Sabtu, 06 Agustus 2011

KERAJAAN KANGAE JATUH KE TANGAN BELANDA

Kangae adalah sebuah kerajaan tradisional, yang didirikan oleh Moa Bemu Aja, seorang keturunan RaE Raja asal dari Banggala-Siam Umalaju (Bangladesh) seputar tahun 900, wilayahnya mencakup wilayah Hook Hewer Kringa, Werang, Doreng, Waigete, Wolokoli, Hewokloang, Ili, Wetakara, Nele, Koting dan Nita, atau disebut Nulan Ular Tana Loran. Kerajaan KangaE mencatat 38 Raja Adat dan seorang Raja Koloni Belanda yakni Ratu Nai Juje (1902-1925).
Pada tahun 1600-an Portugis mendirikan kerajaan Sikka diNatar Sikka dan kerajaan Nita di wilayah Hoak Hewe Nita. Dengan demikian sejak tahun 1600-an Nuhan Ular Tana Loran telah terbagi atas 3 wilayah kerajaan yakni kerajaan tradisional KangaE Aradae, dan 2 kerajaan koloni Portugis yakni kerajaan Sikka dan kerajaan Nita.
Pada tahun 1859 Portugis dan Belanda mengakhiri persengketaan mereka atas tanah jajahan di wilayah Hindia Timur, melalui kesepakatan Lisabon. Portugis menyerahkan Hindia Timur kepada Belanda kecuali Tomor-Timur. Dengan itu Belanda mulai berusaha masuk ke Hindia Timur termasuk Sunda Kecil ( Nusa Tenggara). Namun Belanda masih menghadapi perlawanan dari raja-raja setempat. Kerajaan Sikka dan Nita sebagai koloni Portugis, baru secara resmi diserahkan kepada Belanda pada 11 September 1885. Raja Andreas Jati da Silva dilantik menjadi Raja Sikka. Dan raja Juang Ngaris da Silva dilantik menjadi Raja Nita. Wilayah Kerajaan Sikka yang meliputi Natar Sikka kini bertambah luas dengan masuknya Hoak Hewer Kotin dan Nele ke Kerajaan Sikka. Dengan ini ibu kota kerajaan Sikka dipindahkan dari Natar Sikka ke Nuba Nanga Alok Wolokoli, yang kemudian menjadi Kota Maumere.
Kerajaan KangaE dengan 8 wilayah Hoak Hewernya menolak kedatangan penjajah Belanda ke Nuhan Ular Tana Loran. Karena itu dengan bantuan Raja Andreas Jati da Silva, Belanda mengerahkan pasukan MARSESE-nya untuk menyerang kerajaan KangaE dan daerah takluknya yaitu Kringa, Werang, Waigete, Doreng, Wolokoli, Hewokkloang, Ili, dan Wetakara.
Kisah penyerangan terhadap Kerajaan KangaE itu dapat dipaparkan sebagai berikut:
1. Penyerangan ke Kringa
2. Penyerangan ke Hewokloang
3. Penyerangan ke Waigete
4. Penyerangan ke Natar KangaE
5. Penyerangan ke Werang
6. Tiga Kerajaan dilebur jadi Satu
1. PENYERANGAN KE KRINGA.
Seputar tahun 1893 Pemerintah Koloni Belanda memerintahkan Raja Andreas Jati da Silva untuk menyerang wilayah Hoak Hewer Kringa. Mula-mula diutus 2 orang mata-mata bernama Ramu dan Leba untuk mengintai keadaan dan kekuatan orang Kringa. Tana Puan Gete Kringa bernama Moan Beto mencium bau adanya mata-mata itu maka adiknya Moan Blero diperintahkan untuk membunuh Moan Ramu dan Moan Leba. Tempat kejadian pembunuhan itu sekarang dikenal dengan nama Natar Leba. Karena itu dikirimlah pasukan MARSESE di bawah komando Raja Andreas Jati da Silva, menyerang Kringa. Pertempuran sengit terjadi di dataran Nebe, namun kemudian Moan Beto dan Blero berhasil ditangkap masukan Marsese. Beto dan Blero menyatakan takhluk kepada Belanda dengan membayar rampasan perang berupa batang gading dan gong, serta tanah dataran Nebe.
Perlawanan itu dikenang sebagai Sejarah Perlawanan Beto Blero di Kringa. Mereka telah tiada, namun mereka adalah pejuang lokal yang menolak penjajahan di atas dunia. Mereka mewariskan nilai-nilai kepahlawanan cinta tanah air dan kerelaan berkorban untuk membela nusa dan bangsa. Masyarakat Kringa patut berbangga memiliki pahlawan kemerdekaan tanpa tanda jasa dan lencana perjuangan.
2. PENYERANGAN KE WAIGETE
Pada tahun 1898 Raja Andreas Jati da Silva wafat, maka penyerangan terhadap kerajaan KangaE dialihkan ke tangan penggantinya Raja Yoseph Mbako II da Silva. Seputar tahun 1900 datanglah laskar MARSESE di bawah komando Raja Yoseph Mbako II da Silva ke Waigete. Raja memanggil Tana Puan Gete di Hoak Hewer Waigete bernama Moan Jawa Baoleng. Tana Puan Jawa Baoleng menolak undangan Raja. Maka secara paksa laskar Marsese menjarah 5 batang gading dari rumah Tana Puan Baoleng. Pertempuranpun tak terelakkan, dan pasukan Waigete di bawah komando Moang Baoleng, mengejar pasukan Marsese sampai masuk kota Maumere. Akhirnya Post Houder dapat melunakan hati Moan Baoleng, sehingga beliau menyatakan takhluk.
Perlawanan Tana Puan Gete Moan Jawa Baoleng disebut juga Perlawanan Jawa Umok yang artinya perlawanan Moan Jawa dari Puncak Gunung Api ( Gunung Egon ). Jawa Baoleng seorang pejuang dan pemberani. Beliau punya semangat juang cinta tanah air, memiliki kerelaan berkorban demi nusa dan bangsa. Jawa Baoleng patut dikenang sebagai pahlawan daerah tanpa tanda jasa dan tanpa menyandang lencana kehormatan.
3. PENYERANGAN KE HEWOKLOANG
Seputar Oktober 1902 Belanda minta bantuan laskar dari kerajaan Larantuka. Raja Larantuka mengirim laskar dari Solor, dan menancapkan bendera Belanda di dataran Namang Kewa. Masyarakat Hoak Hewer Hewokloang di bawah komando Moan Raja Juje melakukan perlawanan dan mencabut bendera Belanda. Terjadilah pertempuran sengit di dataran Namang Kewa. Namun akhirnya pasukan Hewokloang terpukul mundur. Sekitar akhir Oktober 1902 pasukan Solor sudah menembus masuk kampunh Heo, Kewa, dan Hewokloang. Rumah-rumah penduduk dibumihanguskan dan pasukan Hewokloang yang ditemukan dibantai oleh laskar Solor. Tinggal kenangan di benak masyarakat Hewokloang ialah Perlawanan Namang Jawa yang artinya Perang melawan orang Jawa da dataran Namangkewa. (Orang Jawa Larantuka)
Darah para pahlawan leleuhur Hewokloang membasahi bumi Hoak Hewer Hewokloang demi cinta Tanah Air dan kerelaan berkorban demi Nusa dan Bangsa. Mereka menjadi bunga-bunga bangsa tanpa tanda jasa dan lencana kehormatan. Semangat dan nilai kebangsaan yang mereka wariskan patut diteladani.
4. PENYERANGAN TERHADAP NATAR KANGAE.
Natar KangaE adalah ibukota Kerejaan KangaE yang pada saat itu diperintah oleh Ratu Keu Nago, Raja Adat ke-38 atau terakhir ( +1876-1902). Setelah menakhlukan Kringa, Waigete, dan Hewokloang, penyerangan mulai diarahkan ke pusat kerajaan di Natar KangaE Hoak Hewer Ili. Menurut tuturan lisan kakek Mitan Nago dan dilanjutkan Om P.Y Bapa, Yosep Jeng, dan Gervasisus Gaing, bahwa penyerangan itu terjadi 2 hari sebelum wafatnya Raja Yoseph Mbako II da Silva. Karena itulah diduga penyerangan terhadap KangaE terjadi pada 26 Nopember 1902. Kisah penyerangan itu masih diwariskan dalam bentuk Duan Moan Latung Lawang sebagai berikut:
Ama Moan Keu Nago – Ayahanda Keu Nago
Ratu reta deri lepo – Ratu pewaris takhta
Raja reta gera woga – Raja penerus suku
Jong Lolong Bako Bait – Kapal armada Bako Bait
Lolong Bait Bako Sikka – Armada pahit Bako Sikka
Ratu Reta Lepo Brinet – Keratuan Sunyi Senyap
Raja reta Woga nelar - Kerajaan kosong melompong
Jong Lolon Bako Bait – Kapal armada Bako yang kejam
Ratu nian dadi nurak – Keratuan porak-poranda
Raja Tana dadi lalang – Kerajaan hancur berantakan
Bewu Kewut Lait Labang – Penuh debu dan sarang laba-laba
Tawa tana pleho waen - Anak tana berkhianat
Rebang bura reba ra – Anjing putih datang menindas
Raja mitan klako kepor – Anjing hitam ketakutan
Gala mitan goen gaet – Tinta hitam tergoreskan
Ia gu demen – Lalu terjadilah
Tawa Tana Nurak Lalang- Bumi asli berantakan
Ratu gala mitan – Keratuan berdasarkan tulisan
Raja mitan leda bura- Kerajaan hitam di atas putih
Ratu Nai gapu api – Raja Nai memanggul senjata
Lau Tuan Kloangpedat – Di hutan Kloangpedat
Waipare Watumilok – Waipare Watumilok
Ratu Nai Juje – Ratu Nai Juje
Ratu lau hera watan- Ratu di pesisir pantai
Raja lau bura Jong- Raja di Kapal orang Putih
Kisah tradisi lisan ini dilengkapi dengan tuturan lisan kakek Mitan Nago sebagai saksi sejarah maka penyerangan terhadap kangaE ini dapat diperjelas sebagai berikut:
1. Pada masa itu Kerajaan KangaE diperintah oleh Ratu Keu Nago Raja KangaE ke-38 (_+1876-1902 ) dan adalah raja adat KangaE terakhir. Seputar 26 Nopember 1902 datanglah ”Jong Lolong Bako Bait”( kapal armada yang dipimpin Bako Bait )
Kapal armada Bako Bait itu memuat laskar MARSESE di bawah komando Raja Yoseph Mbako II da Silva, bertolak dari Maumere menuju Waipare. Dari Waipare Ratu Bako Sikka bersama Moang Nai Juje (saudara sepupu Ratu Keu Nago) dikawal pasukan berkuda menuju markas penyerangan di kampung Bei. Sedangkan serdadu Marsese mulai melakukan penyisiran dua arah yaitu pertama Waipare-Kahat Ili-Detun-KangaE dan ke dua arah Waipare- Natar Werut (Orin Mude), Lihantahon-Paurau-Nitun-KangaE. Bedil berbunyi serempetan, rakyat tunggang langgang berlarian menyembunyikan diri. Di Natar KangaE tinggal Ratu Keu Nago dan beberapa pengawalnya yang setia. Sama sekali tidaka ada perlawanan dari Ratu Keu Nago agar tidak terjatuh banyak korban. Ratu Keu Nago menyarahkan diri dan menyerahkan tongkat kerajaan , mahkota lado balik, dan medali Wuli Jedo kepada Saudara sepupunya Moan Nai Juje. Ratu Keu Nago dituntut membayar rampasan perang berupa gading dan emas. Konon diserahahkan 30 bala repan (gading sedepa ) dan emas 30 sodu (tas dari anyaman daun lontar ). Tidak terhitung gading kecil dan emas dari rumah-rumah penduduk dijarah oleh laskar Marsese. Semua MAHE (batu memgalit) wisung diporak-poarandakan. Hanya tersisa ialah sebuah batu sesajen dari geraham Gajah (WATU MAHANG GAHAK AHANG), sebuah arca Budha (WATU DEOT) dan benang tenunan (GORE KAPA BEKOR). Dan harta yang paling indag yang tak dapat diporak-porandakan ialah NARUK DUAN MOAN LATUNG LAWANG sebagai warisan turun termurun. Ratu Keu Nago dilucuti bahkan diperlakukan secara kasar/ditempeleng oleh Ratu Bako. Ratu Bako Raja yang pahit (kejam). Ratu Keo Nago hanya menatap wajah Ratu Bako dengan tenang dan senyum, sambil bibirnya kimat-kamit. Tidak diketahui apa yang dikatakannya. Pada 27 Nopember 1902 Ratu Bako menuju Leku. Malamnya beliau terserang sakit perut. Besoknya 28 Nopember 1902 dalam perjalanan menuju Bola Raja Don Yosephus Mbako II da Silva menghembuskan nafasnya yang terakhir.
2. Kapal armada Bako Bait telah membuat Kerajaan KangaE hancur berantakan melalui sebuah politik adu domba antara Ratu Keu Nago dengan sepupunya Moan Nai Juje sehingga Belanda dapat menguasai dan menjajah Kerajaan KangaE melalui kontrak Korte Verklaring yang ditandatangani pada 8 Desember 1902.
3. Raja Nai Juje menjadi Raja Koloni Belanda berdasarkan sebuah Kontrak Korte Verklaring(= Sebuah kontrak perjanjian pendek yaitu memberi monopoli dagang bagi Belanda) dan mengakui kedaulatan Belanda atas Kerajaan KangaE Raja Nai Juje menjadi Raja KangaE ke-39 dan satu-satunya Raja Koloni Belanda di Kerajaan KangaE. Beliau memerintah Kerajaan KangaE dari 8 Desember 1902 sampai dengan 14 Nopember 1925. Kerajaan KangaE menamatkan riwayatnya karena 3 kerajaan di wilayah Onderafdeling Maumere (Sikka, Nita, dan KangaE) dilebur menjadi satu dengan nama Kerajaan Sikka dengan Rajanya Don Yosephus Thomas Ximenes da Silva.
Kerajaan KangaE adalah sebuah Kerajaan tradisional yang berkiprah di Nuhan Ular Tana Loran selama kurang lebih 1025 tahun (900-1925) dengan memiliki 39 Raja yang masih dapat dituturkan secara utuh dan kronologis.
5. PENYERANGAN TERHADAP WERANG
Sejak 8 Desember 1902 kerajaan KangaE secara resmi takhluk kepada penjajah Belanda dengan ditandatangani kontrak Korte Verklaring oleh Ratu Nai Juje. Rupanya penandatanganan kontrak Korte Verklaring itu berkaitan dengan kesepakatan perbatasan wilayah Onderafdeling, yang berdampak terhadap batas-batas wilayah kerajaan.
5.1 Perbatasan Onderafdeling Maumere dan Flores Timur
a. Wilalyah Muhan dari Kerajaan Larantuka Onderafdeling Flores Timur ditarik masuk distrik Kringa/Kerajaan kangaE/Onderafdeling Maumere.
b. Wilayah Hewa dari distrik Werang Kerjaan KangaE/Onderafdeling Maumere ditarik masuk ke Kerajaan Larantuka/Onderafdeling Flores Timur.
5.2 Distrik Doreng dan Wolokoli masuk Kerajaan Sikka wilayah Hoak Hewer Doreng dan Wolokoli ditarik dari kerajaan KangaE dan dimasukkan ke Kerajaan Sikka, dengan nama Wilayah distrik Doreng dan Wolokoli.
5.3 Perbatasan Onderafdeling perbatasan Maumere dan Ende
a. Pulau PaluE, wilayah Bu-Mbengu, dan Mego Wena ditarik dari kerajaan Lio Lise dan dimasukkan ke Kerajaan Sikka.
b. Wilayah Mego Wawo (Magepanda) ditarik dari kerajaan Lio Lise/Onderafdeling Ende dan dimasukkan ke kerajaan Sikka/Onderafdeling Maumere.
Meskipun demikian seorang perempuan dari wilayah Krowin (Kringa Werang) bernama Dua Toru yang adalah Tana Puan Gete di Hoak Hewer Werang, masih terus menolak kedatangan penjajah Belanda. Raja Nai Juje diperintahkan Belanda untuk menyerang parlawanan Werang dibawah komado Dua Toru pejuang dari Werang itu. Tentara Warsese mulai menyisir rumah penduduk mulai dari Nangahale, Tuabaao, dan Natamage. Rakyat berlarian, rumah penduduk dibumihanguskan. Di Tuabao terjadi pertempuran sengit antara pasukan Marsese dengan Pasukan Dua Toru. Seputar bulan Agustus 1912 Dua Toru tertembak peluru yang menembusi dadanya. Pasukkan Werang lari berhamburan menyembunyikan diri. Sebagai rampasan perang dataran Nangahale diserahkan menjadi milik Belanda.
Dua Toru seorang perempuan Krowin (Tana Ai) telah menunjukan kesetaraan gender, menjadi pejuang dan pemberani yang sungguh mencintai Tanah Air dan rela berkorban demi nusa dan bangsanya di Werang.
Dengan demikian sejak tahun 1912 Belanda telah secara penuh menguasai Wilayah Nuhan Ular Tana Loran dan ditambah PaluE, Lio, dan Muhan.

6. Tiga Kerajaan Dilebur Jadi Satu Kerajaan.
Seputar tahun 1925 Raja Nai Juje dari kerajaan KangaE dan Raja Don Yuan da Silva dari Kerajaan Nita, sudah memasuki usia yang lanjut. Belanda ingin melakukan penghematan biaya, maka diambillah langkah kebijakkan, untuk melebur 3 kerajaan Sikka, Nita, dan KangaE menjadi satu Kerajaan saja. Ratu Nai Juje dipensiunkan setelah memerintah Kerajaan KangaE selama 23 tahun (1902-1925). Raja Don Yuan da Silva dipensiunkan setelah memerintah Kerajaan Nita selama 16 tahun (1909-1925). Kini hanya ada satu kerajaan di wilayah Onderafdeling Maumere, dengan Rajanya Don Yosephus Thomas Ximenes da Silva, yang dilantik pada 14 Nopember 1925.
Dan sejak itu tamatlah riwayat kerajaan kerajaan KangaE dan Nita.
Kewapante, 15 Mei 2011
LONGGINUS DIOGO

Tidak ada komentar:

Posting Komentar