Rabu, 14 September 2011

Gereja di Bali Adopsi Filosofi Hindu


Bali memang unik. Saking uniknya, tradisi, adat istiadat dan budaya Bali yang kental nuansa teologis menyatu dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Meski semuanya berakar pada agama Hindu, namun tak sedikit dari tradisi, adat istiadat dan budaya itu dijadikan perekat keberagaman dan mutikulturalisme di pulau yang tersohor seantero dunia itu.

Ini seperti yang terlihat pada Gereja Yesus Gembala yang Baik, Senin 12 September 2011 malam. Gereja Katolik yang terletak di kawasan Ubung Kaja, Denpasar itu kental nuansa Bali, mulai dari arsitektur bangunan gereja sampai prosesi peresmian oleh Gubernur Made Mangku Pastika, semua tak lepas dari tradisi, adat istiadat serta budaya Bali.

Romo Servasius I Nyoman Subhaga SVD menjabarkan, gereja yang dibangun di atas lahan seluas 3.700 meter persegi itu bukan sekadar bangunan belaka. Gereja Katolik Yesus Gembala Yang Baik didesain penuh dengan falsafah. "Semua mengacu pada filosofi Asta Kosala Kosali (filosofi Hindu) yang merupakan acuan arsitektur dan tata letak bangunan di Bali. Selain itu juga mengadopsi filosofi Tri Mandala (tiga konsep tata letak bangunan Bali)," katanya.

Imam Katolik pertama di Bali itu melanjutkan, konsep Gereja Yesus Gembala Yang Baik itu juga mengibaratkan beribadat di sana identik dengan naik ke gunung Tuhan dan disapa oleh Tuhan melalui bahasa dan simbol iman Kristiani yang tertuang dalam kultur dan seni budaya Bali. "Seni, kultur, budaya dan bahasa ingin kami satukan itu semua secara utuh. Maka, jadilah gereja ini," katanya lagi.

Seluruh bangunan gereja yang proses pembangunannya sudah dimulai sejak tahun 2003 itu sangat bernuansa Bali. Mulai tata letak hingga corak gereja itu sangat mengadopsi budaya Bali. Bahkan, terdapat kulkul (kentongan) di gereja tersebut yang umumnya hanya ada di pura dan banjar-banjar di Bali.

Mereka yang hadir dalam acara peresmian malam itu, kebanyakan menggunakan pakaian khas adat Bali. Makanan yang disajikan juga sangat menghormati Bali. Sebut saja ada sate lilit (sate khas Bali), jukut ares (sayur dari pelepah pohon pisang) yang biasanya disajikan saat upacara dan ritual keagamaan Hindu Bali.

Semakin unik manakala gereja ini juga di-melaspas--upacara tradisi umat Hindu Bali untuk menempati bangunan baru dengan dipimpin pemuka agama Hindu--lengkap dengan sarana dan perlengkapan persembahyangan ala umat Hindu Bali.

Sementara itu, Uskup Denpasar, Mgr. Silvester San, Pr dalam sambutannya mengatakan, ornamen Bali dipilih untuk menghargai budaya setempat. "Ini semua untuk menyama braya (saling tolong menolong, toleransi dan menghormati dalam kehidupan bermasyarakat)."

Gubernur Made Mangku Pastika dalam sambutannya menegaskan, gereja tersebut sangat representatif untuk menempa umat. "Gereja ini sangat megah dan representatif untuk membina umat. Tumbuhnya sikap toleransi, keharmonisan dan kerukunan umat beragama saya harap dapat ditularkan dari gereja ini," katanya.

Kepala Dusun Uma Sari, Ubung Kaja, I Ketut Matulisi mengatakan, toleransi umat beragama di wilayahnya sangat terjalin apik. "Toleransi umat beragama di sini sangat bagus dan saling mendukung. Setiap ada kegiatan upacara di gereja, warga kami selalu diberi kepercayaan untuk menjaga keamanan," katanya. (vivanews.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar