Selasa, 14 Februari 2012
wegokpermai: PROFIL DUSUN WEGOK
wegokpermai: PROFIL DUSUN WEGOK: Menhir Wegok Nama Dusun : Wegok, Julukan :Wegok Wain Koja Obok, Desa : Kajowair, Kec. Hewokloang, Kab. Sikka. Jumlah RT : 6, RT Wolon...
Theresia Martono, Membawa Kristus dalam Hidup
Bertolak dari keprihatinan akan sulitnya mendapatkan pendidikan yang ideal dan dorongan untuk mewartakan Kristus secara universal, menggugah hati Dra. Theresia Martono bersama suaminya, (alm) Johanes Aloysius Martono mendirikan sekolah Margie. Sekolah yang terdiri dari TK-SD-SMP-SMA tersebut dibangun di bawah Yayasan Pendidikan dan Pengajaran Margie Surabaya. Uniknya bahwa sekolah tersebut terlihat begitu umum, namun suasana Kekatolikannya begitu kental meskipun 90% staf pengajarnya beragama Islam.
Dra. Theresia Martono |
Berawal dari Lingkungan
“Satu hal yang patut saya syukuri, karena memang sejak kecil saya juga dibaptis sejak umur satu tahun setengah. Saya dibesarkan oleh suster-suster Putri Kasih, karena Ibu saya memiliki kedekatan dengan suster-suster Putri Kasih. Jadi sejak kecil saya biasa berada di Biara Suster Putri kasih, Jl. Tidar Surabaya. Tanpa saya sadari, cara hidup suster Putri Kasih itu menempel dalam hidup saya, sehingga dalam kehidupan saya selanjutnya juga selalu ingat dalam kegiatan apa saja mereka selalu menampilkan Kristus, dalam segala kata dan perbuatan mereka. Saya bawa dalam hidup saya, sehingga di mana saja saya berada, saya juga memperkenalkan Kristus dengan cara saya. Sejak kecil saya sekolah di sekolah St. Vincentius Don Bosko Surabaya sampai lulus SMP, kemudian melanjut ke SMA St. Maria Surabaya. Lalu saya masuk ke IKIP Negeri Surabaya. Dari kecil di sekolah Katolik terus, karena sudah dibina oleh suster-suster , di sekolah negeri, seperti di IKIP saya selalu tampil sebagai Katolik. Semua orang mengenal saya sebagai Katolik. Sesudah itu Saya lulus dan bekerja di konsulat Amerika, di bagian Pendidikan. Kemudian saya mengajar di American Consulat School, sebelumnya saya dilatih di Join Embassy School Jakarta” kisah Theresia Martono.
Bergelut di dunia pendidikan seolah-olah menjadi impian terbesarnya, dan untuk mewujudkan impian itu, setelah menikah dan memiliki anak Theresia mencari sekolah ideal bagi anak-anaknya seperti American Consulat School. Namun impian tersebut tidak dapat diwujudkan, mengingat sekolah tersebut hanya menerima siswa dari keluarga Konsulat. “Jadi akhirnya saya pikir, kalau saya mau punya sekolah yang bagus saya harus punya sekolah sendiri. Jadi waktu itu saya usahakan Play Group dan English Course, dan kemudian berkembang menjadi TKK, SD, SMP sampai SMA” terang Theresia.
Memperkenalkan Kristus
“Ketika saya sungguh-sungguh menerjuni dunia pendidikan, saya merasa menyatu dan tidak bisa melepaskan diri dari dunia pendidikan itu. Dan saya juga tahu panggilan hidup saya. Sejak saya mendirikan sekolah saya sendiri, sekitar tahun 70-an, yang pertama saya ingat bahwa saya harus memperkenalkan Kristus kepada sebanyak mungkin orang. Sekalipun nama Katolik tidak saya tonjolkan, dan ternyata pada waktu, pemberkaran sekolah di tahun 79, seorang Pastor memberikan saran agar tidak hanya menonjolkan Katolik, kata Romo, “Saya minta, tanpa nama Katolik tetapi kamu bekerja dengan sungguh-sungguh Katolik” ujar wanita kelahiran Surabaya tersebut.
“Pada waktu itu, banyak sekolah Katolik tetapi guru-gurunya tidak mencerminkan kekatolikannya. Banyak guru-guru yang lempar penghapus ke anak, mencoret-coret wajah anak dengan kapur. Terlihat dari luar sekolah ini begitu umum namun setelah memasuki halaman dan ruangan-ruangan sekolah itu, nuansa Katoliknya sangat kental. Mewartakan Kristus itu semacam menjadi suatu tugas. “Saya bersyukur kepada Tuhan, bahwa kalau begitu apa yang dikatakan Romo, saya sudah bisa membuktikan, kemudian yang memacu saya untuk lebih mencurahkan segala tenaga dan pikiran dan waktu saya, yakni mengutamakan Kristus dulu dan saya bahagia bahwa waktu itu sulit untuk sekolah kami yang tidak Katolik menghadirkan Misa Kudus. Saya berusaha untuk menghadirkan Misa Kudus di sekolah kami setiap bulan sekali“, tandas ibu dari tiga anak tersebut.
„Banyak tantangan dan kendala yang dihadapi dalam proses pendirian sekolah, namun dengan doa yang tulus dan tekun. Ia menyadari, untuk bisa membawa Yesus tidak ada jalan yang mulus. “Kalau kita mau membawa Yesus dalam hidup kita itu jalannya tidak selalu enak, selalu kita juga harus mau menghadapi yang tidak enak dan kita harus siapuntuk itu”. “sekarang sekolah saya sudah 36 tahun. 36 Tahun saya membawa Yesus saya tidak kecewa. Tetapi saya tahu bahwa perjuangan saya belum selesai. Saya harus berjuang terus, tetapi saya bahagia sampai ke Australia dengan Exchange program, selalu yang saya sampaikan bahwa sekolah saya ini mengutamakan pelajaran agama katolik”. Sekolah ini terbuka dengan umat beragama lain, seperti Islam. Hari Raya Natal dan Idul fitri dirayakan sama meriahnya, bahkan di sekolah ini terdapat mushola bagi siswa islam. Meskipun Islam itu minoritas di sekolah, tetapi mereka tidak merasa dibedakan. Jadi mereka juga lebih mudah menerima gambaran bahwa Kristus juga mengasihi semua orang. Visi misi sekolah, berkembang sesuai zamannya, membentuk generasi yang pertama beriman. Prihatin terhadap banyak generasi dewasa ini yang telah meninggalkan imannya. „Kalau orang memiliki iman maka dia juga akan memiliki kasih, takut pada Tuhan dan saling mengasihi. Kita mulai dari diri sendiri dengan menomorsatukan iman, bahwa Tuhan adalah Kasih. God is love“ sharing wanita yang terkenal dengan devosinya kepada Kerahiman Ilahi ini. (Primus)
Senin, 13 Februari 2012
Misa Kudus dan Kitab Wahyu
Dari segala hal seputar iman Katolik, tidak ada hal lain yang lebih kita kenal lebih daripada Misa Kudus. Dengan doa-doa yang sudah sangat tua usianya, himne-himne, posisi kita pada waktu Misa, Misa Kudus seperti layaknya kita di rumah sendiri. Akan tetapi banyak sekali umat Katolik menghabiskan seumur hidupnya tanpa mampu melihat lebih daripada mengucapkan doa-doa yang sudah dihafalkan. Sangat sedikit sekali dari umat Katolik bisa mengintip DRAMA SUPERNATURAL yang LUAR BIASA sewaktu mereka mengikuti ritual Misa Kudus setiap hari Minggunya. Sri Paus Yohanes Paulus II menyebutkan bahwa Misa Kudus adalah "Surga di bumi", sambil menjelaskan bahwa "liturgi yang kita rayakan di bumi adalah partisipasi yang misterius dari liturgi surgawi."
Misa Kudus begitu sangat kita kenal. Di lain pihak, Kitab Wahyu tampak asing dan penuh teka-teki. Halaman demi halaman mengisahkan gambaran-gambaran yang menyeramkan: peperangan, wabah penyakit, binatang-binatang dan malaikat-malaikat, sungai darah, katak jadi-jadian, dan naga berkepala tujuh. Dan figur yang paling baik adalah anak domba yang bertanduk tujuh dan bermata tujuh. "Kalau ini baru kulitnya saja", demikian sebagian umat Katolik berkata, "Saya rasa saya tidak ingin melihat lebih jauh."
Dalam buku ini, saya ingin menawarkan sesuatu yang sangat sulit dicerna. Saya akan mengatakan bahwa KUNCI untuk memahami Misa Kudus tidak lain adalah Kitab Wahyu, dan lebih jauh lagi, bahwa Misa Kudus adalah SATU-SATUNYA cara umat Kristen bisa memahami isi Kitab Wahyu.
Kalau anda tidak percaya, anda mesti tahu bahwa anda tidak sendirian. Ketika saya mengatakan kepada seorang teman bahwa saya sedang menulis tentang Misa Kudus sebagai kunci (untuk memahami) Kitab Wahyu, dia tertawa dan berkata, "Kitab Wahyu? Itu kan cuma berisi hal-hal yang aneh."Memang tampak aneh bagi umat Katolik, karena selama bertahun-tahun, kita telah membaca kitab ini secara terpisah dari tradisi Kristen. Interpretasi-interpretasi yang dikenal oleh banyak orang sekarang ini adalah interpretasi-interpretasi yang masuk halaman utama surat kabar atau daftar buku terlaris, dan interpretasi-interpretasi itu nyaris seluruhnya berasal dari Protestanisme. Saya tahu ini dari pengalaman saya pribadi. Saya telah mempelajari Kitab Wahyu selama lebih dari dua puluh tahun. Sampai dengan tahun 1985, saya mempelajarinya dengan kedudukan saya sebagai pendeta suatu denominasi Protestan, dan sepanjang tahun-tahun itu, saya terlibat, secara bergiliran, dengan berbagai teori-teori penafsiran yang populer maupun tidak populer. Saya mencoba setiap kunci, tetapi tidak satupun yang bisa membuka pintu. Sekali-sekali saya mendengar suara klik yang membawa harapan. Akan tetapi baru ketika saya mulai merenungkan Misa Kudus saya merasakan bahwa pintunya telah mulai membuka, sedikit demi sedikit. Secara bertahap, saya menemukan diri saya diliputi oleh tradisi Kristen yang luar biasa, dan pada tahun 1986 saya diterima dalam persekutuan yang penuh di Gereja Katolik. Setelah itu, dalam riset saya menyangkut Kitab Wahyu, berbagai hal-hal menjadi lebih jelas. "Kemudian dari pada itu aku melihat: Sesungguhnya sebuah pintu terbuka di sorga..." (Wahyu 4:1). Dan pintu itu membuka menuju......Misa Kudus mingguan di paroki setempat!
Nah sekarang mungkin anda menjawab bahwa pengalaman mingguan yang anda alami pada waktu Misa berlangsung sama sekali tidak bersifat surgawi. Bahkan, satu jam itu adalah saat-saat yang tidak nyaman, yang diisi oleh bayi-bayi yang menangis, lagu-lagu yang dinyanyikan secara sumbang, orang-orang yang mondar-mandir, homili yang tidak mengena, umat yang berpakaian seolah-olah mereka ingin pergi nonton acara sepak bola atau ke pantai atau pergi piknik.
Akan tetapi saya tetap mendesak bahwa kita SUNGGUH-SUNGGUH pergi ke surga ketika kita pergi menghadiri Misa Kudus, dan ini BENAR ADANYA bagi setiap Misa Kudus yang kita hadiri, terlepas dari kualitas musik atau semangat berkotbahnya. Ini bukan semata-mata karena kita ingin melihat sisi baiknya dari liturgi yang berlangsung secara kurang menarik. Ini juga bukan karena ingin bermurah hati terhadap solis yang tidak merdu suaranya. Ini semua adalah sesuatu yang benar secara objektif, sesuatu yang sama nyatanya seperti detak jantung anda. MISA KUDUS - dan maksud saya adalah SETIAP MISA KUDUS - ADALAH SURGA DI BUMI.
Saya ingin meyakinkan anda bahwa ini semua sama sekali bukan ide saya. Ini berasal dari Gereja. Itupun tetap saja bukan suatu ide yang baru. Ide ini sudah ada sejak hari dimana Rasul Yohanes mendapatkan penglihatan wahyu. Akan tetapi ini adalah ide yang belum mendapat perhatian yang memadai pada abad-abad terakhir dan saya sama sekali tidak bisa mengerti mengapa. Kita semua ingin mengatakan bahwa kita ingin sesuatu yang lebih dari Misa Kudus. Sesungguhnya kita tidak bisa mendapatkan sesuatu yang lebih daripada Surga itu sendiri.
Saya mesti mengatakan sejak mulanya bahwa buku ini bukanlah suatu pendalaman Alkitab. Isinya difokuskan kepada aplikasi praktis dari satu sisi dari Kitab Wahyu, dan pelajaran kita jauh dari lengkap. Para teolog berdebat tanpa habis-habisnya tentang siapa yang sesungguhnya menulis Kitab Wahyu, dan kapan, dan dimana, dan mengapa, dan ditulis diatas perkamen macam apa. Dalam buku ini, saya tidak akan menyinggung pertanyaan ini secara mendetail. Buku ini juga bukan sebuah buku pegangan bagi penjelasan liturgi. Kitab Wahyu adalah sebuah buku mistik, bukan video untuk training atau buku petunjuk pemakai.
Sepanjang buku ini, anda akan melihat Misa Kudus dengan pemahaman-pemahaman yang baru - pemahaman yang lain daripada pemahaman yang biasanya anda kenal. Meski surga turun ke bumi ketika Gereja merayakan Ekaristi, Misa Kudus tampak berbeda dari tempat yang satu ke tempat yang lain dan dari waktu ke waktu. Di tempat dimana saya tinggal, umumnya umat Katolik terbiasa dengan liturgi dari ritus Latin (=Roma = Barat). Bahkan kata "Misa" itu sendiri sebetulnya hanya menunjuk pada bagian liturgi Ekaristi dari Ritus Latin. Akan tetapi ada banyak liturgi-liturgi Ekaristi dalam Gereja Katolik: ritus Ambrosia, ritus Armenia, ritus Bizantium, ritus Kaldea, ritus Koptik, ritus Malabar, ritus Malankar, ritus Maronit, ritus Melkite, dan ritus Rutenian, beberapa contoh diantaranya. Masing-masing punya keindahannya yang tersendiri. Masing-masing punya kebijakannya tersendiri. Masing-masing menunjukkan sudut yang berbeda dari surga di bumi.
Riset buku "The Lamb's Supper" telah memberi saya penglihatan yang baru terhadap Misa Kudus. Saya berdoa semoga setelah membaca buku ini juga memberi karunia yang sama terhadap anda. Bersama-sama, mari kita meminta pembaruan hati kita juga supaya melalui doa-doa dan belajar, kita bisa lebih bertumbuh dan lebih mengasihi misteri-misteri Kristiani yang telah diberikan kepada kita oleh Allah Bapa.
Kitab Wahyu akan memperlihatkan kepada kita, Misa Kudus sebagai surga di bumi. Sekarang, marilah kita teruskan tanpa menunda-nunda lagi, karena surga tidak dapat menunggu. :-)
Setelah Bayi Tabung, Akhirnya Mengandung dengan Cara Alamiah
“Saya sebelumnya tidak berpikir untuk mengikuti program bayi tabung, saya menikahnya sudah cukup lama dan juga agak telat. Saya baru tahu, ternyata ada bayi tabung”, ungkap Novita Dewi kepada Anthoni Primus dari Suara Maumere. Wanita dua anak ini mengakui mengenal program Bayi Tabung ketika memeriksakan diri pada dokter Rumah Sakit Siloam Surabaya. Anak yang pertama menggunakan bayi tabung. Anak kedua berhasil dilahirkan melalui proses alamiah. Novita Dewi baru pertama menggunakan program bayi tabung, namun segera berhasil. Istri dari Hince ini merupakan satu dari 10 pasangan yang berhasil menggunakan program bayi tabung.
Mengapa Bayi Tabung?
Waktu itu dokternya tidak langsung menyarankan bayi tabung. Di samping itu biayanya juga besar, sehingga awalnya hanya dicek laboratorium, diperiksa dan di samping itu juga minum obat penyubur. Sekitar satu tahun tidak ada perkembangan apa-apa. Kemudian diadakan laparaskopi, untuk mengetahui apa masalahnya, untuk dapat memperoleh pengobatan yang intensif. Biayanya juga besar, sekitar 10 jutaan.
Hasil pemeriksaan tidak menunjukan adanya masalah kehamilan, namun dokter Cuma bilang diobati dulu. “Saya waktu itu sudah difoto, tidak ada masalah. Tetapi ternyata ada endometrium yang tidak terdeteksi. Pemeriksaan menggunakan laparoskopi itu kelihatan. Saya tahu bahwa saya mengalami endometrium justru setelah melahirkan. Bahkan dokter pun hampir tidak tahu. Jadi aku bilang yah sudah bayi tabung saja” kisah Novita.
Waktu mengikuti proses itu kan ada suntikan. Suntikan itu beberapa tahap. Selama 25 hari suntik sendiri. Botol suntik dan jarum suntik dibawa sendiri. Suntiknya di perut. Saya hanya yakin saja akan keberhasilannya. Waktu ikut bayi tabung umur 30 tahun. Secara mental psikologis saya sudah siap. Kalau memang ini jalan saya yah saya harus siap. Suntik sendiri. Setelah 25 hari obatnya diganti. Yang selama 25 hari itu untuk menstabilkan hormon. Suntikan berikutnya untuk memperbanyak sel telur. Dokter memberikan 5 jarum suntik untuk disuntikan di perut. Setiap hari disuntikan ke perut. Setelah suntik obat tersebut saya sering merasa mual-mual dan pusing. Setelah itu, 2 hari sekali saya harus ke Laboratorium untuk diperiksa, telurnya sudah matang atau belum, telurnya banyak atau tidak. Jika masih kurang maka obatnya akan diganti lagi“ tambahnya.
Novita Dewi |
Saya sama suami saling mendukung, karena kita sama-sama punya niat dan yakin. Dari keluarga ada pro dan kontra, karena belum tahu efek sampingnya apa. Soalnya yang disuntik itu kan hormon. Sebelum proses bayi tabung kita sudah tanda tangan, segala resikonya harus sudah siap ditanggung sendiri. Setiap 2 hari sekali kita juga ambil darah.
Keberhasilan ini karena ketekunan dan kerajinan mengikuti aturan bayi tabung. Kadang-kadang sudah ikut aturan pun juga tidak berhasil. Saya waktu itu diambil 6 sel telur yang kemudian diketemukan dengan sperma lalu jadinya hanya 3. Saya minta dimasukan semua. Itu pun yang berhasil bertahan Cuma 2. lalu yang lain mengecil hingga hilang. Sehingga jadinya anak satu.
Merawat Anak Hasil Bayi Tabung
Anak adalah „permata“ dan „titipan“ Tuhan. Apa pun kondisi seorang anak, ia tetap menjadi bagian dari orangtuanya yang telah merawatnya sejak kecil. Lantas bagaimana reaksi yang muncul ketika merawat seorang anak hasil bayi tabung? „Setelah melahirkan rasanya seperti menjadi orang lain. Merawat anak hasil bayi tabung itu tidak ada yang khusus. Sama seperti merawat anak-anak pada umumnya. Saya katakan pada Tuhan bahwa ini jalannya. Anaknya tumbuh baik dan normal. Sekarang usianya sudah 4 tahun“ sharing Novita. Berbeda perasaan orangtua yang ikut bayi tabung dengan orangtua yang melahirkan secara alamiah, karena prosesnya juga rumit, lama. Misalnya perasaan yang terasa asing terhadap anak sendiri. Akhirnya perasaan itu dapat teratasi juga dalam perjalanan waktu.
Novita membeberkan bahwa sebelumnya ia tidak menyadari akan melahirkan anak kedua tanpa program bayi tabung, „Karena saya juga tidak menyangka akan punya anak lagi. Saya hanya pikir bahwa anak saya hanya satu. Waktu melahirkan menggunakan operasi jadi tidak pikir akan memiliki anak lagi. Anak yang kedua usianya sudah satu setengah tahun. Yang pertama sekolah di Taman Kanak-Kanak“ cerita ibu yang bekerja sebagai wiraswasta tersebut. (Anthoni Primus)
Soal „Moral Bayi Tabung“ Menurut Pandangan Gereja Katolik
RD. Alfonsus Sutarno, Pr. Lic.Th. |
Fenomena “Bayi Tabung” telah mencuat dan memberikan aneka pertanyaan seputar hakikat dan makna kehidupan manusia. Makna kisah penciptaan manusia, mengalami pergeseran oleh hadirnya teknologi mutakir yang diciptakan oleh manusia. Salah satu fenomena aktual dewasa ini ialah hadirnya program “Bayi Tabung” sebagai jawaban kerinduan keluarga akan hadirnya “buah hati”. Fenomena “Bayi Tabung” kini menjadi perhatian dari berbagai kalangan, khususnya Gereja Katolik sendiri. Untuk itu, bagaimana sikap Gereja Katolik menghadapi kenyataan tersebut? Berikut wawancara eksklusif Antonius Primus dari Majalah Keluarga Kana/Suara Maumere bersama RD. Alfonsus Sutarno, Pr. Lic.Th. salah seorang Teolog Moral Katolik dari Universitas Urbaniana, Roma.
- Bagaimana pemahaman Gereja tentang „Bayi Tabung“?
Bayi tabung dipahami sebagai teknik pembuahan ekstra korporal. Sebuah metode yang mempertemukan sel telur dan sel sperma di luar tubuh seorang wanita. Pembuahan ini dilakukan dalam sebuah piring petri atau tabung di laboratorium dengan cara menaburkan (inseminasi) sel benih pria (spermatozoa) pada sel telur (oosit) wanita. Hasil pembuahan ini akan dibiarkan 3-4 hari. Kemudian hasil pembuahan yang sudah terbentuk akan ditanamkan kembali ke dalam rahim (uterus) wanita. Proses penanaman embrio ini disebut tandur-alih embrio (TAE) atau embryo transfer (ET). Usai melakukan tandur alih embrio ke dalam rahim wanita, diharapkan bisa terjadi kehamilan pada wanita yang bersangkutan dan akhirnya ia melahirkan anak.
Pemakaian istilah bayi tabung (test-tube baby) sebenarnya kurang tepat. Dikatakan kurang tepat karena proses perkembangan embrio tidak selamanya berlangsung di dalam tabung (piring petri). Hanya berlangsung antara 3-4 hari saja. Selebihnya, perkembangan embrio terjadi dalam rahim wanita. Istilah yang lebih tepat adalah fertilisasi ekstra korporal atau pembuahan di luar tubuh (extracorporal fertilization). Akan tetapi, karena fertilisasi dilakukan di dalam tabung, maka disebut juga pembuahan dalam tabung atau fertilisasi in vitro (in vitro fertilization).
- Bagaimana posisi Gereja terhadap program „Bayi Tabung“? mendukung atau menolak? Mengapa?
Kemunculan bayi bukan tanpa polemik. Kehadirannya telah memunculkan pro dan kontra. Para pendukung datang dari pasangan suami-istri infertil yang berharap memiliki momongan, para lesbian, pasangan sejenis, dan para janda. Gereja Katolik tidak menerima begitu saja keberadaan bayi tabung. Sikap kritis Gereja akan bayi tabung itu dilatarbelakangi oleh alasan kemanusiaan, penghargaan atas nilai dan martabat manusia.
Bayi tabung telah menuntun Gereja untuk bersikap kontra karena beberapa soal substansial yang muncul dan tidak terjawab. Persoalan substansial yang muncul itu misalnya, apakah sebenarnya yang menjadi hakikat hidup manusia? Kapankah awal kehidupan manusia dimulai? Bagaimana hakikat keluarga bisa dimengerti? Bagaimana teknologi bayi tabung bisa menjelaskan soal kriteria “pasien” bayi tabung, asal-muasal sel telur dan sel sperma, nasib embrio cacat dan embrio sisa yang dibekukan, keberadaan ibu pengganti (surrogate mother) dan hakikat lembaga keluarga?
- Salah satu tahap bayi tabung ialah pemilihan kualitas embrio yang kemudian dibuahi dalam tabung, yang memiliki resiko besar terhadap hasil yang ingin dicapai. Bagaimana posisi argumentasi Gereja soal kehidupan Embrio dan penggunaan teknologi medis dalam pembuahan?
Gereja memandang embrio sebagai makhluk insani. Harkat dan martabatnya atas hidup harus dihargai. Akan tetapi, dalam bayi tabung, siapakah yang bertanggung jawab terhadap embrio sisa? Secara medis, mormalnya, embrio sisa harus disimpan (dibekukan), tidak boleh dimusnahkan, dan hanya boleh dimanfaatkan oleh pasangan yang bersangkutan. Pertanyaannya adalah, bagaimana dengan nasib embrio sisa apabila dalam periode tertentu pemilik embrio sisa itu meninggal dunia? Bolehkah embrio sisa itu dimusnahkan atau diberikan kepada pasangan suami-istri lain yang membutuhkan?
Selain itu, bagaimana dengan sejumlah embrio yang dihancurkan atau dibuang karena kelihatan abnormal atau dimanfaatkan demi kepentingan riset? Bagaimana dengan banyak orang yang menentang pemusnahan embrio sisa karena hal itu mirip dengan masalah aborsi dan dianggap sebagai pembunuhan bakal calon manusia? Demi tipe individu tertentu, apakah dibenarkan pengrusakan “janin-janin muda” tersebut? Bagaimana pula dengan janin-janin yang dibekukan dan tidak ditanamkan kembali, yang tidak punya peluang untuk kehidupan masa depan?
Pertanyaan-pertanyaan mendasar yang tidak terjawab itulah yang makin mengukuhkan pandangan Gereja untuk berkata “tidak” pada bayi tabung.
- Bagaimana penilaian moral katolik terhadap inseminasi artifisial?
Ibu menerima suntikan hormon penyubur sel telur |
Kemajuan teknik memungkinkan prokreasi tanpa hubungan seksual. Namun, apa yang dapat terjadi secara teknis seperti inseminasi buatan, tidak dengan sendirinya dapat dibenarkan secara moral. Penalaran akal-budi dan refleksi mendalam mengenai nilai-nilai mendasar kehidupan dan prokreasi adalah syarat mutlak.
Dewasa ini inseminasi artifisial menuntut pembuahan dan penghancuran embrio insani. Budi daya embrio menuntut hiperovulasi pada perempuan: sejumlah sel telur diambil dan dibuahi. Akan tetapi, tidak semua akan ditanam dalam rahim wanita. Ada embrio yang dikurbankan karena alasan eugenis (mengambil embrio terbaik saja), ekonomis, dan psikologis. Penghancuran dengan sengaja makhluk manusia semacam itu atau pemakaiannya untuk berbagai tujuan, dengan merugikan keutuhannya dan kehidupannya sangat bertentangan dengan ajaran kristiani.
- Dokumen Gereja apa saja yang berbicara tentang moral bayi tabung? Kira-kira Pater bisa ceritakan isi ringkas dokumen tersebut, kapan dan siapa pencetusnya?
- Donum Vitae (1987), Instruksi Kongregasi untuk Ajaran Iman, tentang hormat terhadap hidup manusia tahap dini dan perlindungan martabat prokreasi. Jawaban atas beberapa soal aktual dewasa ini.
- Evangelium Vitae, Injil Kehidupan (25 Maret 1995). Ensiklik Paus Yohanes Paulus II tentang nilai-nilai hidup manusia yang tidak bisa diganggu gugat.
- Veritatis Splendor, Cahaya Kebenaran. Ensiklik Paus Yohanes Paulus II tentang pertanyaan pertanyaan fundamental ajaran moral Gereja.
- Piagam Bagi Pelayan Kesehatan (1995). Piagam panitia kepausan untuk reksa pastoral kesehatan, tentang masalah-masalah bioetika, etika kesehatan, dan pendampingan orang sakit.
- Martabat Prokreasi Insani dan Teknologi Produktif. Aspek-aspek antropologis dan etis, dari Akademi Kepausan untuk hidup (2004).
- Argumentasi Gereja soal moral “Bayi Tabung” tentu tidak lepas dari peran para tokoh/teolog Gereja. Siapakah tokoh/teolog Gereja terkenal yang argumentasinya menjadi dasar pertimbangan moral Gereja menyikapi fenomena “Bayi Tabung”?
Dengan melihat beberapa dokumen Gereja di atas, Paus Yohanes Paulus II adalah Paus yang sangat gigih membela kehidupan. Berikutnya adalah Kardinal Joseph Ratzinger (kini Paus Benedictus XVI) yang menjadi “orang kedua” dari Paus Yohanes Paulus II. Selanjutnya adalah para Uskup dan teolog yang tergabung dalam kongregasi profaganda iman (Congregatio pro Doctrina Fidei) atau akademi kepausan untuk hidup (Fontifical Academy for Life).
- Dalam kaitannya dengan efek program “Bayi Tabung”, apa saja pengaruhnya bagi kehidupan keluarga. Terutama soal dampak psikologis bagi ibu dan bayi dalam konteks pandangan Gereja?
Bayi tabung bersifat terbuka untuk “umum”, teknologinya membuka peluang bagi para janda, para wanita yang tidak pernah menikah, kelompok lesbian atau pasangan sejenis untuk memiliki anak.
Apabila para wanita tanpa suami bisa mengandung dan memiliki anak, bagaimana dengan nasib anak-anak tanpa bapak ini? Siapakah yang menjadi bapak dari anak-anak ini? Apabila dikemudian hari para wanita tak bersuami ini melakukan FIV untuk kedua atau ketiga kalinya, bagaimana relasi kekeluargaan di antara anak-anak hasil bayi tabung ini? Bagaimana pula nasib lembaga keluarga? Semuanya menjadi kacau, berantakan.
Dalam kaitannya dengan ibu, dalam bayi tabung dikenal ibu pengganti (surrogate mother), yakni wanita yang merelakan rahimnya ditanami embrio hasil pembuahan dari sperma seorang pria yang bukan suaminya dengan sel telur yang tidak berasal darinya. Ia akan mengandung dan melahirkan bayi. Namun setelah melahirkan ia tidak akan memiliki dan memeliharanya, sebaliknya akan menyerahkan bayi yang dilahirkannya dan hak-hak keorangtuannya kepada pasangan suami-istri yang memintanya sebagai ibu pengganti.
Adanya ibu pengganti ini berdampak negatif pada ibu pengganti itu sendiri, pada suami-istri dan anak yang dilahirkan, dan pada masyarakat. Ada yang menilai bahwa ibu pengganti seharusnya merasa rugi. Ada ketidaklayakan meminta seorang ibu pengganti untuk menjalani risiko fisik kehamilan untuk menguntungkan orang lain. Secara psikologis ibu pengganti juga telah dirugikan dengan menyerahkan anak genetiknya, bahkan ada beberapa ibu pengganti yang mengalami masa kedukaan setelah memberikan anaknya.
Seleksi embrio |
Apabila ibu pengganti merupakan sahabat atau kerabat dekat, keterlibatan yang berkelanjutan dari ibu pengganti bisa menciptakan ketegangan perkawinan. Keterlibatan ibu pengganti bisa melemahkan ikatan perkawinan dan merusak integritas keluarga. Apabila ibu pengganti ternyata dibayar untuk pelayanan mereka, maka reproduksi manusia menjadi bersifat komersil, dan mungkin anak-anak akan dilihat sebagai barang konsumen.
- Kehadiran program bayi tabung seolah-olah telah menjadi pemecah persoalan infertil yang dialami keluarga, khususnya keluarga-keluarga kristiani. Apa pertimbangan moral yang ingin Pater sampaikan kepada para keluarga, khususnya keluarga Kristiani agar mereka dapat mempertimbangkan untuk mengikuti program bayi tabung?
Keluarga kristiani hendaknya menyadari bahwa keberadaan anak-anak itu mulia dan bermartabat. Namun demikian, anak-anak bukanlah segala-galanya dalam keluarga. Ketiadaan anak-anak dalam rumah tangga bukanlah prahara bagi keluarga dan tidak berarti bahwa cinta suami-istri tidak berbuah. Oleh karena itu, apabila Tuhan belum atau tidak menitipkan anak-anak kepada keluarga kristiani, sebaiknya suami istri tidak mengambil cara-cara yang tidak bernilai kristiani sebagaimana nampak dalam teknik bayi tabung. Dalam ketiadaan momongan, pupuklah keutuhan, kesetiaan, dan cinta sebagai suami-istri. Selain itu, karena perkawinan merupakan kehendak Tuhan, terbukalah juga pada rencana Tuhan dalam keluarga. Jangan-jangan dengan tidak terlahirnya anak-anak dari rahim sendiri, Tuhan memanggil Anda supaya makin mengasihi anak-anak Allah yang terlantar, yang membutuhkan cinta seorang bapak dan ibu. (Anthoni Primus)
PERATURAN PANTANG DAN PUASA KEUSKUPAN AGUNG JAKARTA UNTUK TAHUN 2012
TEMA: “DIPERSATUKAN DALAM EKARISTI, DIUTUS UNTUK BERBAGI”
Masa Prapaskah/Waktu Puasa Tahun 2012 dimulai pada hari Rabu Abu, 22 Februari sampai dengan hari Sabtu, 7 April 2012.
“Semua orang beriman kristiani menurut cara masing-masing wajib melakukan tobat demi hukum ilahi’ (KHK k.1249). Dalam masa tobat ini Gereja mengajak umatnya “secara khusus meluangkan waktu untuk berdoa, menjalankan ibadat dan karya amalkasih, menyangkal diri sendiri dengan melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara lebih setia dan terutama dengan berpuasa dan berpantang” (ibid). Semua umat beriman diajak untuk memelihara suasana tobat dan mengisi masa tobat ini dengan berbagai keutamaan hidup beriman dan tidak mudah terpengaruh atau mengikuti suasana lain di luar suasana khusus gerejani ini.
Di samping itu sebagai tanda pertobatan dan syukur, Gereja minta supaya kita semua memberi perhatian dan mengarahkan hidup kita dengan bantuan beberapa hal beriktu ini:
Dalam Masa Prapaskah kita diwajibkan:
- Berpantang dan berpuasa pada hari Rabu, 22 Februari dan hari Jumat Suci, 6 April 2012. Pada hari Jumat lain-lainnya dalam Masa Prapaskah hanya berpantang saja.
- Yang diwajibkan berpuasa menurut Hukum Gereja yang baru adalah semua yang sudah dewasa sampai awal tahun ke enam puluh (KHK k.1252). Yang disebut dewasa adalah orang yang genap berumur delapanbelas tahun (KHK k.97 §1).
- Puasa artinya: makan kenyang satu kali sehari.
- Yang diwajibkan berpantang: semua yang sudah berumur 14 tahun ke atas (KHK k.1252).
- Pantang yang dimaksud di sini: tiap keluarga atau kelompok atau perorangan memilih dan menentukan sendiri, misalnya: pantang daging, pantang garam, pantang jajan, pantang rokok.
Kita semua diajak untuk terus memberi perhatian kepada saudara-saudara kita yang berkekurangan dengan cara berbagi untuk mereka. Saat ini kita sedang hidup dalam keprihatinan rusaknya lingkungan hidup. Oleh sebab itu dalam masa Prapaskah ini kita diajak untuk membangun pertobatan ekologis dengan cara peduli terhadap sampah dan berusaha keras membangun lingkungan hidup yang semakin bersih, hijau dan sehat. Kita berharap bisa merayakan Paskah dalam wujud lingkungan hidup yang semakin sehat untuk dihuni banyak orang. Selama masa prapaskah kita merefleksikan dan mendalami sikap iman ini. Maka kita masing-masing diajak untuk mewujudkan keutamaan ini dalam hidup setiap hari sebagai syukur atas kasih Tuhan dan wujud pertobatan kita. Semoga dengan demikian gerakan pertobatan kita semakin mempererat persaudaraan kita dan mendorong kita untuk terus berbagi untuk sesama. Kita percaya dalam suasana kasih dan semakin baiknya lingkungan hidup, kebaikan Tuhan semakin dialami oleh banyak orang.
Baiklah jika kita semua saling mendukung dengan memelihara masa tobat ini. Maka sangat dianjurkan agar perkawinan-perkawinan sedapat mungkin tidak dilaksanakan dalam masa Prapaskah (juga Adven), kecuali ada alasan yang berat. Pastor paroki dimohon secara bijaksana mencermati dan mengambil kebijakan sebaik mungkin dalam situasi dan kebutuhan pelayanan umat ini.
- Bila ada perkawinan yang karena alasan yang bisa dipertanggungjawabkan dilangsungkan dalam masa Prapaskah atau Adven, atau pada hari lain yang diliputi suasana tobat, pastor paroki hendaknya memperingatkan para mempelai agar mengindahkan suasana tobat itu, misalnya jangan mengadakan pesta besar (Upacara Perkawinan, Komisi Liturgi 1976, hal.14), untuk mengurangi kemungkinan menimbulkan batu sandungan.
Mari kita mensyukuri belaskasih Tuhan dan berusaha untuk membagikannya kepada sesama kita, terutama mereka yang sangat membutuhkan.
Jakarta, 18 Februari 2012
Mgr. Ignatius Suharyo
Uskup Keuskupan Agung Jakarta
Langganan:
Postingan (Atom)