Jumat, 11 Mei 2012

Pertambangan bukan solusi untuk peningkatan kesejahteraan

Kehadiran pertambangan di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi penyebab tercerabutnya masyarakat setempat dari relasi yang harmonis dengan lingkungan mereka.
NTT dengan luas wilayah 47.349,90 km persegi atau, 2, 49 persen dari luas Indonesia telah memiliki 414 Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk tambang mangan, emas dan pasir besi yang dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten serta pemerintah provinsi.
Gelombang penolakan terhadap kehadiran pertambangan telah lama muncul yang dimotori oleh Gereja dan sejumlah elemen sipil lainnya. Namun, pemerintah tetap menganggap pertambangan sebagai solusi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat NTT.
Direktur Justice, Peace and Integrity of Creation-Ordo Fratrum Minorum (JPIC-OFM) Pastor Peter C Aman OFM, menilai kebijakan pertambangan jelas-jelas tidak adil dan karena itu harus dilawan.
”Kebijakan yang menomorsatukan pertambangan yang jelas-jelas bersifat destruktf adalah  kebijakan yang merugikan hajat hidup orang banyak”, tegasnya dalam diskusi di Taman Ismail Marzuki Jakarta, Rabu (5/5) kemarin.
Ia yakin kehadiran tambang di NTT menjadi penyebab ketidakadilan sosial dan ketidakadilan ekologis karena yang dipikirkan hanyalah keuntungan ekonomi, tanpa peduli pada keadaan lingkungan dan masyarakat.
”Padahal, mayoritas masyarakat NTT adalah petani, nelayan dan peternak. Kehadiran pertambangan jelas akan membuat mereka kehilangan tempat untuk mempertahankan  hidup”, jelas Pastor Peter
”Membangun masyarakat lewat pertambangan adalah bukti kegagalan pemerintah untuk memperjuangkan kesejahteraan masyarakat. Mengapa tidak mengoptimalkan potensi yang sudah ada dan telah menghidupi rakyat NTT selama ini?”, kata dosen Teologi Moral di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta ini.
Sementara itu, Ferry Adu, Ketua Gerakan Masyarakat Anti Tambang (GERAM) di Kabupaten Manggarai Barat, NTT menegaskan, kehadiran tambang akan merusak tatanan sosial.
Karena itu, mereka akan tetap tegas menolak. Ia mencontohkan, di Manggarai Barat, tokoh-tokoh adat sudah melakukan upacara adat di depan pemerintah kabupaten menentang pertambangan.
Alasan penolakan terhadap pertambangan diperkuat oleh Ketua Forum Pemuda NTT Peduli Perdamaian dan Keadilan (Formadda NTT), Pastor Yohanes Kristoforus Tara OFM.
Ia menegaskan, pertambangan tidak cocok untuk NTT, mengingat wilayah NTT terdiri dari pulau-pulau kecil yang rentan bencana karena berdasarkan penelitian kondisi geologisnya mudah mengalami pemburukan secara cepat.
”Bila pertambangan masuk, akan ada banyak hal yang dikorbankan. Lingkungan hidup akan rusak permanen dan sumber-sumber kehidupan masyarakat akan hilang untuk selamanya”, tegasnya.
Ia juga menambahkan, dengan mengambil kebijakan lewat pertambangan, pemerintah sebenarnya sudah melanggar peraturan mereka sendiri. Menurutnya, bedasarkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2015 (MP3E),  NTT ditempatkan sebagai pintu gerbang pariwisata dan pendukung utama pangan nasional. “Jadi fokus utamanya adalah pariwisata, peternakan dan perikanan, bukan pertambangan”.
Selain itu, ia menjelaskan, munculnya pertambangan menjadi pemicu konflik sosial antarmasyarakat, munculnya penyakit, korban meninggal dunia serta pelanggaran HAM.
“Sebagai contoh, di Timor Barat, yang sudah berhasil diidentifikasi, ada 46 orang warga yang meninggal karena tertimbun tambang mangan”, jelasnya.
Ia pun menambahkan, alasan-alasan penolakan terhadap pertambangan sudah disampaikan kepada pemerintah lokal maupun nasional, namun seringkali tidak direspon dengan baik.
(Ryan Dagur, Jakarta/ucanews)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar