Sabtu, 06 Agustus 2011

Generasi Maumere Tidak Punya Identitas?



Anthoni Primus*

Judul tulisan ini mungkin cukup menggelitik, terutama bagi generasi maumere sendiri. Lantas apakah kita hanya akan diam memikirkan benar atau tidak bahwa generasi Maumere tidak punya identitas. Kalau kehilangan Identitas tentu saja mungkin, tetapi kalau dikatakan tidak memiliki identitas itu tidak masuk akal. Karena setiap pribadi manusia  tentu saja memiliki apa yang disebut identitas. Maka tulisan ini sebenarnya mau mengajak kita untuk menggumuli apa yang kita miliki tersebut, yakni “Identitas” khususnya sebagai Generasi Maumere.


Perkara identitas bukan sekedar perkara
ciri-ciri fisik orang Maumere, bukan pula
sekedar mengenal kebiasaan minum
“moke” atau pesta ria dengan tarian “regae”
yang lagi trend dewasa ini di kalangan
kaum muda Maumere. Identitas melampaui
bahkan melewati batas-batas fisikologis
orang Maumere. Untuk itu, penting menelusuri
kedalaman identitas orang maumere
tersebut yang melampaui sekedar minum
“moke” dengan “lepeng” ikan tongkol, atau ikan Tembang Lela.


1. Spiritualitas Fundamental “Ata Sikka”
Identitas merupakan suatu spiritualitas
yang dalam masyarakat Sikka hanya
dapat dimengerti dan dihayati dengan baik
ketika kita kembali kepada tanah kelahiran,
“tanah Sikka”. Dengan kata lain kita
harus kembali kepada diri kita yang hakiki
dengan segala keunikannya masing-masing.
Kita menyadari identitas kita itu selalu
mengalami proses menjadi (conatus essendi)
terutama karena pengarus lingkungan yang
semakin berkembang. Proses ini membuka
kemungkinan kita kehilangan atau
krisis identitas asali kita. Oleh karena itu,
identitas kita perlu memiliki dasar, titik pijak
obyektif yang menjadi referensinya.
Tidak perlu jauh menemukan referensi.
Salah satu tokoh peletak dasar Sikka, yakni
Raja Don Josephus Thomas Ximenes Da
Silva (1895-1954) kiranya dapat menjadi
cerminan identitas Generasi Sikka. Drs.
Kanis Lewar mengungkapkan bahwa
“membaca kisah kepemimpinan Don Thomas
adalah sebentuk dialog dan perjalanan
pulang ke masa silam, tetapi bukan dengan
percakapan yang tak terhingga. Karena
‘gajah mati meninggalkan gading’, dan kini
generasi yang mewarisi gading itu harus
melakukan suatu pilihan tunggal: ‘mengukir
gading itu dengan berbagai potensialitas,
guna mengukuhkan jati dirinya dalam suatu
perjalanan bersama yang lurus dan utuh,
tanpa harus terkotak-kotakan lagi’” (Don
Thomas Peletak Dasar Sikka Membangun.
2005:xxii). Situasi jaman yang pluralis
terkadang menghanyutkan kita untuk
mengadopsi suatu pola baru yang jauh
dari esensi otentisitas diri kita yang telah
diwariskan oleh para pendahulu. Tetapi,
apa pun situasinya, identitas kita, Generasi
Maumere harus dipertanggung jawabkan.

2. Mempertanggungjawabkan Otentisitas Generasi Maumere
Pertanyaan penting muncul, mengapa
kita disebut sebagai Generasi Maumere?
Apa yang tampak dari ke-maumere-an
kita? Menjadi orang Maumere tidak
dapat dipisahkan dari aneka simbolisme
kehidupan yang tampak dalam setiap
generasi. Setiap generasi mengusung nilai
yang telah menjiwai dan menggerakan
masing-masing pribadi dalam kekuatan kebersamaan.
Dalam bahasa sehari-hari
bahwa ‘di mana ada moke, di situ wue-wari
berkumpul’; berkumpul untuk bersama-sama
menikmati mage wair, krawa Sikka,
ule nale, lawar atau rumpu rampe daun
singkong/bunga pepaya/jantung pisang
dan wo’i barase”. Ini tidak hendak merujuk
pada tradisi makan dan minum sebagai
kebiasaan, tetapi ikatan sosial yang mau
dipancarkan melalui kebersamaan yang
sudah bergema dalam setiap jiwa generasi.
Dalam kumpul bersama itu dengan
sendirinya terjadi managemen sosial.
Dengan kata lain kepemimpinan dengan
sendirinya terbentuk. Ada yang berlaku
sebagai pemimpin ada pula yang bersedia
dipimpin. Nah…kalau dalam hal makan-minum
saja ada yang dikenal dengan sebutan
‘bandar’ (pemimpin sebagai tukang “pola tua”) mengapa dalam
hal lain tidak dapat diapresiasikan jiwa
kepemimpinan yang demikian dalam proporsi yang lebih intelek?
Dalam konteks ini, Raja Don Thomas Ximenes Da
Silva dapat menjadi simbolisme personifikasi
dari sosok pemimpin Kabupaten Sikka
yang berkualitas. Hal ini juga diungkapkan
oleh Tasuku Sato, Komandan Angkatan
Laut Kerajaan Jepang yang bertugas
di Flores tahun 1943-1945, mengagumi
Don Thomas dalam bukunya ‘I Remember
Flores’, antara lain: ‘Raja Sikka merupakan
tokoh yang amat penting di Flores. Bukan
saja karena daerah Sikka yang dibawahinya
memang lebih terkemuka dari yang
lainnya, tapi juga karena dia adalah tokoh
yang berwibawa. Kelihatannya setengah
tua, cermat dan bijaksana. Saya
sangat berkesan akan sikapnya yang
meyakinkan dan wajahnya yang coklat
dan keren yang menunjukan bahwa ia
adalah seorang yang berkepribadian,
dapat dipercaya dan sungguh-sungguh’”
(Ibid:xxxvii). Bukanlah suatu hal
yang berlebihan bahwa setiap generasi
Maumere telah memiliki kapasitas memimpin,
meskipun masih dalam proses
pencaharian identitas diri. Kalau kita
mencermati perjalanan sejarah suksesi
kepemimpinan Sikka sejak P.S. Da
Cunha sampai Drs. Alexander Longginus
banyak kekayaan nilai yang dapat
kita refleksikan dan kembangkan untuk
kemajuan Generasi Sikka. Namun itu
hanya akan tercapai ketika kita kembali
ke masa lampau, kembali kepada jati
diri kita sebagai “ata Sikka”.

3. Membangun Budaya Identitas “ata Sikka’
Tanpa bercermin pada sosok
historis para pendahulu Generasi Sikka,
kita tidak dapat mengapresiasi budaya
identitas ke-maumere-an kita, terutama
di tengah pasar global dewasa ini. Ini
berarti bahwa pentingnya membatinkan
diri kita ke dalam semangat para pendahulu.
Melanjutkan warisan merupakan
langkah awal perjalanan merajut
Identitas Generasi Maumere. Melanjutkan
warisan berarti kita diajak untuk
menerjemahkan perjuangan hidup para
pendahulu dalam pengalaman keseharian
kita. Budaya “ata Sikka” menyangkut
segala aspek kehidupan yang meliputi
pikiran, perasaan, pola kehidupan yang
mengandalkan kebersamaan sebagai
kekuatan kreatif. Kelemahan terbesar
yang saat ini mewabah dalam diri Generasi
muda Maumere ialah kurangnya
daya-daya kreatifitas dan hilangnya rasa
solidaritas yang menyapa dan merangkul
dalam kebersamaan. Kenyataan
ini menimbulkan kurangnya perhatian
yang mendalam terhadap keindahan
keunikan budaya sendiri. Menutupi
keaslian dengan segala tiruan dari luar
merupakan sikap yang tidak berkualitas.
Bahkan tata kelola perilaku beberapa putra daerah Sikka
telah teralienasi oleh karakter korup.
Suatu gambaran yang pribadi yang ironis.
Inilah tantangan dan sekaligus ajakan
untuk berbenah. “Mai sai, mogat hama-hama
tena moret itan epan, lopa hulir
mora tanah Sikka!” Generasi maumere,
di mana cahayamu? Di mana Suaramu?
Dan di mana kreatifitasmu? Banyak potensi
yang masih terselubung dalam diri
Generasi Maumere. “Bui apa walong”,
tunjukan kreatifmu…!!!!




1 komentar: