Sabtu, 28 Juli 2012

Kesaksian Basuki Tjahaja Purnama

Basuki Tjahaja Purnama
Joko Widodo bersama dengan Basuki Tjahaja Purnama

Joko Widodo bersama dengan Basuki Tjahaja Purnama telah memenangkan
putaran pertama PILKADA DKI Jakarta 11 Juli 2012. Ini adalah kesaksian
Basuki,

Saya lahir di Gantung, desa Laskar Pelangi, di Belitung Timur, di
dalam keluarga yang belum percaya kepada Tuhan. Beruntung sekali sejak
kecil selalu dibawa ke Sekolah Minggu oleh kakek saya. Meskipun
demikian, karena orang tua saya bukan seorang Kristen, ketika beranjak
dewasa saya jarang ke gereja.

Saya melanjutkan SMA di Jakarta dan di sana mulai kembali ke gereja
karena sekolah itu merupakan sebuah sekolah Kristen. Saat saya sudah
menginjak pendidikan di Perguruan Tinggi, Mama yang sangat saya kasihi
terserang penyakit gondok yang mengharuskan dioperasi. Saat itu saya
walaupun sudah mulai pergi ke gereja, tapi masih suka bolos juga. Saya
kemudian mengajak Mama ke gereja untuk didoakan, dan mujizat terjadi.
Mama disembuhkan oleh-Nya! Itu merupakan titik balik kerohanian saya.
Tidak lama kemudian Mama kembali ke Belitung, adapun saya yang sendiri
di Jakarta mulai sering ke gereja mencari kebenaran akan Firman Tuhan.

Suatu hari, saat kami sedang sharing di gereja pada malam Minggu, saya
mendengar Firman Tuhan dari seorang penginjil yang sangat luar biasa.
Ia mengatakan bahwa Yesus itu kalau bukan Tuhan pasti merupakan orang
gila. Mana ada orang yang mau menjalankan sesuatu yang sudah jelas
tidak mengenakan bagi dia? Yesus telah membaca nubuatan para nabi yang
mengatakan bahwa Ia akan menjadi Raja, tetapi Raja yang mati di antara
para penjahat untuk menyelamatkan umat manusia, tetapi Ia masih mau
menjalankannya! Itu terdengar seperti suatu hal yang biasa-biasa saja,
tetapi bagi saya merupakan sebuah jawaban untuk alasan saya
mempercayai Tuhan. Saya selalu berdoa “Tuhan, saya ingin mempercayai
Tuhan, tapi saya ingin sebuah alasan yang masuk akal, cuma sekedar
rasa doang saya tidak mau," dan Tuhan telah memberikan PENCERAHAN
kepada saya pada hari itu. Sejak itu saya semakin sering membaca
Firman Tuhan dan saya mengalami Tuhan.

Setelah saya menamatkan pendidikan dan mendapat gelar Sarjana Teknik
Geologi pada tahun 1989, saya pulang kampung dan menetap di Belitung.
Saat itu Papa sedang sakit dan saya harus mengelola perusahaannya.
Saya takut perusahaan Papa bangkrut, dan saya berdoa kepada Tuhan.
Firman Tuhan yang pernah saya baca yang dulunya tidak saya mengerti,
tiba-tiba menjadi rhema yang menguatkan dan mencerahkan, sehingga saya
merasakan sebuah keintiman dengan Tuhan. Sejak itu saya kerajingan
membaca Firman Tuhan. Seiring dengan itu, ada satu kerinduan di hati
saya untuk menolong orang-orang yang kurang beruntung.

Papa saat masih belum percaya Tuhan pernah mengatakan, “Kita enggak
mampu bantu orang miskin yang begitu banyak. Kalau satu milyar kita
bagikan kepada orang akhirnya akan habis juga.” Setelah sering membaca
Firman Tuhan, saya mulai mengerti bahwa charity berbeda dengan
justice. Charity itu seperti orang Samaria yang baik hati, ia menolong
orang yang dianiaya. Sedangkan justice, kita menjamin orang di
sepanjang jalan dari Yerusalem ke Yerikho tidak ada lagi yang dirampok
dan dianiaya. Hal ini yang memicu saya untuk memasuki dunia politik.

Pada awalnya saya juga merasa takut dan ragu-ragu mengingat saya
seorang keturunan yang biasanya hanya berdagang. Tetapi setelah saya
terus bergumul dengan Firman Tuhan, hampir semua Firman Tuhan yang
saya baca menjadi rhema tentang justice. Termasuk di Yesaya 42 yang
mengatakan Mesias membawa keadilan, yang dinyatakan di dalam sila
kelima dalam Pancasila. Saya menyadari bahwa panggilan saya adalah
justice. Berikutnya Tuhan bertanya, "Siapa yang mau Ku-utus?" Saya
menjawab, “Tuhan, utuslah aku”.

Di dalam segala kekuatiran dan ketakutan, saya menemukan jawaban Tuhan
di Yesaya 41. Di situ jelas sekali dibagi menjadi 4 perikop. Di
perikop yang pertama, untuk ayat 1-7, disana dikatakan Tuhan
membangkitkan seorang pembebas. Di dalam Alkitab berbahasa Inggris
yang saya baca (The Daily Bible – Harvest House Publishers), ayat 1-4
mengatakan God’s providential control, jadi ini semua berada di dalam
kuasa pengaturan Tuhan, bukan lagi manusia. Pada ayat 5-10 dikatakan
Israel specially chosen, artinya Israel telah dipilih Tuhan secara
khusus. Jadi bukan saya yang memilih, tetapi Tuhan yang telah memilih
saya. Pada ayat 11-16 dikatakan nothing to fear, saya yang saat itu
merasa takut dan gentar begitu dikuatkan dengan ayat ini. Pada yat
17-20 dikatakan needs to be provided, segala kebutuhan kita akan
disediakan oleh-Nya. Perikop yang seringkali hanya dibaca sambil lalu
saja, bisa menjadi rhema yang menguatkan untuk saya. Sungguh Allah
kita luar biasa.

Di dalam berpolitik, yang paling sulit itu adalah kita berpolitik
bukan dengan merusak rakyat, tetapi dengan mengajar mereka. Maka saya
tidak pernah membawa makanan, membawa beras atau uang kepada rakyat.
Tetapi saya selalu mengajarkan kepada rakyat untuk memilih pemimpin:
yang pertama, bersih yang bisa membuktikan hartanya dari mana. Yang
kedua, yang berani membuktikan secara transparan semua anggaran yang
dia kelola. Dan yang ketiga, ia harus profesional, berarti menjadi
pelayan masyarakat yang bisa dihubungi oleh masyarakat dan mau
mendengar aspirasi masyarakat. Saya selalu memberi nomor telepon saya
kepada masyarakat, bahkan saat saya menjabat sebagai bupati di
Belitung. Pernah satu hari sampai ada seribu orang lebih yang
menghubungi saya, dan saya menjawab semua pertanyaan mereka satu per
satu secara pribadi. Tentu saja ada staf yang membantu saya mengetik
dan menjawabnya, tetapi semua jawaban langsung berasal dari saya.

Pada saat saya mencalonkan diri menjadi Bupati di Belitung juga tidak
mudah. Karena saya merupakan orang Tionghoa pertama yang mencalonkan
diri di sana. Dan saya tidak sedikit menerima ancaman, hinaan bahkan
cacian, persis dengan cerita yang ada pada Nehemia 4, saat Nehemia
akan membangun tembok di atas puing-puing di tembok Yerusalem.

Hari ini saya ingin melayani Tuhan dengan membangun di Indonesia,
supaya 4 pilar yang ada, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka
Tunggal Ika bukan hanya wacana saja bagi Proklamator bangsa Indonesia,
tetapi benar-benar menjadi pondasi untuk membangun rumah Indonesia
untuk semua suku, agama dan ras. Hari ini banyak orang terjebak
melihat realita dan tidak berani membangun. Hari ini saya sudah
berhasil membangun itu di Bangka Belitung. Tetapi apa yang telah saya
lakukan hanya dalam lingkup yang relatif kecil. Kalau Tuhan
mengijinkan, saya ingin melakukannya di dalam skala yang lebih besar.

Saya berharap, suatu hari orang memilih Presiden atau Gubernur tidak
lagi berdasarkan warna kulit, tetapi memilih berdasarkan karakter yang
telah teruji benar-benar bersih, transparan, dan profesional. Itulah
Indonesia yang telah dicita-citakan oleh Proklamator kita, yang
diperjuangkan dengan pengorbanan darah dan nyawa. Tuhan memberkati
Indonesia dan Tuhan memberkati Rakyat Indonesia. (Tom Saptaatmaja)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar