Selasa, 06 Desember 2011

Akal Budi Tak Bisa Mengusai Iman

Dialog Terbuka  Mengenang  HUT 40 STFT Widya Sasana Malang

Orang yang beriman berusaha memahami iman kepercayaannya sehingga tidak mudah goyah. Kalau seseorang tidak memahami imannya, gampang sekali orang itu pindah agama karena dia tidak mendalaminya.
Hal tersebut dikatakan Romo Prof DR H Pidyarto, O.Carm dalam “Dialog Terbuka Memperingati HUT ke- 40 STFT Widya Sasana Malang” di Convention Hall Lantai VI, Gedung Srijaya Jl  Mayjen Soengkono Surabaya, Minggu (4/12) pagi.
Tampil sebagai pembicara saat itu selain Romo Pidyarto, juga Rektor STFT Widya Sasana Malang, Romo Prof DR Armada Riyanto CM. Tampil sebagai moderator adalah Rektor Universitas Katolik Dharma Cendika, Dra M Yovita R Pandin, MM.
Romo Pidy –begitu sapaannya—menambahkan, perlu diingat dalam beriman tentu tidak lepas dari akal budi manusia. Dikatakan, teologi bisa berkembang, akal budi bisa saja berkembang tetapi akal budi tidak bisa menguasai iman. Ada beberapa dasar teologi menurut Romo Pidy antara lain, kitab suci. Disebutkan, dari kitab suci kita mengenal mengetahui apa yang dikatakan Allah pada manusia. Dalam bahasa manusia kitab suci sebagai surat cinta. Dasar lain menurut dia, ajaran magisterium dan teologi harus konkrit tidak melayang-layang.
Sementara Romo Armada mengatakan, beriman tanpa akal budi bagai malam tanpa bintang. Romo Armada menyebutkan, 20 tahun lalu, Paus Yohanes Paulus II mengeluarkan ensiklik Videt Ex Ratio, kesimpulannya,  iman dan akal budi bagai dua sayap. Sayap gunanya untuk terbang, maksudnya manusia bisa mengatasi keterbatasannya untuk menciptakan relasi yang mendalam dengan Tuhan.
Romo Armada memperjelas iman dan ratio. Iman menurut Romo Armada adalah relasi manusia dengan Tuhan. Sedang ratio adalah yang berhubungan dengan aktifitas akal budi.
Pada saat yang sama, moderator Yuvita Pandin menanyakan apa perbedaan antara nihilisme dan relatifisme? Menurut Romo Armada, nihilisme adalah paham yang menganggap tidak ada buah kebenaran. Sedang keberanan itu berasal dari dogma agama. Sedangkan relatifisme adalah tidak ada kebenaran absolute. Sementara Menurut Romo Pidy, nihilisme butuh dari relatifisme. Sementara gereja menolak nihilisme, karena nihilisme percaya tidak ada kebenaran. Pertanyaan sekarang, mengapa gereja menolak? Karena gereja punya akal budi yang membuat kita haus kebenaran.
Berbicara kebenaran menurut kedua romo ini tidak akan habis-habisnya. Secara akal budi, manusia jelas masih mempertanyakan hal itu. Menurut mereka, orang pasti menganggap seseorang belajar teologi atau ilmu keTuhanan pasti banyak tahu tetntang Tuhan dan itu keliru. Romo Pidy memberi contoh tentang Allah Tritunggal, apakah manusia sudah memahami lebih dalam tentang itu. Secara akal budi kan tidak masuk akal dan itulah rahasianya Allah, kebesaran Allah. “Untuk itulah saya katakan, akal budi itu ada keterbatasan. Ada saatnya akal budi itu akan tunduk. Akal budi itu tidak bisa menguasai iman,” kata Romo Pidy.
Sementara itu, Ketua Panitia, Romo Rafael Isharianto CM, Lic.Th dalam sambutan dalam buku 40 tahun STFT sebagai ketua panitia mengatakan, krisis kebenaran merupakan pudarnya kemampuan manusia untuk mencari kebenaran bersama-sama. Dalam iklim seperti itu kata Ropmo Rafael, tidak mungkin membangun dialog yang sehat. Penolakan untuk berdialog bisa disebabkan keyakinan bahwa tidak ada (nihil) jalan untuk memperoleh kebenaran. Alasan mereka yang menganut nihilisme adalah akal budi atau ratio maupun iman tidak menjamin manusia menemukan kebenaran dan kebaikan. Buktinya, pemutlakan ratio (dengan menonjolkan penelitian rasional dan temuan-temuan teknologi sebagai salah satu produknya) telah membawa petaka kepada hidup manusia. Lagi menurut Romo Rafael, penekanan berlebihan pada kuasa iman (dengan menolak ratio manusia karena ratio dianggap anti Tuhan) membuat manusia kehilangan daya kritisnya ketika mencari kebenarandi balik teks-teks suci agama. Penganut nihilisme juga meragukan kemampuan agama-agama untuk menciptakan damai di bumi.

Kewalahan
Dialog terbuka atau dalam bahasa keren, talkshow dengan topik “Perlukan Iman itu Rasional?” berlangsung menarik. Menariknya topik ini mempertemukan dua sudut pandangan antara theologi dan filsafat.
Moderator Yovita Pandin sampai kewalahan memberi kesempatan kepada para hadirin yang antusias mengajukkan pertanyaan. Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Merdeka Malang ini terpaksa membagi dua termin, tiap termin 5 penanya.
Salah seorang umat cukup kritis mempertanyakan, bagaimana dengan sikap orang katolik yang tidak percaya pada ekaristi (tubuh dan darah Kristus). Romo Armada mengatakan, itu termasuk elektisme yang berarti menjadi orang katolik jangan pilih-pilih. Sebagai orang katolik tentu percaya ajaran, nilai paling luhur adalah ekaristi. Dalam ekaristi ada momen pertukaran yang indah dan suci dimana roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus. Dialog yang dimulai puluk 10.00 WIB berakhir pukul 14.00 WIB. (Herman Yos Kiwanuka)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar