Senin, 13 Februari 2012

Soal „Moral Bayi Tabung“ Menurut Pandangan Gereja Katolik


RD. Alfonsus Sutarno, Pr. Lic.Th.
Fenomena “Bayi Tabung” telah mencuat dan memberikan aneka pertanyaan seputar hakikat dan makna kehidupan manusia.  Makna kisah penciptaan manusia, mengalami pergeseran oleh hadirnya teknologi mutakir yang diciptakan oleh manusia. Salah satu fenomena aktual dewasa ini ialah hadirnya program “Bayi Tabung” sebagai jawaban kerinduan keluarga akan hadirnya “buah hati”. Fenomena “Bayi Tabung” kini menjadi perhatian dari berbagai kalangan, khususnya Gereja Katolik sendiri. Untuk itu, bagaimana sikap Gereja Katolik menghadapi kenyataan tersebut? Berikut wawancara eksklusif Antonius Primus dari Majalah Keluarga Kana/Suara Maumere bersama RD. Alfonsus Sutarno, Pr. Lic.Th. salah seorang Teolog Moral Katolik dari Universitas Urbaniana, Roma.

  1. Bagaimana pemahaman Gereja tentang „Bayi Tabung“?
Bayi tabung dipahami sebagai teknik pembuahan ekstra korporal. Sebuah metode yang mempertemukan sel telur dan sel sperma di luar tubuh seorang wanita. Pembuahan ini dilakukan dalam sebuah piring petri atau tabung di laboratorium  dengan cara menaburkan (inseminasi) sel benih pria (spermatozoa) pada sel telur (oosit) wanita. Hasil pembuahan ini akan dibiarkan 3-4 hari. Kemudian hasil pembuahan yang sudah terbentuk akan ditanamkan kembali ke dalam rahim (uterus) wanita. Proses penanaman embrio ini disebut tandur-alih embrio (TAE) atau embryo transfer (ET). Usai melakukan tandur alih embrio ke dalam rahim wanita, diharapkan bisa terjadi kehamilan pada wanita yang bersangkutan dan akhirnya ia melahirkan anak. 
Pemakaian istilah bayi tabung (test-tube baby) sebenarnya kurang tepat. Dikatakan kurang tepat karena proses perkembangan embrio tidak selamanya berlangsung di dalam tabung (piring petri). Hanya berlangsung antara 3-4 hari saja. Selebihnya, perkembangan embrio terjadi dalam rahim wanita. Istilah yang lebih tepat adalah fertilisasi ekstra korporal atau pembuahan di luar tubuh (extracorporal fertilization). Akan tetapi, karena fertilisasi dilakukan di dalam tabung, maka disebut juga pembuahan dalam tabung atau fertilisasi in vitro (in vitro fertilization).

  1. Bagaimana posisi Gereja terhadap program „Bayi Tabung“? mendukung atau menolak? Mengapa?
Kemunculan bayi bukan tanpa polemik. Kehadirannya  telah memunculkan pro dan kontra. Para pendukung datang dari pasangan suami-istri infertil yang berharap memiliki momongan, para lesbian, pasangan sejenis, dan para janda. Gereja Katolik tidak menerima begitu saja keberadaan bayi tabung. Sikap kritis Gereja akan bayi tabung itu dilatarbelakangi oleh alasan kemanusiaan, penghargaan atas nilai dan martabat manusia.
Bayi tabung telah  menuntun Gereja untuk bersikap kontra karena beberapa soal substansial yang muncul dan tidak terjawab. Persoalan substansial yang muncul itu misalnya, apakah sebenarnya yang menjadi hakikat hidup manusia? Kapankah awal kehidupan manusia dimulai? Bagaimana hakikat keluarga bisa dimengerti? Bagaimana teknologi bayi tabung bisa menjelaskan soal kriteria “pasien” bayi tabung, asal-muasal sel telur dan sel sperma, nasib embrio cacat dan embrio sisa yang dibekukan, keberadaan ibu pengganti (surrogate mother) dan hakikat lembaga keluarga?

  1. Salah satu tahap bayi tabung ialah pemilihan kualitas embrio yang kemudian dibuahi dalam tabung, yang memiliki resiko besar terhadap hasil yang ingin dicapai. Bagaimana  posisi argumentasi Gereja soal kehidupan Embrio dan penggunaan teknologi medis dalam pembuahan?
Gereja memandang embrio sebagai makhluk insani. Harkat dan martabatnya atas hidup harus dihargai. Akan tetapi, dalam bayi tabung, siapakah yang bertanggung jawab terhadap embrio sisa? Secara medis, mormalnya, embrio sisa harus disimpan (dibekukan), tidak boleh dimusnahkan, dan hanya boleh dimanfaatkan oleh pasangan yang bersangkutan. Pertanyaannya adalah, bagaimana dengan nasib embrio sisa apabila dalam periode tertentu pemilik embrio sisa itu meninggal dunia? Bolehkah embrio sisa itu dimusnahkan atau diberikan kepada pasangan suami-istri lain yang membutuhkan?
Selain itu, bagaimana dengan sejumlah embrio yang dihancurkan atau dibuang karena kelihatan abnormal atau dimanfaatkan demi kepentingan riset? Bagaimana dengan banyak orang yang menentang pemusnahan embrio sisa karena hal itu mirip dengan masalah aborsi dan dianggap sebagai pembunuhan bakal calon manusia? Demi tipe individu tertentu, apakah dibenarkan pengrusakan “janin-janin muda” tersebut? Bagaimana pula dengan janin-janin yang dibekukan dan tidak ditanamkan kembali, yang tidak punya peluang untuk kehidupan masa depan?
Pertanyaan-pertanyaan mendasar yang tidak terjawab itulah yang makin mengukuhkan pandangan Gereja untuk berkata “tidak” pada bayi tabung.

  1. Bagaimana  penilaian moral katolik terhadap inseminasi artifisial?
Ibu menerima suntikan hormon  penyubur sel telur
Kemajuan teknik memungkinkan prokreasi tanpa hubungan seksual. Namun, apa yang dapat terjadi secara teknis seperti inseminasi buatan, tidak dengan sendirinya dapat dibenarkan secara moral. Penalaran akal-budi dan refleksi mendalam mengenai nilai-nilai mendasar kehidupan dan prokreasi adalah syarat mutlak.
Dewasa ini inseminasi artifisial menuntut pembuahan dan penghancuran embrio insani. Budi daya embrio menuntut hiperovulasi pada perempuan: sejumlah sel telur diambil dan dibuahi. Akan tetapi, tidak semua akan ditanam dalam rahim wanita. Ada embrio yang dikurbankan karena alasan eugenis (mengambil embrio terbaik saja),  ekonomis, dan psikologis. Penghancuran dengan sengaja makhluk manusia semacam itu atau pemakaiannya untuk berbagai tujuan, dengan merugikan keutuhannya dan kehidupannya sangat bertentangan dengan ajaran kristiani.

  1. Dokumen Gereja apa saja yang berbicara tentang moral bayi tabung? Kira-kira Pater bisa ceritakan isi ringkas dokumen tersebut, kapan dan siapa pencetusnya?
-     Donum Vitae (1987), Instruksi Kongregasi untuk Ajaran Iman, tentang hormat terhadap hidup manusia tahap dini dan perlindungan martabat prokreasi. Jawaban atas beberapa soal aktual dewasa ini.
-    Evangelium Vitae, Injil Kehidupan (25 Maret 1995). Ensiklik Paus Yohanes Paulus II tentang nilai-nilai hidup manusia yang tidak bisa diganggu gugat.
-   Veritatis Splendor, Cahaya Kebenaran. Ensiklik Paus Yohanes Paulus II tentang pertanyaan pertanyaan fundamental ajaran moral Gereja.
-       Piagam Bagi Pelayan Kesehatan (1995). Piagam panitia kepausan untuk reksa pastoral kesehatan, tentang masalah-masalah bioetika, etika kesehatan, dan pendampingan orang sakit.
-    Martabat Prokreasi Insani dan Teknologi Produktif. Aspek-aspek antropologis dan etis, dari Akademi Kepausan untuk hidup (2004).

  1. Argumentasi  Gereja soal moral “Bayi Tabung” tentu tidak lepas dari peran para tokoh/teolog  Gereja.  Siapakah tokoh/teolog  Gereja  terkenal yang argumentasinya menjadi dasar pertimbangan moral Gereja menyikapi fenomena “Bayi Tabung”?
Dengan melihat beberapa dokumen Gereja di atas, Paus Yohanes Paulus II adalah Paus yang sangat gigih membela kehidupan. Berikutnya adalah Kardinal Joseph Ratzinger (kini Paus Benedictus XVI) yang menjadi “orang kedua” dari Paus Yohanes Paulus II. Selanjutnya adalah para Uskup dan teolog yang tergabung dalam kongregasi profaganda iman (Congregatio pro Doctrina Fidei) atau akademi kepausan untuk hidup (Fontifical Academy for Life).

  1. Dalam kaitannya dengan efek program “Bayi Tabung”, apa saja pengaruhnya bagi kehidupan keluarga. Terutama soal dampak psikologis bagi ibu dan bayi dalam konteks pandangan Gereja?
Bayi tabung bersifat terbuka untuk “umum”, teknologinya membuka peluang bagi para janda, para wanita yang tidak pernah menikah, kelompok lesbian atau pasangan sejenis untuk memiliki anak.
Apabila para wanita tanpa suami bisa mengandung dan memiliki anak, bagaimana dengan nasib anak-anak tanpa bapak ini? Siapakah yang menjadi bapak dari anak-anak ini? Apabila dikemudian hari para wanita tak bersuami ini melakukan FIV untuk kedua atau ketiga kalinya, bagaimana relasi kekeluargaan di antara anak-anak hasil bayi tabung ini? Bagaimana pula nasib lembaga keluarga?  Semuanya menjadi kacau, berantakan.
Dalam kaitannya dengan ibu, dalam bayi tabung dikenal ibu pengganti (surrogate mother), yakni wanita yang merelakan rahimnya ditanami embrio hasil pembuahan dari sperma seorang pria yang bukan suaminya dengan sel telur yang tidak berasal darinya. Ia akan mengandung dan melahirkan bayi. Namun setelah melahirkan ia tidak akan memiliki dan memeliharanya, sebaliknya akan menyerahkan bayi yang dilahirkannya dan hak-hak keorangtuannya kepada pasangan suami-istri yang memintanya sebagai ibu pengganti.
Adanya ibu pengganti ini berdampak negatif pada ibu pengganti itu sendiri, pada suami-istri dan anak yang dilahirkan, dan pada masyarakat. Ada yang menilai bahwa ibu pengganti seharusnya merasa rugi. Ada ketidaklayakan meminta seorang ibu pengganti untuk menjalani risiko fisik kehamilan untuk menguntungkan orang lain. Secara psikologis ibu pengganti juga telah dirugikan dengan menyerahkan anak genetiknya, bahkan ada beberapa ibu pengganti yang mengalami masa kedukaan setelah memberikan anaknya.
Seleksi embrio
Apabila ibu pengganti merupakan sahabat atau kerabat dekat, keterlibatan yang berkelanjutan dari ibu pengganti bisa menciptakan ketegangan perkawinan. Keterlibatan ibu pengganti bisa melemahkan ikatan perkawinan dan merusak integritas keluarga. Apabila ibu pengganti ternyata dibayar untuk pelayanan mereka, maka reproduksi manusia menjadi bersifat komersil, dan mungkin anak-anak akan dilihat sebagai barang konsumen.

  1. Kehadiran program bayi tabung seolah-olah telah menjadi pemecah persoalan infertil yang dialami keluarga, khususnya keluarga-keluarga kristiani. Apa pertimbangan moral yang ingin Pater sampaikan kepada para keluarga, khususnya keluarga Kristiani agar mereka dapat mempertimbangkan untuk mengikuti  program bayi tabung?
Keluarga kristiani hendaknya menyadari bahwa keberadaan anak-anak itu mulia dan bermartabat. Namun demikian, anak-anak bukanlah segala-galanya dalam keluarga. Ketiadaan anak-anak dalam rumah tangga bukanlah prahara bagi keluarga dan tidak berarti bahwa cinta suami-istri tidak berbuah. Oleh karena itu, apabila Tuhan belum atau tidak menitipkan anak-anak kepada keluarga kristiani, sebaiknya suami istri tidak mengambil cara-cara yang tidak bernilai kristiani sebagaimana nampak dalam teknik bayi tabung. Dalam ketiadaan momongan, pupuklah keutuhan, kesetiaan, dan cinta sebagai suami-istri. Selain itu, karena perkawinan merupakan kehendak Tuhan, terbukalah juga pada rencana Tuhan dalam keluarga. Jangan-jangan dengan tidak terlahirnya anak-anak dari rahim sendiri, Tuhan memanggil Anda supaya makin mengasihi anak-anak Allah yang terlantar, yang membutuhkan cinta seorang bapak dan ibu.  (Anthoni Primus)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar