festival Hari Anak-Anak, ‘Kodomo-no-Hi’, dengan simbol ‘Koinobori’-nya yang sarat makna … dan sekarang, lagi-lagi demi anak-anak, dengan ‘Ido Nozoki’-nya.
Betapa ‘manja’ anak-anak Nippon …
Sudah umum diketahui bahwa situasi dan pola hidup masyarakat Jepang yang serba modern dan serba ada menampilkan banyak tantangan dan sisi negatif pula, juga buat keluarga dan anak-anak.
Namun, tradisi dan kesetiaan terhadap kearifan tradisi sangat membantu warganya menghadapi tantangan-tantangan itu. Tentu saja bukan tanpa perjuangan.
Saya sempat bertanya kepada seorang kenalan, seorang ‘office lady’ yang supersibuk, apakah dia pun akan membawa anaknya ke kuil untuk ritus ‘Ido Nozoki’ ini.
”Oh, kakek dan neneknya yang membawa dia ke sana”, jawabnya. ”Sekalian berekreasi … ”, katanya lagi.
Boleh jadi tidak semua warga Nippon masih setia melaksanakannya. Namun, ketika itu masih juga dilaksanakan, kendati orangtua si anak disandera kesibukan, kakek dan nenek, atau kerabat lainnya pun merasa perlu dan dengan senang hati mengambil-alih kewajibannya.
Tradisi, kearifan budaya, memang bukan sekadar untuk dipuja-puji dan dielus-elus, tapi untuk dihidupi. Sehidup-hidupnya. Hanya dengan cara itulah kita boleh yakin bahwa warisan berharga itu tak akan lapuk oleh hujan dan tak lekang oleh panas. Dan, tentu saja, akan tetap bermakna untuk kehidupan. (Henri Daros, SVD, dari Jepang-Henri Daros's Blog)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar