Selasa, 14 Februari 2012

Theresia Martono, Membawa Kristus dalam Hidup



            Bertolak dari keprihatinan akan sulitnya mendapatkan pendidikan yang ideal dan dorongan untuk mewartakan Kristus secara universal, menggugah hati Dra. Theresia Martono bersama suaminya, (alm) Johanes Aloysius Martono mendirikan sekolah Margie.  Sekolah yang terdiri dari TK-SD-SMP-SMA tersebut dibangun di bawah Yayasan Pendidikan dan Pengajaran Margie Surabaya. Uniknya bahwa sekolah tersebut terlihat begitu umum, namun suasana Kekatolikannya begitu kental meskipun 90% staf pengajarnya beragama Islam.
Dra. Theresia Martono

Berawal dari Lingkungan
“Satu hal yang patut saya syukuri, karena memang sejak kecil saya juga dibaptis sejak umur satu tahun setengah. Saya dibesarkan oleh suster-suster Putri Kasih, karena Ibu saya memiliki kedekatan dengan suster-suster Putri Kasih. Jadi sejak kecil saya biasa berada di Biara Suster Putri kasih, Jl. Tidar Surabaya. Tanpa saya sadari, cara hidup suster Putri Kasih itu menempel dalam hidup saya, sehingga dalam kehidupan saya selanjutnya juga selalu ingat dalam kegiatan apa saja mereka selalu menampilkan Kristus, dalam segala kata dan perbuatan mereka. Saya bawa dalam hidup saya, sehingga di mana saja saya berada, saya juga memperkenalkan Kristus dengan cara saya. Sejak kecil saya sekolah di sekolah St. Vincentius Don Bosko Surabaya sampai lulus SMP, kemudian melanjut ke SMA  St. Maria Surabaya. Lalu saya masuk ke IKIP Negeri Surabaya. Dari kecil di sekolah Katolik terus, karena sudah dibina oleh suster-suster , di sekolah negeri, seperti di IKIP saya selalu tampil sebagai Katolik. Semua orang mengenal saya sebagai Katolik. Sesudah itu Saya lulus dan bekerja di konsulat Amerika, di bagian Pendidikan. Kemudian saya mengajar di American Consulat School, sebelumnya saya dilatih di Join Embassy School Jakarta” kisah Theresia Martono.
Bergelut di dunia pendidikan seolah-olah menjadi impian terbesarnya, dan untuk mewujudkan impian itu, setelah menikah dan memiliki anak Theresia mencari sekolah ideal bagi anak-anaknya seperti American Consulat School. Namun impian tersebut tidak dapat diwujudkan, mengingat sekolah tersebut hanya menerima siswa dari keluarga Konsulat. “Jadi akhirnya saya pikir, kalau saya mau punya sekolah yang bagus saya harus punya sekolah sendiri. Jadi waktu itu saya usahakan Play Group dan English Course, dan kemudian berkembang menjadi TKK, SD, SMP sampai SMA” terang Theresia.

Memperkenalkan Kristus
“Ketika saya sungguh-sungguh menerjuni dunia pendidikan, saya merasa menyatu dan tidak bisa melepaskan diri dari dunia pendidikan itu. Dan saya juga tahu panggilan hidup saya. Sejak saya mendirikan sekolah saya sendiri, sekitar tahun 70-an, yang pertama saya ingat bahwa saya harus memperkenalkan Kristus kepada sebanyak mungkin orang. Sekalipun nama Katolik tidak saya tonjolkan, dan ternyata pada waktu, pemberkaran sekolah di tahun 79, seorang Pastor memberikan saran agar tidak hanya menonjolkan Katolik, kata Romo, “Saya minta, tanpa nama Katolik tetapi kamu bekerja dengan sungguh-sungguh Katolik” ujar wanita kelahiran Surabaya tersebut.
“Pada waktu itu, banyak sekolah Katolik tetapi guru-gurunya tidak mencerminkan kekatolikannya. Banyak guru-guru yang lempar penghapus ke anak, mencoret-coret wajah anak dengan kapur. Terlihat dari luar sekolah ini begitu umum namun setelah memasuki halaman dan ruangan-ruangan sekolah itu, nuansa Katoliknya sangat kental. Mewartakan Kristus itu semacam menjadi suatu tugas. “Saya bersyukur kepada Tuhan, bahwa kalau begitu apa yang dikatakan Romo, saya sudah bisa membuktikan, kemudian yang memacu saya untuk lebih mencurahkan segala tenaga dan pikiran dan waktu saya, yakni mengutamakan Kristus dulu dan saya bahagia bahwa waktu itu sulit untuk sekolah kami yang tidak Katolik menghadirkan Misa Kudus. Saya berusaha untuk menghadirkan Misa Kudus di sekolah kami setiap bulan sekali“,  tandas ibu dari tiga anak tersebut.
„Banyak tantangan dan kendala yang dihadapi dalam proses pendirian sekolah, namun dengan doa yang tulus dan tekun. Ia menyadari, untuk bisa membawa Yesus tidak ada jalan yang mulus. “Kalau kita mau membawa Yesus dalam hidup kita itu jalannya tidak selalu enak, selalu kita juga harus mau menghadapi  yang tidak enak dan kita harus siapuntuk itu”. “sekarang sekolah saya sudah 36 tahun. 36 Tahun saya membawa Yesus saya tidak kecewa. Tetapi saya tahu bahwa perjuangan saya belum selesai. Saya harus berjuang terus, tetapi saya bahagia sampai ke Australia dengan Exchange program, selalu yang saya sampaikan bahwa sekolah saya ini mengutamakan pelajaran agama katolik”. Sekolah ini terbuka dengan umat beragama lain, seperti Islam. Hari Raya Natal dan Idul fitri dirayakan sama meriahnya, bahkan di sekolah ini terdapat mushola bagi siswa islam. Meskipun Islam itu minoritas di sekolah, tetapi mereka tidak merasa dibedakan. Jadi mereka juga lebih mudah menerima gambaran bahwa Kristus juga mengasihi semua orang. Visi misi sekolah, berkembang sesuai zamannya, membentuk generasi yang pertama beriman. Prihatin terhadap banyak generasi dewasa ini yang telah meninggalkan imannya. „Kalau orang memiliki iman maka dia juga akan memiliki kasih, takut pada Tuhan dan saling mengasihi. Kita mulai dari diri sendiri dengan menomorsatukan iman, bahwa Tuhan adalah Kasih. God is love“ sharing wanita yang terkenal dengan devosinya kepada Kerahiman Ilahi ini.  (Primus)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar