Sabtu, 27 Agustus 2011

Pembangunan, dan Perempuan dalam Perspektif Feminis Sosialis


Hari Perempuan Sedunia (Foto-ANTARA)

    “Neoliberalism is the only game in town, and the problem now is how do we tackle it?” (Hernando de Soto, dalam The Mystery of Capital 2000)
Latar belakang:
Tidak perlu disangkal, situasi perempuan di Indonesia masih diwarnai berbagai persoalan dan ketertinggalan dalam bermacam bidang pembagunan. Secara umum di tahun 2011, Indonesia menempati urutan ke 108 dari 169 negara-negara dalam Indeks Pembangunan manusia dan menempati urutan ke 94 dari 157 negara dalam Indeks pembanguna gender (JICA, 2011). Pembangunan Indonesia juga terbukti masih belum efektif mengenai perempuan sebagai sasaran pembangunan yang utama. Perempuan Indonesia dililit berbagai persoalan pada ranah domestik maupun publik yang perlu mendapat perhatian serius; poligami, pernikahan di bawah umur, tingkat buta huruf yang cukup tinggi, angka kematian ibu yang masih tinggi, Partisipasi perempuan di parlemen meskipun terus meningkat dari periode-periode sebelumya, tetap belum mencapai 30% seperti yang diamanahkan UU. Prosentase kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga dan hubungan personal lainnya mencapai lebih dari 90% (JICA, 2011).
Dengan menganut ekonomi liberal, Indonesia diharuskan untuk membuka lebar pintunya kepada masuknya investasi asing. Pilihan politik ekonomi seperti ini mengandalkan persaingan bebas dimana pemenangnya adalah yang kuat, yang terampil, dan punya sumber daya. Ini adalah mimpi buruk untuk sebagian rakyat Indonesia yang sebagian besar masih tertatih-tatih untuk hidup secara layak akibat kebijakan perekonomian masa lalu yang mengeksploitasi sumber daya alam, menganakemaskan industrialisasi dan mengingkari agraria sebagai negara agraris. Sekarang dunia pertanian bagi pemuda desa adalah dunia yang relatif suram dan tidak menjanjikan selain juga mereka tidak pernah diterampilkan di bidang itu karena alasan-alasan yang sangat masuk akal: kebutuhan untuk mendapat uang tunai secara cepat. Kapitalisasi pedesaan dan kerusakan alam yang makin masif menjadi penyebab keluarnya pemuda pemudi desa untuk mencari pekerjaan di kota dan di luar negeri sebagai TKI.
Bagi perempuan, situasi lapangan pekerjaan mungkin lebih mengenaskan dibandingkan dengan laki-laki, khususnya dengan perlakuan kekerasan kepada mereka yang bekerja di luar negeri. Selain itu, di negeri sendiri, tingkat pengangguran untuk perempuan masih lebih tinggi daripada laki-laki dan terdapat sedikit lebih banyak lowongan untuk laki-laki dibandingkan untuk perempuan. Banyaknya perempuan masuk ke sektor informal karena sedikit arena kerja formal yang membolehkan fleksibilitas waktu bagi permpuan yang harus mengurus aak-anak dan rumah tangga. Di dalam sektor informal perempuan masuk ke pekerjaan domestik dengan upah yang minim dan risiko kekerasan. Di bidang lingkungan hidup dan pertanian, perempuan menerima dampak langsung dari perubahan lingkungan, seperti pencemaran air, dan sampah, yang berimbas pada kerja-kerja domestik dan produksi skala rumah tangga.
Berbagai masalah di atas, sangat menekan kehidupan perempuan dan perlu diperjuangkan untuk ditiadakan atau paling tidak diminimalisir. Berbagai pendekatan untuk memahami persoalan perempuan kemudian dipakai untuk mecoba mencari akar permasalahan untk kemudian diatasi. Aliran feminis sosialis adalah salah satu aliran/cara pikir sekaligus metode atau pendekatan yang kerap dianut oleh aktivis perempuan untuk memperjuangkan keadilan bagi perempuan.

Asumsi Dasar dan Definisi
Feminisme sosialis adalah cabang dari feminisme yang mengemukakan argumen bahwa pembebasan dan keadilan untuk perempuan hanya bisa dicapai jika opresi kepada perempuan di bidang ekonomi dan budaya dihapuskan. Isme ini, dilandasi dua teori yaitu feminisme Marxisme yang meyakini bahwa kapitalisme mengopresi perempuan, dan teori feminis radikal yang memandang ketidakadilan gender disebabkan oleh kekuasaan laki-laki. Sama seperti aliran feminisme radikal lainnya yang juga melihat adanya diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dalam pencapaian kesetaraan dan keadilan untuk perempuan, tetapi feminis sosialis berusaha untuk melangkah lebih jauh dalam menjelaskan ketidakadilan kepada perempuan. Feminis sosialis mengatakan bahwa faktor supremasi laki-laki bukan satu-satunya yang ekslusif menyebabkan ketidakadilan kepada perempuan, tetapi lebih kompleks dari itu, aliran ini melihat bahwa ada faktor-faktor yang lebih luas yang perlu dipertimbangkan seperti situasi sosial budaya dan kelas sosial ekonomi. Feminis sosialis juga mengklaim berbeda dari aliran lain karena feminis sosialis tidak hanya mempersoalkan cara memadang dunia tetapi juga bagaimana mengubahnya.

Definisi Kesetaraan/Keadilan dan Tujuan Akhir
Secara mendasar, feminis sosialis bertujuan untuk mencapai sebuah kondisi keadilan untuk perempuan dengan pemberdayaan sehingga mereka mampu mengubah situasi kehidupannya. Keadilan menurut feminis sosialis adalah bentuk konkrit bagi perempuan agar dapat bekerja dan memperoleh penghargaan yang layak dan setara dengan laki-laki. Membentuk perundang-undangan yang menjamin perolehan hak bagi perempuan merupakan salah satu langkah yang akan dilakukan feminis sosialis untuk mecapai tujuan tersebut. Jika perempuan dan laki-laki punya kesetaraan dalam kerja dan pembagian kekuasaan, mereka bisa bersaing dengan adil mencapai posisi yang baik. Hanya jika perempuan dan laki-laki diperlakukan sama dan saling menggantikan dalam sebuah masyarakat maka ketidakadilan dan pemisahan antara keluarga dan kerja bisa dihapuskan.

Metodologi
Metode untuk menelusuri persoalan dan jalan keluar dari ketidakadalan gender dan khsusnya ketidakadilan yang dialami oleh perempuan adalah dengan menggunakan metode kualitatif yang mencari kerincian dari persoalan dan pengalaman perempuan. Umumnya ada anggapab bahwa metode untuk memahami perempuan sebaiknya dilakukan oleh perempuan juga yang dianggap bisa mendengarkan lebih baik, berempati dan memvalidasi pengalaman perempuan lain. Pendekatan yang personal dan kualitatif sifatnya, dianggap paling tepat, juga karena metode ini membolehkan berkembangnya hubungan yang relatif egaliter antara peneliti dan perempuan, non-eksploitatif.
Bentuk konkrit strategi yang diyakini oleh kalangan feminis sosialis adalah adanya hukum dan perundang-undangan yang menjamin kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam bidang penghidupan. Legislasi semacam ini diharapkan dapat menghapuskan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin di arena ekonomi dan lapangan pekerjaan.

Pancasila dan Perjuangan Keadilan untuk Perempuan
Kelima sila Pancasila, mengadung keadilan untuk perempuan. Sila kedua dan kelima, yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab serta Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, adalah sila-sila yang langsung menunjuk/menyebutkan dasar-dasar keadilan, kemanusiaan, keberadaban dalam kehidupan manusia Indonesia, laki-laki maupun perempuan. Perlu juga diingat bahwa ada 2 perempuan ikut berpartisipasi dalam lahirnya Pancasila dan persiapan kemerdekaan yaitu Raden Ayu Maria Ulfah Satoso dan Raden Nganten Siti Sukaptinah Sunaryo.
Warga negara perempuan adalah individu utuh yang mampu untuk memutuskan sendiri keyakinan dan kepercayaan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, tanpa intimidasi, kekerasa dan diskriminasi. Adil berarti melarang segala bentuk diskriminasi berbasis keyakinan politik, suku, agama, dan perbedaan jenis kelamin, secara beradab artinya dengan rasa kemanusiaan. Rasa kemanusiaan menolak segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam segala bidan kehidupan dan penghidupan. Persatuan Indonesia memberikan arti luas akan kebutuhan personal yang mewujud dalam kelompok yang lebih luas; suku,  agama, dan ikatan-ikatan kelompok yang hendak mencapi keadilan dan kesejahteraan. Permusyawaratan dan perwakilan rakyat, mengartikan pentingnya suara-suara seluruh komponen bangsa dan warga negara ikut dalam membuat keputusan kehidupan bersama. Dalam hal ini, perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki, dan dilindungi oleh undang-undang. Meskipun belum terwujud 30% seperti diamanahkan undang-undang, Pancasila dengan tegas menaungi hak dan kesempatan perempuan untuk duduk menjadi wakil rakyat. Dan terakhir, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menegaskan kembali bahwa perempuan sebagai warga negara mendapat manfaat yang sama dengan laki-laki dalam semua bidang pembagunan.
*) Eva K. Sundari, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI).
Cat: Artikel ini sedianya menjadi bahan diskusi Perempuan dan Kebangsaan III: “Perempuan Memandang Revolusi Agustus”. Akan tetapi, penulis tidak bisa hadir karena ada agenda mendesak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar