Kamis, 05 Juli 2012

Benedict XVI renews his trust in Cardinal Bertone

To the Venerable and Beloved Brother
Cardinal Tarcisio Bertone

On the eve of my departure for Castel Gandolfo for the summer period, I wish to express my deep appreciation of  your discreet closeness and of your valuable advice, which I found particularly helpful in recent months.
Noting with regret the spreading unjust criticism against you, I wish to express anew my personal confidence in you, which I had already stated in a Letter dated 15 January 2010, the contents of which remain unchanged for me.
I entrust to the maternal intercession of the Blessed Virgin Mary, Help of Christians, and of the Holy Apostles Peter and Paul, your ministry. Together with my fraternal greeting I cordially impart the Apostolic Blessing as a pledge of every desired good.
From the Vatican, 2 July 2012



 (L’Osservatore Romano)

Rabu, 04 Juli 2012

Perjalanan Misiku di Agats, Papua


Bapa di Surga, t’rimalah
hasil usaha jemaat-Mu....

Sepenggal lagu persembahan yang tidak asing di kalangan Gereja Katolik. Sedari kecil, lagu itu sering sekali dinyanyikan, awalnya dari buku Madah Bakti, lalu Puji Syukur. Meski liriknya sedikit berbeda, namun dengan maksud yang sama.

dr. Jodi Visnu (Tengah) bersama Uskup Larantuka (kiri) dan Uskup Maumere (kanan)
Aku bertugas di sebuah kampung pedalaman Asmat, Papua. Kampung Bayun, Distrik Pantai Kasuari. Di balai kesehatan misi yang telah didirikan misionaris sejak puluhan tahun yang lalu, aku mengabdikan diriku untuk masyarakat. Yah, meski kontrak kerjaku tidak lama, namun cukup membuatku banyak belajar tentang kehidupan masyarakat pedalaman yang jauh dari dunia luar. Mungkin lebih tepat bila dikatakan jauh dari peradaban, meski menurut beberapa orang, “Keadaan ini jauh lebih baik bila dibandingkan 10 tahun yang lalu, Dokter.” Tak dapat kubayangkan puluhan tahun yang lalu perjuangan para misionaris dalam mewartakan cinta kasih Allah yang harus mendayung perahu berhari-hari untuk dapat sampai ke Kampung Bayun, tentu tak sebanding dengan perjalananku selama 4 jam dengan speedboat, meski kadang mencapai 9 jam bila cuaca buruk.

Misa mingguan di Paroki Roh Kudus, Bayun, tidak berbeda dengan misa di Gereja Katolik lainnya. Tata liturginya sama, tentu saja. Tetapi satu hal yang membuatnya beda adalah budayanya.

Tidak ada koor yang megah, hanya seorang suster dari Tarekat Maria Mediatrix yang memimpin lagu-lagu dari bangku umat, dengan menggunakan buku Madah Bakti. Lagu-lagu yang semasa kecil kunyanyikan, kini kunyanyikan kembali. Maklum, saat ini kebanyakan Gereja sudah sejak lama menggunakan buku Puji Syukur. Tidak ada pastor, umat, atau siapapun yang protes soal lagu-lagu Gereja di Bayun. Entah itu Ordinarium Misa Senja, dll, lagu-lagu yang menurut berita sudah tidak dianjurkan, bahkan menurut beberapa seksi liturgi: dilarang. Kadang aku berpikir, “Bila lagu-lagu tersebut sudah ada di buku lagu yang disahkan Gereja dan tidak ada hukum yang sah bahwa buku itu ditarik dari peredaran, lalu siapa yang mau melarang?” Agaknya demikian.

Dan sungguhpun lagu tidak sesuai dengan tema misa, tidak ada pastor yang akan marah. Mungkin umat tersebut tidak tahu, dan mereka hanya memberikan yang terbaik. Seperti pengalamanku bersama seorang pastor saat kunjungan ke sebuah stasi. Tanpa lampu, misa Minggu Prapaskah ke-3 berakhir pukul 18.30. Akibatnya umat yang harus menyanyikan lagu penutup, tidak dapat membaca buku Madah Bakti. Akhirnya mereka spontan menyanyikan lagu kebangkitan Tuhan. Mungkin hanya itu yang mereka hafal. Tentu tak mungkin hal semacam ini terjadi di kota besar, bila itu terjadi pastilah seksi liturgi sudah menegur lebih dulu sebelum pastor angkat bicara.

Tidak ada listrik, tentu saja suara pastor dan petugas liturgi harus cukup lantang karena tidak didukung oleh pengeras suara. Gereja memang tidak terlalu besar, namun bila hujan turun maka suara pastor akan terganggu. Masih untung ada beberapa gereja yang memiliki genset. Namun kelangkaan BBM acap kali menjadi kendala. Harga BBM di pedalaman sangat tinggi, namun satu hal yang perlu kita ketahui: masyarakat pedalaman tidak berpikir untuk melakukan demo atau pemogokan. Tidak ada tuntutan, mungkin hanya sedikit keluhan yang tak begitu berarti bagi sebagian besar orang.

Tidak ada tabernakel yang indah dan tidak ada lampu yang menyala di sisi tabernakel untuk menunjukkan adanya Sakramen Mahakudus di dalamnya. Semua umat harus menunjukkan sikap hormat di dalam Gereja. “Gereja adalah rumah Tuhan Yesus,” pernah terucap dari seorang anak kecil di sini yang selalu kuingat.

Tidak ada uang persembahan yang bersih, semuanya lusuh. Namun inilah persembahan mereka untuk Sang Pencipta. Jumlahnya pun tidak besar, kira-kira hanya cukup untuk membeli beberapa susu kental manis kaleng di sini.

Masyarakat Bayun menggunakan pakaian terbaik mereka. Tidak ada keharusan mengenakan pakaian bersih. Tapi mereka berusaha sebersih mungkin, meski tetap banyak noda menghalangi warna dan motif baju mereka. Tidak ada keharusan mengenakan sepatu. Mengenakan sandal jepit saja, barangkali itu sudah sangat baik karena sehari-hari mereka bertelanjang kaki. Namun petugas-petugas liturgi selalu mengusahakan agar dirinya tampil baik, meski menggunakan kaos sekalipun. Dan.... tidak ada keharusan untuk mandi. Awalnya aku sulit menyesuaikan diri dengan keadaan ini, tetapi lama-kelamaan terbiasa juga.

Anak-anak duduk terpisah dengan orang tua mereka. Kadang bila ada tamu Keuskupan hadir, pandangan anak-anak itu tidak tertuju pada altar. Dan suster-suster sibuk menertibkan mereka. Maklum saja, hampir seluruh umat Bayun tidak memiliki TV. Akibatnya banyak diantara mereka yang tidak pernah melihat wajah-wajah etnis lain.

Tidak ada musim pancaroba di Bayun, kapan saja bisa panas terik berhari-hari lalu tiba-tiba turun hujan, atau bisa juga hujan terus-menerus. Maka banyak anak yang terkena pilek. Pemandangan anak dengan ingus meler dan tidak diusap, sudah menjadi hal yang biasa, bahkan di Gereja saat misa berlangsung. Apalagi bila ingus tersebut diusap oleh tangan mungil mereka, lalu tak sengaja terkena baju kita. Janganlah marah, meskipun mereka akan segera dimarahi orang tuanya habis-habisan.

Tidak ada tempat parkir kendaraan di area Gereja. Tidak ada alat transportasi di kampung ini. Semua ditempuhh hanya dengan berjalan kaki. Meski harus menempuh perjalanan satu jam dengan panas terik yang menyengat, namun untuk memuji Tuhan tidak ada sedikitpun keluh kesah keluar dari bibir umat. Bila letih, mereka dapat beristirahat sejenak di bawah pohon, lalu melanjutkan perjalanan kembali.

Hal-hal di atas adalah segelitir budaya masyarakat Indonesia di pedalaman. Semuanya mengalir begitu saja, dan budaya modern selalu berjalan bersama-sama dengan budaya lokal. Soal memuji Tuhan, masyarakat lokal memiliki ragam keunikan tersendiri yang mungkin perlu dibina. Tapi kita perlu ingat, inti diri mereka adalah mempersembahkan yang terbaik bagi Tuhan dan jangan sampai idealisme modern menghancurkan niat mereka, makhluk Tuhan yang paling mulia.



Kubawa kepada-Mu oh Tuhan
persembahanku ini
Kuingin Engkau menerima
korban syukurku
melalui pujian

17 Tahun SOS Children’s Village Flores

Mengembalikan Kasih Sayang Yang Hilang


Gempa bumi dan tsunami tanggal 12 Desember 1992 membawa dampak yang sangat luas bagi kehidupan masyarakat pulau Flores pada umumnya. Banyak anak kehilangan orang tua, tempat tinggal dan rasa aman. Sebagai sebuah yayasan social, SOS Desa Taruna Indonesia tergerak hatinya untuk membantu meringankan beban masyarakat Flores umumnya terlebih anak-anak. Awalnya, anak-anak korban bencana ditampung di rumah kontrakan yang sangat sederhana.
     Awal tahun 1995, SOS desa Taruna Indonesia secara resmi mendirikan SOS Desa Taruna Flores bertempat di kabupaten Sikka, kecamatan Magepanda, Desa Kolisia, Dusun Waturia.
     Wakil Pimpinan SOS Children’s Village Flores, M. Kristina D.G. SE menjelaskan, konsep SOS desa Taruna adalah membantu , mengasuh dan memberi  masa  depan yang cerah bagi anak yatim piatu dan yang kurang beruntung yang berasal dari berbagai latar belakang suku agama dan ras. “Kami memberi kembali kasih sayang melalui rumah tinggal, keluarga dan kehidupan yang memadai agar kelak mereka memiliki kehidupan yang mandiri,”ujar Rista panggilan akrabnya.
     SOS Desa Taruna lanjut Rista mengusung visi dan misi setiap anak dibesarkan dalam keluarga dengan kasih sayang, rasa dihargai dan rasa aman dan mendirikan keluarga bagi anak yang kurang beruntung, membantu mereka membentuk masa depannya dan memberi kesempatan untuk berkembang dalam masyarakat.
     Jebolan STIE Malangkucecwara Malang ini memaparkan, keadaan SOS Desa Taruna Flores sampai dengan awal Juni 2012 berpenghuni 190 anak dimana yang tinggal di Village berjumlah 121 orang, Village luar/asrama sekolah 33 orang, rumah remaja putra 18 orang dan asrama atau kost luar 18 orang. Jumlah anak yang diasuh di SOS Flores dari tahun 1995 sampai Juni 2012 berjumlah 335 anak dengan rincian: Anak mandiri 96 orang, anak yang telah kembali ke keluarga 49 orang dan yang masih diasuh di SOS Flores 190 anak.”Anak-anak yang ada sekarang berasal dari semua kabupaten di NTT termasuk 1 anak dari Timor Leste,” demikian Rista.
     SOS desa Taruna Flores, kata Rista memiliki sebuah TKK yang berada dalam Village dengan jumlah murid per Juni 2012 sebanyak 137 anak. Selain itu memiliki program diluar Village yang selama ini disebut Program FSP (Family Strengthening Programme) atau program penguatan ekonomi keluarga. Dalam program ini SOS FSP Flores mendampingi 600 kepala keluarga dampingan dengan memberi bantuan modal usaha kecil dan memotivasi keluarga yang sudah ada usaha. Sedangkan total anak dampingan SOS FSP Flores hingga bulan Juni 2012 berjumlah 1612 anak dari usia balita samapai dengan SLTA.
     FSP SOS Children’s Village demikian Rista, juga melakukan pendampingan PAUD/POS PAUD pada tiga wilayah kecamatan dampingan. Sampai saat ini FSP mendampingi 14 Paud/Pos Paud. Adapun bentuk nyata dari dukungan SOS terhadap pembentukan lembaga Paud/Pos Paud adalah memberikan surat rekomendasi sebagai lembaga mitra ke dinas PPO sebagai syarat untuk dikeluarkannya surat izin operasional. Memeberikan bantuan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) sebulan sekali dan memberikan bantuan buku gambar dan pensil warna.
     Dijelaskan pula pada tahun 2009-2012 anak-anak SOS yang telah meneyelesaikan studi program Diploma (D3) sebanyak 8 orang, sarjana 4 orang dan 2 diantaranya telah lulus test CPNS. “Karena telah menamatkan pendidikan ke 12 anak tersebut telah kembali ke orang tua sambil mencari atau menciptakan lapangan sendiri,”ungkap Rista.
     Beatrix Nonis, ibu pengasuh asal Kefamenanu Timor Tengah Utara yang sudah bekerja selama 17 tahun di Sos Taruna Flores mengungkapkan, nuansa kehidupan di Sos penuh kekeluargaan dan persaudaraan. “Suka duka menjadi ibu pengasuh bagi anak-anak yang kehilangan kasih sayang menyadarkan saya bahwa dalam diri anak ada wajah-wajah Yesus yang nyata. Mereka adalah pemilik masa depan yang perlu dipersiapkan,”ujar Bety yang akrab disapa. **** Yuven Fernandez-Maumere

Senin, 02 Juli 2012

Uskup Müller Prefek Baru Kongregasi Untuk Ajaran Iman


Uskup Gerhard Ludwig Müller
Radio  Vatikan  menyiarkan  bahwa  kongregasi  untuk  Ajaran  Iman  telah  memiliki  seorang pemimpin  baru. Jabatan yang pernah ditangani oleh  Uskup  Ratzinger  yang telah mengemban tugas sebagai Pemimpin Gereja Katolik sedunia tersebut sebelumnya dipimpin oleh Kardinal William Joseph Levada. Kongregasi Untuk Ajaran Iman merupakan satu-satunya komisi yang memiliki tugas khusus memelihara keutuhan Tradisi Suci Gereja.
Kardinal William Joseph Levada telah mengundurkan diri dari posisi tersebut karena alas an usianya yang semakin tua.  Untuk itu Paus Benediktus XVI, pada  Senin 2 Juli 2012 melantik Uskup Gerhard Ludwig Müller, Uskup Regensburg sebagai Prefek Baru Kongregasi untuk Ajaran Iman, dan karena keutamaannya, Uskup Gerhard juga mengemban tanggung  jawab sebagai Presiden Komisi Kepausan “Ecclesia Dei”, Komisi kitab Suci dan Komisi teologi Internasional.
Kardinal William Joseph Levada sebelumnya juga menjabat sebagai Presiden Komisi Kepausan “Ecclesia Dei”, Komisi kitab Suci dan Komisi teologi Internasional sejak 13 Mei 2005. Uskup kelahiran 15 Juni 1936, di Long Beach, California tersebut adalah Uskup Auxiliar Los Angeles, California dan Uskup Administrator Apostolik di Santa Rosa, California, sejak 22 Juli 1999-11 April, 2000.  Jabatan sebagai Kardinal diperolehnya pada tanggal 24 Maret 2006.
Kardinal William Joseph Levada
Sementara itu, Uskup Gerhard Ludwig Müller adalah seorang Profesor Honoris Causa bidang Dokmatik Katolik pada Universitas Ludwig-Maximilian, Munich, Jerman.  Dalam usia 38 tahun, Uskup Gerhard Ludwig Müller termasuk salah satu profesor termuda dalam tahun  1986 di Universitas Munich, Jerman.
Uskup Gerhard Ludwig Müller lahir di Mainz-Finthen  pada 31 Desember 1947. Studi filsafat dan teologinya di Mainz, Munich and Freiburg, gelar doktor diperolehnya tahun 1977.  Dia ditahbiskan menjadi Imam di Mainz-Finthen tahun 1978 oleh Kardinal Volk. Dalam kiprahnya, Uskup Gerhard telah mendirikan Institut Paus Benediktus XVI yang mulai beraktivitas 1 September 2008. Uskup  Gerhard memiliki perhatian yang sangat besar terhadap karya dan pemikiran Joseph Ratzsinger (Paus Benediktus XVI), sehingga ia mengumpulkan sebagian besar karya tersebut dan memublikasikannya. Di samping itu Uskup yang terkenal cerdik ini juga menjadi dosen tamu di beberapa universitas terkenal seperti di  Cusco (Peru), Madrid (San Damaso), Philadelphia (USA), Kerala (India), Santiago de Compostela, Salamanca (Spanyol),  Universitas Lateran (Roma), Lugano and Sao Paulo (Brazil). Uskup Gerhard termasuk salah satu uskup yang sangat aktif dalam berbagai konferensi nasional maupun internasional para uskup sedunia. Lebih dari 400 buku telah ia tulis. Sebagian besar karyanya membahas tentang teologi dogmatik Katolik, maka tidaklah hal yang kebetulan jika Uskup Gerhard dipilih memimpin Komisi Kongregasi untuk Ajaran Iman. (Anthoni Primus)

Minggu, 01 Juli 2012

Untung Rugi “E-Learning”

Yudi Perbawaningsih*

Guru belum banyak menerapkan “E-Learning” baik di pedesaan, pinggiran kota dan perkotaan (Kompas,  28/5). Kompas mengutip pernyataan ini dari Dekan Sampoerna School of Education (SSE).
Sejauh ini penggunaan teknologi internet yang memicu munculnya media-media baru dan model komunikasi baru diyakini dapat memberikan manfaat yang besar bagi tercapainya tujuan-tujuan pada berbagai bidang kehidupan, termasuk bidang pendidikan khususnya pada mutu pembelajaran. Merujuk pada keyakinan ini maka guru sebagai pendidik sangat dianjurkan untuk meningkatkan keterampilan penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk kepentingan proses pembelajaran karena teknologi ini dapat menolong guru menyajikan materi pembelajaran dengan lebih menarik. Kreativitas model pembelajaran memang sangat diharapkan dapat menarik perhatian peserta didik, dengan asumsi daya tarik ini akan berimbas pada kemudahan pemahaman materi. Keyakinan ini juga mendorong banyak institusi pendidikan membangun sistem pendidikan dengan model “E-Learning.” Penerapan model ini bahkan kemudian menjadi bagian dari pencitraan institusi pendidikan sebagai institusi yang berkualitas.

Benarkah selalu bermanfaat?

Mengabaikan faktor-faktor yang mungkin turut berkontribusi, TIK memberikan banyak sekali keuntungan. Hakikat teknologi yaitu untuk menciptakan efisiensi dan efektivitas menjadi hal yang menguntungkan. Demikian juga TIK diciptakan untuk menciptakan efisiensi dan efektivitas dalam pengolahan data dan komunikasi. Efisiensi waktu, tenaga, dan biaya adalah hal yang tidak terbantahkan, demikian juga dengan tercapainya tujuan. Selain itu, TIK juga dapat mengatasi kendala waktu dan tempat. Dalam pembelajaran yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan peserta didik, tentu diyakini dapat dicapai dengan lebih efisien dengan menggunakan atau memanfaatkan TIK. Dalam mencari data, TIK berbasis internet memberikan keuntungan yang tidak terkira. Referensi dan sumber data dapat diakses dengan mudah, cepat dan kadang murah, serta dapat dilakukan oleh seorang individu saja. Demikian halnya dalam olah data. Bandingkan olah data statistik secara manual dengan  cara memanfaatkan TIK, tentu waktu yang dibutuhkan jauh lebih cepat dan akurat. Peran guru menjadi lebih ringan, tidak lagi menjadi sumber pengetahuan karena pengetahuan dapat dengan mudah dimiliki oleh murid melalui internet. Peran guru cukup menjadi inisiator, motivator, fasilitator dan evaluator. Pada kondisi semacam ini, paradigma pendidikan dapat dilaksanakan dengan konsep andragogi yang menempatkan murid sebagai partisipan aktif, rasional dan dewasa, yang dapat memotivasi dirinya sendiri untuk belajar.
Bagaimana dengan komunikasi guru dan murid, komunikasi antarkomunitas akademik? Pemanfaatan TIK berbasis internet sebagai media komunikasi baru juga memberikan efisiensi. Bandingkan  komunikasi tatap muka guru-murid di kelas dengan melalui e-mail dan e-conference. Berapa waktu, tenaga dan biaya yang dihemat? Dalam komunikasi tatap muka guru-murid dibutuhkan waktu yang sama dan tempat yang sama. Jika tak ada waktu dan tempat yang sama, komunikasi ini gagal dilaksanakan. TIK dan media baru dapat mengatasi kendala itu, bahkan ketika tidak memiliki tempat atau jarak yang jauh. Waktu dan tempat tidak lagi menentukan.
Namun demikian, apakah penggunaan TIK berbasis internet selalu bermanfaat bagi proses pembelajaran dan pendidikan? Hal yang sering diabaikan ketika menjelaskan manfaat TIK adalah konteks sosial budaya dan bahkan politik. Padahal secara empirik, konteks ini berkontribusi sangat besar untuk menjelaskan kemanfaatan TIK dalam pendidikan. Pada konteks tertentu, pemanfaatan TIK berbasis internet tidak selalu menguntungkan.

TIK merugikan proses pendidikan?

