Sabtu, 27 Agustus 2011

Aku Bukan Teroris - 54

Novel Handoko Adinegoro
Aku jadi ingat, anak muda-anak muda yang dulu belajar mengutak-atik handphone kepada suamiku itu rasa-rasanya tak pernah bersikap mencurigakan. Meskipun tak pernah berbincang-bincang denganku, namun sikap mereka terasa terbuka. Bahkan sepertinya mereka ingin semua orang – para tetangga, maksudnya – tahu bahwa keberadaan mereka di sini memang semata-mata untuk belajar menyervis handphone. Lain tidak. Salah satu caranya adalah berbicara agak keras manakala ada salah seorang atau beberapa orang tetangga lewat. Suamiku pun ikut-ikutan berkata dengan suara keras saat itu. Bukankah itu menunjukkan mereka tak menutupi apa pun?
Lantas mengapa mereka dicurigai belajar membuat detonator dengan handphone? Lebih dari itu, suamiku pun di depan rapat warga memberi jaminan bahwa para tamunya adalah orang-orang baik yang tak mungkin berbuat keonaran di kampung ini. Meskipun kepadaku suamiku sempat bilang, mereka adalah orang-orang yang telah mewakafkan hidup mereka untuk agama Allah, untuk menegakkan Islam dan merindukan kematian di jalan Allah.
Aku salut kepada mereka. Anak muda-anak muda yang bahkan belum berumah tangga itu memiliki rasa tanggung jawab yang besar terhadap agama yang mereka anut. Kendati oleh sebagian orang agama itu dianggap dipilihkan oleh orangtua mereka, bukan atas pilihan sendiri, namun kesetiaan mereka terhadap agama itu sangat mengagumkan.
Terus terang aku iri sekaligus bangga. Iri karena aku belum tentu mampu bersikap seperti mereka. Bangga juga lantaran para sahabat suamiku itu orang-orang yang bukan hanya memikirkan diri-sendiri, memikirkan duniawi, melainkan telah berfikir jauh ke depan, mencari bekal dan mempersiapkan diri untuk kehidupan yang sangat abadi.
Suara handphone salah satu lelaki yang ada di depanku menjerit. Rupanya sebuah SMS masuk. Lelaki yang tadi telepon itu lantas membaca pesan yang ada di layar kecil handphone-nya. Ia mengerutkan kening. Lantas ia menyerahkan handphone itu kepada dua lelaki lainnya, menyuruh mereka ikut membacanya. Kulihat kemudian ketiganya saling pandang. Tak lama. Lantas mereka bersama-sama menatapku. Aku heran dengan sikap mereka.
“Ada apa, Pak?” aku merasa agak cemas. “Ada kabar buruk, Bu.”
Kecemasanku makin menjadi. Aku terbayang suamiku. Jangan-jangan ia, lelaki cahayaku itu, telah tertangkap. Atau, jangan-jangan ia telah wafat. “Kabar apa, Pak?”
Sejenak kulihat lelaki itu ragu. Lewat sorot matanya, ia seperti minta pendapat dari kedua rekannya yang membalas tatapan mata itu dengan anggukan. Seolah-olah keduanya memberi dorongan agar lelaki itu tak ragu-ragu mengungkapkannya.
Aku sendiri secara emosional bersiap-siap menghadapi kabar yang paling buruk yang mungkin terjadi terhadap suamiku. Aku harus ikhlas, jika benar suamiku telah berpulang. Sebagaimana pesannya, aku tak boleh menangisinya. Sebab ia telah merasa puas, ia bahagia, bisa wafat di saat sedang menegakkan agama yang sangat dimuliakan. “Suami saya tertangkap?” Lelaki itu menggeleng. “Atau suami saya sudah wafat?” “Tidak, Bu.” “Lalu kabar buruk apa, Pak? Tolong jangan membuat saya penasaran.” “Maafkan kami, Bu. Kabar ini bahkan lebih buruk dibandingkan dengan kabar tentang suami ibu.” “Saya tak mengerti.” “Kami mohon Bu Abidah tidak terkejut. Tampaknya Bu Abidah akan menjalani pemeriksaan lagi.” “Dengan tujuh lelaki itu?” “Tidak, Bu. Dengan aparat di Polda.” “Dulu mereka memang bilang akan kembali meminta keterangan dari saya seandainya keterangan tentang suami saya itu dirasa masih kurang.” “Tapi ini bukan tentang Pak Muslihin.” “Lantas tentang siapa?” “Tentang Bu Abidah.” Kembali keheranan menyergap otakku. “Tentang saya?” “Ya, Bu.” “Ada apa dengan saya?” “Kemungkinan Bu Abidah juga disangka terlibat dalam peristiwa ini.” “Apa?” tak terasa aku mengucapkannya dengan nada tinggi. Ketiga lelaki di depanku hanya menunduk. “Bagaimana mungkin saya dilibatkan? Apa yang telah saya lakukan? Selama ini, saya hanya ibu rumah tangga. Saya tak pernah kemana-mana. Bahkan ke kios suami saya di pasar pun tak pernah. Bagaimana saya bisa dilibatkan?” “Maaf, Bu Abidah. Ini semua berkaitan dengan masa lalu. Bukan hanya masa lalu Bu Abidah atau Pak Muslihin, melainkan juga masa lalu orangtua Bu Abidah.” Aku kehabisan kata-kata.
Aku tak mampu berfikir dan menerka ke arah mana nasib dan takdir akan membawaku. Keyakinan diriku seketika terasa runtuh. Mereka telah menyangkut-pautkan peristiwa ini dengan kedua orangtuaku yang bahkan kini telah bersemayam secara damai di alam baka. Meski tak kuketahui secara pasti maknanya, namun kabar dari tiga lelaki itu telah menerjang pertahanan kesadaranku. Otakku terasa kosong. Mataku hanya mampu menangkap cahaya kuning kehijauan. Ketiga lelaki yang ada di depanku tak lagi tampak wujud mereka secara nyata. Pelan-pelan mereka menjelma menjadi bayangan serupa cahaya. Sekelilingnya gelap. Hitam. Yang mampu kutangkap di telingaku hanya pekikan ibu seperti merasakan kecemasan yang sangat. Selebihnya benar-benar gelap. Tak ada warna. Tak ada cahaya. Tak ada lagi suara. Sunyi. Dan aku pun tak merasakan keberadaanku sendiri.
Situasinya benar-benar mirip dengan bertahun-tahun lalu, ketika paman mengabariku tentang ayah yang wafat. Aku tak berdaya. (Jodhi Yudono, Kompas.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar