Senin, 22 Agustus 2011

FILOSOFI CINTA


PENDAHULUAN

            Cinta merupakan suatu kata yang sangat aktual dalam realitas hidup manusia, bahkan meliputi segala makhluk hidup.  Semua makhluk membutuhkan cinta. Tanpa cinta tak akan ada kehidupan, namun tidak semua makhluk mampu menyadari apa arti cinta dan mencintai atau dicintai.  Karena cinta itu pada terkadang melampaui kesadaran, karena cinta itu merupakan suatu potensi, suatu kapasitas yang menjadi kodrat setiap makhluk hidup dalam mempertahankan dan meneruskan atau mengembangkan kehidupannya. Setiap makhluk mau atau tidak harus mewujudkan dan melaksanakan cinta yang telah ada dalam dirinya.  Bentuk ungkapan cinta yang tertinggi terjadi dalam konteks makhluk berakal budi, yakni manusia. Manusia menjadi subyek utama aktivitas mencintai. Dengan segala kemampuannya manusia berusaha mengekspresikan cinta. Cinta mengungkap peradaban manusia. Tanpa cinta peradaban manusia akan lenyap, nilai-nilai kehidupan yang hakiki tidak akan terwujud.
            Cinta merupakan suatu nilai yang dikejar, diburu, yang diusahakan, bahkan orang mau  berkorban demi mengungkapkan cintanya. Bagaimana  cinta seorang ibu yang rela menanggung sakit dan penderitaan demi menyambut kelahiran anaknya?  Bagaimana seorang wanita rela dianiaya oleh kekasihnya hanya karena cinta?  Bagaimana seorang bapak mau bekerja keras membanting tulang demi cintanya kepada keluarganya? Bagaimana seorang penjahat yang merampok suatu Bank demi menghidupi orang-orang yang dicintai? Bagaimana seorang pemuda rela mengorbankan segala sesuatu demi mendapatkan cinta dari seorang wanita? Dorongan untuk mencintai dalam diri setiap orang itu begitu kuat, sehingga banyak orang berpikir bahwa cinta itu buta, cinta itu gila, bahkan ada yang mengatakan cinta itu tak ada logika. Apa arti dari sebutan-sebutan tersebut? Benarkah bahwa cinta itu buta, gila dan tak ada logika?  Seorang pencinta sejati adalah seorang yang mampu merasakan, menyadari, memahami dan mengungkapkan perasaan cintanya, yang mengandaikan ia sadar akan apa yang dilakukannya, sadar akan nilai dan arti cinta dalam setiap tindakannya.
            Ketika seseorang memiliki kesadaran akan makna dan nilai mencintai, dengan demikian cinta itu tidak menjadi sesuatu yang buta, gila atau tak ada logika seperti dalam lagu yang dinyanyikan oleh artis Agnes Monika, “Cinta tak ada logika”. Muncul pertanyaan, bagaimana orang sampai pada pengertian bahwa cinta itu demikian, bahkan tak ada logika? Pemahaman tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa cinta itu dapat dimengerti. Cinta menjadi sesuatu yang mampu dirasakan maknanya dan dapat dimengerti atau memiliki disposisi logis, dan pada akhirnya aktivitas mencintai itu menjadi sesuatu yang rasional. Dengan kata lain cinta itu dapat dipertanggungjawabkan.
            Cinta itu menyangkut suatu spiritualitas, suatu semangat yang memiliki visi, misi atau tujuan tertentu.  Siapa pun yang mencintai tentu tahu apa yang dia cintai dan untuk apa mencintai, meskipun kesadaran akan hal ini membutuhkan waktu yang cukup lama. Karena aktivitas mencintai itu merupakan suatu pencarian akan suatu hubungan yang mesra antara sesama manusia. Mencintai itu suatu proses belajar mengaktualisasikan potensi kebaikan dalam diri seseorang. Akhirnya saya ingin mengatakan bahwa cinta itu memiliki kualitas logis yang sangat mendalam dan luas. Karena mencintai itu adalah aktivitas yang tidak pernah selesai atau tak mengenal kata bosan. Terutama kalau cinta dalam pandangan atau sentuhan pertama tentu akan melahirkan suatu kerinduan yang sangat besar akan kebersamaan, kemesraan, yang mendorong seseorang untuk mau berbuat apa saja demi memuaskan perasaan cintanya atau demi orang yang dicintainya.  Kata “cinta” bukan sekedar suatu kata yang mengandung nilai romantisme, tetapi memiliki nilai yang sangat kaya.  Kekayaan cinta tersebut saya tuangkan dalam sebuah  syair yang saya beri judul   “Logika Cinta”:

Cinta itu memberi
Tanpa berharap
Cinta itu mau berkorban
Tanpa takut
Tetapi cinta itu mencemaskan kalau tidak berbuah
Seperti pohon mangga yang tidak berbuah
Pada musimnya
Namun cinta tak mengenal musim
Cinta itu selalu menambah yang kurang
Tanpa merasa berkurang
Cinta itu mau menderita
Karena penderitaan adalah keutamaan
Cinta itu selalu ingin memiliki
Tanpa mau mengikat
Karena cinta membebaskan yang terikat
Menghibur yang susah
Mendamaikan yang bertentangan
Menghidupkan yang mati
Menemukan yang tersesat dan hilang
Memaafkan yang bersalah
Menyatukan yang terpisah
Cinta itu mengatasi persoalan
Cinta itu terbuka
Cinta itu kuat
Cinta itu abadi
Tak dapat dimengerti secara tepat
Tetapi dapat dilakukan
Karena cinta tidak mengutamakan pengertian
Tetapi kebaikan










Eksistensi Cinta dan Mencintai

            Eksistensi bersal dari salah satu aliran filafat eksistensialisme yang dimunculkan pertama kali oleh Soren Kierkegaard (1813-1855). Eksistensi berasal dari kata “eks”  yang berarti “keluar” dan “sistensia’ (sistere) yang berarti “berdiri”. Manusia bereksistensi berarti manuia menemukan dirinya sebagai aku yang keluar dari dirinya. Artinya manusia menemukan dirinya dalam diri yang lain. Yang lain dalm hal ini bisa berarti dunia dan sesama yng ada di dalam dunia. Eksistensi berarti aku yang tidak terpisahkan dari dunia. “Keluar dari diri” berarti keluar dari hakikat mnusia. Eksistensi menggambarkan situasi pengalaman hidup manusia yng dialami dalam kebersamaan dengan yang lain. Manusia menjadi makhluk yang eks-sentrik, yakni pribadi yang selalu mengarahkan dirinya keluar, aku mengalami diriku karena ada dalam dan bersama kamu. 
            Eksistensi menunjukkan cara menghadirkan diri yang khas bagi manusia. Eksistensi hanya bisa dikenakan pada manusia yang hidup dalam tata kehidupan konkret, sebagai subjek, sebagai aktor bagi sejarah hidupnya. Manusia berekistensi berarti manusia menyadari diri dan arah hidupnya dan menentukan apa yang menjadi ketetapan hatinya. Eksistensi mau mengatakan bahwa manusia itu selalu beraktivitas menyatakan “ada’-nya dalam dunia. Aktivitas tersebut bukanlah sekedar lahiriah belaka, tetapi merupakan percikan hati, perasaan, idealisme, sifat dasar, pikiran, kesadaran manusia itu sendiri. Percikan eksistensi manuia itu seperti terungkap dalam aktivitas menangis, marah, bekerja, tertawa, belajar, merenung, berpikir, sampai pada ungkapan tertinggi yakni aktivitas mencintai.
            Aktivitas mencintai berkenaan dengan bagaimana cinta itu meng-‘ada” dalam dunia. Ini mengisyaratkan hakikat cinta yang tercetuskan dalam hidup mnusia, sekaligus mengantar kita pada pemhaman akan hakikat manusia itu sendiri. Eksistensi cinta tidak dapat dipahami terpisah dari manusia itu sendiri. Eksistensi cinta menyingkapkan nilai tertinggi dari penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia. Tanpa cinta, manusia hanya akan menjadi makhluk rendahan, bahkan musuh bagi sesamanya (homo homini lupus). Orang yang tidak pernah mengalami cinta, tidak pernah menglami dirinya sebagai yang bernilai. Umumnya, orang yang merasa tidak dicintai cendrung merasa minder, stress, depresi dan perasaan tidak berharga. Begitulah eksistensi cinta memiliki keterkaitan erat dengan eksistensi manusia. Manusia yang “ada” meng-“ada”-kan cinta. Cara cinta itu hadir memiliki berbagai macam bentuk dan cara pengungkapannya. Dalam hal ini, terdapat apa yang diebut dengan dialektika cinta: cinta yang hadir dalam taraf pengalaman yang berbeda-beda. Ada tiga kategori dilektika cinta, yakni cinta dalam taraf estetis, etis dan transenden.
1.                  Eksistensi cinta dalam  taraf  estetis
Pengalaman cinta dalam taraf ini berada dalam batas-batas pengalaman inderawi mengenai kenikmatan, keindahan, kesenangan  untuk pemenuhan kepuasan diri sendiri. Dalam hal ini orang yang mencintai termotivasi oleh dorongan-dorongan libido, nafsu belaka. Segala apa yang tidak merangsang dorongan-dorongan tersebut mudah membuat ia merasa bosan dan mencari suasana baru untuk dirinya. Eksistensi cinta mengikuti rangsangan inderawi sejauh apa yang merangsang dapat dinikmati, dialami dan menyentuh kepuasan diri, terutama menyentuh perasaan keindahan. Ungkapan cinta dalam batas ini, tidak mengungkapkan diri manusia yang otentik.
2.                  Eksistensi cinta dalam taraf  etis
Eksistensi cinta dalam taraf etis dimaksudkan, cinta yang diungkapkan dalam batas-batas kesadaran akan nilai-nilai moral universal. Tindakan mencinta terdorong oleh karena mencintai itu baik dan tidak mencintai karena sesuatu itu buruk. Ini berhubungan dengan cara manusia menghadirkan diri di tengah masyarakat. Cinta dalam konteks ini memiliki konsekuensi sosial, mengikuti tata aturan, adat istiadat dalam masyarakat. Dalam taraf ini, manusia belum sepenuhnya hidup dalam keotentikan dirinya, tetapi ia masih hidup menurut kontrol dari luar dirinya, dalam arti ia tidak bebas menggunakan otonominya. Biasanya cinta dalam taraf ini ditemukan dalam philia.
3.                  Ekistensi cinta dalam taraf  transenden
Transenden memaksudkan melampaui, melewati kemungkinan-kemungkinan yang terbatas atau melampaui apa yang hanya dapat diinderai.  Dalam taraf ini, seseorang mengalami dan mengungkapkan cintanya secara bebas tanpa terikat oleh norma-norma dalam masyarakat. Aktivitas mencintai lahir dari otonomi diri, lahir dari kedalaman kesadaran manusia akan hak dan tanggung jawabnya untuk mencintai. Saya mencintai kamu bukan karena aturan mewajibkan, tetapi karena kamu adalah manusia yang pantas untuk dicintai dan juga bukan karena kamu itu cantik atau ganteng, baik, hebat, cerdas, saudaraku, dan sebagainya, tetapi karena kodrat manusia adalah mencintai. Cinta yang demikian bersifat altruistis (mengarah kepada yang lain). Dalam cinta yang demikian orang berusaha untuk menjadi “yang lain” bagi “yang lain”. Ini dapat kita temukan dalam bentuk tertinggi dari cinta yang dikenal dengan agape. Suatu bentuk cinta yang adikodrati, berdaya ilahi yang pada akhirnya berpuncak pada cinta akan Allah.


  

BAB I
ARTI DAN BENTUK-BENTUK CINTA


1.1.      Arti Cinta
            Cinta pada umumnya terjadi dalam suatu perjumpaan antara indera-indera perasa manusia dan menggerakan hati manusia untuk melakukan sesuatu demi orang yang dicintai.  Ini bukan sekedar suatu perjumpaan biasa, tetapi meliputi suatu relasi timbal balik seseorang dengan sesamanya. Suatu perjumpaan yang melibatkan hati. Cinta itu mendapat artinya ketika relasi tersebut berelaborasi. Artinya, ketika orang-orang yang saling mencintai itu sepakat untuk  mengusahakan sesuatu secara bersama-sama, entah itu masa depan bersama, bisnis, atau pemenuhan segala kebutuhan lain, baik secara jasmani maupun rohani. Kata “cinta”  merupakan kata benda yang berarti  “baik”: kata sifatnya “mencintai”  berarti mengusahakan kebaikan. Tidak ada cinta yang  berpotensi jahat.  Kata “baik” dalam hal ini bukan sekedar suatu kata pasif, tetapi suatu kata yang aktif, karena penekanannya pada tindakan. Viktor Frankl merumuskan cinta sebagai suatu pemahaman mendalam yang mengubah pribadi manusia untuk berkembang (cinta bersifat transformatif). Menurut Frankl, Cinta merupakan satu-satunya cara manusia memahami manusia lain sampai pada pribadinya yang paling dalam. Tidak ada orang yang bisa sepenuhnya menyadari esensi manusia lain tanpa mencintai orang tersebut. Melalui cinta dia bisa melihat karakter, kelebihan, dan kekurangan dari orang yang dia cintai; dan bahkan, dia bisa melihat potensi orang tersebut, yang belum dan masih harus diwujudkan. Selain itu, dengan cinta, orang yang mencintai bisa membantu orang yang dia cintai untuk mewujudkan semua potensi tersebut. Dengan membuat orang yang dia cintai menyadari apa yang bisa dan seharusnya dia lakukan, dia bisa membantunya untuk mewujudkan semua potensi tersebut[1].  Rumusan yang diuraikan oleh Frankl tersebut  tidak jauh berbeda dengan pemahaman Erik From dalam bukunya yang berjudul “The Art Of Loving”,  bahwa cinta merupakan kekuatan aktif dalam diri manusia yang mampu mendobrak keterpisahan seseorang dengan sesamanya dan menyatukannya kembali. Cinta membuat orang sanggup mengatasi keterasingan dan keterpisahan, namun cinta sekaligus mengijinkannya untuk menjadi dirinya sendiri, untuk mempertahankan keutuhannya.
Cinta merupakan suatu aktivitas yang mengandung nilai moral, yakni berkaitan dengan perbuatan manusia sebagai subjek yang berakal budi. Dalam arti ini, cinta diungkapkan dalam ranah kesadaran diri sebagai makhluk yang memiliki tanggung jawab terhadap kebaikan kehidupan bersama. Menurut Wojtyla, “Cinta secara psikologis menjadi penuh apabila mengandung nilai moral dan merupakan keutamaan”, yang berpusat pada penghargaan martabat pribadi dan bukan oleh karena dapat jadi objek kenikmatan dan kesenangan entah secara badaniah ataupun sosial. Dalam cinta yang demikian ini terkandung pemberian diri total entah dalam arti spiritual maupun moral bukan semata penyerahan tubuh untuk kesenangan bersama[2]. Ketika seseorang mengatakan, “saya mencintai kamu”  atau  “saya cinta kamu”  memiliki arti yang sama yakni “saya mau melakukan sesuatu yang baik untuk kamu”. Kata “baik” mengandung makna memiliki motivasi baik dan tujuan yang baik, juga dalam hal mengungkapkan dan memahami perasaan cinta. Ungkapan konkrit dari kata-kata ini dapat berupa berbagai bentuk. Istilah “bentuk” mau mengatakan cara cinta itu diwujudkan.
1.2.      Bentuk-Bentuk Cinta[3] 
1.2.1.                  Philia
Philia/Phylia (bahasa Yunani) yang berarti cinta yang dilandasi oleh suasana persahabatan, dan daya tarik akan keberagaman. Cinta yang didorong oleh rasa kebersamaan, kesamaan nasib dan pengalaman akan keserupaan. Bentuk cinta ini masih bersifat terbatas pada orang-orang yang digerakan oleh perasaan akan kesamaan nasib, kecocokan dalam pergaulan. Misalnya, cinta yang terjadi antara orang-orang yang sama-sama mengalami penderitaan, orang yang memiliki kesamaan hobi maupun karakter kepribadian. Cinta yang demikian, pada hakikatnya dijiwai oleh semangat persaudaraan (fraternite) dan persahabatan, tetapi memiliki potensi  untuk menggerakan  orang untuk membangun janji hidup bersama. Contohnya seorang wanita yang merasa cocok dan sesuai dengan sahabat prianya, sehingga memutuskan untuk melanjutkan hubungan persahabatan  mereka ke jenjang pernikahan. Atau seorang anak atau  saudara yang ingin tinggal bersama ayah/ibu atau saudaranya karena merasa lebih tenang dan damai. Persahabatan terjadi ketika seseorang mau membuka diri untuk diterima dan menerima sesamanya, saling mengenal dan memahami  kekurangan, kesamaan dan kelebihan.  Persahabatan bukan dimaksudkan untuk saling melukai atau menyakiti.  Seorang sahabat selalu ingin tampil baik di hadapan sahabat-sahabatnya. Persahabatan itu dapat terjalin dalam segala situasi, pun dalam situasi yang paling buruk. Misalkan seseorang yang sedang mengalami sakit, akan merasa bahagia jika dikunjungi atau dibawakan sesuatu oleh orang-orang dekatnya. Seorang yang sedang dirundung sakit hati atau kebencian atau kemarahan, frustrasi, stress maupun depresi akan merasa damai jika disapa oleh orang yang  ia rasa cocok atau pas dengan situasi dirinya. Situasi dapat membuat orang mampu menjalin suatu persahabatan,  seperti seorang dokter dapat bersahabat dengan perawatnya atau dengan pasiennya atau dengan keluarga pasien karena profesinya atau karena penyakit yang ditanganinya.  Demikianlah persahabatan dapat terjadi karena ada suatu alasan yang menjadi perantara perjumpaan  antara dua orang sahabat atau lebih. Namun suatu persahabatan yang sejati tidak selalu terikat  atau terkondisikan oleh satu dan lain hal, tetapi oleh gerakan dari dalam jiwa yang sungguh-sungguh ingin  menyapa dan berbuat sesuatu  bagi sesamanya.  Ini umumnya terjadi dalam diri orang yang memiliki sikap terbuka, rendah hati, tulus, jujur, adil dan mampu merefleksikan dan menyadari setiap peristiwa hidup. Ia mampu menerima kekurangan dan kelebihan sesama dan dirinya. Misalnya, seorang yang dalam dirinya masih mencintai sesamanya meskipun ia kerap disakiti. Rasa persahabatan itulah yang menjadi ungkapan cintanya.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  
            Gerasimos Santas, dalam bukunya yang berjudul “Plato Dan Freud, Dua Teori Tentang Cinta”, menguraikan cinta persahabatan dalam beberapa kelompok, yakni, cinta familial (terjadi dalam lingkup keluarga), cinta persahabatan, cinta parental  (ungkapan cinta dari orang tua), cinta filial dan cinta saudara dengan saudari (bdk. Konrad Kebung, 2002: 13).
            Philia dalam pandangan Dr. Armada Riyanto, merujuk pada “cinta” yang mengandung nilai etis. Dalam lapangan etika, terminologi “cinta” menunjuk kepada philia (friendship), philein (love), philos (friend). Philia dalam makna filosofis bukanlah persahabatan sebagaimana sering kita pikirkn. Philia mencakup (1) kasih di antara anggota keluarga, atau kasih sebagai anggota keluarga; (2) juga mencakup aktivitas yang saling menguntungkan/saling memberi keleluasaan untuk berkembang/saling menumbuhkan di antara masing-masing partner; (3) mencakup sharing keutamaan, atau cinta itu adalah keutamaan itu sendiri; (4) philia meminta pula semacam feeling, perasaan keterlibatan satu sama lain bukan hanya sekedar masing-masing punya niat baik atau kehendak untuk saling menguntungkan[4]. Philia, dengan demikian tidak sekedar penghayatan hidup manusia dalam relai soial, tetapi juga melibatkan daya-daya rohani hidup manusia, seperti pikiran, perasaan hati nurani, imajinasi, intuisi manusia. Lebih lanjut, Armada Riyanto menguraikan pembagian cinta dalam “kacamata” Filosof Klasik terkenal, Aristoteles. Aristoteles membedakan philia dalam tiga tingkatan yang berbeda. Dalam hubungannya dengan obyek cinta: (a) the good, (b) the useful, dan (c) the pleasant. Level cinta dengan obyek the good jelas merupakan taraf paling tinggi, menyusul di bawahnya adalah kegunaan, dan yang paling rendah ialah apabila obyek cinta disempitkan pada apa-apa yang menyenangkan/memberikan kenikmatan (fisik). Cinta yang benar ialah cinta kebaikan. Maksudnya apabila ada dua orang/lebih saling mencintai, itu maksudnya mereka adalah orang-orang yang saling menghendaki kebaikan bagi satu dan yang lain. Mereka adalah orang-orang yang saling menumbuhkan dalam kebaikan. Dan akhirnya, karena cinta mereka semua menjadi orang-orang yang baik semuanya, atau orang-orang yang menuju kepada kebaikan[5].  Gagasan yang sama juga diungkapkan oleh Sr. Joyce. Philia, di mata Sr. Joyce mengandung makna kebaikan hati, persahabatan atau kesetiaan. Cinta kebaikan hati lebih bersifat sosial disertai kesadaran keterbatasan yang lain dan juga hasrat untuk membantu penyempurnaan dan pemenuhan diri pribadi lain. Di sini yang utama adalah: “Aku ingin agar engkau menjadi baik”, ini berarti menghadapi yang lain sebagai  pribadi dan bukan sebagai objek pemenuhan dan pemuasan  diri tanpa menghiraukan apakah baik juga untuk yang lain[6].
1.2.2.   Agape
Agape (bahasa Yunani) berarti “Cinta yang tidak mementingkan diri sendiri”. Umumnya, agape disebut sebagai cinta buta, yakni suatu ungkapan diri yang radikal bagi orang yang dicintai. Seseorang dapat mengungkapkan cintanya dengan mempersembahkan hidupnya secara total, bukan sekedar dalam taraf lahiriah, melainkan meliputi keseluruhan aktivitas hidupnya. Ada beberapa kelompok pengertian agape:
a)              Secara umum, agape digunakan untuk menunjukan bentuk tertinggi cinta manusiawi (berbeda dengan Eros/cinta seksual atau Philia/cinta persahabatan atau familia).
b)              Dalam Platonisme, agape merupakan cinta akan ide-ide abadi dan sempurna seperti kebaikan, keindahan dan kebenaran.
c)              Dalam agama kristen, agape baik berarti cinta manusia bagi Allah maupun cinta Allah bagi manusia.
            Agape merupakan bentuk cinta yang transendental. Artinya, perkara mencintai sungguh-sungguh berada pada poin pemberian yang tulus dan bebas dari seseorang kepada orang atau pribadi yang dicintai tanpa dimotivasi oleh rangsangan fisik dan perasaan keserupaan. Agape muncul bukan karena adanya rasa ketertarikan  satu sama lain, tetapi merupakan suatu gerakan atau dorongan dari dalam jiwa seseorang untuk mengusahakan kebaikan sesama. Cinta yang demikian lebih bersifat altruistis (mengarah kepada sesama) dan berdaya ilahi. Orang yang memiliki agape, memiliki suatu semangat/spiritualitas yang memungkinkan dia untuk mau dan rela berkorban apa saja, bahakan korban nyawa bagi apa yang dicintainya. Agape juga disebut dengan cinta heroik atau cinta kepahlawanan, yang tidak berhubungan dengan ketertarikan materialistis. Agape berkapasitas spiritual/rohani, sehingga sering disebut sebagai cinta abadi, suatu cinta yang tak pernah terkalahkan oleh apa pun, termasuk oleh kematian atau kejahatan. Agape dimaknai sebagai bentuk cinta yang radikal oleh Sr. Joyce Ridick yang juga mengutip gagasan yang dikemukakan oleh J. Maritain. Bagi Sr. Joyce, cinta yang radikal dapat bertumbuh dari cinta persahabatan yang berdasarkan kebaikan hati, yaitu suatu transendensi diri sampai ke tingkat di mana dengan bebas seseorang memberikan diri secara total, bukan hanya apa yang kita punyai atau kita perbuat pada orang lain[7].
            Agape memiliki makna yang mendalam akan pengungkapan diri manusia. Ungkapan diri tersebut mengarah kepada pengejaran nilai tertinggi dari kehidupan. Kepuasan cinta terletak pada penemuan makna hidup itu sendiri. Makna hidup tersebut terletak pada ekspresi keseluruhan kegiatan manusiawi yang bebas dan bertanggung jawab terhadap sesamanya.

1.2.3.   Eros (Cinta Erotis)
            Eros merupakan bentuk cinta yuang terjadi karena ketertarikan  dan sentuhan-sentuhan fisik. Sr. Joyce Ridick menyebut eros sebagai cinta asmara. Ia mengatakan, di sini istilah cinta dipakai tidak secara benar karena hanya untuk mengungkapkan cinta kedagingan, yang mengandung konotasi daya tarik seks, rangsangan, pemenuhan syahwat, kenikmatan dan kesenangan badaniah. Terhadap cinta semacam ini Wojtyla menyebutnya cinta concupiscentia. Cinta yang cendrung mencari pemuasan karena ada sesuatu yang kurang pada dirinya yang dapat dipenuhi oleh yang lain. Cinta semacam ini selalu mengandaikan ada sesuatu yang kurang pada pribadi dan dapat diatasi dengan mengingini objek pemuasnya: saya mengingini dirimu sebagai objek yang baik untukku[8]. Cinta erotis, pada dasarnya terjadi dalam taraf pengalaman inderawi. Cinta ini banyak menimbulkan rangsangan-rangsangan seksual dalam diri orang yang saling mencintai. Artinya cinta dalam bentuk ini mempengaruhi daya-daya seksual. Seksualitas menjadi ungkapan cinta erotis yang mendalam, karena dengannya orang dapat terikat secara psikis. Eros dalam teori psikoanalisa Freud dikenal sebagai naluri kehidupan yang meliputi baik kecendrungan untuk mempertahankan ego maupun kecendrungan untuk melangsungkan jenis, baik libido narsisistis maupun libido berobyek. Tujuan naluri kehidupan adalah pengikatan artinya mengadakan kesatuan yang semakin erat dan karena itu semakin mantap[9].  Freud memberikan tekanan pada dua poin penting yakni libido dan ego. Libido muncul dari respon terhadap sesuatu yang mampu memberikan rasa nikmat. Respon tersebut tersalurkan dalam sikap mencintai diri sendiri dan juga orang lain sejauh cinta tersebut menguntungkan diri. Sementara ego merupakan suatu dorongan untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat jasmaniah belaka (cinta diri lewat tindakan-tindakan  lahiriah), terutama melalui sublimasi (mengalihkan dorongan seksualitas ke arah yang wajar dan dapat diterima oleh masyarakat) dan represi (menyembunyikan pengalaman-pengalaman yang tidak menyenangkan ke dalam ruang ketidaksadaran, sehingga dapat menimbulkan tekanan batin dalam situasi tertentu). 
Cinta erotis berkaitan dengan kemampuan manusia dalam menerima rangsangan atau respon terhadap sesuatu yang menarik perhatiannya. Namun terkadang  eros cendrung  mengarah pada pemuasan “ego”, cinta terhadap diri sendiri atau untuk pemenuhan diri. Pengertian ini, mungkin lebih tepat dibandingkan eros sebagai pemenuhan nafsu seksual. Ini karena seksualitas dapat terjadi hanya sebatas ungkapan naluriah tanpa melibatkan  seluruh perasaan cinta orang yang melakukan hubungan tersebut. Seksualitas hanyalah sarana untuk mengungkapkan cinta dalam batas-batas tertentu, menurut penghayatan masing-masing pria dan wanita sebagai suami-isteri.
            Ketiga bentuk cinta di atas, dalam pandangan Sr. Joyce, sangat penting bagi perkembangan hidup perkawinan[10]. Ketiganya berperan dalam memantapkan dan menyempurnakan relasi suami-isteri. Tiga bentuk cinta tersebut memainkan fungsinya masing-masing. Cinta dalam bentuk eros memiliki fungsi prokreatif (mendapatkan keturunan) dan melestarikan kehidupan. Cinta dalam bentuk philia adalah untuk saling melengkapi, tolong-menolong, saling memenuhi dan saling menghantar ke kekayaan keunikan masing-masing sebagai pribadi. Cinta dalam bentuk agape berhubungan dengan kemampuan rasional -spiritual, mengarah kepada ungkapan diri yang bertanggung jawab bersama-sama seumur hidup. Cinta radikal atau agape merupakan bentuk tertinggi dari ungkapan cinta, yang pada akhirnya terarah kepada Allah.



BAB II
PACARAN DAN CINTA

            Pacaran merupakan suatu tahap, suatu proses awal orang mulai membangun relasi cinta dan menentukan obyek cinta. Umumnya diawali dengan perjumpaan dalam pandangan pertama. Ini bukan sekedar perjumpaan biasa, tetapi perjumpan yang di dalamnya perasan dan pikiran bahkan intuisi antara pria dan wanita mengalami integrasi. Ini terungkap dalam sikap tarik-menarik satu sama lain untuk mewujudkan suatu relasi personal yang dalam. Masa pacaran bukanlah puncak dari relasi cinta, sehingga pria dan wanita perlu mampu memahami batas-batas relasi antara mereka. Inilah yang sulit dikendalikan ketika seseorang menjalani masa pacaran. Kenyataan ini aku temukan dalam pengalaman hidup beberapa kaum muda.
            Ada seorang gadis bernama Rindu (bukan nama sebenarnya), seorang mahasiswa di salah satu PTS di kota Malang. Rindu menjalin hubungan cinta dengan seorang pria  bernama Toni (bukan nama sebenarnya) dan hubungan mereka telah berlangsung selama 6 tahun. Mereka belum bertunangan, namun kedua orangtua mereka telah mengetahui dan merestui hubungan mereka. Rindu dan Toni bersama-sama kuliah dan tinggal di kost yang berbeda. Keduanya kerap saling mengunjungi satu sama lain sebagai ungkapan kedekatan hubungan yang telah lama terjalin. Usia pacaran yang begitu lama, tentu saja terkesan bahwa keduanya telah saling mengenal lebih mendalam. Namun itu ternyata tidak menjamin ketahanan hubungan cinta mereka. Kenyataan ini terjadi ketika Rindu hendak mengunjungi Toni. Setibanya di kost Toni, Rindu terkejut mendapati Toni sedang bercumbu bersama seorang wanita lain. Sekejap muncullah pertengkaran sengit antara Rindu dan Toni, bahkan  Toni berkesempatan untuk memukul wajah Rindu.
            Pengalaman tersebut, bagi Toni merupakan hal biasa, namun bagi Rindu sangat menyakitkan hati dan perasaannya. Bagi Rindu, hubungannya dengan Toni (meskipun dalam level pacaran) melibatkan seluruh aktivitas hidupnya, terutama aktivitas perasaan hati. Rindu mengalami keterikatan psikologis terhadap Toni, sehingga peristiwa tersebut mempengaruhi psiche/kejiwaannya. Rindu mengalami depressi dan stress karena merasa perasaannya dilukai dan dikhianati oleh Toni. Dalam situasi jiwa yang demikian, Rindu kehilangan kesadaran dan kontrol diri yang membuat ia merasa kehilangan arti hidup. Kehilangan arti hidup membuat Rindu hendak bunuh diri, terutama ketika wanita yang dicumbui Toni berpotensi untuk hamil. Rindu akhirnya diselamatkan oleh warga sekitar tempat ia hendak bunuh diri.
            Pengalaman tersebut di atas merupakan salah satu pengalaman yang juga dialami oleh sebagian besar kaum muda, terutama kaum wanita. Sering kaum wanita menjadi obyek pemuasan nafsu pria, meskipun tidak menutup kemungkinan ada pula pria yang dijadikan obyek nafsu wanita. Hal tersebut sering terjadi dalam relasi pacaran. Umumnya pria dan wanita dalam taraf pacaran belum mengenal secara baik dan benar apa arti dan makna pacaran. Mereka tidak memahami, apa itu pacaran? Siapakah pacar dalam hidupku? Mengapa berpacaran? Bagaimana menghayati cinta dalam konteks pacaran?
Menggali Makna Masa Pacaran
            Masa pacaran merupakan suatu proses mencari dan menempatkan daya tarik cinta terhadap lawan jenis. Ini dikenal juga dengan masa pencarian pasangan hidup, sehingga perlu diawali dengan usaha mengenal identitas pasangan hidup. Masa pacaran memberikan peluang sebebas-bebasnya (bukan kebebasan tanpa batas tetapi kebebasan untuk mempertanggungjawabkan setiap keputusan yang ditetapkan) dalam saling mengenal, memahami, sesama secara komprehensif atau menyeluruh. Kata “komprehensif”  dalam konteks ini mengarah pada  pengenalan yang luas tetapi tidak mendalam. Di sini orang berusaha untuk mengenal dan memahami identitas yang menggambarkan jati diri pasangan serta karakternya, sehingga mampu mengintegrasikannya dengan hidupnya. Sepintas lalu orang mulai mampu menilai, sejauh mana kecocokan yang dapat terbina, bagaimana menyesuaikan diri dengan sikap dan perilaku pasangan yang demikian, dan akhirnya mengantar seseorang untuk menggali potensi dalam dirinya sendiri. Tahap pacaran menjadi sebuah ajang mengali jati diri sendiri, memahaminya sehingga mampu membuka diri dan membatasi diri dalam relasi cinta dengan pasangan. 
            Masa pacaran bukanlah masa seorang mengikat diri atau membuat ikatan cinta dengan pasangannya, terutama ikatan yang melibatkan perasaan (ikatan psikologis). Ini karena masa pacaran rentan dan terbuka kemungkinan untuk terjadinya konflik dan kekerasan dalam berpacaran, seperti yang dialami oleh Rindu. Ia mengalami keterikatan secara psikis terhadap Toni, sementara hubungan cinta mereka masih terbatas sebagai pacar. Ini menimbulkan kesan seorang yang tidak memahami batas-batas dalam berpacaran, sehingga kebebasannya menjadi terkekang.
            Lain halnya dengan Rasti (bukan nama sebenarnya), dan Rian, mahasiswa di salah satu PTS kota Malang. Keduanya telah dua tahun menjalin cinta. Rasti tinggal di asrama putri dekat kampus, sementara Rian di kos.  Asrama yang ditempati Rasti tidak terlalu ketat, karena pemilik asrama menghargai kebebasan mereka sebagai hak yang harus dihormati. Namun berbeda dengan hubungan cinta yang mereka jalani, bahwa kebebasan menjadi persoalan yang sulit dinyatakan. Hal ini karena mereka berdua telah mengikat diri secara psikis seorang terhadap yang lain, khususnya bagi Rasti. Kehidupan yang mereka jalani selayaknya orang yang telah menikah, meskipun tidak ada hubungan seksualitas di antara keduanya. Rian dan Rasti terlihat saling mencintai dan cinta itu terungkap dalam tindakan saling melayani. Rasti sering memasak makanan untuk Rian dan Rian selalu memberikan perhatian kepada Rasti. Suatu saat keduanya mengalami konflik, terutama karena kesalahan kecil yang dilakukan Rasti, yang mengundang kemarahan Rian. Rasti sering mendapat pukulan dan siksaan batin dari Rian, namun ia tidak mampu memisahkan diri dari Rian karena cintanya yang  besar pada Rian. Bahkan ketika Rian berinisiatif memutuskan hubungan cinta, Rasti bersikeras, dan memohon, bahkan sambil menangis agar Rian tidak memutuskan dia. Konsekuensinya ialah bahwa Rasti harus menerima perlakuan kasar dari Rian demi cintanya (sementara orangtuanya tidak mengetahui hubungan mereka sampai sejauh itu). Bagi Rasti, Rian adalah segalanya dan ia telah terlanjur mencintainya.


BAB III
PERTUNANGAN DAN CINTA:
MAKNA  DAN  NILAINYA 


Pertunangan merupakan tahap penting bagi suatu perkawinan. Pertunangan merupakan “pintu gerbang” bagi sepasang kekasih untuk memulai suatu kehidupan rumah tangga. Pertunangan merupakan keputusan pertama dua orang yang mengikat diri satu sama lain, maka sifatnya masih sementara, dan karena merupakan waktu di mana mereka harus saling menguj entah mereka serasi satu sama lain, maka mereka harus saling memberikan cinta, kesetiaan dan keterbukaan[11]. Pertunangan membutuhkan suatu persiapan matang terutama persiapan mental psikis pasangan. Persiapan ini lazimnya telah terjadi dalam masa pacaran, masa sepasang kekasih menyadari dirinya sebagai manusia yang saling mengenal dan membutuhkan satu sama lain dalam relasi cinta. Cinta dalam konteks pacaran merupakan suatu aktivitas membuka diri agar orang lain dapat masuk dalam kehidupanku. Dalam aktivitas tersebut orang saling menggali dan memahami identitas masing-masing agar dapat saling melengkapi. Saling memahami identitas ini penting bagi suatu pertunangan. Relasi cinta dalam masa pacaran berlanjut menuju masa pertunangan.
Suatu pertunangan tidak dapat tercapai dengan baik bila sepasang kekasih belum mampu mengenal identitas diri masing-masing. Sepasang kekasih akan dapat menghayati makna cinta kasih secara lebih mendalam dan membatin ketika keduanya mengerti dan memahami dengan baik keunikan masing-masing. Keindahan pengalaman cinta terletak dalam taraf ini, bahwa keduanya akan terdorong oleh kebutuhan untuk saling mewujudkan cita-cita perkawinan yang ideal. Dasar dari pertunangan ialah cinta akan keunikan masing-masing. Keunikan merupakan kata lain dari “perbedaan”, namun tidak sama persis. Perbedaan kerap menimbulkan kesan kontradiksi (pertentangan). Keunikan lebih merupakan kesalingberhubungan. Dalam hal ini, saya menggunakan istilah “keunikan” yang kiranya lebih tepat. Keunikan menyatakan hubungan saling memperkaya, melengkapi, saling mengisi yang dilatarbelakangi oleh keindahan cinta yang mau solider. Maksudnya, suatu relasi cinta yang penuh dengan saling pengertian satu sama lain.
Bagaimana menghayati relasi cinta dalam masa pertunangan? Dalam hal ini membutuhkan suatu komitmen cinta yang relasional  dan personal. Relasional berarti adanya suatu kontak, komunikasi yang terus-menerus. Relasional mengisyaratkan sikap keterbukaan yang jujur dan suka rela yang terus-menerus. Sedangkan personal berarti penghargaan atau sikap hormat terhadap harkat dan martabat pasangan dengan segala keunikan pribadinya. Demikianlah pertunangan dapat dikatakan sebagai jalan menuju kedalaman relasi cinta kasih.
Beberapa makna personal pertunangan yang perlu dimengerti, sehingga memungkinkan bertumbuh dan berkembangnya cinta.
1.      Pertunangan sebagai kesempatan mengungkapkan diri secara lebih mendalam.
Manusia adalah makhluk eksistensial, artinya ia selalu terdorong untuk mengekspresikan, menyingkapkan cara ber-ada-nya, mengungkapkan bentuk-bentuk kehadirannya di dunia. Ini merupakan suatu usaha mengembangkan potensi demi menyelami makna hidupnya secara personal, mewujudkan jati diri dan idealismenya. Pertunangan menjadi “kesempatan” bagi pria dan wanita mengekspresikan kedalaman cinta mereka. Pertunangan melibatkan totalitas atau keseluruhan dari kepriaan dan kewanitaan. Pertunangan melibatkan situasi jiwa atau psikis manusia yang tercetus dalam sikap dan perilaku dan tanda-tanda lahiriah. Dengan kata lain, dalam pertunangan pria dan wanita telah mengenal secara luas jati diri dan identitas masing-masing sehingga mampu mengungkapkannya dalam taraf yang lebih dalam. Demikianlah pertunangan merupakan ekspresi dari persona pria dan wanita dalam keunikan masing-masing.
2.      Pertunangan sebagai ekspresi cinta personal.
Pertunangan merupakan cara mengekspresikan cinta atau komitmen cinta. Dalam diri manusia ada potensi yang memungkinkan untuk mencintai dan dicintai, suatu kerinduan akan pemenuhan diri dalam relasi cinta. Ekspresi cinta personal mencakup segala ungkapan personal dengan segala keunikan, kekurangan dan kelebihannya. Ekspresi cinta personal muncul dari kedalaman batin masing-masing pasangan bukan karena pengalaman romantis atau kebaikan, tetapi karena kemanusiaan yang melekat dalam diri persona, entah kebaikan maupun keburukan atau lebih tepat kekurangan. Jadi, orang mencintai pasangannya sebagaimana ia adanya, mencintai pasangan dalam dirinya (in se).
Konsekuensi cinta personal ialah penerimaan diri masing-masing pria dan wanita sebagaimana adanya, bukan yang lain. Kemampuan untuk menerima pasangan apa adanya akan sangat menentukan perkembangan relasi cinta selanjutnya menuju kehidupan perkawinan dan keluarga.
Ekspresi cinta personal lebih mengarah kepada penghargaan akan keluhuran martabat setiap pribadi manusia sebagai pribadi yang bebas, yang patut dicintai dan mencintai. Ekspresi cinta personal dalam pertunangan bisa diungkapkan dengan berbagai cara. Cara yang lazim ialah melalui penukaran cincin pertunangan. Cincin sering dipahami sebagai simbol cinta, namun hanya sebatas cara membahasakan cinta. Cincin itu sendiri bukanlah cinta itu sendiri, karena cinta itu luas dan kaya melampaui cincin, sehingga kalau cincin itu hilang, maka cinta tetap ada dan dapat berkembang. Cincin tetap penting sebagai cara membahasakan cinta personal. Penukaran cincin juga dimengerti sebagai ungkapan kesalingterikatan satu sama lain dalam relasi cinta yang terarah pada perkawinan. Namun hal tersebut bukanlah “harga mati” atau mutlak bagi sepasang kekasih untuk melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan.
Kenyataan menunjukkan bahwa masa pertunangan itu sifatnya potensial, artinya ada kemungkinan untuk batal atau putusnya hubungan cinta pria dan wanita. Terutama apabila dalam perjalanan penghayatan relasi cinta tidak menemukan titik harmonis bagi suatu perkawinan. Oleh karena itu setiap pasangan tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan untuk saling mengenal dan memahami secara intensif identitas masing-masing terutama dalam masa pertunangan. Pertunangan bukanlah puncak relasi cinta, tetapi merupakan “pintu gerbang” menuju puncak yakni pernikahan itu sendiri. Oleh karena pertunangan bukanlah puncak, maka tidak dibenarkan dalam masa pertunangan pria dan wanita mengekspresikan cinta personalnya dalam relasi seksualitas. Karena seksualitas hanya berlaku dalam konteks perkawinan, sebagai ungkapan penyerahan totalitas diri suami-istri dalam penghayatan cinta intim dan aktivitas prokreatif (melestarikan kehidupan).
  

BAB IV
PSYCHE PRIA DAN WANITA


Cinta dalam hidup manusia juga merupakan aktivitas yang melibatkan sisi psyche (psikologis/kejiwaan). Ungkapan cinta kerap kali melekat dalam psyche pria dan wanita, khususnya berkenaan dengan perkembangan emosi. Emosi dalam hal ini lebih merujuk pada perasaan. Perasaan merupakan bagian dari psyche. Dapat disebut bahwa cinta atau tindakan mencintai merupakan luapan kejiwaan/jiwa, atau ekspresi jiwa. Unsur kejiwaan sangat penting dipahami dalam membangun suatu hubungan cinta. Terkadang hubungan cinta mampu menghidupkan jiwa yang lesu, gundah atau tidak bersemangat, namun hubungan cinta pun dapat menimbulkan gangguan jiwa. Akibatnya fatal, terutama bagi pria atau wanita yang kesadaran atau perkembangan jiwanya belum matang atau dewasa. Pria atau wanita akan mengalami putus asa terutama kalau mengalami dikhianati oleh pasangannya atau putus cinta, menjadi murung, minder, trauma, xenopobia, depresi, stress, frustasi, bahkan gagal mental sampai bunuh diri sebagai puncak dari gangguan psyche.
Betapa pentingnya mengenal  psyche dalam memotivasi dan mengembangkan kehidupan bercinta. Oleh karena itu, di sini akan diuraikan gambaran yang umum sebagai pedoman memahami psyche pria dan wanita, terutama dalam kaitannya dengan relasi cinta.

1.      Ciri-ciri Sifat Dasar Wanita
Umumnya, wanita sangat terkenal dalam perkembangan emosional. Wanita memiliki kemampuan yang kuat dan mendalam untuk peka terhadap rangsangan perasaan. Tindakan mencintai bagi wanita adalah cetusan perasaan; mencintai berarti mengalami perasaan. Perasaan itu muncul dari dorongan kehendak hati, sehingga wanita pada umumnya berbicara atau membahasakan cintanya dari kedalaman perasaan hati. Ini bukanlah suatu yang dibesar-besarkan, tetapi wanita sungguh dianugerahi dengan kemampuan yang demikian.
Cinta, bagi wanita menggambarkan bagian dari identitasnya dengan segala aktivitas hidupnya, termasuk aktivitas seksual. Seksualitas wanita bukan sekedar pemenuhan kepuasan nafsu birahi, tetapi bagian dari ungkapan aktivitas hidupnya. Penghayatan wanita dalam relasi seksual begitu sungguh-sungguh dan mendalam. Seksualitas wanita dirasakan dalam setiap hal-hal yang kecil dan sederhana, seperti kelembutan, sentuhan, perhatian, dan juga aktivitas sehari-hari. Kelembutan membuat wanita mampu melakukan sesuatu dengan hati-hati, seperti memasak, mengasuh bayi. Sentuhan bagi wanita itu seperti “sengatan listerik”, artinya wanita itu peka terhadap rangsangan, karena perasaannya. Untuk itu, perasaan wanita mudah diobrak-abrik, dipengaruhi. Perhatian bagi wanita memberikan ketenangan batin sehingga ia mampu pasrah bahkan pasif atau represif, dan mampu membangkitkan semangat hidup. Wanita yang kurang mendapat perhatian atau tidak diperhatikan oleh pasangannya akan mudah mengalami putus asa atau merasa tidak berguna, tanpa arti. Wanita yang merasa diri selalu diperhatikan, terutama oleh orang yang dicintainya akan terdorong untuk mengarahkan hidupnya bagi orang yang dicintainya tersebut. Untuk itu, seorang pria dituntut untuk mampu merespon perasaan cinta pasangan wanitanya juga dengan perasaan. Pria harus bisa masuk ke dalam “ruang” perasaan wanita. Ini penting untuk membangun hidup perkawinan dan keluarga seperti yang diuraikan oleh Dr. Piet Go, berikut:
“Seluruh hidup emosional isteri terarah kepada sang suami, maka ia juga mengharapkan balasan atas perasaan cintanya itu, balasan cinta yang juga berperasaan, yang dapat dirasakan, sehingga rasa cinta bertemu dengan rasa cinta. Rasa cinta tidak melulu mempunyai motivasi rohani, melainkan dinyatakan oleh sesuatu yang sensitif pula, maka seringkali seorang isteri merasa bahagia bila kecantikannya berkenan kepada suaminya. Maka penghargaan untuk segi ini menyenangkan dia (dan diharapkannya)”[12].

Situasi tersebut tidak hanya terjadi dalam relasi suami-isteri, tetapi juga dalam relasi cinta dalam masa pacaran, pertunangan bahkan persahabatan dan kekerabatan.

2.      Sifat-sifat Dasar Pria
Pria kerap duhubungkan dengan sifat agresif, inisiatif serta rasional. Sikap rasional lebih dominan dalam diri seorang pria. Sikap ini membantu pria dalam mengambil keputusan, kreativitas dan tanggungjawab terhadap hidupnya. Rasional mengandung dualisme makna, yakni pikiran dan akal budi. Pikiran berarti daya pengetahuan sedangkan akal budi merupakan bukan sekedar pengetahuan tetapi meliputi kesadaran.
Tidak sedikit pria sering menggunakan pikiran dalam memahami relasi cinta tanpa sungguh-sungguh melibatkan akal budi. Dalam situasi ini kesadaran kerap lamban. Pria sering mengungkapkan cinta menurut apa yang ia pikirkan. Gambaran tentang wanita umumnya dibayangkan dalam pikiran. Untuk itu pria terkadang penuh perhitungan dalam mengungkapkan dan merespon cinta. Pikiran mempengaruhi jiwa (dalam arti semangat) seorang pria. Pria diidentikkan dengan agresif, kuat, dalam berjuang bukan karena fisiknya yang besar atau berotot, tetapi karena semangatnya yang mudah dipengaruhi. Maka seorang pria yang postur tubuhnya kurus, kerdil, kecil dapat mampu melakukan pekerjaan yang berat demi orang yang ia cintai. Umumnya, ini dilatarbelakangi oleh cara berfikirnya mengenai identitas dirinya sebagai pria di hadapan wanita.
Begitu pun halnya dengan seksualitas pria juga dipengaruhi oleh pikiran, terutama pikiran akan kenikmatan tubuh, dan pemenuhan diri. Seksualitas pria umumnya tidak diarahkan untuk ungkapan cinta. Sehingga ia bebas berhubungan seksual dengan siapa saja tanpa merasa beban.
Sikap demikian kerap kali terjadi pada pria yang telah kehilangan kesadaran (rasional), sehingga tidak memikirkan konsekuensi hubungan seksual tersebut bagi wanita, terutama ketika melakukan hubungan itu. Kesadaran akal budi akan muncul setelah melakukan hubungan tersebut, bahkan tidak sedikit pria yang sadar setelah mengetahui wanita yang disetubuhinya itu hamil. Di sini pria dipaksa untuk berfikir mencari solusi bertanggungjawab atau menghindar.
Pria yang lebih sering menggunakan pikiran umumnya cendrung egois, dalam arti cintanya tidak dilandasi sepenuhnya oleh kehendak hati dan perasaan. Namun pikirannya akan mudah terpengaruhi oleh situasi hati dan perasaan. Konsekuensinya berlanjut pada psyche-nya. Pria yang pikirannya sedang mengalami kebingungan dan terganggu akan meluapkannya dengan menyakiti orang yang ia cintai. Ini biasa terjadi di luar kontrol kesadaran akal budi. Sementara pria yang bertindak menurut akal budi mampu mengungkapkan cinta secara lebih mendalam menyentuh hati dan perasaan. Kesadaran memungkinkan seorang pria mampu mengontrol psyche-nya dan bersikap bertanggungjawab atas tindakannya, terutama terhadap wanita yang ia cintai. Pria yang memiliki kesadaran akal budi akan mengarahkan hidupnya bagi orang yang ia cintai dengan tahu apa konsekuensi lanjut.
Cinta bagi pria merupakan aktivitas saling mempengaruhi pikiran dan memperkaya hidup. Wanita harus terutama memenangkan pikiran pria agar mampu menghadapinya. Dalam hal ini relasi cinta berorientasi pada kemampuan untuk saling bertukar pikiran yang mengarah pada saling memperhatikan, melengkapi keunikan masing-masing.



BAB V
SENI MENGUNGKAPKAN CINTA


Cinta adalah kodrat manusia yang melekat dalam hidup manusia. Kodrat tidak hendak menunjukkan sikap pasif manusia, tetapi menuntut untuk dikembangkan. Berkembangnya cinta bergantung pada cara manusia mengungkapkan rasa cinta. Kata “mengungkapkan” berada pada wilayah kesadaran manusia bahwa cinta atau rasa cinta itu sudah ada dan dialami dalam diri. Dengan kata lain ungkapan cinta tidak boleh terkesan memaksa atau dipaksakan, karena cinta itu natural (alamiah), ada dalam setiap manusia.
Mengungkapkan cinta merupakan suatu seni, yakni suatu yang sudah ada dalam kosep sebelum diungkapkan. Seorang seniman adalah seorang kreatif menciptakan konsep-konsep untuk apresiasi seni. Terkadang kita sulit mengungkapkan rasa cinta kepada orang yang kita cintai, terutama kalau orang itu tidak mengetahui bahwa kita mencintai dia. Seperti kesaksian seorang mahasiswi berikut.
“Di kampusku ada seorang sahabat pria yang selalu bersama aku setiap kali ada jam-jam luang saat kuliah. Orangnya baik dan perhatian, serta humoris. Ketika aku mengalami kesulitan ia selalu membantu, saat sedih ia menghiburku. Dia begitu menyenangkan bagiku. Banyak kesempatan yang kami lewatkan untuk sekedar berdua, curhat dan ngobrol bersama. Sampai akhirnya aku merasa begitu sangat mencintainya. Aku jatuh cinta padanya dan ingin dia menjadi pacarku, tetapi aku tidak tahu bagaimana harus mengatakannya. Aku malu dan takut apabila ia menolak cintaku, dan aku tidak ingin persahabatan kami hancur. Tetapi perasaan cintaku terhadapnya begitu kuat di dalam hatiku. Suatu ketika saat dia hendak pulang ke kampung halamannya setelah menyelesaikan kuliah, aku begitu merasa kehilangan dan menyesalkan diriku. Mengapa tidak dari dulu aku ungkapkan rasa cintaku padanya? Sekarang baru aku sadari kehilangan orang yang paling dicintai. Setelah perpisahan itu, kami tidak pernah berjumpa lagi, namun aku tetap merindukan dia”.
Kesulitan terbesar dalam hubungan cinta ialah bagaimana mengungkapkan cinta dan ketakutan akan ditolaknya ungkapan cinta. Pertama-tama harus disadari bahwa tumbuhnya perasaan cinta terhadap orang-orang tertentu bukanlah kesalahan orang yang di dalam dirinya cinta itu tumbuh. Adalah suatu yang patut disyukuri bila orang menyadari bahwa di dalam dirinya ada rasa cinta. Bagaimana mengungkapkan perasaan cinta itu? Ada bebrapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengungkapkan perasaan cinta dengan berani, terbuka, jujur dan rendah hati.

1.                  Menyadari perasaan cinta
Ketika muncul perasaan istimewa terhadap seseorang, apakah ini namanya aku sedang jatuh cinta? Perasaan itu begitu kuat dan memotivasi diriku untuk selalu dekat dan bersama dia. Adapun perasaan istimewa bisa muncul dari daya tarik seksual terhadap lawan jenis. Cinta bisa saja muncul dari ketertarikan terhadap kecantikan, kegantengan, kemolekan atau kekekaran tubuh lawan jenis, bibir yang merekah, penampilan yang memikat, suara yang menggetarkan, kulit yang halus dan bersih, dan sebagainya. Apakah daya tarik tersebut menumbuhkan cinta? Apakah ini disebut cinta yang murni? Cinta dapat muncul lewat sentuhan fisik, lewat kata-kata yang menyentuh perasaan.
El Bardo Grade (seorang pujangga) memberikan gambaran tentang cinta/jatuh cinta dan nafsu:
“Ketika memikirkan orang ini, apakah anda merasa nyaman? Kedengarannya seperti cinta. Ataukah pikiran anda bagaikan topan yang mengamuk? Kedengarannya seperti nafsu. Apakah berbagai perjumpaan dengan orang ini “selalu menyegarkan”, atau apakah anda cenderung merasa jemu dan bahkan menderita karena mereka? Yang pertama adalah rasa cinta; yang terakhir adalah nafsu belaka…, nafsu itu bersifat rakus, anda cenderung bersikap iri hati dan suka mengendalikan. Tetapi tidak demikian halnya dengan cinta. Cinta tidak serakah, ia tidak menjajah waktu orang lain, anda merasa senang jika bersama mereka, tetapi merasa kehilangan jika anda meninggalkan mereka. Apakah anda “jujur belaka” terhadap orang ini? Itulah cinta. Ataukah anda mengarang dusta untuk memikat mereka? Itulah nafsu.
Kesimpulannya ialah : cinta selalu tentang orang lain; nafsu selalu tentnag anda sendiri. Jadi, apakah anda ingin berada disana untuk orang lain? Ataukah anda hanya ingin agar mereka yang selalu disana untuk anda? Jika anda dapat menjawab pertanyaan itu dengan jujur, anda akan tahu apakah itu cinta atau nafsu”[13].
Kesadaran akan perasaan cinta pada umumnya membuat kita bereaksi. Reaksi ini tampak dalam gejala-gejala pada tubuh seperti berkeringat, jantung berdebar cepat, sulit bernafas, wajah pucat, otot-otot tegang, bahkan meliputi suasana batin: sedih dan gembira, damai. Kesadaran bukan sekedar perasaan tapi suatu pemahaman mendalam akan reaksi-reaksi diri terhadap sesuatu atau seseorang yang mempengaruhi tingkah laku dan tutur kata kita.
Menyadari perasaan cinta berarti menyadari perubahan dalam diri, perubahan cara berpikir dan bertindak. Kesadaran mengandaikan akal budi kita terdorong untuk mengamati pengalaman-pengalaman perasaan yang muncul alamiah dalam diri kita. Kesadaran membuka hati kita untuk menerima perasaan itu sebagai milik kita. “Ini adalah perasaanku dan aku mengalaminya”. Kita harus menyadari saat munculnya perasaan tersebut: apakah terjadi saat situasi hidupku sedang gembira, sedih atau biasa saja? Perasaan cinta dapat muncul dalam situasi sedih ketika orang yang kita cintai hadir menghibur kita, memberikan perhatian dalam kesulitan hidup. Cinta dapat muncul dalam suatu perjumpaan yang menyenangkan, seperti di pesta ulang tahun atau Valentine atau pada pesta-pesta tertentu. Cinta juga dapat muncul begitu saja tanpa dipengaruhi oleh situasi.

2.                  Menginterpretasi perasaan cinta
Setelah menyadari munculnya perasaan cinta, kita perlu menafsirkan perasaan cinta tersebut. Tindakan menafsirkan terjadi dengan mengingat kembali saat-saat perasaan itu muncul dan mempengaruhi diri kita, mengingat kembali latar belakang ketika perasaan itu muncul. Apa arti perasaan ini bagiku? Apakah perasaan ini mendorongku hanya untuk menjadikannya sahabat, pacar atau pasangan hidup perkawinan? Di sini kita harus memahami bentuk-bentuk cinta dan tahap-tahap menghayati cinta agar mampu menempatkan perasaan kita dengan baik dan benar, sehingga cinta tidak bersifat membunuh atau mengkhianati.
Permulaan tumbuhnya perasaan cinta tidak berarti kita harus meletakkan diri dan hidup kita pada orang yang kepadanya cinta kita terarah. Untuk memiliki orang yang kita cintai membutuhkan proses timbal balik, saling menerima diri satu sama lain. Menafsirkan perasaan cinta berarti kita mengalami perasaan tersebut dalam kesadaran diri kita dan berusaha untuk membaca perubahan yang diakibatkan oleh perasaan tersebut. Kita berusaha mengenal tahap-tahap perkembangan perasaan yang bergerak menuju suatu hubungan kedekatan, perkenalan yang lebih intens. Perkenalan yang lebih intens mengarah kepada usaha-usaha untuk saling memahami dan menerima keunikan masing-masing.

3.                  Membuka diri
Membuka diri berarti kita menerima orang yang kita cintai sebagai orang yang kepadanya kita mengungkapkan kejujuran kepribadian kita apa adanya. Kita berusaha dengan orang yang kita cintai saling mengungkapkan kekurangan atau kelemahan masing-masing dengan rendah hati. Sikap terbuka dilandasi oleh kemauan untuk memahami yang lain sebagai yang lain dari dirinya, menghargai keunikannya dan mengintegrasikan dengan hidup kepribadian kita. Dengan kata lain kita masuk dalam suatu pertimbangan matang dan dewasa untuk melanjutkan hubungan yang lebih mendalam. Dalam hal ini orang mencapai pada suatu relasi yang seimbang, penuh kompromi.
Membuka diri juga dapat terjadi lewat respon terhadap bahasa-bahasa simbolik dari cinta, seperti menerima hadiah-hadiah atau perhatian khusus dari orang-orang tertentu. Bisa terjadi sesorang sulit mengungkapkan perasaan cinta secara langsung, tetapi melalui ungkapan-ungkapan simbolik tersebut. Membuka diri bukan berarti mengungkapkan cinta, tetapi membiarkan cinta bertumbuh dan berkembang dalam mencapai kematangannya. Membuka diri berarti kita membangun komunikasi-relasi yang wajar.

4.         Mengungkapkan perasaan cinta
Mengungkapkan perasaan merupakan poin penting dalam membangun relasi cinta. Perasaan cinta yang tidak diungkapkan akan menimbulkan kecemasan, perasaan tertekan, bahkan kehilangan kontrol diri. Orang perlu tahu bahwa mengungkapkan perasaan atau isi hati itu mengandung konsekuensi positif maupun negatif. Untuk itu, dalam mengungkapkan perasaan, harus dipertimbangkan sungguh akan konsekuensi dari mengungkapkan perasaan. Begitu pun ketika seseorang harus merespon ungkapan cinta dari seseorang lain yang tertarik padanya, terutama kalau ungkapan itu muncul dalam bentuk kata-kata indah yang menyentuh hati. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Gary Chapman :
“Sasaran cinta bukanlah mendapat sesuatu yang anda ingini tetapi melakukan sesuatu untuk kesejahteraan orang yang anda cintai. Tetapi, kenyataannya adalah bahwa apabila kita menerima kata-kata yang mendukung kita, kemungkinan besar akan lebih termotivasi untuk memberi respon yang sama”.
Kata-kata memiliki kekuatan yang khas untuk membangkitkan cinta dalam diri seseorang. Umumnya kaum wanita lebih menyukai suasana yang romantis, seperti kata-kata indah memuji dan menyentuh perasaan. Begitu juga dengan pria, kata-kata dapat membuat perasaan hati menjadi lebih tenang, gembira bahkan berbunga-bunga, serta memotivasi semangat.
Mengungkapkan cinta memiliki banyak bentuk dan cara. Misalnya lewat benda-benda seperti bunga, bingkisan atau cincin. Seperti yang dilukiskan dengan sangat indah dalam syair berikut :

Bawalah bingkisan tuk menjinakkannya
Bila ia tak menghargai kata-kata
Berbagai perhiasan bodoh, yang seringkali
Memenuhi benak mereka yang sunyi,
Lebih berkuasa menggugah hatinya
Daripada rangkaian kata yang terucap cepat

Valentine, The Two Gentlemen of Verona, III.i.89

Ungkapan cinta yang sejati bukan sekedar suatu rayuan tetapi lebih merupakan suatu pemberian diri. Ini karena cinta itu berarti memberi. Mengungkapkan perasaan cinta berarti kita memberikan apa yang menjadi milik kita, yakni hidup kita. Memberikan hidup terungkap kongkrit melalui perhatian penuh kasih dan mengusahakan perkembangan diri orang yang kita cintai. Demikianlah ungkapan cinta kita tidak boleh terkesan memaksa bahkan mengikat. Kita perlu memberikan peluang bagi orang yang kita cintai untuk menentukan sendiri pilihan hidupnya dan berkembang sebagaimana dia adanya.


BAB VI
CINTA DAN SIMBOL


Manusia hidup dalam kesatuan dengan material. Manusia adalah makhluk jasmani, maka butuh sesuatu yang dapat memenuhi kejasmaniannya. Manusia memiliki kesadaran akan kebutuhan jasmaniyang mendorong ia untuk  menciptakan simbol-simbol. Definisi manusia tentang sesuatu juga sudah merupakan simbol. Simbol membantu memperdalam pemahaman kita akan sesuatu dan merangsang kreativitas akal budi kita untuk menangkap makna-makna   yang tersembunyi. Simbol membantu kita untuk menghayati realitas hidup dalam bentuk lahiriah. Simbol demikian mengungkapkan kerinduan jiwa seseorang yang sulit ia ungkapkan. Simbol mengungkapkan perasaan, pikiran, segala apa yang ada dalam diri manusia, yang membuat pengalaman semakin terasa hidup dan bermakna. F.W. Dillistone mengemukakan pemahaman akan simbol dalam rangkap tiga[14] bahwa simbol merupakan:
1.          Sebuah kata atau barang atau objek atau tindakan atau peristiwa atau pola atau pribadi atau hal yang konkret;
2.          Yang mewakili atau menggambarkan atau mengisyaratkan atau menandakan atau menyelubungi atau menyampaikan atau menggugah atau mengungkapkan atau mengingatkan atau merujuk kepada atau berdiri menggantikan atau mencorakkan atau menunjukkan atau berhubungan dengan atau bersesuaian dengan atau menerangi atau mengacu kepada atau mengambil bagian dalam atau menggelar kembali atau berkaitan dengan;
3.          Sesuatu yang lebih besar atau transenden atau tertinggi atau terakhir: sebuah makna, realitas, suatu cita-cita, nilai, prestasi, kepercayaan, masyarakat, konsep, lembaga, dan suatu keadaan.
Ungkapan cinta yang mendalam dan kaya, sekurang-kurangnya perlu melibatkan simbol-simbol. Simbol cinta mengantar seseorang kepada kedalaman pemahaman akan hakikat cinta itu sendiri. Demikianlah dalam hal mengerti dan menghayati cinta. Cinta hanya akan menjadi ide belaka tanpa simbol. Simbol membuat orang sadar akan makna terdalam sesuatu. Simbol mengungkapkan identitas yang disimbolkan. Namun, simbol saja belum cukup. Orang butuh memahami simbol bukan sebagai titik akhir ungkapan cinta tetapi merupakan media, tempat ekspresi perasaan cinta.
Ketika aku mengunjungi pacarku saat hari ulang tahunnya, aku membawa setangkai bunga mawar untuknya. Aku mengungkapkan cintaku dengan bunga (say it with flower). Aku mengatakan cinta dengan bunga mawar. Mawar melambangkan cintaku. Bunga menghadirkan cintaku. Namun cintaku pada hakikatnya tidak sama dengan bunga. Bunga itu bukanlah wujud total dari cintaku, karena hanyalah salah satu bentuk ungkapan cintaku.
Lewat simbol bunga, kekasihku memahami betapa aku mencintainya, ia mampu mencapai perasaan cintaku. Banyak simbol cinta yang dapat aku gunakan untuk mengungkapkan cintaku secara lebih konkrit, misalnya lewat ciuman, pelukan, memberi hadiah, dan sebagainya.
Simbol juga menyatakan kehadiran diri untuk selalu mendampingi  pasangan. Misalnya melalui cincin tunangan, dan lewat hubungan seksual. Kedua hal ini dapat mengikat lebih kuat dalam relasi cinta. Terutama seksualitas, bukanlah sekedar simbol cinta, tetapi dapat menjadi cinta itu sendiri, karena seksualitas mengalir dari kedalaman dan keindahan pengalaman bercinta.  Seksualitas hanya menjadi suatu simbol belaka bila disalahgunakan hanya untuk mencari kepuasan jasmani/biologis.     
Simbol tidak dapat secara utuh diidentikkan dengan cinta, karena ungkapan cinta itu sifatnya kontinuitas. Cinta itu harus diungkapkan terus-menerus dengan segala cara. Simbol membentuk kita untuk memahami secara lebih dekat arti cinta yang mendalam. Menerima simbol berarti menerima salah satu bagian dari cinta. Namun, seseorang yang sedang bercinta tidak boleh puas hanya dengan simbol-simbol cinta. Hal ini menunjukkan bahwa simbol tidak pernah memuaskan manusia secara penuh. Simbol akan selalu mendorong manusia untuk senantiasa mencari, menggali dan menemukan hakikat terdalam ungkapan cinta murni. Dalam hal ini manusia secara transenden melampaui simbol-simbol. Manusia melangkah melewati apa yang disimbolkan lewat akal budinya dan daya-daya batinnya (pikiran, perasaan, pengertian, intuisi, imajinasi). Simbol memberikan pengalaman akan keindahan cinta. Simbol juga dapat menimbulkan pengalaman buruk keindahan cinta bila tidak menghadirkan ketulusan dan kemurnian ungkapan cinta.



DAFTAR  PUSTAKA

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia. 1996.
Dillistone, F.W. The Power Of Symbols, Daya Kekuatan Simbol. Terj. A. Widyamartaya. Yogyakarta: Kanisius. 2002.
Frankl, Victor E. Man’s Search For Meaning, Mencari Makna Hidup. Terj. Lala Hermawati Dharma. Bandung: Nuansa. 2004.
Go, Piet. Seksualitas Perkawinan, Seri Teologi Widya Sasana No. 2. Malang: STFT Widya Sasana. 1985.
Mudhofir, Ali. Kamus Istilah Filsafat. Yogyakarta: Liberti. 1992. hlm. 55.
Peschke, Karl-Heinz. ETIKA KRISTIANI, Jilid III, Kewajiban Moral Dalam Hidup Pribadi. Maumere: Ledalero. 2003.
Proto, Louis. Self Healing. Terj. T. Hemaya. Jakarta: Gramedia. 1997.
Ridick, Joyce. Kaul, Harta Melimpah Dalam Bejana Tanah Liat. Yogyakarta: Kanisius. 1987.
Riyanto, FX Eko Armada. Filafat Etika (diktat Kuliah). (unpublished) Malang: STFT Widya Sasana. 2002.
Santas, Gerasimos. Plato Dan Freud, Dua Teori Tentang Cinta.  Konrad  Kebung (penerjemah). 2002.
Semiun, Yustinus. Kesehatan mental 1. Yogyakarta: Kanisius. 2006.
Winfield, Jess. What Would Shakespeare Do? Terj. Bus Dewanto. Jakarta : BIP. 2003.


























[1]               Victor E. Frankl. Man’s Search For Meaning, Mencari Makna Hidup. Bandung: Nuansa. 2004. hlm. 176.
[2]               Joyce Ridick. Kaul, Harta Melimpah Dalam Bejana Tanah Liat. Kanisius: Yogyakarta. 1987. hlm. 77.
[3]               Bdk. Lorens bagus, Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia. 1996. hlm. 21, 840.
[4]               Armada Riyanto. Filafat Etika (diktat Kuliah). Malang: STFT Widya Sasana. 2002. hlm. 48.
[5]               Ibid.
[6]               Joyce Ridick. Op. Cit.  hlm. 82.
[7]               Joyce Ridick. Ibid.  hlm. 83.
[8]               Joyce Ridick. Ibid.  hlm. 81.
[9]               Ali Mudhofir. Kamus Istilah Filsafat. Yogyakarta: Liberti. 1992. hlm. 55.
[10]             Bdk. Joyce Ridick. Loc.Cit.
[11]             Karl-Heinz Peschke. ETIKA KRISTIANI, Jilid III, Kewajiban Moral Dalam Hidup Pribadi. Maumere: Ledalero. 2003. hlm. 322.
[12]             Piet Go. Seksualitas dan Perkawinan, Seri Teologi Widya Sasana   No. 2. Malang: STFT Widya Sasana. 1985. 171.
[13]             Jess Winfield. What Would Shakespeare Do? Terjemahan Bus Dewanto. Jakarta : BIP. 2003. hlm. 137-138.
[14]             F.W. Dillistone. The Power Of Symbols, Daya Kekuatan Simbol. Terj. A. Widyamartaya. Yogyakarta: Kanisius. 2002. Hlm. 20.

Minggu, 21 Agustus 2011

Retret Mutiara Dalam Doa Angkatan Pertama Surabaya



Bila kita mendengar seseorang menyebutkan sebuah kalimat yang dilengkapi dengan kata “mutiara”, seperti kata mutiara, mutiara doa, mutiara hati, dll tentu kita akan mengerti bahwa sesuatu yang dimaksudkan oleh orang tersebut adalah sesuatu yang sangat berharga.
Tampaknya, hal itu juga yang membuat orang begitu tertarik untuk mengikuti retret yang digagas oleh Rm. Yusuf Halim, SVD, yakni “Retret Mutiara Dalam Doa”. Retret yang diadakan di rumah retret Graha Wacana, Ledug, Prigen tersebut diikuti oleh 170 orang peserta dari berbagai agama dan usia.
Sebagian peserta yang mengikuti retret tersebut karena tertarik dan merasa ingin tahu, mengapa retret tersebut diberi nama demikian. Namun ada juga peserta yang mengikuti retret karena merasa rindu untuk kembali mengikuti retret yang dibimbing oleh Rm. Halim. Kerinduan tersebut muncul karena setiap retret yang diadakan oleh Rm. Halim hanya boleh diikuti satu kali saja. Setiap orang tidak boleh mengikuti retret yang sama lebih dari satu kali. Bahkan ada seorang ibu, yang sudah mengikuti beberapa macam retret yang dipandu oleh Rm. Halim, memaksa anaknya untuk mengikuti retret, agar anaknya juga boleh mengalami kehidupan rohani yang lebih baik. Dia memaksa anaknya karena dia sudah mengalami kehidupan rumah tangga yang lebih baik setelah mengikuti retret Tulang Rusuk. Pertama-tama memang anak tersebut merasa tidak suka. Dia tidak suka menunjukkan perasaannya karena merasa gengsi dan mau ikut sekedar karena merasa kasihan kalau menolak mamanya. Setelah mengikuti berbagai sesi yang ada, pemahaman anak tersebut mengenai retret mulai berubah. Dia merasa tersentuh atas semua sesi yang ada. Harapan ibu tadi memang menjadi kenyataan. Di akhir retret, anaknya menyatakan bahwa dia tidak menduga kalau retret tersebut sangat menarik, dan dia mau berubah.
Meski Romo Halim menyampaikan berbagai nasihat dihadapan anak tersebut, namun anak tersebut menyatakan tidak apa-apa dan tidak merasa tersinggung.  
Ketika misa penutupan retret, Rm. Halim menegaskan pada para peserta agar tetap mempertahankan sukacita yang mereka alami saat retret, seperti rasa damai yang mereka alami, tetap bisa mereka rasakan dalam hidup sehari-hari mereka. Berhubung bacaan Injil hari itu mengenai Yesus yang berjalan di atas air, maka Rm. Halim membandingkan dengan iman para murid saat itu yang goyah dan hanya mengandalkan kehadiran nyata dari Yesus dan bukan pada ajaran yang telah difirmankan pada mereka. Ketika mereka naik perahu dan Yesus tidak ada di situ padahal gelombang angin kencang datang, mereka menjadi takut.
Pada para peserta retret Rm. Halim menyampaikan bahwa, kalau engkau bergantung pada Yesus, Yesus ada di mana-mana. Pada saat engkau percaya, pada saat itu Yesus datang. Ketika mengikuti retret, seseorang memiliki iman yang luar biasa, seperti iman para murid ketika bersama Yesus. Tetapi ketika sudah masuk dalam kehidupan sehari-hari, seperti ketika para murid jauh dari Yesus. Padahal retret hanyalah sebuah sarana untuk menguatkan iman umat. Masalahnya adalah, bagaimana seseorang memelihara dan mempertahankan kekuatan iman mereka seperti ketika mereka sedang mengikuti retret. Setiap orang harus berusaha mempertahankan kekuatan imannya dalam hidup doa, dengan hidup dalam persekutuan dengan umat yang lain, dan ikut misa atau kegiatan lingkungan yang lain. (Dian)



Sabtu, 20 Agustus 2011

Retret Persiapan Perkawinan Komisi Keluarga Keuskupan Malang


Membangun hidup perkawinan dan keluarga bukanlah hal yang midah. Butuh persiapan yang matang, terutama karena di dalamnya sepasang manusia yang berbeda saling menyatakan  komitmen hidup bersama. Untuk itu  Komisi  Keluarga  Keuskupan  Malang  mengadakan retret persiapan perkawinan bagi calon suami-istri yang diramu dengan  Kursus Persiapan Perkawinan (KPP) tanggal 12-14 Agustus lalu. Retret yang diikuti sekitar 32 pasangan calon suami-istri tersebut diawali Perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh Ketua Komisi Keluarga Keuskupan Malang, Rm. Elenterius Bon, SVD.

Hari pertama retret, para peserta diajak oleh Rm. Elenterius Bon, SVD untuk menjejaki diri dan mengenal pasangan hidup. Rm. Elent mengemukakan banyak aspek penentu suatu perkawinan dan hidup keluarga agar harmonis. “Persoalan rumah tangga umumnya karena belum saling mengenal identitas pasangan. Identitas itu gambaran jati diri pasangan. Mengenal Identitas berarti menghargai identitas dan jati diri pasangan” ungkap Pastor yang akrab dipanggil Romo Elent. 
Jelang hari kedua retret, parapasangan muda tersebut disuguhi materi teologi moral perkawinan oleh Rm. DR. Paul Klein, SVD yang menekankan makna terdalam perkawinan dan hidup keluarga. “perkawinan merupakan persekutuan hidup dan kasih yang diadakan oleh Sang Pencipta” (bdk. GS 48). Paham perkawinan yang demikian memiliki tujuan mulia. “Tujuan perkawinan meliputi: Saling mencintai di antara pasangan hidup secara total, memperoleh keturunan dan membentuk ‘Gereja Domestik’” ujar Doktor Teologi Moral tersebut. Persoalan muncul ketika pasangan tidak dianugerahi keturunan, namun perkawinan tetap memiliki arti bagi setiap pasangan. Lebih lanjut Rm. Paul Klein menegaskan kembali bahwa perkawinan Katolik bersifat monogam dan tak terceraikan. 
Sementara itu, Dra. Elly Susilowati, seorang psikolog, menegaskan pentingnya memahami tipe-tipe kepribadian pasangan hidup. “Manusia itu unik dan berbeda. Kita perlu mengenal kelemahan dan kelebihan pasangan, mengenal karakter pasangan yang menunjukkan ciri-ciri kepribadiannya. Jangan pernah berpikir untuk mengubah kepribadian pasangan, karena akan terjadi konflik” Jelasnya. 
Tidak ketinggalan, para peserta secara khusus dibekali pengetahuan seputar KBA serta Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas. Rosalia Ngatini menjelaskan pentingnya menggunakan KBA, terutama Metode Ovulasi Billings dalam meningkatkan harmoni hidup perkawinan dan keluarga. “Keluarga Berencana adalah keluarga yang bertanggung jawab dalam segala hal, termasuk tanggung jawab terhadap anak. Hubungan suami istri terbuka untuk anak. Gereja tidak menentang membatasi kelahiran, namun yang ditentang ialah cara yang digunakan untuk membatasi anak!” seru ahli KBA tersebut. Dari perspektif medis, dr. Cecilia Widijati menjelaskan bagaimana cara kerja organ reproduksi dan cara-cara memelihara kebersihannya hingga proses kehamilan dan kelahiran terjadi. 
Menariknya bahwa retret ini menghadirkan sharing pengalaman hidup perkawinan dan keluarga dari beberapa pasutri (pasangan suami-istri) senior. Pasutri Roni-Ninien mengapresiasikan bagaimana komunikasi yang baik dan benar pasangan suami istri. Titik temu komunikasi yang baik ialah perlunya suami-istri saling mengimbangi. Di lain kesempatan pasutri Deni memberikan masukan bagaimana mengatur ekonomi rumah tangga. Akhirnya pasutri  Sur-Endang membagikan pengalaman hidup mereka tentang panggilan menjadi orangtua. 
Pada sesi terakhir, Rm. Dr. Alf. Catur Raharso, Pr. menjelaskan pemahaman mengenai Hukum Perkawinan. “Hukum perkawinan mengatur soal apa yang dituntut oleh Hukum Gereja untuk sah dan tidaknya suatu perkawinan. Sejauh melanggar norma hukum akan dikenai hukuman, sanksi yuridis” kata Doktor Hukum Gereja ini. Berkenaan dengan makna perkawinan menurut hukum Gereja, Dosen Hukum Gereja STFT Widya Sasana Malang ini menjelaskan bahwa perkawinan Katolik memiliki kekhasan. “Gereja memakai istilah ‘Perjanjian’ untuk menunjukan hubungan antara Allah dengan umat-Nya. Perkawinan merupakan persekutuan seluruh hidup. Inilah yang membedakan antara perkawinan dengan relasi lainnya. Misalnya relasi dengan sahabat dan rekan kerja sedekat apa pun relasi itu bukanlah suatu perkawinan. Perkawinan itu persekutuan seluruh hidup bukan sebagian hidup dan menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri” pungkas Rm. Alf. Catur. Di akhir ceramahnya, Rm. Catur menyampaikan pesannya bagi calon suami-istri agar tidak melewatkan tanggung jawab mereka sebagai suami-istri. “Sesibuk apa pun anda, jangan pernah melewatkan kehidupan rumah tangga yang dipercayakan oleh Gereja. Biasanya 5 tahun pertama akan banyak kesulitan yang dihadapi!” ungkap Rm. Catur mengakhiri presentasinya. 
Peserta begitu antusias selama retret. Mereka mengakui banyak masukan yang diterima agar mampu menentukan pilihan hidup yang tepat dan belajar memahami seluk-beluk hidup perkawinan dan keluarga secara baik dan benar. Rm. Elenterius Bon, SVD, ketika memberikan sajian spiritualitas keluarga memuji antusiasme mereka. “Para calon ibu, pandai-pandailah membangun relasi dengan suami. Jangan sampai terjadi penyimpangan dalam keluarga, begitu pun dengan calon suami!” pesan Rm. Elent. Retret ditutup dengan perayaan Ekaristi dan pembagian setifikat KPP oleh Rm. Elenterius Bon, SVD. Kebahagiaan dan rasa puas terungkap dari ekspresi wajah setiap pasangan. Semoga kebahagiaan itu terus menyelimuti calon pasutri tersebut hingga memasuki panggung hidup perkawinan dan keluarga.  Usai makan siang, para peserta perlahan beranjak meninggalkan rumah retret “St. Maria Magdalena Postel” Jayagiri, yang asri. (Tony)


Jumat, 19 Agustus 2011

Puncak Perayaan Hari Kaum Muda Sedunia (WYD) di Madrid, Spanyol

Benediktus XVI pada tanggal 18 Agustus 2011 akhirnya tiba di Madrid, Spanyol, untuk sendiri menghadiri “HARI KAUM MUDA SEDUNIA” yang dua hari sebelumnya sudah dibuka oleh Kardinal dari Madrid, Mgr. Antonio M.R. Vareia, dengan kehadiran 240 uskup dan 300.000 kaum muda dari seluruh dunia. Dua tahun “Hari dunia kaum muda” ini telah disiapkan oleh umat Katolik di Madrid dan puluhan ribu keluarga dari ibukota Spanyol menyediakan penginapan untuk tamu-tamu muda dalam rumahnya sendiri. Para peziarah lain bercamping atau mendapat tempat tidur di rumah-rumah besar dan sekolah-sekolah. Karena cuaca panas (35 derajat), banyak orang muda juga tidur malam di open-air. Selama minggu ini di kota juga ditawarkan program budaya yang kaya dan bersaingan dengan program rohani. Paus memang setuju juga dengan kegembiraan, rekreasi dan pertunjukan, tetapi ia menekankan preferensi harus diberikan pada pembaharuan iman, sesuai dengan motto pesta raksasa kaum muda: “Berakar dalam Yesus Kristus dan dibangun di atas-Nya, berteguh dalam iman” (Kol 2:7). Demikianlah sekian banyak pertemuan Paus dengan para Uskup, Pemerintah, Raja,  para profesor universitas-universitas, para seminaris, institusi-institusi sosial, sharing dengan kaum muda terus menerus, Jalan Salib bersama, ibadat-ibadat doa, Angelus, amanat-amanat kepada beberapa kelompok masyarakat dan agama,  dan beberapa misa, puncak kunjungan pastoralnya pada perayaan Ekaristi mulia hari Minggu pagi di Airport Cuatro Vientes, dimana hadir lebih dari satu juta orang. Paus Benediktus XVI telah menyerahkan kaum muda kepada Hati Yesus yang Mahakudus.



1. Kotbah Benediktus XVI tentang Misteri Hati Yesus Yang Mahakudus


Bila kita manusia meneliti hati kita, maka kita semua menemukan keinginan yang selalu ada: kita ingin menjadi bahagia. Tetapi di mana dan bagaimana kita bisa menjadi bahagia? Pengalaman mengajar kita, bahwa kebahagiaan baru bisa dirasakan, kalau kerinduan untuk mencapai apa yang tak terbatas akan dipenuhi. Atau sesuai dengan kata-kata Benediktus XVI: “Manusia telah diciptakan untuk apa yang sungguh-sungguh besar, untuk apa yang tak terhingga.” Tetapi kerinduan akan apa yang tak terbatas, tidak lain dari kerinduan manusia untuk sedalam-dalamnya dicintai oleh Tuhan, karena “Allah adalah cinta kasih” (1Yoh 4:16). Sebab itu, menurut Bapa Paus bisa juga dikatakan: “Allah adalah sumber hidup kita. Menyingkirkan manusia dari sumber ini, dia turun ke dalam ketiadaan (nihil).” Hal itu telah terbukti melalui banyak eksperimen masyarakat modern yang bermaksud untuk menciptakan – jauh dari Allah, Sang Pencipta yang satu-satunya – “firdaus di atas bumi.” Percuma!

Khususnya “hati manusia” sering mempunyai masalah yang hanya bisa dipecahkan melalui pertemuan dengan “hati Allah”. Kebenaran ini sudah diketahui oleh Uskup Agustinus dalam abad ke-5. Katanya,  “Engkau, Tuhan, telah menciptakan kami untuk Engkau, dan hati kami tidak tenang, sampai beristirahat dalam diriMu.” Keadaaan “tak tenang” menunjuk kepada kesulitan bahwa kita merindukan kesempurnaan kasih Allah, tetapi kita tidak mampu mencapainya, karena kita adalah makhluk terbatas, apalagi kitalah pendosa-pendosa. Kita selalu tersandung pada “batu egoisme”, dan nafsu-nafsu kita yang kacau-balau, menjauhkan kita dari penghayatan cinta kasih yang benar. Sebenarnya hati manusia perlu dikasihi hati Allah yang Mahakuasa, supaya dapat membebaskan diri dari keterbatasan dan dosa. Sebab itu, Allah Bapa mengirim Putera-Nya, Yesus Kristus, kepada umat manusia, supaya Dia mencintai kita dengan “hati manusiawi”-Nya dan membuat kita mampu membalas kasih Allah. Itulah misteri keselamatan kita dan sekaligus misteri kasih hati Yesus.

“Misteri kasih hati Yesus” akhirnya tampak secara penuh di atas salib. Di sana kasih Allah telah diwahyukan melalui pengabdian bagi manusia secara total, tanpa batas. Dengan kata lain, hati terluka Yesus di atas salib sebagai akibat tikaman pedang oleh seorang serdadu Romawi merupakan ungkapan yang paling nyata cinta kasih Allah kepada kita. Benediktus XVI coba menjelaskan misteri ini sbb.: “Dari hati Yesus yang terbuka mengalir hidup Ilahi... Tetapi Yesus memberi kepada kita sekaligus kasih-Nya sendiri yang membuat kita mampu untuk mencintai sesama dengan kasih-Nya yang sama.” Demikianlah hati Yesus yang telah bangkit dan hidup, menjadi sumber, dari mana manusia terus harus minum, supaya dapat memuaskan kehausan tak terbatas untuk mencintai dan dicintai. Sebab itu, manusia perlu bertemu dengan Yesus – “dari hati ke hati” – dengan cara yang sangat pribadi dan mesra, berdasarkan “iman yang  teguh, yang makin lama makin berakar di dalam Kristus dan dibangun di atas-Nya” (Kol 2:7).
Refleksi teologis ini juga mempengaruhi teologi panggilan untuk menjadi kudus: salah satu cara efisien adalah usaha manusia untuk terus masuk ke dalam  arus  kasih yang tak berhenti mengalir keluar dari hati Yesus. Hal itu juga dimaksudkan oleh Beato Kardinal Newman, waktu bertanya pada dirinya, apa itu “inti panggilan untuk menjadi kudus?”, ia merumuskan kata terkenal dalam bahasa Latin: “Cor ad cor loquitur”, yaitu “Hati berbicara dengan hati”, yaitu hanya bila hati Allah (kasih) berbicara dengan hati manusia (kasih), dan sebaliknya, maka kerinduan manusia akan cinta kasih dapat dipuaskan dan persatuan intim antara hati manusia dan hati Allah dapat diperoleh (bdk. kotbah Benediktus XVI pada misa beatifikasinya).  

2. Kepentingan  Devosi  kepada Hati Yesus  Yang Mahakudus untuk Kaum Muda

Dalam abad-abad yang lalu, Gereja semakin menegaskan kepentingan “devosi kepada Hati Yesus  yang Mahakudus” untuk menjadi kudus. Yang sangat berjasa untuk promosi devosi itu, adalah S. Margarita Maria dari Alacoque (1647-1690), yang hidup sebagai biarawati  dalam rumah biara Paray-le-Monial (Perancis). Kepada dia Yesus memperlihatkan dirinya sebagai Tuhan, yang sangat mencintai manusia. Yesus memberi kepada dia satu pesan sbb.: “Lihatlah hati, yang telah mencintai manusia begitu besar, tetapi ia hanya membalas dengan sifat yang tidak tahu berterima kasih dan dengan penghinaan.” Sepanjang hidupnya Santa Margarita mengajar orang untuk mencintai hati  Yesus, khususnya waktu perayaan Ekaristi. Dia sendiri menyerahkan diri kepada Hati Kudus Yesus serta mengundang juga orang-orang lain untuk melakukan yang sama dan mencintai sesamanya melalui pelayanan-pelayanan kecil, supaya dosa-dosanya diampuni. Setiap hari Jumat pertama dalam bulan dia memberi kepada devosi Hati Kudus perhatian khusus.
Dalam tahun  1864 Sr. Margarita dinyatakan “beata” oleh  Pius IX dan dalam tahun 1920 dinyatakan “kudus” oleh Benediktus XV. Respon Umat atas pengetahuan hidup S. Margarita akhirnya begitu besar, sehingga hampir semua Bapa Paus dalam abad ke-19 sampai ke-21 merekomendasikan devosi kepada Hati Kudus Yesus, mis. – selain mereka yang sudah disebut – Leo XIII (menyerahkan 1899 seluruh umat manusia kepada Hati Kudus Yesus), Pius XI (1928 ensiklik “Miserentissimus Redemptor”), Pius XII (1956 ensiklik “Haurietis Aquas), dan Yohanes Paul II (1986 Amanat kepada Ordo Yesuit). Paus terakhir ini mengucapkan harapannya, bahwa sesudah “reruntuhan-reruntuhan yang ditinggalkan oleh kebencian  dan kekerasan, akan bertumbuh satu sivilisasi kasih, satu kerajaan Hati Kristus”. Paus Benediktus XVI tidak mau kalah dengan para pendahulunya. Tanggal 21 Agustus 2011 Beliau menyerahkan di Madrid kaum muda di dunia kepada “Hati Yesus Yang Mahakudus”, dengan doanya: “Datanglah Tuhan Yesus dan bantulah kaum muda dari milenium ke-3 ini, untuk membangun satu ‘sivilisasi kasih’, dimana semua manusia dan semua bangsa tetap menyadari kehadiran abadi kebenaran dan cintakasih dalam hatiMu.” (P. Paul Klein, SVD)



,




Seminar Orangtua Anak Paroki Redemptor Mundi Surabaya

 Idealnya Hubungan antara Orangtua dan Anak

Rm. Adrian Adirejo, OP
Hubungan antara orangtua dengan anak adalah hubungan yang paling kuat dan berpengaruh dalam kehidupan ini. Orangtua punya tanggung jawab besar terhadap anak-anaknya. Walaupun orangtua punya niat baik untuk mencintai anak-anaknya, tapi tidak bisa mengekpresikannya dengan baik. Hal tersebut diungkapkan Pastor Kepala Paroki Redemptor Mundi Surabaya, P. Adrian Adirejo, OP dalam Seminar Orangtua Anak beberapa waktu lalu di Balai Paroki Redemptor Mundi, Surabaya. “Masalah besarnya adalah banyak orangtua tidak tahu bagaimana mengkomunikasikan cintanya kepada anaknya” ujar Pastor dari Ordo Dominikan tersebut.
Kegiatan yang bertema “Lima Bahasa Kasih Orangtua terhadap Anak-anak” tersebut menghadirkan pembicara utama Pastor Kepala Paroki Redemptor Mundi P. Adrian Adirejo, OP dan Praktisi Pendidikan Fransiskus Xaverius Subroto Untario, diikuti Lebih dari 400 orang dari kalangan tua dan muda.  
Pastor Adrian menjelaskan pentingnya peran emosi dalam komunikasi. “Seperti suami-isteri juga satu sama lain saling mencintai, namun permasalahan muncul saat isteri tidak bisa merasakan bahwa suaminya mencintai dia dan suami tidak bisa lagi merasakan bahwa isterinya juga mencintai dia. Ada miscommunication. Padahal rasa cinta adalah emosi yang sangat kuat. Di dalam hidup, 70 – 85 % tindakan kita didorong oleh emosi. Kalau kita setiap hari melakukan berbagai kegiatan, dikarenakan terdorong oleh emosi. Pengaruh pikiran hanya 10 – 15 %. Kalau kita mau mengubah perilaku seseorang gunakan emosi. Para orangtua yang mau membentuk anak-anaknya menjadi orang yang baik, belajar untuk menstimulasikan anak-anak. Emosi bisa positif dan negatif. Ada banyak orang hebat karena dia dikasihi dan merasa dipercaya, lalu emosi itu seperti air. Emosi dapat juga menghancurkan hidup kita. “Jadi emosi itu sangat kuat dan ini yang perlu dibentuk,” lanjut Pastor Adrian.
Salah satu emosi yang paling kuat adalah kasih, kata Pastor Adrian. Ia menjelaskan pengalaman kasih dimulai dari kecil atau ketika anak-anak masih dalam kandungan. Misalkan anak-anak yang ditolak atau digugurkan biasanya sudah punya satu luka terhadap orangtua. Sejak kecil anak-anak semakin sensitif terhadap perasaan. Jadi anak-anak tahu mana orangtua yang senang atau tidak senang dengan mereka. Ini dirasakan orangtua yang setiap hari harus hidup bersama anak-anak, jadi orangtua harus tulus terhadap anak-anak.

Lima Bahasa Kasih
Pastor Adrian menuturkan Lima Bahasa Kasih yang harus dilakukan terhadap anak-anak, agar tercipta hubungan ideal yang baik antara orangtua dengan anak-anaknya, yakni:
Pertama adalah Sentuhan melalui pelukan dan sapaan kasih. Bahasa kasih bukan eksklusif, karena satu sama lain saling melengkapi. Hal terpenting adalah anak dapat merasa dikasihi. Kalau bahasanya salah, kita tidak bisa berkomunikasi dengan dia. Terkadang kita berpikir dengan memberikan hadiah bisa mengekspresikan kasih kita kepadanya. Maka orangtua harus bisa menyesuaikan diri dan mengerti anaknya, supaya anak merasa dicintai.  
Kedua adalah kata-kata kasih. Tiap anak punya keunikan, kelemahannya dan kelebihan. Kalau orangtua punya banyak anak, jangan selalu dibanding-bandingkan. Gunakan kata-kata untuk mengekpresikan perasaan anda. Tunjukkan perasaan anda kepada anak bahwa anda juga merasakan apa yang dia rasakan, bahwa anda mengerti apa yang dia alami. Kata-kata orangtua perlu menjadi kata-kata yang memberikan kekuatan. Karena setiap hari anak-anak belajar banyak hal baru dalam hidup, dan itu tidak mudah. Terkadang Anak-anak tidak mampu melihat apa yang mereka hadapi karena pengalamannya terbatas. Di sini orangtua bertindak sebagai pahlawan bagi anak-anak. Kata-kata orangtua dapat mambuat anak-anak merasa dihargai. Apa salahnya memuji anak anda? Berapa banyak orangtua yang sadar dan berani memuji anaknya. Sering yang dicari dan dibutuhkan anak-anak adalah perhatian dan kedekatan dari orangtuanya.
Ketiga adalah hadiah, yang paling penting dicari anak-anak adalah tanda material yang bisa dilihat, dibentuk dan dirasakan. Ini satu bahasa buat anak-anak bukan karena harga mainannya atau bagus tidaknya mainan tersebut, tapi dengan mainan itu mereka merasa diperhatikan. Namun hadiah itu tidak bisa menggantikan bahasa kasih orangtua, di mana anda harus memberi waktu dan perhatian. Memang ada banyak orangtua, memberikan hadiah tapi tidak bisa punya waktu dan perhatian, tetap saja anak merasa tidak diperhatikan.
Keempat adalah Quality Time (waktu). Orangtua tentu berpikir dengan memberikan hadiah-hadiah itu cukup mengekpresikan kasih pada anak, padahal yang dicari anak adalah waktu dengan orangtuanya. Waktu orangtua buat anak merupakan sesuatu yang penting. Kalau komunikasi dengan anak agak susah carilah hobi yang sama dengan anak anda seperti olahraga, rekreasi dan sebagainya.
Kelima adalah bantuan anda; melakukan sesuatu buat anak itu penting. Sesuatu yang akan selalu dia  ingat dan merasakan manfaatnya. “Tanyalah kepada anak anda, apakah anak anda mencintai orangtuanya. Orangtua pasti mencintai anak-anaknya, masalahnya adalah bisa atau tidak kita mengomunikasikan kasih itu. Amat disayangkan orangtua mencintai anaknya dengan pengorbanan tapi anaknya tidak mendapat manfaatnya,” tegas Pastor Adrian.

Belajar Menjadi Orangtua
Fransiskus Xaverius Subroto Untario, Praktisi Pendidikan yang juga tampil berbicara, menekankan pentingnya pelajaran menjadi orangtua. Menjadi orangtua tidak ada sekolahnya, oleh karena itu kita perlu belajar. Menjadi orangtua harus jadi orang benar supaya anak-anaknya dapat hidup dengan baik. Jalan kebenaran itu adalah jalan di dalam Firman Tuhan.
Subroto menyampaikan kiat-kiat menjadi orangtua yang baik, yaitu: Orangtua harus jadi pejuang, pengasih, pendamai, pembina, pelayan, pelindung dan pendorong. Seluruh aspek kehidupan anak sangat ditentukan oleh peran aktif orangtuanya mendukung dan membantunya. “Idealnya hubungan antara orangtua dengan anak adalah saling mengasihi, menghormati dan membantu serta mendukung,” ucap Subroto.
Sementara itu, Aloysius Djito Warsito Ketua Dewan Paroki Bidang III Pembinaan dan Kategorial Paroki Redemptor Mundi Surabaya menuturkan tujuan utama dari seminar ini sebagai pembekalan bagi orangtua bagaimana mendidik anak-anak secara bijak selaras dengan iman Kristiani. Seminar ini juga merupakan agenda dari Lustrum III (15 tahun) paroki ini. Seminar yang menarik banyak peminat ini terselenggara berkat  kerja sama Panitia Lustrum III paroki Redemptor Mundi, lingkungan Wilayah III Santo Yosep, ME dan Komisi Kerasulan Keluarga. Seminar ini ditutup dengan pemutaran film tentang perjuangan  gigih seorang anak yang didukung oleh ayahnya dalam menyelesaikan suatu perlombaan. (Parulian Tinambunan – Surabaya)