Ya, seandainya pemanfaatan TIK ini mengabaikan atau tidak mempertimbangkan konsekuensi dan implikasinya pada masyarakat, institusi, dan budaya (Pavlik, 1996:303-334). Dalam konteks pendidikan dan pembelajaran, pemanfaatan TIK akan berimplikasi pada individu anggota komunitas pendidikan, organisasi dan budaya belajar. Implikasi pemanfaatan TIK berbasis internet adalah melimpahnya pengetahuan. Ini akan menghasilkan ambiguitas yang sangat tinggi bagi sebagian komunitas pendidikan . Dihadapkan pada derajat rasionalitas yang tidak tinggi, peserta didik justru akan menghindari terpaan informasi karena ambiguitas menyebabkan ketidaknyamanan kognitif. Situasi ini tentu tidak kondusif bagi pencapaian tujuan pembelajaran. Dalam hal ini, guru tetap memiliki peran penting sebagai fasilitator untuk memilih dan memilah serta kalau perlu mereduksi informasi dan mengarahkan pemaknaan atas informasi. Namun demikian, bagi murid yang memiliki daya pemahaman yang tinggi dan cukup rasional, upaya ini dapat dimaknai sebagai upaya membatasi kebebasan murid untuk membangun pengetahuannya sendiri. Pada bagian lain, TIK juga memberikan kemudahan dan kecepatan olah data. Hal ini berimplikasi pada kemungkinan pengabaian proses yang bertahap dan berorientasi pada hasil. Ini menggiring pada terciptanya mental serba instan dan tidak peduli substansi dan esensi. Komunitas pendidikan menjadi pragmatis dan tidak lagi peduli pada hakiki dan filosofi.
Di sisi lain, komunikasi tatap muka yang tergantikan oleh media berbasis TIK menjadikan interaksi kehilangan sentuhan afeksi yang lebih mudah muncul ketika ada interaksi non verbal, terutama simbol-simbol yang melibatkan indra peraba dan indra pengecap yang sampai saat ini belum dapat dilakukan oleh teknologi.  Relasi guru dan murid yang terbangun menjadi pragmatis sehingga nilai-nilai kebersamaan personal yang biasanya menjadi karakter pendidikan di Indonesia justru sulit dicapai. Proses pembelajaran yang bertujuan untuk membangun karakter dan afeksi, moral dan integritas menjadi terkendala. Pada aspek pengurangan beban guru karena digantikan oleh TIK juga tidak selalu ditanggapi positif. Reduksi peran secara politis berarti juga pengurangan kewenangan dan kekuasaan. Tidak hanya itu, reduksi peran ini juga bisa diartikan sebagai reduksi finansial. Masih banyak ditemui guru yang masih nyaman dalam posisi sebagai “atasan” bagi muridnya, dan keberadaan TIK justru menjadi ancaman.
Efek negatif sebagai implikasi atas karakter teknologi tentu tidak hanya ini. Oleh karena itu, kebijakan organisasi pendidikan untuk menggunakan model e-learning harus mempertimbangkan rasio keuntungan dan kerugian dengan menganalisis karakter komunitas pendidikan, budaya organisasi dan tentu adalah tujuan pendidikan dan pembelajaran. Menggunakan metafora efektivitas obat, dianggap bermanfaat jika obat lebih banyak memberikan manfaat daripada efek samping. Demikian pula penggunaan model e-learning pada proses pendidikan di Indonesia. Dikatakan e-learning efektif jika manfaat lebih banyak daripada kerugian.

*Yudi Perbawaningsih, dosen pada Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta

 Bernas Jogja, Selasa 19 Juni 2012

Lingkungan dan Peran Media

Birgitta Bestari Puspita*

Manusia membutuhkan lingkungan untuk hidup, demikian pula lingkungan membutuhkan manusia untuk menjaga keseimbangannya. Seharusnya begitulah keseimbangan itu tercipta dan terjaga. Sayangnya, berbagai faktor mengganggu keselarasan yang sapatutnya ada. Bagaimana peran media?
Harimau, hewan yang beratnya bisa mencapai 350 kilogram termasuk pemangsa puncak dan terkenal buas. Benar pula bahwa harimau adalah mamalia yang memiliki tenaga kuat. Namun sayang, keganasan dan kekuatannya itu masih dapat menjadi sasaran empuk manusia, ditembak pemburu-pemburu ilegal yang tak punya hati. Populasi harimau dunia merosot drastis. Dari sembilan subspesies harimau di dunia, hanya enam yang tersisa, dan tiga di antaranya sudah mencapai kepunahan.
Dahulu Indonesia merupakan negara yang cukup kaya subspesies harimau. Dari kesembilan spesies di dunia, tiga di antaranya ada di Indonesia yaitu harimau Bali, harimau Jawa, dan harimau Sumatera. Namun kini hanya tersisa satu spesies saja, harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae)  dan itu pun dengan populasi yang sudah genting, yaitu hanya sekitar 400-an ekor. Pembunuhan kucing besar ini memang tidak hanya terjadi di Indonesia. Dan hampir semua perburuan ilegal dilakukan untuk menyuplai kebutuhan pasar berupa mata, gigi, taring, jeroan, dan kulit cantik the big cat.
Tidak secara langsung keberadaan kucing besar ini berhubungan dengan kehidupan manusia, dan tidak semua dari kita hidup berdampingan dengan mereka. Namun banyak yang kurang menyadari bahwa ketidakseimbangan ekosistem bisa berdampak luas, bahkan sampai pada kehidupan manusia.
Contoh diungkapkan dalam indonesia.mongabay.com tentang hilangnya predator puncak– serigala – yang mengubah ekosistem di Taman Nasional Yellowstone di Amerika Serikat. Ketika serigala lokal punah, rusa tumbuh liar dan melahap vegetasi, terutama pohon aspen dan willow muda. Tidak hanya itu, dengan hilangnya serigala, rusa menghancurkan vegetasi sungai. Dengan kurangnya vegetasi di sepanjang sungai, jumlah hewan seperti burung-burung berkicau dan berang-berang pun ikut menurun, demikian pula dengan populasi ikan di sana. Erosi tanah meningkat karena kurangnya naungan dari pohon di tepi sungai. Coyote juga menjadi lebih berani dan berkembang biak pesat tanpa adanya serigala, sebuah proses yang dikenal para ilmuwan sebagai pelampiasan mesopredator, yaitu hilangnya predator puncak yang memungkinkan predator lebih rendah mengambil alih ekosistem. Jadi, hilangnya satu spesies melukai seluruh ekosistem.
Kejadian di atas selayaknya bisa menjadi satu titik pandang bagi masyarakat kita terutama warga hidup atau bekerja di kawasan teritori harimau untuk dapat mencegah kepunahan harimau. Berbagai kegiatan penyuluhan sudah dilakukan baik oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga nonprofit di daerah habitat harimau. Target penyuluhan tersebut umumnya adalah masyarakat di sekitar habitat harimau dan juga pekerja serta pemilik usaha yang beroperasi di sana. Kemudian  bagaimana dengan kita, masyarakat yang hidup tidak berdampingan dengan satwa eksotis itu? Apakah kita cukup  hanya berdiam diri dan tidak peduli sementara keseimbangan alam tempat saudara-saudara kita tengah mengalami krisis?
Contoh tentang harimau dan serigala hanyalah secuil masalah lingkungan. Bagaimana dengan satwa lainya seperti kukang, badak, orang utan yang populasinya belum stabil, atau bagaimana pula dengan berhektar-hektar hutan yang hilang karena bencana maupun ulah manusia? Cepat atau lambat, langsung atau tidak langsung, dampak perubahan ekosistem akan berpengaruh pada seluruh bangsa.

Media dan Jurnalisme Lingkungan

Media adalah jawaban akan pertanyaan di atas. Media cetak maupun elektronik dan bahkan media online, melalui produk jurnalisme lingkungan, dapat menjadi jembatan informasi bagi masyarakat. Ini  berkaitan dengan lingkungan, baik lingkungan tempat mereka tinggal maupun lingkungan yang secara psikologis dekat dengan mereka.
Dari pengamatan terhadap media, masih jarang ditemui liputan  isu lingkungan yang bukan sekedar informatif namun juga edukatif. Liputan yang tidak sekedar memberitakan ada apa (5W1H) namun juga memberikan solusi. Pertanyaannya, jurnalisme lingkungan seperti apa yang ideal untuk menjadi sumber bagi masyarakat? Sangat disayangkan apabila Komisi Penyiaran Indonesia menerima surat terbuka yang dilayangkan Remotivi, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang peduli pada tayangan televisi, memprotes beberapa program televisi yang dianggap bermasalah atau akan mendatangkan masalah bagi masyarakat maupun kelangsungan hewan.
Menurut Anderson (Arief Fajar, 2011), jurnalisme lingkungan merupakan jurnalisme konvensional yang harus taat etika dan menyampaikan fakta tetapi bertitik tekan pada kasus lingkungan hidup. Jurnalisme ini  sadar etika lingkungan yaitu; (1) informasi yang relevan dengan latar belakang kasus lingkungan, (2) materi berita yang sering menjernihkan situasi atau menjadi mediasi (dalam istilah McLuhan sebagai extension of man) dan (3) memperhatikan risiko pemberitaan dari kasus lingkungan hidup.
Melalui jurnalisme lingkungan, masyarakat diharapkan dapat memperoleh informasi dan pengetahuan yang mereka butuhkan dengan liputan media massa. Oleh sebab itu, pemahaman tentang lingkungan sangat penting untuk dihadirkan media. Pemahaman tentang lingkungan dapat terjadi ketika masyarakat tidak hanya sekedar tahu tentang apa yang terjadi di lingkungan,  fisik ataupun budaya, namun  juga dapat menemukan solusi untuk isu-isu lingkungan. Misalnya, ketika ada berita tentang  harimau masuk  pemukiman penduduk. Dengan membaca berita tersebut  masyarakat tidak hanya tahu bahwa ada harimau masuk pemukiman namun tahu mengapa hal itu terjadi, dan tahu apa yang  harus dilakukan.
Sebagai salah satu sumber informasi yang dipercaya media tidak sekedar memberitakan namun juga paham akan efek dari pemberitaanya. Keberlangsungan lingkungan, ekosistem dan masyarakat  sebenarnya tidak lepas pula dari apa yang diinformasikan media.

*Birgitta Bestari Puspita adalah staff pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta

 Bernas Jogja, Selasa 26 Juni 2012

TV One – Lowongan Reporter Yogyakarta

PT. Lativi Media Karya (tvOne) adalah stasiun televisi swasta berita dan olahraga nomor satu di Indonesia. tvOne merupakan anak perusahaan dari VIVA Group (PT.Visi Media Asia Tbk), sebuah kelompok usaha media, yang juga menaungi vivanews.com dan antv. Seiring dengan pertumbuhan bisnis yang sangat cepat, saat ini kami membutuhkan tenaga-tenaga muda professional, dinamis dan kreatif untuk bergabung sebagai :
Reporter (Yogyakarta)
Yogyakarta (Yogyakarta)
Responsibilities:
  • Bertanggung jawab dalam meliput berita yang bervariasi mulai dari politik, ekonomi, budaya, dan human interest di area Yogyakarta dan sekitarnya
  • Melakukan instruksi peliputan sesuai dengan perencanaan dan rapat internal
  • Proaktif dalam mencari dan mendalami berita serta mencari narasumber yang relevan dengan topik
  • Bekerjasama dengan kru dan camera person untuk mendapatkan hasil dan kualitas berita yang baik
Requirements:
  • Laki-laki atau perempuan
  • Pendidikan mininal Sarjana dengan IPK minimal 3,00.
  • Usia maksimal 30 tahun
  • Minimal 1 tahun berpengalaman sebagai reporter di media elektronik
  • Mampu berbahasa Inggris aktif
  • Camera look
  • Aktif, dinamis, multitasking, dan mampu memenuhi deadline
  • Bersedia ditempatkan di Yogyakarta

Visit our website, www.tvOne.co.id

Rabu, 27 Juni 2012

Petualangan Nadine Candrawinata


                “Hidup adalah sebuah petualangan”, demikian ungkapan yang mewarnai hidup dan semangat  seorang Nadine Chandrawinata. Selebriti kelahiran Hannover, Jerman, 08 Mei 1984 ini memiliki segudang pengalaman petualangan yang menakjubkan. Petualangan itu berawal dari kiprahnya di dunia entertaintment. Awal mula meniti karir entertaint, Nadine kesulitan mendapat izin orangtua, namun ia tidak putus asa sebab kemauannya untuk mengikuti casting sangat besar. “Sebelum mencoba ke dunia entertaint, saya sempat ga diizinkan. Sampe 2 minggu saya kabur dari rumah. Sebenarnya bukan kabur sih tapi nginap di rumah saudara juga. Namanya juga masa lalu, tetapi ngga melakukan hal yang aneh-aneh. Orangtua tahu saya pergi ke mana, saya butuh sendiri dulu dan orangtua memang lihat, oh anak ini emang serius mau ke dunia entertain. Saya datang dengan sandal jepit, celana pendek dengan rambut acak-acakan. Akhirnya sama Puput dibenarin pake lipstik tapi ga menor, tetap dengan gaya saya gitu. Saya ga mau berubah gitu” Kisah Nadine dalam suatu wawancara dengan sebuah media. “Jadi pertama kali datang Cuma pake celana jeans, baju kaos, sendalnya kayak sepatu sandal gitu. Sama sekali ga make up. Cuma pake bedak doang. Orang mikir ni anak sebenarnya niat ga sih datang ke sini gitu kan?” jelas wanita yang memiliki hobby renang tersebut. Nadine seolah-olah tidak jauh dari karakternya yang tomboy. Sejak SMA, Nadine tidak terlihat feminin bahkan penampilannya terkesan bandel, sehingga ia kerap ditegur oleh gurunya. Nadine sering mengenakan rok super ketat, sehingga beberapa kali ia diperingati oleh gurunya, hingga akhirnya Nadine pun membeli rok panjang ukuran besar. Tanpa disadari, ternyata rok panjang yang ia kenakan hanyalah monopoli belaka.
                “Saya sih cerita aja ke orangtua, karena kita pake rok yang super ketat dan segala macam ya. Kita diskors, yah udah, nikmatin aja kamu. Distrap dari sekolah, pas masuk lagi ke sekolah yah ngga mungkinlah kita beli rok besar semua; akhirnya mama yang panik, ‘kamu jangan sampai diskors lagi di sekolah yah’. Yah biasalah orangtua, akhirnya aku mikir juga nih, ‘yah udah deh aku beli aja rok yang sebesar karung’, extra size…hahahaha…. Jadi setiap kali ada guru penjaga, biasanya ada kontrol. Nah, setiap kali udah lihat itu, ‘ha..ni bentar lagi guru itu mau lewat, pasti teman-teman yang ngasi: ‘wah sebentar lagi ibu ni mau datang’, namanya Ibu Flora. Akhirnya aku keluarin rok yang segede karung, benar-benar gede, mungkin dua orang bisa masuk. Itu aku dobelin, jadi setiap kali dia lewat itu aku dobelin aja. Setelah dia dah lewat yah aku lepasin lagi… saat itu saya selalu lolos karena selalu dobelin rok itu. Teman-teman lain yah kena skors lagi. Maka itu, kita mau berbuat sesuatu yang menantang diri kita… tetapi kita juga harus smart, bagaimana kita harus rajin cari solusinya. Itu keseruannya. Keseruan dalam arti, walaupun badung-badung, nilai tetap kita perhatikan. Lulus semua satu angkatanku. Itu menjadi cerita tersendiri sih… hehe…jadi ga enak hati nih, sorry yah pak guru, bu guru, ga bermaksud…hehehe” sharing Nadine sembari tersipu malu mengisahkan kenangan masa lalunya.
Kejutan dari Sang Ayah
                Popularitas Nadine Chandrawinata, tidak terlepas dari kejutan yang luar biasa dari Sang Ayah, Andi Chandrawinata yang mendaftarkan putri kesayangannya itu secara diam-diam. Ini bermula ketika mahasiswi di London School ini hendak mengikuti kontes kecantikan Putri indonesia. “Waktu itu saya ingin go international untuk modeling. Saya ingin ke Hongkong. Sambil menunggu, ternyata ada formulir Putri Indonesia. Ini juga bisa go international juga, karena menjadi miss universe. Tetapi saya mikir yah kayaknya bukan saya deh… Aku ngga terlalu feminim juga yah. Bukan aku deh gitu!  Akhirnya aku ngga peduliin sebenarnya. Aku tetap fokus ke dunia modeling aja gitu. Sekarang lagi nunggu, tetapi tidak tahu bagaimana, formulir itu terisi oleh ayah saya tanpa sepengetahuan saya. Jadi, ayah saya yang menyuruh saya untuk ke sana ikut putri indonesia gitu. Ayah saya bilang, ‘sambil menunggu ya kamu coba aja ngisi waktu, ikut pembekalan putri Indonesia kan lumayan kalau kamu pingin jalan-jalan ke luar negeri, jalan-jalan ke seluruh daerah yang ada di Indonesia, kamu kan punya teman gitu. Nanti kalau kamu ke Aceh, kamu punya teman, ke Papua ada teman, ke mana-mana kamu aman gitu’” cerita Nadine menirukan pesan Ayahnya sebelum ia mengikuti kontes Putri Indonesia. Niat Nadine tersebut mendapat antusias yang besar dari kedua saudara kembarnya, Marcel dan Mischa Chandrawinata, terutama ketika Nadine menuju kontes dunia,  Miss Universe tahun 2006.
Banyak pengalaman dan kesan menarik yang diperoleh Nadine selama menjadi Putri indonesia. “Selama menjadi putri Indonesia banyak sekali pengalaman. Yang pertama yang saya rasakan adalah saya belajar menjadi lebih feminin..hahaha…. kayaknya ada udang di balik batu deh tujuan dari ayah, saya belajar untuk lebih jadi perempuan dalam arti seperti duduknya lebih rapi,  table manner belajar” ujar  pemeran film Cinta dan Rock’n Roll ini. Prestasinya makin meningkat dengan adanya berbagai kesempatan untuk membintangi film layar lebar. Meskipun banyak tawaran membintangi film, Nadine tetap ingin hidup menurut karakternya sendiri yang sangat menyukai tantangan dengan segala kreativitasnya. Baginya, tantangan itu membuka wawasannya untuk menjadi lebih kreatif mengatasi berbagai persoalan hidup. “Syutingnya itu selalu malam hari dan tantangannya adalah kalau malam hari itu dingin dan selama syuting saya harus mengenakan celana pendek dan baju sobek-sobek, jadi selalu masuk angin. Supaya ga masuk angin saya selalu minum jahe. Itu tantanganku, saya selalu kedinginan. Saya ngga kuat dingin. Di rumahku juga ngga pake AC tidurnya. Tidur pun juga pake kaus kaki” aku Nadine.
Kecantikan dari Alam
Alam semesta begitu menggoda bagi Nadine, dia sangat menyukai berkelana menyambangi nusantara. “Saya senang traveling, saya tidak perlu pura-pura untuk tampil cantik atau, tampil elegan atau apa, dalam traveling, karena dalam traveling pun kita bisa  menemukan kecantikan di alam dan itu mempercantik diri kita sendiri dari dalam. Kita bersyukur dan air muka kita berubah. Kita akan menjadi diri sendiri. Saya bisa menunjukkan bahwa saya bisa menjadi diri sendiri saat traveling, karena inilah saya saat traveling, berpakaian seperti ini. Setiap perempuan memiliki sosok sebagai “putri”, princes yang disayang orangtuanya, sisi keibuannya itu ada. Jadi yang saya cari dari traveling ialah sisi spiritualitas saya” ungkap mantan Putri Indonesia 2005 ini mantap. Nadine pernah hampir mengalami musibah dalam travelingnya, peristiwa yang mengancam maut itu membuka pikirannya untuk memahami alam dan mencintai alam.
“Ada hambatan yang menurut saya cukup ekstrim, namun saya mencoba untuk berpikir positif. Waktu saya ke Wakatobi. Di mana saya terdampar di situ. Memang sih berangkatnya rada sore. Tidak diharuskan untuk berangkat karena ombaknya cukup tinggi, tetapi kita sudah ditunggu, jadi dari Kendari, kita berangkat. Pas di tengah laut karena ombak tinggi, GPS kita kehilangan sinyal dan kita kehilangan arah. Kita semua panik gitu. Tetapi dari situ saya malah berpikir saya bisa banyak belajar karena kita di tengah laut, kapal ngga bisa jalan, nyangkut di karang karena udah bergeser sedikit. Kita hanya berharap ada kapal yang lewat, kita bisa numpang untuk tidur dan menunggu, dan menahan diri dari kelaparan. Tidak ada stok makanan, karena berpikir jalannya hanya 2-3 jam. Ternyata kita terdampar. Cuma ada biskuit saat itu” kisah Nadine. Alam seolah – olah telah menghipnotis Nadine untuk menjadi “Gadis Petualang”. “Kenapa mau terjun di alam bebas. Lebih fokus ke penyu, terumbu karang di bawah laut. Karena aku punya pengalaman, pada saat menyelam  bukan menikmati keindahan karangnya, tetapi mungutin sampah di bawah, terus pada saat di atas juga bukan melihat bukit dan gunung yang indah, tetapi malah terkecoh dengan sampah di permukaan air, itu menjadi gangguan tersendiri buat saya. Jadi fokus saya ingin mengkampanyekan itu, jadi pada saat saya melakukan hobi saya diving, saya mencoba untuk penyuluhan pada daerah itu dan thanks God, pemda dan bupatinya juga mendukung setiap kali Nadine datang ke tempat itu, belajar bersama, sekolah dan pengenalan akan daerahnya, mengusahakan peningkatan daerahnya. Itu tidak gampang kita menyisihkan waktu sehari untuk menggali, mengeksplore daerah itu, mengeluarkan tenaga untuk penyuluhan, diving dari satu titik ke titik yang lain” kisah pemeran film horor Mati Suri, garapan sutradara Rizal Mantovani. Seluruh petualangan hidup Nadine dituangkan dalam bukunya berjudul “Nadrenalin”, mengungkapkan pengalamannya mengambangi berbagai lokasi di beberapa tempat yang dikunjunginya. Nadine ingin menyampaikan pesan bahwa traveling adalah hal yang menyenangkan sekaligus penuh tantangan. Inilah salah satu cita-cita yang telah ia tuntaskan. “saya banyak menulis lagi gitu, ya makanya kemarin, ada buku “Nadrenalin” keluar tentang tulisan saya traveling, itu karena perjalanan saya sekarang ini tentang traveling terus”. “Dari Nadrenalin, saya mencoba men-support anak muda untuk menyadari semangat. Semangat dalam arti bahwa kita bisa mencapai titik itu selama masih di bawah langit. Kita bisa kalau kita mau. Di situ juga saya berpesan bahwa jangan pernah takut untuk keluar rumah dan mencari pengalaman di luar sana, karena di sana banyak sekali ilmu yang kita dapat” ungkap presenter acara musik Mantap ini. Selain menulis, Nadine juga melirik bisnis lain, seperti bisnis Salon Kecantikan. Tujuan utamanya memberi karya dan membuka lapangan kerja bagi orang-orang di sekitarnya. “Sekarang ini saya sedang mencoba bisnis, salon, kemudian saya juga punya majalah gratis, tentang diving sendiri bersama Riani, kemudian di gudang galeri Lantai 2 untuk pameran gratis, di situ juga ada sekolah belajar gratis dengan Anton Ismail dan di sana juga bisa nongkrong dan menggali ilmu tentang dunia fotografi. Saya juga mencoba untuk membuat usaha research bersama adik saya, di Raja Ampat. Susah lho, itu jauh” pungkas Nadine. 
Nadine dan Impian
Ada banyak impian Nadine dalam memaknai hidup dan karyanya. Salah satunya ialah impiannya  untuk membangun sebuah lembaga pendidikan. “Yang belum kesampaian adalah sekolah, belajar. Sekarang ini saya sudah memiliki sekolah alam di beberapa daerah, dengan LSM. Dulunya saya berpikir ingin punya sekolah di mana siapa pun bisa belajar, terutama untuk anak-anak yang kurang mampu. Tetapi tidak segampang itu, jadi saya mengerucutkan itu semua, sekolah alam dan sekolah belajar. Mungkin butuh fokus dulu. Saya masih traveling dulu. Saya menyampingkan itu tetapi tidak menghilangkannya” Ungkap Nadine. Bagi Nadine, selama hidup di dunia, ia tidak akan pernah berhenti berkarya karena rasa puas. “Kalau merasa puas yah, manusia tidak pernah merasa puas. Tetapi kita harus bilang pada diri kita sendiri bahwa kita puas akan kerja keras kita. Karena kalau kita berharap ada orang lain yang bilang: ‘wah kamu hebat ya, kamu sempurna, kamu dah dapat segalanya’, kita ngga pernah puas, kita menunggu itu, ga akan datang. Jadi kita harus berbicara pada diri kita sendiri, kita hargai apa yang sudah kita lakukan: ‘saya puas dengan apa yang saya lakukan’, walaupun hasilnya belum sesuai target tetapi saya puas dengan usaha yang sudah saya keluarkan sebanyak-banyaknya itu. Itulah orang yang produktif” Jelas Nadin yakin. (Anthoni Primus)


Senin, 25 Juni 2012

Mengapa Paus Yohanes Paulus II Mau Dibunuh Tahun 1981?


 Latar belakang sejarah
 Perang Dunia II fase akhir, Jerman Hitler kalah. Guna mengatur Eropa pasca perang, para pemimpin sekutu anti Hitler – Roosevelt, Churchil dan Stalin – bertemu 4 – 11 Februari 1945 di Yalta, Krimea, Uni Soviet.
Menurut keputusan di Yalta antara lain adalah:
•           Jerman akan dibagi dan diawasi oleh Amerika Serikat, Inggris, Prancis dan Uni Soviet.
•          Atas tekanan Stalin batas timur Polandia tergeser sampai sungai Bug. Dengan demikian sepertiga dari teritori bagian timur Polandia diambil alih Uni Soviet dan batas barat Polandia tergeser sampai sungai Oder dan Nysa, berarti mendapat sebagian timur teritori Jerman.
•        Lagi atas desakan Stalin Eropa dibagi atas “sphere of interest”. Dengan demikian Uni Soviet akan menjajahi seluruh Eropa Timur. Pemerintah di negara-negara satelit ini ditentukan oleh Uni Soviet. Maksudnya ekspansi komunisme di Eropa. Lambat-laun Eropa dibagi atas bagian timur dan barat dengan Tirai Besi di antaranya. Tirai Besi berarti bahwa batas barat Sfir Uni Soviet dijaga ketat.
Sara Bartoli yang meluputkan nyawa JP II (GN)
Penyebaran komunisme berarti ateisasi dan penghapusan agama, yang dianggap “obat bius bagi masyarakat”. Di Uni Soviet ribuan rohaniwan terbunuh, gedung gereja dihancurkan atau diganti fungsinya. Hal serupa diusahakan di negara-negara satelit. Hanya Polandia merupakan batu sandungan bagi komunis. Ideologi ateisme diimpor dari Rusia, yang menjadi musuh bebuyutan orang Polandia, maka oleh mayoritas orang Polandia komunisme ditolak. Selain itu hampir 90% orang Polandia beragama Katolik dan para uskup kompak, di bawah pimpinan kardinal Stefan Wyszynski, melawan segala aksi ateisasi. Akibatnya ada pastor dan uskup diusir dari diosesnya, ada yang dipenjarakan, termasuk kardinal Wyszynski. Namun pemberontakan masyarakat berulang kali memaksa pemerintah untuk membebaskan mereka kembali.
Tujuan lain komunis adalah kolektivisasi pertanian. Diusahakan tanah para petani diambil oleh pemerintah dan dijadikan perusahaan kolektif, di mana petani menjadi buruh saja. Di Uni Soviet proses ini dilaksanakan secara paksaan. Akibatnya produktivitas sector pertanian sangat memburuk, menyebabkan kekurangan bahan makanan dan kelaparan. Di Polandia kolektivisasi praktis tidak berhasil. Namun Polandia wajib mengekspor gandum dan ternak ke Uni Soviet. Akibatnya ada kekurangan pangan di negeri sendiri. Contohnya, toko dibuka jam 8, namun orang antri mulai jam 4 pagi, agar dapat membeli roti atau daging, yang selalu tidak cukup. Ini pun membuat masyarakat tidak tahan diri, hinga menyebabkan pemberontakan, walau pengawasan polisi ketat sekali. Pemberontak selalu menuntut pangan dan kebebasan agama.
Churchil, Roosevelt dan Stalin pada pertemuan di Yalta.
Pada tahun 1966 peringatan seribu tahun Gereja di Polandia. Sebagai persiapan para uskup mengadakan novena besar sembilan tahun pembaharuan rohani bangsa. Gambar Bunda Maria dari Czestochowa (Black Madonna) diarak berziara dari paroki ke paroki. Hasil rohaninya luar biasa! Namun ini justru membuat komunis makin membenci dan Untuk menghentikan aksi ini pemerintah memblokir gambar ini. Namun ini pun tidak menghentikan aksi pembaharuan rohani bangsa. 

Kardinal Polandia menjadi Paus 
Tahun 1958 pastor Karol Wojtyla diangkat menjadi uskup pembantu di Krakow. Enam tahun kemudian Paus Paulus VI mengangkatnya menjadi uskup agung keuskupan ini. Tahun 1967 menjadi kardinal.
                Adanya dua kardinal di Polandia oleh pemerintah sering dipergunakan untuk menunjukan seolah-olah antara keduanya ada antagonisme. Akan tetapi aksi ini sama sekali tidak berhasil. Contohnya, suatu ketika kardinal Wyszynski tidak diberikan paspor untuk menghadiri konsili Vatikan II, sebagai tanda protes kardinal Wojtyla juga tidak berangkat, walau sudah punya paspor. Pada semua upacara gerejawi mereka selalu hadir bersama. Pemerintah menilai kardinal Wyszynski sebagai seorang pemberontak, sedangkan kardinal Wojtyla lebih lunak. Namun pemerintah pun kecewa, karena dalam banyak hal kardinal Wojtyla jauh lebih berani melawan pengaruh politik pemerintah terhadap agama.
                Suatu sore tanggal 16 Oktober 1978 diumumkan bahwa kardinal Wojtyla dipilih menjadi paus, rakyat Polandia bergembira keluar ke jalan-jalan dengan menyanyikan lagu nasional „Polandia belum punah, selama kita hidup”, khususnya di depan kedutaan dan konsulat-konsulat Uni Soviet. Sedangkan pemerintah dan pemimpin partai komunis panik. Mereka tidak tahu mengambil sikap apa. Salah seorang anggota komite sentral partai mengatakan spontan: “Habis kita!” Reaksi di Moskow sama. Nyata bahwa kesadaran dan kebanggaan nasional orang Polandia bertambah dan ini dapat menggoncangkan monopoli partai komunis.
                Pada Juni 1979 Johanes Paulus II ingin mengunjungi tanah airnya, Brezhniew, ketua partai komunis Uni Soviet mendesak Gierek, ketua partai komunis Polandia, melarang paus datang ke Polandia. Gierek menjawab: “Andaikata saya membuat itu, seluruh masyarakat Polandia akan memberontak.”
                Akhirnya 2 Juni 1979 Johannes Paulus II mendarat di Warsawa. Ratusan ribu orang berdiri di pingir jalan dan seluruh kota dihiasi dengan bendera Vatikan. Hari berikutnya, Minggu Pentekosta,  Paus memimpin misa di lapangan kota. Dalam khotbahnya Johanes Paulus II menyerukan: “Semoga Roh Kudus turun dan membaharui muka bumi. Bumi ini!” Maksudnya bumi Polandia. Rupanya doa serius Paus terkabulkan, karena pada bulan-bulan berikut terjadi perubahan besar. Antara lain para buruh di hampir seluruh Polandia mogok kerja dan menuntut serikat buruh bebas Solidarnosc. Ini mengoncangkan seluruh sistem politis bukan hanya di Polandia, tetapi juga di negara-negara satelit lainnya.
                Pemimpin komunis sadar, bahwa kekuatan moral gerakan ini adalah Johannes Paulus II dan kardinal Wyszynski. Awal tahun 1981 kardinal Wyszynski jatuh sakit kanker, maka pasti tidak lama lagi akan mati. Tinggal menghilangkan Johannes Paulus II.

Komplotan
                Keputusan untuk membunuh Johanes Paulus II dibuat di Kremlin. Pelaksanaannya diserahkan kepada KGB (polisi rahasia Uni Soviet). Ditentukan mencari agen beragama Islam. Maka agen KGB di Timur Tengah dan di Bulgaria mencari orang Islam, yang rela menembak Paus. Waktu itu di Turki ada seorang bernama M. Ali Agca, yang ingin membunuh Paus, waktu beliau berkunjung ke negara ini. Ali Agca, seorang penembak jitu, setuju menembak Paus dengan imbalan pembayaran 3000 Euro. Dua pembantunya berasal dari organisasi ekstrimis Turki Bozkurtlar, yang bekerja sama dengan polisi rahasia Bulgaria.
Johannes Paulus II mengunjungi Ali Agca di penjara (GN)
Kesempatan paling baik adalah audiensi umum pada hari Rabu, yang pada musim panas diadakan di Lapangan St. Petrus. Bapa Suci biasanya keliling dengan mengendarai mobil. Agca harus menembak Paus di kepala. Agca sudah siap, namun terjadi sesuatu yang menghalanginya. Mendadak Johanes Paulus II mengangkat dan mencium seorang bayi perempuan. Maka kepala dan dada Paus terlindung. Akhirnya Agca menembak Paus di perut. Namun satu peluru mengenai jari Johanes Paulus II, maka mengubah uratnya. Sesudah menembak, Agca membuang pistolnya dan berusaha melarikan diri, tetapi seorang suster menangkapnya dan berteriak minta bantuan. Segera polisi mengamankan Agca.
                Kita tahu, bahwa Johanes Paulus II tidak mati. Para dokter meluputkan nyawanya. Penembakan terjadi pada tanggal 13 Mei, hari ulang tahun penampakan Bunda Maria di Fatima. Bapa Suci yakin bahwa Maria melindunginya. Maka tanggal 13 Mei 1982 Johanes Paulus II berziarah ke Fatima untuk berterima kasih kepada Bunda Maria. Peluru, yang menembusi badannya, ditempatkan dalam mahkota gambar Maria. Pepatah Polandia mengatakan: Manusia menembak, tetapi Tuhan mengarahkan peluru.
                Stalin pernah bertanya ironis: “Berapa divisi tentara yang dimiliki Vatikan?” Dewasa ini Stallin sudah dilupakan, adikuasa Uni Soviet hilang dari peta dunia, sedangkan ribuan orang setiap hari berziarah ke kubur Beato Johanes Paulus II. “Inilah orang, yang dengan kekuatan imannya menghancurkan komunisme” – kata pemimpin bangsa Tartar, seorang muslim. (Prof. Dr. Josef Glinka, SVD)