Rabu, 04 Juli 2012

Perjalanan Misiku di Agats, Papua


Bapa di Surga, t’rimalah
hasil usaha jemaat-Mu....

Sepenggal lagu persembahan yang tidak asing di kalangan Gereja Katolik. Sedari kecil, lagu itu sering sekali dinyanyikan, awalnya dari buku Madah Bakti, lalu Puji Syukur. Meski liriknya sedikit berbeda, namun dengan maksud yang sama.

dr. Jodi Visnu (Tengah) bersama Uskup Larantuka (kiri) dan Uskup Maumere (kanan)
Aku bertugas di sebuah kampung pedalaman Asmat, Papua. Kampung Bayun, Distrik Pantai Kasuari. Di balai kesehatan misi yang telah didirikan misionaris sejak puluhan tahun yang lalu, aku mengabdikan diriku untuk masyarakat. Yah, meski kontrak kerjaku tidak lama, namun cukup membuatku banyak belajar tentang kehidupan masyarakat pedalaman yang jauh dari dunia luar. Mungkin lebih tepat bila dikatakan jauh dari peradaban, meski menurut beberapa orang, “Keadaan ini jauh lebih baik bila dibandingkan 10 tahun yang lalu, Dokter.” Tak dapat kubayangkan puluhan tahun yang lalu perjuangan para misionaris dalam mewartakan cinta kasih Allah yang harus mendayung perahu berhari-hari untuk dapat sampai ke Kampung Bayun, tentu tak sebanding dengan perjalananku selama 4 jam dengan speedboat, meski kadang mencapai 9 jam bila cuaca buruk.

Misa mingguan di Paroki Roh Kudus, Bayun, tidak berbeda dengan misa di Gereja Katolik lainnya. Tata liturginya sama, tentu saja. Tetapi satu hal yang membuatnya beda adalah budayanya.

Tidak ada koor yang megah, hanya seorang suster dari Tarekat Maria Mediatrix yang memimpin lagu-lagu dari bangku umat, dengan menggunakan buku Madah Bakti. Lagu-lagu yang semasa kecil kunyanyikan, kini kunyanyikan kembali. Maklum, saat ini kebanyakan Gereja sudah sejak lama menggunakan buku Puji Syukur. Tidak ada pastor, umat, atau siapapun yang protes soal lagu-lagu Gereja di Bayun. Entah itu Ordinarium Misa Senja, dll, lagu-lagu yang menurut berita sudah tidak dianjurkan, bahkan menurut beberapa seksi liturgi: dilarang. Kadang aku berpikir, “Bila lagu-lagu tersebut sudah ada di buku lagu yang disahkan Gereja dan tidak ada hukum yang sah bahwa buku itu ditarik dari peredaran, lalu siapa yang mau melarang?” Agaknya demikian.

Dan sungguhpun lagu tidak sesuai dengan tema misa, tidak ada pastor yang akan marah. Mungkin umat tersebut tidak tahu, dan mereka hanya memberikan yang terbaik. Seperti pengalamanku bersama seorang pastor saat kunjungan ke sebuah stasi. Tanpa lampu, misa Minggu Prapaskah ke-3 berakhir pukul 18.30. Akibatnya umat yang harus menyanyikan lagu penutup, tidak dapat membaca buku Madah Bakti. Akhirnya mereka spontan menyanyikan lagu kebangkitan Tuhan. Mungkin hanya itu yang mereka hafal. Tentu tak mungkin hal semacam ini terjadi di kota besar, bila itu terjadi pastilah seksi liturgi sudah menegur lebih dulu sebelum pastor angkat bicara.

Tidak ada listrik, tentu saja suara pastor dan petugas liturgi harus cukup lantang karena tidak didukung oleh pengeras suara. Gereja memang tidak terlalu besar, namun bila hujan turun maka suara pastor akan terganggu. Masih untung ada beberapa gereja yang memiliki genset. Namun kelangkaan BBM acap kali menjadi kendala. Harga BBM di pedalaman sangat tinggi, namun satu hal yang perlu kita ketahui: masyarakat pedalaman tidak berpikir untuk melakukan demo atau pemogokan. Tidak ada tuntutan, mungkin hanya sedikit keluhan yang tak begitu berarti bagi sebagian besar orang.

Tidak ada tabernakel yang indah dan tidak ada lampu yang menyala di sisi tabernakel untuk menunjukkan adanya Sakramen Mahakudus di dalamnya. Semua umat harus menunjukkan sikap hormat di dalam Gereja. “Gereja adalah rumah Tuhan Yesus,” pernah terucap dari seorang anak kecil di sini yang selalu kuingat.

Tidak ada uang persembahan yang bersih, semuanya lusuh. Namun inilah persembahan mereka untuk Sang Pencipta. Jumlahnya pun tidak besar, kira-kira hanya cukup untuk membeli beberapa susu kental manis kaleng di sini.

Masyarakat Bayun menggunakan pakaian terbaik mereka. Tidak ada keharusan mengenakan pakaian bersih. Tapi mereka berusaha sebersih mungkin, meski tetap banyak noda menghalangi warna dan motif baju mereka. Tidak ada keharusan mengenakan sepatu. Mengenakan sandal jepit saja, barangkali itu sudah sangat baik karena sehari-hari mereka bertelanjang kaki. Namun petugas-petugas liturgi selalu mengusahakan agar dirinya tampil baik, meski menggunakan kaos sekalipun. Dan.... tidak ada keharusan untuk mandi. Awalnya aku sulit menyesuaikan diri dengan keadaan ini, tetapi lama-kelamaan terbiasa juga.

Anak-anak duduk terpisah dengan orang tua mereka. Kadang bila ada tamu Keuskupan hadir, pandangan anak-anak itu tidak tertuju pada altar. Dan suster-suster sibuk menertibkan mereka. Maklum saja, hampir seluruh umat Bayun tidak memiliki TV. Akibatnya banyak diantara mereka yang tidak pernah melihat wajah-wajah etnis lain.

Tidak ada musim pancaroba di Bayun, kapan saja bisa panas terik berhari-hari lalu tiba-tiba turun hujan, atau bisa juga hujan terus-menerus. Maka banyak anak yang terkena pilek. Pemandangan anak dengan ingus meler dan tidak diusap, sudah menjadi hal yang biasa, bahkan di Gereja saat misa berlangsung. Apalagi bila ingus tersebut diusap oleh tangan mungil mereka, lalu tak sengaja terkena baju kita. Janganlah marah, meskipun mereka akan segera dimarahi orang tuanya habis-habisan.

Tidak ada tempat parkir kendaraan di area Gereja. Tidak ada alat transportasi di kampung ini. Semua ditempuhh hanya dengan berjalan kaki. Meski harus menempuh perjalanan satu jam dengan panas terik yang menyengat, namun untuk memuji Tuhan tidak ada sedikitpun keluh kesah keluar dari bibir umat. Bila letih, mereka dapat beristirahat sejenak di bawah pohon, lalu melanjutkan perjalanan kembali.

Hal-hal di atas adalah segelitir budaya masyarakat Indonesia di pedalaman. Semuanya mengalir begitu saja, dan budaya modern selalu berjalan bersama-sama dengan budaya lokal. Soal memuji Tuhan, masyarakat lokal memiliki ragam keunikan tersendiri yang mungkin perlu dibina. Tapi kita perlu ingat, inti diri mereka adalah mempersembahkan yang terbaik bagi Tuhan dan jangan sampai idealisme modern menghancurkan niat mereka, makhluk Tuhan yang paling mulia.



Kubawa kepada-Mu oh Tuhan
persembahanku ini
Kuingin Engkau menerima
korban syukurku
melalui pujian

1 komentar:

  1. Saya baru melihat postingan ini.
    Teeima kasih sudah membantu menyebarkan kisah saya di Asmat :-)
    Tuhan memberkati.

    Jodi Visnu

    BalasHapus