“Panduan Praktis Mengasuh Sendiri
Anak usia 0-36 Bulan”
Anak, merupakan salah satu tujuan perkawinan dan keluarga, namun apakah anak-anak sudah pasti menjadi tujuan? Apa yang dimaksud dengan pernyataan anak-anak sebagai tujuan? Sebagai tujuan, anak-anak perlu menjadi prioritas perhatian dalam keluarga. Kenyataan dewasa ini, tidak sedikit anak-anak yang tidak dapat berkembang secara baik dalam keluarga. Kesulitan yang sering ditemukan ialah pola pengasuhan yang keliru sejak anak usia dini, terutama bagi keluarga-keluarga yang cenderung memiliki banyak kesibukan di luar rumah. Kenyataan tersebut menggugah keprihatinan Maria Veronica Suzie Sugijokanto untuk menggelar “Parenting seminar’ yang bertajuk “Panduan Praktis Mengasuh Sendiri Anak usia 0-36 Bulan” pada 6 November lalu, di Chatolic Center Surabaya.
“Saya prihatin melihat semakin banyaknya bisnis-bisnis yang mengeksploitasi bayi dan para orangtua tidak sadar akan hal itu. Sehingga saya memberi sharing dan pengertian kepada orangtua untuk tidak mudah tergiur dengan program-program yang mengatasnamakan bayi misalnya Baby Spa, Baby Swim, Baby Yoga, Baby School. Saya berpikir mungkin orangtua kurang pengetahuan yang cukup dalam mengasuh bayinya sendiri, sehingga akhirnya cari cara yang paling cepat dan gampang yaitu diserahkan ke lambaga-lembaga tersebut. Misalnya Baby Massage/Baby Spa yang sekarang lagi menjamur. Menurut International Association of Baby Massage (IBMA), pijat bayi yang benar itu selain bertujuan untuk melancarkan peredaran darah dan alasan-alasan sejenis, yang penting adalah agar terjalin kedekatan emosional/hubungan batin yang erat antara orangtua dan bayi. Nah disini, yang aneh.... Pijat bayi dilakukan oleh seorang terapis. Apa kita mau anak kita lebih akrab dengan terapis atau dengan orangtua sendiri? Seorang instruktur (bukan terapis) bertujuan memberikan pengarahan gerakan-gerakan baby massage yang benar dalam suatu kelas. Tapi yang melakukan tetap orangtua sendiri” ungkap wanita yang bekerja sebagai Motivational Trainer pada Surabaya Life Education ini kepada Majalah keluarga Kana. Istri dari Andreas Theofilus Suwanto Prayogo tersebut menambahkan bahwa tujuan utama seminar ini ialah membangkitkan semangat dan memberi pengetahuan khususnya kepada orangtua muda cara menstimulasi bayinya sendiri demi tumbuh kembangnya yang optimal.
Memahami Tahap-Tahap Perkembangan Bayi
Seminar yang dijadwalkan mulai pukul 09.00 sampai 13.00 tersebut banyak mengupas tentang tahap-tahap perkembangan bayi sejak usia 0-36 bulan. Perkembangan bayi yang demikian meliputi perkembangan emosi sosial, perkembangan audio visual, Gross Motor, Fine Motor, perkembangan bahasa, kemampuan membaca dan kemampuan berpikir (Cognitive development). Menurut Maria Veronica Suzie Sugijokanto, mengikuti tahap-tahap perkembangan anak merupakan salah satu upaya menciptakan kedekatan batin antara orangtua dan anak, khususnya ibu. Kedekatan itu membantu orangtua untuk dapat memahami dan mengembangkan karakter pribadi anak. “Anak jangan dipaksa, tetapi ikutilah perkembangan anak, dan jika anak salah melangkah, orangtua tidak boleh memarahinya, tetapi menuntun dengan penuh kasih sayang. Orangtua harus membuka diri dan menjadi teman yang baik”, ujar wanita yang akrab disapa Suzie. Ia menjelaskan betapa orangtua perlu memiliki kesabaran yang luar biasa, dan terutama rasa cinta bahwa anak adalah anugerah dari TUHAN. Untuk itu orangtua perlu mempersiapkan sarana-sarana bermain yang sesuai dan aman bagi anak dalam mengungkapkan emosinya. Permainan-permainan yang dapat merangsang perkembangannya, terutama saraf motorik halus dan kasar, serta kemampuan kognitif.
Seorang anak tumbuh dan berkembang dalam kebiasaan, maka menanamkan kebiasaan kepada anak harus terus-menerus dan konsisten. Terutama ketika anak berusia 12-24 bulan (Toddler), usia dimana anak mudah meniru apa yang dilihatnya. Perilaku anak cenderung aktif dan sangat membutuhkan kehangatan kasih orangtua. Wanita kelahiran Surabaya, 19 Agustus 1975 ini menyarankan agar ketika anak usia 3 tahun pertama jangan dibiasakan dengan televisi. Tanamkan kasih sayang selalu dan latih ia mandiri, seperti makan sendiri.
Orangtua Ideal
Pada kesempatan yang berbeda, sarjana Diploma in Business Studies dari The London School of Public Relations, Jakarta ini mengungkapkan bagaimana menjadi orangtua ideal. “Setidaknya kita berusaha yang terbaik untuk anak kita. Memberikan cinta sejak awal hidupnya, agar dapat tumbuh menjadi manusia dewasa yang sehat, beriman, mandiri, cerdas dan berkarakter baik. Semua karakter yang kita miliki sebagian besar karena pengaruh lingkungan sekitar misalnya pengaruh teman-teman dan pengalaman hidup. Tapi sebagian besar karena pembentukan sejak dini. Oleh karena itu saya mengajak masyarakat sekarang untuk mengubah pola pikir bahwa bila anak itu tumbuh bermasalah, jangan tuding anak. Tapi mari berkaca pada diri sendiri, karena pasti ada yang salah dengan cara kita mendidik dan membesarkannya. Cara orangtua yang selalu mencaci-maki anak sebagai anak nakal, anak tidak tahu berbalas budi, anak kurang ajar, harus dihilangkan. Anak yang tidak tahu balas budi terhadap orangtua, karena anak itu tidak ada kedekatan emosional terhadap orangtua sejak muda. Mungkin ketika muda, pengasuhan anak lebih banyak diserahkan ke baby sitter” aku Suzie.
Lebih lanjut, wanita yang menikah di Gereja Katolik St. Yakobus Surabaya pada 10 Desember 2009 lalu ini membeberkan kelemahan orangtua umumnya yang cenderung menyibukkan diri dengan berbagai urusannya. “Banyak orangtua sekarang yang tidak mau repot, sehingga mudah mengambil pilihan-pilihan yang mudah dan instant. Seperti misalnya memberi makanan padat untuk bayi dengan bubur bayi yang banyak beredar dipasaran. Padahal seharusnya menurut para pediatrics di Amerika makanan untuk bayi yang baru disapih seharusnya dibuat sendiri dari bahan-bahan alami tanpa tambahan gula, garam dan bahan pengawet lainnya. Negara kita ini kaya akan sumber daya alamnya, mengapa generasi muda kita harus mengkonsumsi bahan-bahan sintetis? Kedua, banyak orangtua di sini yang bermaksud menyayangi anak. Tapi sebenarnya itu memanjakan anak dan merusak mentalnya. Misalnya dengan menyuap makanan sepanjang jalan. Tidak terpikir apakah debu jalanan menjadikan makanan untuk bayi tidak higienis? Sudah saatnya membiasakan bayi selama dia bisa duduk, untuk duduk sendiri pada saat makan bersama keluarga. Tanpa TV. Agar anak mempunyai kesempatan untuk belajar menyuapi makan bagi dirinya sendiri. Dengan demikian diharapkan anak tumbuh dengan sikap mandiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri” kata Suzie ketika dihubungi Majalah Keluarga Kana.
Seminar yang dihadiri sebagian besar dari kalangan wanita ini diakhiri dengan makan siang bersama. Semua peserta begitu antusiasme menyambut sajian seminar yang begitu bermanfaat bagi keluarga. Antusiasme ditunjukan terutama dalam sesion tanya jawab bersama. Harapan Maria Veronica Suzie Sugijokanto sendiri agar orangtua lebih jeli dan kritis memilih sarana yang dibutuhkan untuk perkembangan anak. “Agar orang tua senantiasa selalu berpikir kritis, apakah banyaknya fasilitas dan berbagai tawaran kemudahan saat ini sesuai dengan kebutuhan bayi anda, dan apakah berguna. Daripada membuang uang, mengapa tidak dilakukan sendiri. Memang ini merepotkan, tapi hasil kedepannya akan jauh lebih baik”. Beliau berpesan agar orangtua harus sudah mempersiapkan kebutuhan anak-anak sejak dini. “Sejak awal mungkin, persiapkan semuanya. Mulai persiapan batin, bahwa saat ini perhatian dan waktu bakal lebih tersita untuk anak. Usahakan agar nutrisi bayi dari bahan-bahan alami. Mulai dari persiapan gizi yang baik untuk kebutuhan menyusui sejak hamil, Inisiasi Menyusui Dini (IMD), sampai kepada proses penyapihan yang penuh dengan kesabaran karena harus menghadapi penolakan dan adaptasi bayi terhadap makanan baru serta kreatifitas orangtua dalam menyajikan rasa makanan bertekstur lembut. Baru kemudian bertekstur agak sedikit kasar sampai benar-benar mampu makan makanan padat. Kedua, ini yang penting. Jangan pernah memberikan tontonan TV atau layar komputer pada anak pada usia 3 tahun pertama. Karena akan membuat kecenderungan anak nantinya akan duduk mematung berjam-jam di depan TV dan komputer. Biasanya orangtua mengeluh kalau anaknya sudah tergila-gila dengan game online dan internet. Tanpa disadari bukankah ini hasil dari memberikan tayangan TV terlalu dini pada anak? Biarkan usia 3 tahun pertama ini menjadikan kesempatan untuknya berinteraksi dengan orangtua dan keluarga” pungkas Suzie menutupi bincang-bincang dengan Majalah keluarga Kana. (Primus-Kana)