Sabtu, 17 November 2012
Rabu, 31 Oktober 2012
Mitos asal muasal larangan menikah Sunda-Jawa
Mitos asal muasal larangan menikah Sunda-Jawa
Pernahkah anda mendengar bahwa orang Sunda dilarang
menikah dengan orang Jawa atau sebaliknya? Ternyata hal itu hingga ini
masih dipercaya oleh sebagian masyarakat kita. Lalu apa sebabnya?
Mitos tersebut hingga kini masih dipegang teguh beberapa gelintir orang. Tidak bahagia, melarat, tidak langgeng dan hal yang tidak baik bakal menimpa orang yang melanggar mitos tersebut.
Lalu mengapa orang Sunda dan Jawa dilarang menikah dan membina rumah tangga. Tidak ada literatur yang menuliskan tentang asal muasal mitos larang perkawinan itu. Namun mitos itu diduga akibat dari tragedi perang Bubat.
Peristiwa Perang Bubat diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda. Konon ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut karena beredarnya lukisan sang putri di Majapahit, yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman pada masa itu, bernama Sungging Prabangkara.
Hayam Wuruk memang berniat memperistri Dyah Pitaloka dengan didorong alasan politik, yaitu untuk mengikat persekutuan dengan Negeri Sunda. Atas restu dari keluarga kerajaan Majapahit, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamar Dyah Pitaloka. Upacara pernikahan rencananya akan dilangsungkan di Majapahit.
Maharaja Linggabuana lalu berangkat bersama rombongan Sunda ke Majapahit dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat. Raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit.
Menurut Kidung Sundayana, timbul niat Mahapatih Gajah Mada untuk menguasai Kerajaan Sunda. Gajah Mada ingin memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta, sebab dari berbagai kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukkan Majapahit, hanya kerajaan Sunda lah yang belum dikuasai.
Dengan maksud tersebut, Gajah Mada membuat alasan oleh untuk menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat adalah bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit. Gajah Mada mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan pengakuan superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk sendiri disebutkan bimbang atas permasalahan tersebut, mengingat Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu.
Versi lain menyebut bahwa Raja Hayam Wuruk ternyata sejak kecil sudah dijodohkan dengan adik sepupunya Putri Sekartaji atau Hindu Dewi. Sehingga Hayam Wuruk harus menikahi Hindu Dewi sedangkan Dyah Pitaloka hanya dianggap tanda takluk.
"Soal pernikahan itu, teori saya tentang Gajah Mada, Gajah Mada tidak bersalah. Gajah Mada hanya melaksanakan titah sang raja. Gajah Mada hendak menjodohkan Hayam Wuruk dengan Diah Pitaloka. Gajah mada Ingin sekali untuk menyatukan antara Raja Sunda dan Raja Jawa lalu bergabung. Indah sekali," tegas sejarawan sekaligus arkeolog Universitas Indonesia (UI) Agus Aris Munandar.
Hal ini dia sampaikan dalam seminar Borobudur Writers & Cultural Festival 2012 bertemakan; 'Kontroversi Gajah Mada Dalam Perspektif Fiksi dan Sejarah' di Manohara Hotel, Kompleks Taman Wisata Candi Borobudur, Magelang, Jateng, Selasa (30/10).
Pihak Pajajaran tidak terima bila kedatangannya ke Majapahit hanya menyerahkan Dyah Pitaloka sebagai taklukan. Kemudian terjadi insiden perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada.
Perselisihan ini diakhiri dengan dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas Majapahit, bukan karena undangan sebelumnya. Namun Gajah Mada tetap dalam posisi semula.
Belum lagi Hayam Wuruk memberikan putusannya, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukan Bhayangkara ke Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu.
Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah besar, melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal kerajaan (Balamati) yang berjumlah kecil serta para pejabat dan menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Raja Linggabuana, para menteri, pejabat kerajaan beserta segenap keluarga kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat.
Tradisi menyebutkan sang Putri Dyah Pitaloka dengan hati berduka melakukan bela pati atau bunuh diri untuk membela kehormatan bangsa dan negaranya. Menurut tata perilaku dan nilai-nilai kasta ksatria, tindakan bunuh diri ritual dilakukan oleh para perempuan kasta tersebut jika kaum laki-lakinya telah gugur. Perbuatan itu diharapkan dapat membela harga diri sekaligus untuk melindungi kesucian mereka, yaitu menghadapi kemungkinan dipermalukan karena pemerkosaan, penganiayaan, atau diperbudak.
Hayam Wuruk pun kemudian meratapi kematian Dyah Pitaloka. Akibat peristiwa Bubat ini, bahwa hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Gajah Mada sendiri menghadapi tentangan, kecurigaan, dan kecaman dari pihak pejabat dan bangsawan Majapahit, karena tindakannya dianggap ceroboh dan gegabah. Mahapatih Gajah Mada dianggap terlalu berani dan lancang dengan tidak mengindahkan keinginan dan perasaan sang Mahkota, Raja Hayam Wuruk sendiri.
Tragedi perang Bubat juga merusak hubungan kenegaraan antar Majapahit dan Pajajaran atau Sunda dan terus berlangsung hingga bertahun-tahun kemudian. Hubungan Sunda-Majapahit tidak pernah pulih seperti sedia kala.
Pangeran Niskalawastu Kancana, adik Putri Dyah Pitaloka yang tetap tinggal di istana Kawali dan tidak ikut ke Majapahit mengiringi keluarganya karena saat itu masih terlalu kecil dan menjadi satu-satunya keturunan Raja yang masih hidup dan kemudian akan naik takhta menjadi Prabu Niskalawastu Kancana.
Kebijakan Prabu Niskalawastu Kancana antara lain memutuskan hubungan diplomatik dengan Majapahit dan menerapkan isolasi terbatas dalam hubungan kenegaraan antar kedua kerajaan. Akibat peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan larangan estri ti luaran (beristri dari luar), yang isinya diantaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak Majapahit. Peraturan ini kemudian ditafsirkan lebih luas sebagai larangan bagi orang Sunda untuk menikahi orang Jawa.
Tindakan keberanian dan keperwiraan Raja Sunda dan putri Dyah Pitaloka untuk melakukan tindakan bela pati (berani mati) dihormati dan dimuliakan oleh rakyat Sunda dan dianggap sebagai teladan. Raja Lingga Buana dijuluki 'Prabu Wangi' (bahasa Sunda: raja yang harum namanya) karena kepahlawanannya membela harga diri negaranya. Keturunannya, raja-raja Sunda kemudian dijuluki Siliwangi yang berasal dari kata Silih Wangi yang berarti pengganti, pewaris atau penerus Prabu Wangi.
Beberapa reaksi tersebut mencerminkan kekecewaan dan kemarahan masyarakat Sunda kepada Majapahit, sebuah sentimen yang kemudian berkembang menjadi semacam rasa persaingan dan permusuhan antara suku Sunda dan Jawa yang dalam beberapa hal masih tersisa hingga kini. Antara lain, tidak seperti kota-kota lain di Indonesia, di kota Bandung, ibu kota Jawa Barat sekaligus pusat budaya Sunda, tidak ditemukan jalan bernama 'Gajah Mada' atau 'Majapahit'. Meskipun Gajah Mada dianggap sebagai tokoh pahlawan nasional Indonesia, kebanyakan rakyat Sunda menganggapnya tidak pantas akibat tindakannya yang dianggap tidak terpuji dalam tragedi ini.
SumberMitos tersebut hingga kini masih dipegang teguh beberapa gelintir orang. Tidak bahagia, melarat, tidak langgeng dan hal yang tidak baik bakal menimpa orang yang melanggar mitos tersebut.
Lalu mengapa orang Sunda dan Jawa dilarang menikah dan membina rumah tangga. Tidak ada literatur yang menuliskan tentang asal muasal mitos larang perkawinan itu. Namun mitos itu diduga akibat dari tragedi perang Bubat.
Peristiwa Perang Bubat diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda. Konon ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut karena beredarnya lukisan sang putri di Majapahit, yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman pada masa itu, bernama Sungging Prabangkara.
Hayam Wuruk memang berniat memperistri Dyah Pitaloka dengan didorong alasan politik, yaitu untuk mengikat persekutuan dengan Negeri Sunda. Atas restu dari keluarga kerajaan Majapahit, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamar Dyah Pitaloka. Upacara pernikahan rencananya akan dilangsungkan di Majapahit.
Maharaja Linggabuana lalu berangkat bersama rombongan Sunda ke Majapahit dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat. Raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit.
Menurut Kidung Sundayana, timbul niat Mahapatih Gajah Mada untuk menguasai Kerajaan Sunda. Gajah Mada ingin memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta, sebab dari berbagai kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukkan Majapahit, hanya kerajaan Sunda lah yang belum dikuasai.
Dengan maksud tersebut, Gajah Mada membuat alasan oleh untuk menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat adalah bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit. Gajah Mada mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan pengakuan superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk sendiri disebutkan bimbang atas permasalahan tersebut, mengingat Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu.
Versi lain menyebut bahwa Raja Hayam Wuruk ternyata sejak kecil sudah dijodohkan dengan adik sepupunya Putri Sekartaji atau Hindu Dewi. Sehingga Hayam Wuruk harus menikahi Hindu Dewi sedangkan Dyah Pitaloka hanya dianggap tanda takluk.
"Soal pernikahan itu, teori saya tentang Gajah Mada, Gajah Mada tidak bersalah. Gajah Mada hanya melaksanakan titah sang raja. Gajah Mada hendak menjodohkan Hayam Wuruk dengan Diah Pitaloka. Gajah mada Ingin sekali untuk menyatukan antara Raja Sunda dan Raja Jawa lalu bergabung. Indah sekali," tegas sejarawan sekaligus arkeolog Universitas Indonesia (UI) Agus Aris Munandar.
Hal ini dia sampaikan dalam seminar Borobudur Writers & Cultural Festival 2012 bertemakan; 'Kontroversi Gajah Mada Dalam Perspektif Fiksi dan Sejarah' di Manohara Hotel, Kompleks Taman Wisata Candi Borobudur, Magelang, Jateng, Selasa (30/10).
Pihak Pajajaran tidak terima bila kedatangannya ke Majapahit hanya menyerahkan Dyah Pitaloka sebagai taklukan. Kemudian terjadi insiden perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada.
Perselisihan ini diakhiri dengan dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas Majapahit, bukan karena undangan sebelumnya. Namun Gajah Mada tetap dalam posisi semula.
Belum lagi Hayam Wuruk memberikan putusannya, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukan Bhayangkara ke Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu.
Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah besar, melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal kerajaan (Balamati) yang berjumlah kecil serta para pejabat dan menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Raja Linggabuana, para menteri, pejabat kerajaan beserta segenap keluarga kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat.
Tradisi menyebutkan sang Putri Dyah Pitaloka dengan hati berduka melakukan bela pati atau bunuh diri untuk membela kehormatan bangsa dan negaranya. Menurut tata perilaku dan nilai-nilai kasta ksatria, tindakan bunuh diri ritual dilakukan oleh para perempuan kasta tersebut jika kaum laki-lakinya telah gugur. Perbuatan itu diharapkan dapat membela harga diri sekaligus untuk melindungi kesucian mereka, yaitu menghadapi kemungkinan dipermalukan karena pemerkosaan, penganiayaan, atau diperbudak.
Hayam Wuruk pun kemudian meratapi kematian Dyah Pitaloka. Akibat peristiwa Bubat ini, bahwa hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Gajah Mada sendiri menghadapi tentangan, kecurigaan, dan kecaman dari pihak pejabat dan bangsawan Majapahit, karena tindakannya dianggap ceroboh dan gegabah. Mahapatih Gajah Mada dianggap terlalu berani dan lancang dengan tidak mengindahkan keinginan dan perasaan sang Mahkota, Raja Hayam Wuruk sendiri.
Tragedi perang Bubat juga merusak hubungan kenegaraan antar Majapahit dan Pajajaran atau Sunda dan terus berlangsung hingga bertahun-tahun kemudian. Hubungan Sunda-Majapahit tidak pernah pulih seperti sedia kala.
Pangeran Niskalawastu Kancana, adik Putri Dyah Pitaloka yang tetap tinggal di istana Kawali dan tidak ikut ke Majapahit mengiringi keluarganya karena saat itu masih terlalu kecil dan menjadi satu-satunya keturunan Raja yang masih hidup dan kemudian akan naik takhta menjadi Prabu Niskalawastu Kancana.
Kebijakan Prabu Niskalawastu Kancana antara lain memutuskan hubungan diplomatik dengan Majapahit dan menerapkan isolasi terbatas dalam hubungan kenegaraan antar kedua kerajaan. Akibat peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan larangan estri ti luaran (beristri dari luar), yang isinya diantaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak Majapahit. Peraturan ini kemudian ditafsirkan lebih luas sebagai larangan bagi orang Sunda untuk menikahi orang Jawa.
Tindakan keberanian dan keperwiraan Raja Sunda dan putri Dyah Pitaloka untuk melakukan tindakan bela pati (berani mati) dihormati dan dimuliakan oleh rakyat Sunda dan dianggap sebagai teladan. Raja Lingga Buana dijuluki 'Prabu Wangi' (bahasa Sunda: raja yang harum namanya) karena kepahlawanannya membela harga diri negaranya. Keturunannya, raja-raja Sunda kemudian dijuluki Siliwangi yang berasal dari kata Silih Wangi yang berarti pengganti, pewaris atau penerus Prabu Wangi.
Beberapa reaksi tersebut mencerminkan kekecewaan dan kemarahan masyarakat Sunda kepada Majapahit, sebuah sentimen yang kemudian berkembang menjadi semacam rasa persaingan dan permusuhan antara suku Sunda dan Jawa yang dalam beberapa hal masih tersisa hingga kini. Antara lain, tidak seperti kota-kota lain di Indonesia, di kota Bandung, ibu kota Jawa Barat sekaligus pusat budaya Sunda, tidak ditemukan jalan bernama 'Gajah Mada' atau 'Majapahit'. Meskipun Gajah Mada dianggap sebagai tokoh pahlawan nasional Indonesia, kebanyakan rakyat Sunda menganggapnya tidak pantas akibat tindakannya yang dianggap tidak terpuji dalam tragedi ini.
Sabtu, 27 Oktober 2012
Synod on the New Evangelization
October 26, 2012. (Romereports.com) The meetings and discussions of the Synod on the New Evangelization, have come to a close.
To sort out all the information and ideas that were talked about these last 20 days, a conference was held at the Vatican's press office. The conclusions were given by Cardinal Giuseppe Betori who serves as the Archbishop of Florence. Also there was Monsignor Pierre-Marie Carré of Montpellier along with the Archbishop of Manila and soon to be Cardinal, Luis Antonio Tagle.
MSGR. LUIS ANTONIO TAGLE
Archbishop of Manila, Philippines
“I also would like to stress the message. In many parts of message, we find a humble, a very humble Church. But it also admits it shares the wounds of society. This is not pessimism. It's encouraging to have a Church that speaks the language of the people.”
The Archbishop of Manila also talked about the positive and optimistic attitudes reflected in the Synod. He said it's not because they're in denial or because they don't recognize the challenges of the Church. Instead it's because they have hope and faith that the New Evangelization can be carried out.
On Sunday, Benedict XVI will officially close the Synod on the New Evangelization with a Mass in St. Peter's Square. He will then begin to write a document that summarizes all the main points and conclusions of the Synod.
To sort out all the information and ideas that were talked about these last 20 days, a conference was held at the Vatican's press office. The conclusions were given by Cardinal Giuseppe Betori who serves as the Archbishop of Florence. Also there was Monsignor Pierre-Marie Carré of Montpellier along with the Archbishop of Manila and soon to be Cardinal, Luis Antonio Tagle.
MSGR. LUIS ANTONIO TAGLE
Archbishop of Manila, Philippines
“I also would like to stress the message. In many parts of message, we find a humble, a very humble Church. But it also admits it shares the wounds of society. This is not pessimism. It's encouraging to have a Church that speaks the language of the people.”
The Archbishop of Manila also talked about the positive and optimistic attitudes reflected in the Synod. He said it's not because they're in denial or because they don't recognize the challenges of the Church. Instead it's because they have hope and faith that the New Evangelization can be carried out.
On Sunday, Benedict XVI will officially close the Synod on the New Evangelization with a Mass in St. Peter's Square. He will then begin to write a document that summarizes all the main points and conclusions of the Synod.
Jumat, 19 Oktober 2012
Film Soegija Dirilis dalam Format VCD dan DVD
JAKARTA, suaramerdeka.com - Setelah meraih jumlah
penonton sebesar 415 ribuan di jaringan bioskop Cineplex 21, dan di luar
jaringan bioskop itu, hampir mencapai angka 50 ribuan (dan terus
berjalan), DVD dan VCD film Soegija produksi Puskat Pictures akhirnya dirilis secara resmi di Jakarta, Kamis (18/10).
Dalam rilis yang dihadiri Garin Nugroho selaku sutradara film itu,
Djadug Ferianto (penata musik), Nirwan Dewanto (aktor utama sebagai
Soegijo) dan Romo Benny, diharapkan versi DVD dan VCD film Soegija, "Dapat makin menyebarkan semangat kebangsaan Soegija yang mengatasi kepentingan agama," ujar Garin di Jakarta, Kamis (18/10).
Film Soegija saat
ini sedang dibawa ke Pusan Film Festival di Korea, setelah itu ke Tokyo
Film Festival, "Dan biasanya sampai 10 hingga 12 film festival
internasional menyusul di belakangnya," imbuh Garin.
Masih
menurut Garin, membuat dan mengekspresikan film yang bernarasi tentang
keagamaan dan kebangsaan harus memberikan keriangan, apapun agamanya,
"Kalau mengekspresikan keagamaan dipenuhi dengan rasa khawatir, bukan
pancasialis namanya," katanya.
Di masa Indonesia kehilangan inspirasi keberagaman, menurut dia, film Soegija telah memberikan inspirasi, "Dengan memberikan civic education kebangsaan, setelah film saya sebelumnya," katanya menyebut filmnya yang lain berjudul Mata Tertutup, yang juga dia timbang mengedukasi sebagaimana film Soegija.
Hal
senada dikatakan Nirwan Dewanto. Dia bercerita, setahun lalu persis
menerima tawaran peran sebagai Soegija. "Ini tawaran yang berat, karena
saya tidak punya jejak rekam di dunia film. Berat lainnya, tokoh Soegija
adalah tokoh nasional. Uskup pribumi pertama yang mempunyai dua
kesulitan," katanya.
Kesulitan Soegija pertama menurut dia, sebagai tokoh gereja katolik
Soegija dianggap wakil Barat. Sedangkan pada masa kemerdekaan, Barat dan
Pribumi adalah dua hal yang bertentangan. "Dan Romo Kangjeng (Soegija)
memilih berdiri di pihak Republik, dengan memindahkan pusat Gereja ke
Yogyakarta."
Propaganda kebangsaan
Yang pasti, Nirwan menambahkan, film Soegija bukan film propaganda agama, tapi propaganda kebangsaan. Dengan sembillan tokoh sentral yang mengemban semangat kebangsaan. "Oleh karenanya film ini layak tonton, karena kepahlawanan selama ini dianggap dengan sikap mengangkat senjata, Jenggoisme dan Ramboisme."
Yang pasti, Nirwan menambahkan, film Soegija bukan film propaganda agama, tapi propaganda kebangsaan. Dengan sembillan tokoh sentral yang mengemban semangat kebangsaan. "Oleh karenanya film ini layak tonton, karena kepahlawanan selama ini dianggap dengan sikap mengangkat senjata, Jenggoisme dan Ramboisme."
Garin juga berharap, setelah film Soegija makin banyak yang membuat film-film pemimpin bangsa lainnya yang pluralis. Dia juga bercerita, pada awal produksi film Soegija ada
beberapa kendala, "Mosok membuat film seperti ini (saya) mau digorok,
memalukan sekali di negara seperti ini," katanya sembari tersenyum.
"Negara ini kan negara anjing menggonggong, kafilah ikut
menggonggong. Dalam angka statistik rating kebangsaan negara ini,
nilainya lebih rendah dari rating PSSI," lanjutnya.
Oleh karena
itu, dia menghimbau sebagai warga bangsa, untuk sama-sama belajar dari
nilai-nilai keutamaan dari tokoh-tokoh pendiri bangsa ini. "Soegijo
tidak cukup hanya dengan satu film, demikian pula dengan tokoh-tokoh
besar lainnya. Karena tokoh-tokoh besar bisa ditafsir dari berbagai
macam latar belakang."
Yang pasti, sebagai sutradara yang mengaku cuek dalam hal distribusi film, dalam hal film Soegija, Garin telah menjalankan tiga perannya. Yaitu peran sosial politik budaya, peran artisitik dan peran ekonomi. VCD dan DVD film Soegija dapat dibeli di sejumlah toko buku, paroki, pesantren juga di berbagai komunitas di Australia, India, hingga Eropa.
(Benny Benke/CN15)
Anak SD pun Melakukan Seks Bebas
TEMANGGUNG, suaramerdeka.com - Hubungan seks secara
bebas atau tanpa ikatan pernikahan tidak hanya dilakukan kaum dewasa,
namun anak-anak yang masih berstatus pelajar juga tidak sedikit yang
melakukan hal tersebut. Bahkan, diantara para pelajar itu, ada yang
masih duduk di sekolah dasar (SD) atau sederajat di Kabupaten
Temanggung.
Seperti diungkapkan Pengasuh Pondok Pesantren
At-Tauhid Parakan, Muh Madfur Nasocha atau Gus Madfur, setidaknya ada
dua anak perempuan yang masih berstatus pelajar SD di satu desa di
kabupaten setempat, yang melakukan hubungan seks bebas, kemudian hamil.
Sedangkan pasangan yang mengahamili mereka adalah pacarnya sendiri,
pelajar dari sebuah SMP.
"Anak-anak SD sekarang, meski umurnya
baru belasan tahun dan duduk di kelas V atau VI, namun kondisi fisiknya
memang ada yang seperti remaja, dan organ-organ reproduksinya pun sudah
berfungsi. Karena itu, tak mengherankan, jika kemudian
mengalami kehamilan setelah berhubungan badan," tuturnya.
Menurutnya,
kasus hubungan seks bebas di kalangan pelajar SD hingga mengakibatkan
kehamilan tersebut, hanyalah merupakan contoh yang terungkap. Sebab,
sebetulnya masih banyak kasus-kasus yang menunjukkan telah merambahnya
hubungan seks bebas di kalangan pelajar SD, baik yang akhirnya
mengakibatkan kehamilan atau tidak.
"Bahkan menurut penelitian
kami, sekitar 7,5% anak-anak SD atau sederajat, telah pernah melakukan
hubungan seks bebas tersebut," ujar putra kiai khaos Parakan, Mbah
Nasocha itu.
Gus Madfur bersama para santrinya, selama ini memang telah melakukan
penelitian terkait dengan fenomena seks bebas di kalangan pelajar.
Penelitiannya dilakukan secara kualititatif, yakni melakukan wawancara
mendalam dengan para responden, baik dengan para pelajar pelakunya,
maupun dengan pelajar yang mengetahui adanya seks bebas di kalangannya.
"Hasil
penelitian itu cukup mencengangkan, selain pelajar SD yang mencapai
7,5% itu, sekitar 65% pelajar SMP dan 80% pelajar SMA atau sederajat,
ternyata pernah melakukan hubungan seks. Ketika diwawancarai ada yang
mengaku secara terus terang, dan ada pula yang diungkapkan teman-temas
sebayanya," terangnya.(
Henry Sofyan / CN32 / JBSM )
Minggu, 23 September 2012
Alfonsa Horeng, Duta Budaya Flores di Kancah Internasional
Alfonsa (kiri) |
Keunikan
tenun ikat Flores begitu memikat hati seorang ALFONSA HORENG. Bagi wanita lulusan Universitas
Katolik Widya Mandala Surabaya ini, keunikan budaya tanah air sangat kaya akan
nilai-nilai integritas budaya dan nilai kebijaksanaan lokal yang mendalam.
Konon sejak kecil Ibu dan nenek telah terbiasa mengajarkan Alfonsa tentang apa
dan bagaimana membuat tenun ikat Flores. Pengalaman masa kecil itu akhirnya
mengantarkan ALFONSA HORENG mengelilingi dunia, mengunjungi negara-negara asing
guna mempromosikan kekayaan nilai tenun ikat Flores. Lantas apa visi dan misi
Alfonsa dalam hal ini, “Merambah ke desa-desa, kampung-kampung yang
kritis - giving awarness and development them to love the ikat weaving - jadi
bukan usaha perdagagan yang menjadi prioritas kami krena kami bukan pedagang”
jelas Alfonsa ketika bincang-bincang dengan Majalah Keluarga Kana di sela-sela
kesibukannya di luar negeri.
Puluhan event internasional telah
diikutinya, di antaranya berupa presentasi, workshop dan memberikan pendidikan
budaya kepada masyarakat dunia seperti, International Folk Art di Santa
Fe, New Mexico 2011; Indonesian Day di San Francisco, California 2011; Presentasi di The TSA “Textiles and Politics”, Washington DC, 2012, Workshop pada The
Yield University, Connecticut, New York,
2012; presentasi dan workshop di TAASA, Sydney
2008; Destination of Tourism in Gold Coast – Queensland 2009; presentasi dan workshop pada The International
Symposium of Natural Dye in La Rochelle, France
2011; serta aneka kegiatan di beberapa
negara lainnya. “Kesan mereka mendalam kepada penyaji.
Jika penyajinya tidak bisa membawa situasi promote menjadi menarik atau tidak
bisa omong dalam bahasa-bahasa mereka maka nihil. Pemerintah Indonesia sangat
mendukung tapi hanya Pemerintah Pusat is the best memberikan support dalam
bentuk program-program yang relatif dan
bantuan material serta rekomendasi” ujar Alfonsa menunjukkan bagaimana reaksi
masyarakat dunia internasional.
Bagi
Alfonsa, saat ini salah satu kekayaan budaya Indonesia tersebut memang telah
dilestarikan, namun pelestariannya masih bersifat instan, sehingga nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya tidak mendapat prioritas perhatian. Keprihatinan tersebut menggerakan hati alumni Flinders
University, Adelaide, Gender Consortium, Good Governance and Leadership,
Australia 2008 ini kemudian mendirikan Sentra Tenun Ikat “Lepo Lorun” tahun 2002. Sentra ini tergabung dari
wanita-wanita yang memiliki integritas dan minat dalam mempromosikan budaya
tradisional Indonesia, khususnya budaya Flores.
Menghadapi
perkembangan globalisasi Alfonsa berharap pemerintah perlu adakan sekolah
formal di bidang ini. Ia mengajak generasi muda untuk mulai berbuat sesuatu
memberikan sumbangannya bagi perkembangan budaya bangsa. Semua itu dapat
dimulai dari lingkungan keluarga sebagai dasar pendidikan pertama bagi setiap
pribadi. “Keluarga, bergantung si ibu yang mendidik anaknya menjadi kebiasaan
budaya yang langsung dikonsumsi bukan menjadi batu loncatan saja atau
tunggu proyek-proyek siluman” harap Alfonsa mengakhiri perbincangan. (Anthonius
Primus)
Intan Ledalero
"Ledalero
kirim yang terbaik"
Di usianya yang
ke-75, Pater Paulus Budi Kleden, SVD, seorang dosen dan teolog muda Ledalero
terpilih sebagai anggota Dewan Jenderal di Roma. Dalam sejarah Ledalero, Budi
Kleden adalah orang ketiga dari Ledalero yang terpilih sebagai anggota dewan
Jenderal. Sebelumnya Pater Hendrick Heekeren, SVD (1978-1988), seorang dosen
Kitab Suci Ledalero berkebangsaan Belanda dan menyusul Pater Leo Kleden, SVD
(2000).
"Kita memang
kehilangan seorang dosen yang terbaik. Para mahasiswa tentu kecewa, tetapi kita
selalu mengirimkan yang terbaik untuk kebutuhan serikat," demikian Leo
Kleden, Provinsial SVD Ende ketika menyampaikan sambutannya saat resepesi pesta
intan Ledalero.
Lebih dari dua ratus
imam hadir dalam perayaan puncak intan Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero pada
Sabtu (8/9/2012). Ekaristi yang berlangsung di Aula St. Thomas Aquinas Ledalero
itu dipimpin oleh Rektor Ledalero, P. Kletus Hekong, SVD didampingi provinsial
SVD Ende dan Vikjen keuskupan Maumere.
Dalam kata pengantarnya,
ketika membuka perayaan ini, Rektor Ledalero mengatakan bahwa merayakan ulang
tahun berarti merayakan kehidupan.
"Dalam nada penuh syukur seminari ini merayakan kehidupan yang telah
dimulai sejak 75 tahun silam,"
demikian kata Pater Kletus Hekong, SVD.
Pater Paul Budi Kleden, SVD |
"Sebagai sebuah seminari terbesar dalam SVD bahkan dalam gereja Katolik, Seminari ini telah
menjadi rahim yang mengandung dan melahirkan; ibu yang telah menghidupkan para imam dan awam
yang tangguh," imbuh Kletus
Hekong.
Bertepatan dengan perayaan
intan Seminari Tinggi tertua di regio Nusa Tenggara ini, hadir pula ratusan
misionaris Serikat Sabda Allah (SVD) yang bekerja baik di dalam maupun luar
negeri serta wakil para alumni awam.
Sementara itu, Pater Paul Budi Kleden, SVD dalam khotbahnya mengatakan Ledalero yang dahulunya bukit angker
dan dijauhi oleh masyarakat sekitar justru telah memikat hati anak-anak muda.
"Sebagai
panti pendidikan, bukit ini
membantu agar para frater mampu mengambil keputusan yang tepat, entah diutus
sebagai awam yang menggarami dunia dalam beragam bidang karya, atau dikirim
sebagai misionaris ke berbagai penjuru dunia yang pantulkan cahaya dan gemakan warta kesetiaan Allah," demikian Budi
Kleden.
Perayaan intan
Ledalero ini sekaligus menjadi momen untuk menyampaikan rasa bangga bagi yang sukses,
mengungkapkan keprihatinan kepada yang salah arah, dan meneguhkan yang
kecapaian di medan karya.
"Sebagai almamater, bukit ini selalu
memanggil para alumni, awam dan imam, untuk menyegarkan komitmen dan membaharui tekad bersama agar di mana dan
kapan saja kita tetap menjadi Ledalero, menjadi bukit yang memancarkan terang
dan menggemakan suara Tuhan," imbuh Budi Kleden.
Di akhir perayaan ekaristi Pater provinsial SVD
Ende membacakan benuming (penempatan) pertama tujuh belas orang frater yang
berkaul kekal dan tiga orang diakon yang sedang berpraktik di Keuskupan
Maumere. Dari keduapuluh misionaris muda ini enam belas orang dikirim ke luar
negeri dan hanya lima orang yang bekerja di Indonesia.
Hadir pula dalam perayaan ini para pimpinan biara,
anggota DPR RI, Bpk. Melkhias
Markus Mekeng dan Bpk. Yosef Nai Soi, anggota DPR Provinsi, Bpk. Kristo Blasin,
Bupati dan Wakil Bupati Sikka serta para alumni dan anggota komunitas Seminari Tinggi Ledalero. Perayaan ekaristi menampilkan juga
nuansa inkulturatif dengan menghadirkan tarian-tarian daerah dan doa umat dalam
beberapa bahasa daerah di NTT. (
Yuven Fernandez)
________________________________________________________________________________
Umat merasa memiliki Ledalero
Dalam sejarahnya Ledalero pernah melewati
masa-masa krisis yang berat. Tahun 1942, baru lima tahun sesudah Seminari ini
berdiri Seminari ini dijarah tentara Jepang dan para pastor Belanda ditawan.
Tahun 1978 pemerintah Indonesia membatasi masuknya misionaris asing. Tahun 1992
Ledalero diguncang gempa. Namun, Ledalero terbukti berhasil melewati masa-masa
sulit ini.
“Ketika misionaris
dibatasi pada tahun 1978 reaksi umat sangat positif. Umat ambil tanggung jawab
dan panggilan imam bertumbuh subur.
Tahun 1992 gempa bumi hancurkan Ledalero, tetapi itu menjadi saat membaharui
sistem formasi dari sistem sentral ke sistem unit-unit," terang Leo Kleden
dalam sambutannya.
Saat ini Ledalero
tengah mengalami krisis keuangan tetapi reaksi umat sangat positif. "Bukan
hanya di Flores tapi sampai di Jawa umat merasa sangat memiliki Ledalero,"
demikian Leo Kleden.
"Dalam sejarah
gereja tidak ada satu biara pun yang ditutup karena krisis finansial. Biara itu
mati karena para anggota tidak menghayati kharisma dan panggilan dasar
tarekatnya secara konsekuen,” tegas Pater Leo Kleden, SVD, Provinsial SVD Ende saat
resepsi perayaan intan 75 Tahun Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero.
Seminari tinggi
Ledalero merekam jejak sejarah pendidikan yang penting di bumi Flores. Flores
yang jauh tidak diperhitungkan oleh bangsa kolonial dalam peta kekuasaan
Belanda waktu itu, namun Flores yang saat itu termasuk dalam kepulauan Sunda
Kecil diperhitungkan oleh para misionaris Belanda. "Jawa penting karena
tanahnya subur dan menjadi pusat kolonialisme, demikian pun Sumatra dan
Kalimantan, tetapi Flores? Sebetulnya tidak ada harapan sama sekali,"
demikian Leo Kleden.
"Coba bayangkan,
sudah sejak tahun 1926, para misionaris mulai berpikir untuk memulai sebuah
seminari di Sikka-Lela. Itu artinya, mereka mau supaya orang-orang kita menjadi
sama dengan mereka. Dan ini adalah suatu tanda sejarah yang luar biasa,"
kata Leo Kleden.
"Konon, ketika
dua seminaris angkatan pertama, Pater Karel Kale Bale, SVD dan Pater Gabriel
Manek, SVD ditahbiskan imam Pater Frans Cornelissen, SVD, guru mereka,
berteriak seperti orang gila karena rasa tidak percaya."
Menurut Leo Kleden,
dengan adanya pendidikan calon imam dan tahbisan imam pribumi ini menjadi satu
tanda sejarah yang mebangkitkan rasa percaya diri masyarakat kita.
_________________________________________________________________________________
Frater
pesantren bawa grup kasidah
Resepsi bersama di
aula Seminari Tinggi Ledalero diisi beragam acara. Tampil pula pada kesempatan
ini grup kasidah dari pesantren Wali Songo Ende.
Kehadiran siswa-siswi
pesantren ini sudah menarik perhatian para tamu dan undangan sejak awal
perayaan ekaristi. Yosef Nai Soi, anggota DPR RI ketika memberikan sambutannya
mengapresiasi kehadiran para siswa pesantren ini. "Ledalero sudah
menunjukkan keterbukaan dan toleransi dalam hidup bermasyarakat bagi agamaku,
bagimu agamamu," demikian Nai Soi mengutip ayat-ayat Alquran.
Grup kasidah ini dibawa
oleh frater Baltasar Asa, SVD yang sedang berpraktik di pesantren tersebut.
Sejak tahun 1997 hingga kini Ledalero masih terus mengirim fraternya untuk
berpraktik pada pesantren tersebut.
Hal tersebut bisa
dilihat sebagai salah satu bentuk penerapan dari ilmu yang telah diperoleh di
ruang kuliah. Sebab dalam perkuliahan di Ledalero, para frater juga dibekali
dengan mata kuliah ilmu perbandingan agama dan Islamologi yang diasuh oleh P.
Dr. Philipus Tule, SVD.
Tampil pula pada kesempatan tersebut tarian
tradisional Hegong dari siswa-siswi SDI Gere. Perayan syukur ini ditutup dengan
penyerahan hadiah bagi para pemenang lomba kuis Kitab Suci antar Sekolah dasar
dan Sepak Bola Mini. Kuis Kitab Suci dimenangkan oleh SDI Gere sedangkan Sepak
Bola mini dimenangkan oleh SDK Wairpelit.
Langganan:
Postingan (Atom)