Minggu, 23 September 2012

Teroris di Gereja Katedral Ijen?



Gereja katedral ijen
                Nasib malang di Kota Malang menimpaku, ketika hari Minggu pagi, 23 September 2012 di dalam Gereja Katedral Ijen. Sembilan tahun hidup di Kota Malang tidak menjamin kenyamanan dalam setiap langkahku. Pagi itu aku sangat menyesalkan tindakan petugas Gereja katedral Ijen yang bertugas pada pagi itu, sangat menggangu suasana sakral di Gereja Katedral Ijen.
                Ketika menempati bangku belakang Gereja Ijen, sekelompok umat yang berderetan denganku tiba-tiba menghindar dan meninggalkan Gereja. Aku tidak curiga sama sekali dengan sikap umat yang ternyata menghidupi rasa trauma terhadap teoris yang selama ini mengancam Indonesia. Akibatnya, kehadiranku yang membawa sebuah tas ransel berisikan laptop dan kamera pun diidentikan dengan teroris. Beberapa menit kemudian, muncul seorang polisi dari polresta  Malang Kota, berseragam lengkap menyapaku dan meminta aku keluar Gereja sambil membawa tas ranselku. Suasana dalam Gereja pun serentak menjadi ramai. Perhatian umat yang saat itu sedang mendengarkan khotbah pastor di atas mimbar pun dialihkan kepadaku. Sungguh suatu pemandangan yang tidak menyenangkan dan mengusik ketenanganku. Segera  keheninganku untuk menikmati perayaan Misa Ekaristi  terganggu.
                Setelah berhenti di depan pintu masuk Gereja, tasku digeledah oleh polisi.  Dengan segera aku tersinggung dan menegur polisi yang saat itu didampingi oleh petugas Gereja. Mengapa bukan petugas Gereja yang seharusnya bertugas untuk menegur setiap orang yang dicurigai malah polisi? Lantas di mana  tanggung  jawab  petugas Gereja dalam memelihara ketertiban di Gereja? Aku kecewa mendengar jawaban petugas Gereja saat itu, “kami takut ada bom?” demikian ujarnya padaku. Lantas aku langsung menjawabnya, “Di mana letak keimananmu? Kehadiran polisi telah mengganggu suasana sakral di Gereja.  Berbeda suasananya jika petugas Gereja yang menjalankan tugasnya bukan polisi. Polisi dalam konteks ini tidak berhak masuk ke dalam Gereja, dimana umat sedang menjalankan ibadah sakral. Sebagai polisi harus tahu dan sadar untuk menghormati dan menghargai suasana peribadatan dalam rumah ibadat. Polisi jangan sekedar menjalankan tugas menangkap dan memeriksa, tetapi juga terutama harus bijaksana jika dalam rumah ibadat ada petugas khusus yang sudah ditentukan oleh pihak berwenang dalam Gereja”.
                Sikap petugas Gereja di katedral  Ijen pagi itu sangat tidak simpatik sama sekali  dan mengganggu suasana religiusitas umat. Ini menjadi pelajaran bagi dewan Gereja Katedral ijen untuk lebih bijaksana menyikapi situasi keamanan dan ketenangan di dalam Gereja. Hari itu, aku benar-benar  batal mengikuti Misa mingguan yang seharusnya menjadi kewajibanku. Sangat disayangkan bahwa aku sering mengikuti misa di Gereja Katedral dan beberapa kali pernah membawa tas ransel masuk dalam Gereja, namun tidak pernah diperlakukan seperti ini. Bahkan sosok pribadiku pun tidak asing di kalangan petugas sekretariat Katedral ijen.  Hari itu, hanya karena penyakit traumatis yang berlebihan dari beberapa umat, termasuk petugas Gereja yang saat itu bertugas, telah meninggalkan kesan yang buruk dalam penataan keamanan dan ketenangan dalam Gereja Katedral Ijen. Semoga ini tidak terjadi lagi di masa yang akan datang. Dan saya harap Dewan Gereja Ijen sebaiknya memperhatikan juga poin ini. Jangan sampai semua orang yang membawa tas ransel di”cap” teroris.  (Anthony)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar