Rabu, 14 September 2011

Franz Magnis Suseno, Radikal dalam Iman, Toleran pada Sesama

Franz Magnis Suseno atau akrab disapa Romo Magnis sudah genap berusia 75 tahun pada Mei 2011 lalu. Sebagai rohaniawan Katolik dari Ordo Serikat Yesus (SJ), perjalanan hidupnya tidak lepas dari panggilan untuk berkarya untuk Allah dan sesama.

Dia tiba di Indonesia pada Januari 1961 setelah menjalani studi S2 filsafat di Hochschule fur Philosophie di Pullach, Jerman. Alasannya cukup sederhana. Dia merasa hidup dan ilmunya bisa lebih bermanfaat bagi gereja di Indonesia dibandingkan di Jerman.

 "Saya tidak pernah berminat kembali ke Jerman. Saya mau tetap di sini, saya merasa bisa dan diterima, maka saya menjalankan semua seluk beluk birokrasi menjadi warga negara Indonesia (WNI) selama tujuh tahun dari tahun 1970 sampai tahun 1977 akhirnya resmi menjadi WNI. Tidak ada alasan khusus, mungkin, karena saya tidak bayar khusus. Tetapi, tidak apa-apa menunggu sedikit lama," kata Romo Magnis di awal pembicaraan dengan SP di kampus Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta, baru-baru ini.

Kurun waktu 50 tahun di Indonesia bukan masa yang pendek. Romo Magnis yang juga dikenal sebagai budayawan ini, sudah hidup di Indonesia di bawah kepemimpinan enam presiden sejak Presiden Soekarno berada di puncak kejayaan.

Dia menyadari betul kehidupan bangsa Indonesia yang plural atau bhinneka. Oleh karena itu, keakrabannya dengan sejumlah kiai, ulama, atau tokoh agama lain, dianggap bukan hal yang istimewa. Dia dekat dengan tokoh-tokoh intelektual Islam seperti almarhum Nurcholish Madjid atau Cak Nur dan mantan Presiden Abdurahman Wahid alias Gus Dur. Bahkan ia juga cukup dekat dengan tokoh yang dikenal sebagai garis keras Islam, Ahmad Sumargono.

Franz Magnis bersama sejumlah pendeta juga pernah berdialog di rumah Ketua Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq terkait izin mendirikan gereja. Pria yang lahir di desa Eckersdorf, Silesia, Jerman dengan nama Franz Graf von Magnis itu mengaku sebagai sosok yang radikal di dalam iman.

Namun, radikalisme yang ia anut tidak membuat dia memandang sinis agama lain. Menurutnya, radikalisme bisa berjalan beriringan dengan sikap terbuka, toleran, atau pluralis.

Sebab, radikalisme tidak berarti kekerasan namun kesediaan seseorang untuk secara penuh atau 100 persen menghayati dan menjalankan imannya.

Radikalisme, ujarnya, tidak sama-sama dengan fanatisme dan fundamentalisme. Seseorang yang fanatik menyingkirkan semua pertimbangan kemanusiaan dan ideologi di luar pikirannya.

Orang yang fanatik bisa menjadi teroris karena dia berjuang demi agamanya. Sedangkan, fundamentalisme adalah intepretasi tertentu terhadap iman.

Seorang fundamental mengira dia sudah mengerti agamanya.

Ciri khas fundamentalisme adalah penganutnya merasa sangat yakin telah sepenuhnya memiliki kebenaran, tidak ada keraguan, dan tidak perlu mempertanyakan imannya lagi.

Seorang fundamental menganggap tahu persis apa kehendak Allah, sehingga hermeneutika atau tafsiran adalah barang haram dan murtad.  

Romo Magnis mengatakan, seluruh situasi pluralitas terkategori rawan konflik. Oleh karena itu, perlu terus menerus dibangun komunikasi demi mencairkan prasangka dan kecurigaan antaragama.

Dia mencontohkan, dalam hubungan pribadi sekali pun, seseorang tidak boleh membuat pembedaan. Misalnya apakah orang lain Islam moderal, liberal, garis keras, fundamental, dan lainnya.

Sebaliknya, seseorang harus berani berdialog untuk menghilangkan rasa was-was berlebihan dan menghapus stereotipe.

Dia mengatakan salah satu bahaya dalam hubungan beragama adalah saat kita melihat orang lain sebagai unsur dari kelompok dan bukan sebagai pribadi.

Dari situlah semua apriori dan prasangka masuk sehingga menghambat komunikasi. 

Di sisi lain, dia menuturkan, seseorang juga harus memandang agama lain dari sudut pandang bagaimana orang-orang terbaik dari agama itu melihat agamanya.

Sebagai contoh, orang Kristiani harus melihat Islam dari sudut pandang tokoh-tokoh Islam yang sungguh-sungguh. Bukan dilihat dari segala kemiringan atau kejelekan agama Islam.

 "Kita harus mampu menghargai yang berbeda, boleh saja kita punya kritik. Tidak perlu semua hal kita setujui karena dalam agama memang ada perbedaan yang fundamental. Kita terima saja," kata Frans Magnis yang ditahbiskan sebagai imam atau pastor di Yogyakarta tahun 1967 oleh kardinal pertama Indonesia, Justinus Darmojuwono.

Dia menjelaskan pluralisme di Indonesia mulai berkembang pada 1970 saat tumbuhnya keterbukaan intelektual di kalangan Islam.

Sebelumnya, pada era 1950 atau 1960, Islam santri tidak cukup direpresentasikan ke dalam kalangan intelektual. Namun hal itu berubah dengan munculnya sejumlah tokoh Islam yang mencolok antara lain Cak Nur dan Gus Dur.

 Di kalangan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dialog pluralisme juga semakin berkembang dimana dia kerap diundang sebagai pembicara seminar.

Romo Magnis ditugaskan atasannya untuk mendirikan STF Driyarkara pada 1969. Di sela-sela tugas itu, pada 1971-1973, dia menempuh studi doktor Universitas Munchen dengan disertasi tentang Karl Marx.

Dia menulis sekitar 25 buku di bidang filsafat, etika, dan pandangan Jawa. Pada 2002, dia menerima gelar Doctor Honoris Causae dalam teologi dari Universitas Luzern di Swiss.

Salah satu bukunya, Menalar Tuhan, dipersembahkan bagi mereka yang percaya kepada Tuhan dan ingin menjawab pertanyaan apakah masih masuk akal percaya kepada Tuhan.

Selain itu, buku itu juga ditulis bagi mereka yang tidak lagi percaya kepada Tuhan tetapi dalam garis kejujuran intelektual dan masih ingin mendalami pertanyaan tentang dasar-dasar rasionalitas kepercayaan akan Tuhan. 

Terkait hal itu, Romo Magnis mengatakan dalam beragama sekalipun seseorang harus memakai nalar.

Sayangnya, pendidikan agama di Indonesia masih sekadar hapalan atau bersifat top-down. "Padahal, hanya dengan cara demikian (bernalar), kesumpekan dan pembatuan dalam agama pada hal-hal itu saja bisa dihindari," katanya. (SuaraPembaharuan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar