Minggu, 18 September 2011

Filosofi Samurai dalam Budaya Jepang

Budaya Jepang harus diakui memiliki keunikan sendiri. Terlahir dari cerita perjalanan yang panjang rnasa-rnasa kekaisaran, budaya Jepang menjelma jadi primadona pariwisata sendiri di dunia ini. Di matsa para wisatawan, budaya Jepang rnenjadi daya tanrik utama.
Budaya Jepang merniliki banyak sekali variasi. Kehidupan masyarakatnya sehari-hari juga sudah rnerupakan salah satu bentuk budaya Jepang yang paling sederhana. Budaya Jepang yang lebih kompleks pun sangat banyak, mulai dari makanan khas Jepang, rurnah adat, pakaian adat, tarian, bahasa Jepang, dan satu hal yang tidak bisa dilepaskan dari budaya Jepang adalah samurai.
Samurai sangat identik dengan negara rnatahari terbit ini. Namun, sayangnya, keterkenalan samurai di kalangan masyarakat dunia atau Indonesia tidak diikuti dengan inforrnasi yang berisi kebenaran tentang samurai ini. Budaya Jepang yang satu ini pun hanya sedikit dirnengedi betul oleh masyarakat.
Kita sering salah mernaharni kata samurai dengan rnengartikannya sebagai narna jenis senjata dalam budaya Jepang. Padahal samurai merujuk pada orang atau jalan hidup. Sedangkan senjata sejenis pedang yang sejenis ini banyak diartikan sebagai samurai, sebenarnya adalah katana/Catena. Dalam budaya Jepang, Catena rnerupakan senjata khas para samurai berbentuk pedang.


Budaya Jepang — Bukan Samurai tapi Katana
Istilah samurai pada awalnya digunakan untuk menyebut orang yang mengabdi kepada bangsawan. Berawal dari kata “saburau” yang populer pada zaman Nara (710-784), yang pengucapannya bergeser rnenjadi saburai.
Pada zarnan Kamarnura abad ke-12 deism budaya Jepang, arti kata saburai bersisian dengan “bushi”, yang berarli: orang yang dipersenjatai. Lantas, kata saburai berubah menjadi samurai pada zarnan Azuchi­Momoyama (1573-1600) dan awal zaman Edo (1603), yang merniliki arti “orang yang mengabdi”.
Budaya Jepang juga diisi dengan berbagai cerita sejarah yang menarik. Dahulu, perternpuran yang berkepanjangan menimbulkan kernatian di kalangan penguasa sehingga banyak samurai kehilangan tuannya. Mereka pun rnenjadi sekelornpok samurai liar dan tidak terikat yang disebut dengan istilah ronin. Istilah ini rnuncul pedarna kali pada tahun 1392, dan sernakin definitif pada zarnan Edo (1603-1867).
Samurai memiliki posisi unik dalam struktur kekuasaan Jepang rnasa lalu. Berawal dari kekacauan politik akibat pajak yang berat dan memicu pemberontakan di banyak tempat, penjarahan terhadap tuan tanah, memaksa mereka mempersenjatai keluarga dan para petani, dari sini nanti lahir kelas samurai dalam budaya Jepang.
Pada masa Hojo (1199-1336), ajaran Zen berkernbang di kalangan samurai, dan rnenjadi gerakan massal yang rnelahirkan ciri bahwa para samurai menganut paham keseirnbangan dalarn falsafah hidup rnereka. Dalam budaya Jepang, para samurai rnendapatkan ternpat yang istirnewa dikalangan rnasyarakat.


Budaya Jepang — Filosofi Kematian dalam Samurai
Dalam budaya Jepang, samurai rnerniliki pandangan unik tentang kernatian. Menjelang peperangan Hakagure, seorang tokoh samurai menulis buku berjudul Hakagure, yang rnenjadi rujukan awal filosofi kernatian. Pada bagian pendahuluan buku ini tertulis: “Jalan Samurai ditemui dalarn kematian. Apabila tiba kepada kernatian, yang ada hanya pilihan yang pantas untuk kernatian.”
Kalimat yang bisa dan rnultitafsir pada buku tersebut diduga telah rnernbawa panji samurai ke arah kemelaratan dan kesesatan. Buku tersebut rnelahirkan budaya Jepang, khususnya budaya dikalangan samurai tentang cara kernatian yang dipilih, yaitu:
  1. Mati di medan perternpuran adalah cara yang paling terhormat. Para samurai menyukai mati di dalam pedernpuran daripada tertangkap musuh.
  2. Seppuku, adalah tindakan bunuh diri dengan cara rnenyobek perut. Seppuku sangat populer dalam mitos samurai. Seppuku dianggap sebagai tindakan gagah berani.
  3. Junshi: adalah seppuku yang dilakukan sebagai tren kesetiaan kepada raja, sebagairnana dilakukan Jendral Nogi  sernasa Maharaja Meiji. Junshi dinilai merugikan negara sehingga sernpat dilarang pada zarnan Edo.
  4. Sokotsu-shi, adalah seppuku yang dilakukan untuk rnenebus kesalahan. Jenderal Yamamoto Kansuke Haruyuki (1501-1561) rnelakukan sokotsu-shi karena rnernbuat kesalahan fatal yang rnenyebabkan Kaisar Takeda berada dalarn bahaya.
Setelah kurun yang lama, dalarn budaya Jepang sekaligus budaya samurai rnengenai pandangan tentang bunuh diri sebagai tindakan terhormat rnengalarni pergeseran dan mulai dianggap sebagai tindakan yang sia-sia.
Budaya Jepang — Filosofi Samurai
Sama sepedi jenis budaya Jepang yang lain, samurai memiliki sebuah filosofi. Filosofi yang dirniliki samurai terletak pada seragam kebesaran dengan sirnbol bulan sabit di atas helm. Jalan hidup samurai yang mengambil inti ajaran Zen, menekankan bahwa ketenangan jiwa dan keyakinan hati adalah sumber kehidupan.
Hal mendasar adalah ajaran menjunjung tinggi kejujuran. Jujur kepada diri sendiri dan orang lain. Karena itu, berbohong adalah aib yang tak mungkin ditanggung. Budaya Jepang yang seperti itu tampaknya  diamini oleh sernua masyarakat tanpa terkecuali.
Bunga sakura sirnbol samurai mengandung muatan filosofis pentingnya menghargai waktu. Sebab, sakura hanya berserni dan berbunga dalam waktu singkat seperti umur manusia. Karelia itu, tidak boleh ada penyesalan di dalamnya.
Dalam budaya Jepang dijelaskan bahwa samurai juga menjunjung tinggi nilai keadilan. Kenshin Uesugi, tokoh samurai, menolak arnbil bagian dalam sebuah pertarungan jika tidak melihat ada keadilan di dalamnya.
Bagi samurai, perternpuran adalah sesuatu yang sakral. Ada etika ketat dalam pedernpuran samurai, yaitu:
  • Tidak boleh rnenyerang dari belakang.
  • Harus dilakukan dengan keindahan dan harga diri
  • Harus dilakukan sampai tuntas.
  • Pedang adalah simbol spiritual dan komitmen.

Budaya Jepang — Samurai Tanpa Pedang
Dalam budaya Jepang ada seorang tokoh samurai bernarna Toyotami Hideyoshi, pemirnpin legendaris Jepang abed ke-16. Dia dianggap tokoh fenomenal yang mengembangkan paham samurai tanpa pedang, berprinsip: “Prajurit terbaik tidak pernah menyerang, prajurit terhebat berhasil tanpa kekerasan, dan penakluk terbesar menang tanpa perang.”
Dalam budaya Jepang, Hideyoshi (1536-1598) mampu menyatukan Jepang pada masa paling krusial, perang antar-klan, dan mevvariskan falsafah kepemirnpinan yang tetap relevan hingga zaman modern. la terlahir dari kalangan petani miskin di Provinsi Owari, dengan nama Nakamura. Perawakannya kecil, mukanya jelek sehingga sering disebut “wajah monyet,” dan tidak berpendidikan.
Pandangan Hideyoshi kemudian diamini oleh banyak tokoh samurai lainnya. Singer Harunobu Takeda mengatakan “Memenangkan ratusan peperangan bukanlah kebanggaan. Tapi, kemenangan tanpa peperangan adalah kebanggaan yang sesungguhnya.”
Ditambah lagi dengan yamoto Musashi, seorang samurai terbesar dalam sejarah, mengatakan bahwa, “Kekuatan tertinggi ilmu pedangku adalah ketiadaan.” Inilah inti yang sesungguhnya, bahwa kekuatan utama bukanlah pada fisik, tetapi hati. tvlaka, kejujuran dan sikap melindungi adalah filosofi sesungguhnya dari jalan samurai. Bahwa sebagai warga jepang budaya samurai tidak lagi selalu identik dengan penggunaan pedang yang mernbabi buta dan tanpa alasan yang jelas.

Sumber:  AnneAhira.com Content Team, Editor Anthoni Primus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar