Senin, 11 Februari 2013

Allisa Qotrunada Wahid: Pendidikan Humaniora Terintegrasi dalam Mata Pelajaran


Tangerang - PENDIDIKAN HUMANIORA yang mencakup pendidikan nilai, prinsip hidup, ajaran luhur sebaiknya tidak perlu di-mata pelajaran-kan tetapi pendidikan humaniora itu masuk , terintegrasi dalam seluruh mata pelajaran yang dijarkan di sekolah (penddikan formal). Sebagai seorang pendidik seharusnya milsanya ilmu teknologi memasukan pendidikan nilai dalam penddikan tekonologi itu, jadi jangan sampai dibalik.

“Pendidikan humaniora itu dimasukan dalam setiap mata pelajaran misalnya matematika, ilmu pengetahuan sosial, ilmu pengetahuan alam dan sebagianya. Pendikkakan Humanira tidak perlu menjadi satu mata pelajaran khusus,’’ Demikian dikemukakan Allisa Qotrunada Wahid, puteri (alm) Abdulrahman Wahid (Gus Dur) ketika menjadi pembicara dalam suatu sarasehan setengah hari berretmpat di lantai tiga Paroki Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda (HSPTB) Tangerang, Sabtu (19 Januari 2013).
Psikolog keluarga, yang kini bekerja di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Yogyakarta ini menilai pembuat kebijakan sekarang ini hanya mengeluarkan kebijakan lalu hanya sebatas wacana. Artinya pendidikan saat ini  sangat sedikit memberikan ruang terhadap generasi muda.

Sebagai seorang psikolog, ia mengakui bahwa  ruang sangat sedikit bagi generasi. Ia mengatakan bahwa generasi dulu itu berbeda dengan generasi muda sekarang. Oleh karena perbedaan itu maka juga melihat suatu secara sangat berbeda.


Ia memberikan contoh bahwa ada pernyataan “Anak-anak sekarang sangat susah hormat orangtua”. Menurutnya pendapat itu tidak benar. Dalam psikolog pernyataan itu tidak benar. Pernyataan yang benar adalah ,’’ anak-anak sekarang atau generasi muda sekarang tidak mau hormat orang yang menurut mereka layak dihormati,’’. Pernyataan itu sesungguhnya sangat berbeda.


Allisa mengatakan guru, orangtua, atau pembimbing anak pada umumnya sebaiknya menjadi  figur yang baik bagi pertumbuhan peserta didik. Maka ia berpendapat kebijakan pemerintah cenderung tidak memperhatikan  kondisi psikologis generasi muda saat ini.


“Pembelajaran mengenai anti korupsi, Hak Asasi Manusia (HAM), Pendidikan Lingkunbgan Hidup semua dijejalkan kepada anak, tapi justru tidak diikuti dengan pemahaman maka semua yang diajarkan itu tidak  membawa bermanfaat apa-apa,’’katanya. 


Terkoyaknya kebhinekaan, tingginya intoleransi di Indonesia sebagai akibat buruk sistem pendidikan di Indonesia. Pendidikan di Indonesia, menurutnya belum memenuhi tugas Undang-Undang  Dasar 1945. Dikatakan, pendidikan saat ini masih terjebak dalam general knowlegs. Itulah yang memberikan kesan system pendidikan yang dianut tanpa karakter. Ia menambahkan, anak-anak lebih terfokus peningkatan ilmu dari pada pemahaman dan kurang mengaplikasikan nilai-nilaimoral pendidikan.


Yang lebih menyedihkan pada saat yang sama, kurangnya perhatian keluarga sehingga anak-anak tumbuh  dan hidup minim nilai kehidupannya. Ini sesungguhnya tugas keluarga (orangtua), para pemuka agama untuk memastikan bahwa ada nilai-nilai luhur masuk dalam kehidupan anak.


Sarasehan tersebut mengusung tema “Merajut Kebhinekaan yang Terkoyak” menghadirkan nara sumber Yudi Latif, P.hD (Pegiat Setara Institut), Alissa Qotunada Wahid (Puteri Gus Dur, Pegiat Wahid Institut), Abdul Rozak (Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama kota Tangerang), Sebastian Salang (Koordinator Forum Pemantau Parlemen Indonesia/Formappi).

Turut hadir Pastor Paroki HSPMTB Tangerang, Pastor Ignasius Swasono SJ dan pastor rekan Yohanes Wartaya SJ dan Dismas Tulolo SJ. Para peserta yang hadir adalah utusan dari sjeumlah paroki seperti Paroki St Agustinus Perum Karawaci, Paroki St. Helena Curug, Paroki St Gregorius Kota Bumi dan paroki St Odilia Citra Raya. (Stefania M Irma/ kr mangu)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar